16 Maret 2024

Berempati di Rumah Sakit

 

Hari ini, 16 Maret 2024, hari kelima Ramadan, saya pergi ke Pamekasan. Dalam perjalanan berangkat, sehabis shalat asar, jalan tampak sesak, berbeda dengan 30 menit sebelumnya. Nyare malem atau ngabuburit ternyata masih jadi kegiatan favorit masyarakat. Benar ada yang pergi untuk beli bekal puasa, tapi kiranya lebih banyak lagi orang yang jalan-jalan sore menggunakan kendaraan tanpa tujuan yang jelas kecuali hanya menghabiskan waktu sembari menunggu maghrib.


Di Talang Siring, pantai yang terletak di perbatasan Sumenep-Pamekasan, beberapa anak muda tampak nongkrong, tidak banyak. Masuk kota Pamekasan, pukul 15.45, lalu lintas semakin banyak. Ramai sekali jalan raya. Saya lanjut ke selatan, menuju rumah sakit. Tujuan saya adalah menjenguk Anam yang sedang menunggu embahnya yang sedang sakit dan ada di ICU.


Di rumah sakit, kerumunan orang banyak sekali. Yang membedakan dengan hari-hari biasa; mereka duduk berkelompok dan tidak merokok dan juga tidak makan-makan. Dua aktivitas ini biasanya jadi pemandangan lazim di mana-mana, di hari biasa, di sepanjang koridor rumah sakit. Sore itu, orang tampak tertib, tepatnya, dipaksa tertib oleh bulan Ramadan. Meskipun mungkin satu dua orang ada yang tidak berpuasa, tapi di Madura, orang-orang lebih tertib dan menghargai bulan puasa sehingga tidak sembarangan menampakan diri kalau mereka sedang tidak berpuasa.


Sekitar 30 menit saya di sana, saya sudah cukup dapat berempati dan merasakan, betapa tidak enaknya berada di rumah sakit. Di hari-hari biasa saja terasa sangat berat dan lelah, apalagi di bulan puasa. Saatnya bersyukur sebanyak-banyaknya karena telah diberi kesehatan lahir dan batin sehingga bisa bergerak dan menikmati hari-hari dengan begitu leluasa.


Dalam perjalanan pulang, satu jam sebelum maghrib, saya berjumpa dengan beberapa kerumunan di Talang Siring. Tadi, waktu berangkat, tempat itu masih biasa, relatif sepi, tapi ketika pulang, tempat itu sudah dijadikan tempat nongkrong dan balapan/drag. Kebiasaan seperti ini memang berlangsung seperti itu sejak dulu, sejak puluhan tahun lalu. Beberapa aparat tampak memegang kayu, mengancam anak-anak muda yang nongkrong dan hendak balapan. Aparat siap menghalau untuk segera membubarkan kerumaunan dan atau mungkin juga dipentungkan jika terpaksa. Nongkrong memang tidak diperkenankan di dalam Islam (Al-A’raf 66) karena dikhawatirkan dapat membuat risih orang yang melintas, tapi cenderung dianggap biasa oleh orang-orang.


Tiba di rumah, azan maghrib berkumandang. Terasa nikmat hidup ini, makanya, saya tidak segera makan, hanya menelan takjil dan menikmati beberapa suap nasi saja, tidak sampai kenyang, berusaha berempati terhadap mereka yang sudah menjalani hari ini dengan susah payah di rumah sakit.

08 Maret 2024

Sekolah Pranikah dan Tingginya Angka Perceraian


 

Ada puluhan (atau bahkan mungkin ratusan—belum pernah menghitung soalnya) ayat tentang pernikahan di dalam Alquran. Saya hanya memperkirakan bahwa ayat-ayat tentang pernikahan itu memang sangat banyak. Secara sepintas, jumlah itu dapat diraba karena para mubalig membicarakan ini di atas panggung, para penulis mengutipnya di dalam esai dan artikel, dan para motivator menyampaikannya di seminar-seminar. Kenyataan ini menunjukkan, betapa sakral dan krusialnya pernikahan itu.

Pernikahan adalah ibadah paling tua, dimulai sejak Nabi Adam dan disempurnakan aturannya di masa kerasulan terakhir, Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, ironisnya, dibandingkan ritual ibadah yang lain, pernikahan justru yang paling tidak diperhatikan. Kantor Urusan Agama telah lama mengurus ini, namun para calon pengantin justru sangat, atau bahkan sama sekali, tidak merasa perlu menyiapkan diri untuk masuk ke jenjang kehidupan barunya, kehidupan pasca-pernikahan. Pernikahan itu seolah-olah hanya urusan akad dan pesta, selesai.

Pada sisi lain mata koin pernikahan, terdapat fenomena perceraian. Datanya, di Indonesia, sungguh tidak masuk akal. Dari 2 juta akad yang tercatat dalam satu semester saja, nyaris 25%-nya (hampir 500.000 kasus) gagal menjalin ikatan dan jatuh dalam perceraian. Data di atas adalah data empat tahun yang silam, dan pada tahun yang lalu (2023), angkanya meningkat. Bisa jadi, data masih akan terus membengkak di masa yang akan datang jika pola dan aturan mainnya masih terus seperti yang sudah-sudah.

Jika data faktor penyebab perceraian yang tersiar di Pengadilan Agama adalah tidak adanya kecocokan lagi antar-pasangan, sebetulnya tidak sesederhana itu kenyataannya. Pasti ada hal-hal prinsip yang melatarbelakanginya. Mana mungkin upaya saling-mengenal antar-pasangan selama 5 tahun sebelum menikah—misalnya—harus berakhir seumur jagung setelah menikah? Maka wajarlah jika pertanyaan-pertanyaan syak-wasangka bermunculan: Mengapa tidak cocok justru setelah baru saja menikah? Mengapa tidak sanggup mempertahankan? Apa penyebab ketidakcocokan jika memang telah saling mengenal? Adakah yang salah saat perkenalan atau adakah yang salah dalam mempertahankan?

Inilah sebagian latar belakang dan alasan saya mendirikan Sekolah Pra-Nikah. Gagasan ini, alhamdulillah, bisa terlaksana berkat kerjasama antara BPM Annuqayah, Pokja (Kelompok Kerja) Desa Guluk-Guluk, dan Madaris 3 Annuqayah. Dimulai awal tahun 2023, di bulan kedua 2024, SPN sudah meluluskan angkatan yang ketiga (angkatan terakhir 45 orang). Pesertanya adalah para santri senior yang siap menikah serta beberapa warga dekat di luar pondok.

Secara teknis, SPN ditempuh dalam 12 tatap muka (masing-masing 1 jam pemaparan dan 15-30 menit diskusi). Duabelas kali tatap muka ini diasosiasikan mata kuliah 1 semester. Adapun materinya mencakup pengenalam umum tentang pernikahan, cara memilih pasangan, konflik, managemen konflik internal dan sosial, pengenalan dan pembagian wilayah tanggung jawab dalam keluarga, kehamilan dan reproduksi, termasuk hubungan intim. Sebab itulah, salah satu persyaratan peserta adalah usia siap menikah, yaitu di kisaran 23-25 tahun. Sejauh ini, para peserta adalah mahasiswa semester akhir atau baru wisuda.

Nara sumber untuk setiap sesi/pertemuan berbeda-beda latarnya. Ada nara sumber umum (untuk materi umum), penyuluh, bidan, dokter (untuk seksologi), psikolog, juga nyai dan kiai. Acapkali pembicara harus tandem dengan pembicara yang lain (seperti pada sesi reproduksi dan haid/isihadah) demi ketercapaian kurikulum Sekolah Pra-Nikah yang mengharuskan banyak kisi yang perlu dibahas.

Dalam salah satu sesinya, pernah terlontar celetukan, mempertanyakan, mengapa pasangan si A dan si B akur-akur saja sampai tua, padahal mereka menikah secara mendadak di masa muda, sementara ada pasangan lain yang menjalin hubungan sangat lama sebelum menikah tapi ternyata pernikahannya hanya seumur jagung. Statemen seperti ini sebetulnya juga sering muncul di kalangan masyarakat awam karena mereka tidak menyadari bahwa “kenyataan dan pernyataan itu selalu diambil dari kasus kebanyakan, bukan kasus perkecualian” . Dalam hal ini, mempersiapkan pernikahan itu jauh lebih baik daripada tidak mempersiapkannya. Rumusnya, yang mempersiapkan pernikahan dipastikan akan lebih baik dalam mempertahankan institusi keluarga (yang memang rentan mendapatkan gangguan eksternal) daripada mereka yang tidak mempersiapkannya sama sekali. Jika ada pasangan yang tanpa persiapan tapi ternyata kehidupannya berjalan (seakan-akan) baik, maka itu hanyalah perkecualian saja. Kasusnya bisa jadi hanya satu di antara seratus, atau bahkan satu di dalam seribu.

SPN diproyeksikan sebagai proyek kemaslahatan utama menuju pernikahan ideal, sebagai penanaman batu fondasi untuk mencapai status sakinah, mawadah, dan rahmah. SPN adalah ikhtiar, dan oleh karena itulah kita bisa pasrah setelah melakukannnya. Menerima takdir baru benar jika kita telah berusaha dengan maksimal. Dan dalam pernikahan, SPN adalah salah satu ikhtiar yang dimaksudkan itu.



Mari dibayangkan! Seorang sarjana S1 harus menempuh masa studi antara 3-4 tahun. Sekarang, renungkan, bagaimana mungkin seseorang akan menempuh jalinan seumur hidup dengan pasangan yang tidak pernah tinggal bersama sebelumnya, dari keluarga yang berbeda pula, dari latar yang juga berbeda, dan dengan sekian banyak perbedaan yang lain yang melatarbelakanginya, mampu lulus dengan baik jika tanpa persiapan sama sekali? Kiranya, ini saja sudah cukup menjadi alasan bahwa sekolah pranikah itu perlu diselenggarakan oleh lembaga-lembaga umum dan pondok pesantren entah seperti apa pun bentuknya.

Dengan menyelenggarakan kegiatan seperti ini, sebetulnya kita melakukan ikhtiar untuk menyelamatkan satu institusi keluarga dari perbuatan yang meskipun halal namun paling tidak disukai oleh Allah swt.



27 Januari 2024

StopWatch untuk Narasumber

Hadirin berdatangan, tapi satu per satu, sehingga gelaran tikar di atas tanah itu tidak segera penuh. Tim hadrah Banjari masih menabuh dan membaca kasidah tanpa jeda, keras sekali. Suasana Maulid Nabi tampak meriah sekali.

Sementara itu, pembicara di acara maulid malam ini sudah datang sejak tadi, sudah duduk di terop yang berbeda dengan khalayak umum. Tatapannya menjurus ke arah panggung, sesekali ke jam tangannya. Tuan rumah tidak kelihatan, mungkin sangat sibuk. Dengan memberikan isyarat telunjuk tangan kanan yang mengacung ke tengah-tengah telapak tangan kirinya, ia memanggil seseorang yang kebetulan melintas lalu berbisik singkat. Dan hanya dua menit setelah itu, acara dimulai. Penata acara memulai prakata dengan basa-basi ala kadarnya, dipersingkat, dan membaca senarai acara yang tak biasa: Pembukaan lalu ceramah agama.

Wajah dai kelihatan tenang sekarang. Ia berbisik kepada teman duduknya. “Habis ini, saya ada janjian dengan warga desa Balik Bukit, tapi acara di sini tidak segera dimulai. Saya khawatir terlambat, padahal tempo hari sudah ada perjanjian kalau pelaksanaan acaranya adalah maghrib awal.”

Wajahnya berubah datar sekarang. Kerut ketegangan tidak tergurat seperti tadi, seperti beberapa menit yang lalu karena sekarang acara sudah dimulai.

Setelah pembukaan lalu diteruskan dengan acara ceramah agama itu adalah keganjilan. Biasanya, setelah pembukaan, masih ada qiraah atau sambutan, atau shalawat, atau apalah namanya. Ceramah agama di acara kedua pasti merupakan langkah ‘penyelamatan’.

Akan tetapi, ternyata…
Pembukaan acara sangat lama pakai sekali: lama sekali. Al-Fatihah dibaca berulang-ulang, seolah-olah acara Maulid Nabi itu adalah acara Haul Akbar yang membacakan tahlil untuk banyak arwah yang harus disebutkan satu per satu. Saya catat durasinya, pembacaan Al-Fatihah pada sesi pertama itu hampir memakan waktu 10 menit, kalau pun kurang hanyalah sedikit.

Penceramah kembali gelisah. Setiap kali hadirin membaca Al-Fatihah bersama-sama, ia kelihatan lega, tapi tidak lama, karena dari atas panggung, terdengar kembali “Al-Fatihah yang selanjutnya, kita khususkan untuk…” dan seterusnya, dan seterusnya, begitu terus hingga tak terhitung berapa kalinya, berapa menitnya.

Begitu rangkaian acara pertama selesai, kini, giliran penceramah yang naik panggung. Dan harus diakui, ia tampak profesional. Ia membuka ceramahnya seperti biasa: memuji Allah, lalu Rasulullah, dan memulai ceramah dengan mendendangkan shalawat Nabi selama 6 menit, lalu ia menyampaikan materi dengan sangat cepat hanya dalam waktu 7 menit. Beliau minta maaf dan bilang harus pindah tempat karena mestinya ia bisa naik panggung sepantasnya lama bicara andaikan tidak molor acaranya…

Begitulah ceritanya… tentang pentingnya memahami kondisi, baik itu bagi penata acara, tuan rumah, dan masing-masing pengisi acara. Di masa yang akan datang, agaknya, penyelenggara acara harus menyiapkan stopwatch untuk mengatur durasi acara supaya semua elemen pengisi acara bisa sadar waktu secara presisi, tidak berdasarkan perkiraan sesuka hati.


27 Desember 2023

Obu' Salengka', Perjodohan, dan Bromhidrosis Aksilaris


Secara harfiah, obu’ bermakna rambut dan salengka’ adalah menyintas atau menyeberang namun bukan di jalannya. Obu’ salengka’ dipahami sebagai rambut yang tumbuh mengganggu. Alih-alih memperelok penampilan, ia justru menyimpan gangguan.

Di Madura, hal ini dikenal meskipun tidak populer (karena tidak semua orang percaya). Seseorang yang miliki obu’ salengka’ diperkirakan akan kesulitan menemukan jodoh, berbeda dengan “obu’ sangkal” yang biasanya ‘masih’ bisa membuat orang yang bersangkutan untuk menjalin ikatan pertunangan, tapi gagal untuk lanjut ke pernikahan. Kedua jenis obu’ ini, pada prinsipnya, sama-sama masalah.

Untuk mengatasinya, biasanya, yang bersangkutan dibawa ke orang pintar, atau dia yang tahu dan mengerti di manakah helai-helai obu’ salengka’ dan obu’ sangkal itu tumbuh, di ‘garis lintang’ dan ‘garis bujur’ kepalanya sebelah mana ia berada. Setelah obu’ atau rambut itu dibuang, yang bersangkutan diberi doa agar dimunajatkan dengan harapan gampang mendapatkan jodoh. Dan sebelum pulang, si tukang cabut ini berpesan; “Saya hanya membantu, keputusan terakhir tetap di tangan Allah swt”. Langkah ini adalah antisipasi supaya yang bersangkutan tidak percaya padanya tapi melupakan Allah sebagai Penguasa Segalanya.

Soal rambut ini, saya belum mampu merasionalisasinya. Kasus ini masih terlalu gelap. Kasusnya mirip-mirip dengan bromhidrosis aksilaris yang diproduksi oleh kelenjar pada ketiak secara berlebihan sehingga memproduksi keringat berlebihan dan bau badan pun akan menyengat, menyerang hidung ‘tetangga’ sekitar. Dokter spesialis kulit dan kelamin dapat melakukan tindakan bedah mininal untuk mengatasinya demi bau badan dan bau ketiak yang luar daripada biasa ini, yang membahayakan teman duduk “yang bersangkutan”. Tapi, apakah ini tidak tergolong tahlukah (melukai/menyakiti tubuh) yang dilarang oleh Islam sebagaimana tato?

Dua hal di atas, bagi saya, adalah dua masalah kecil yang kasusnya bisa menjadi besar dalam perspektif hukum dan keyakinan. Bisa jadi, ada yang menyebut tindakan orang pintar (seperti mencabut rambut salengka’) itu syirik karena percaya pada kerja supranatural seorang duku, sementara jika dokter yang melakukan hal serupa dengan bedah minimal maka hukumnya berubah hukum medis, dan tentu saja tidak masalah, padahal dasarnya sama, yaitu berdasakarkan basic pengetahuan: antara supranatulis dan saintis.

Terlepas dari itu semua, saya bertanya: apakah di daerah Anda ada hal seperti ini? Ataukah Anda termasuk golongan “yang bersangkutan” itu?


Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog