26 Desember 2008

Beberapa Hal Tentang Madura 1

Di bawah ini, saya menulis beberapa butir anggapan dasar tentang Madura. Jelas, anggapan ini bersifat kormeddal alias "asal". Namun, kormeddal ini akan juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah tentu jika kelak ada orang iseng melakukan penelitian secara serius.

Pertama; dari beberapa anekdot yang saya yakini "asli Madura" (karena menurut teori folklor, biasanya anekdot muncul di berbagai tempat dan hampir sama), tema paling populer adalah tema "keras kepala" alias cengkal (anekdot-anekdot ini sedang saya kumpulkan dan insya Allah akan diterbitkan).

Masih agak serius: kebanyakan struktur bahasa Madura yang menggunakan predikat transitif (butuh objek) dibentuk pasif alias bina' majhul. Dagghi' epapeyyar bi' sengko' (nanti dipukul oleh saya) dan bukan sengko' mapeyyar daggi'. Kata Pak Akhmad Sofyan, pakar Bahasa Madura, terjadi salah kaprah yang biasanya ditunjukkan oleh penata-penata acaa. Mereka menggunakan bahasa Madura tetapi  dengan logika Bahasa Indonesia. Maka, seharusnya kita berkata "Se Kapeng duwa', Keae Marzuki se emolja agi sareng badan kaula" (yang nomor dua, yakni Kiai Marzuki yang dimuliakan oleh saya) dan bukan "Se badan kaula amolja agi, Keae Marzuki…" (Yang saya muliakan, Kiai Marzuki….)

Tidak serius: lagu Pelangi versi Madura: "Merah kuning biru, di langit yang biru". Ini anekdot yang dibuat orang untuk inferioritas orang Madura. Banyak orang menganggap orang Madura buta warna. Orang Madura tidak punya warna dasar “hijau” karena hijau disebut “biru”. Padahal, menurut A. Latief Wiayat, sebutannya bukanlah “biru”, tetapi “bhiru” (dengan ‘b’ yang ditebalkan) untuk arti “hijau”. Jadi, kebetulan saja bunyinya mirip. Begitu deh apologinya.

Dalam menandai barang/produk, orang Madura sulit menyebut nama produk/mereknya dengan benar. Mereka cenderung membuat definisi berdasarkan cirinya. Contoh, tape recorder “JVC te' pette' salekor”, yaitu JVC 21 tombol, tape recorder lawas yang dilengkapi amplifier dan mikrofonnya. Sebutan di atas mengacu  pada 21 tombol pada tape itu.

Orang Madura agak sering korupsi penamaan: ngongol-ngongol jadi ngol-ngongol (he..he..), Mitsubishi L-300 disebut L-3 (el-tello'), STNKB dibilang STN.

Mereka juga gemar membikin singkatan (nama inisial kedua orang tua) dengan cukup dua hurup di belakang namanya: Madani MH, Halili KN, Suhaidi RB, dan seterusnya.

Orang Madura paleng angko (punya nyali): berani mengklaim kopi dengan mengatakan "Kopi Madura" meskipun di Madura tidak ada kebun kopi. Mereka juga berani jual bensin di depan pom bensin!

Mereka sangat takut pada Polisi. Beberapa kali saya melihat orang tua yang selalu memakai “bhasa alos” (bahasa  Madura tinggi) meksipun polisinya lebih muda dan “abhasa mapas” atau menggunakan Bahasa Indonesia. Atau, polisi mudanya itukah yang kurang ajar, ya? Sudah tahu si bapak tua pakai “bhasa alos”, masih saja dia pakai bahasa iya-enja’ (kelas terendah/kasar).

Orang Madura petualang sejati: mereka mendirikan kota Toronto (aslinya Ronto-Ronto) di Kanada; mendirikan kota Madura di India; serta mendirikan klub sepakbola di Spanyol (yang saat ini berada di liga segunda), yaitu klub ExtreMadura!

Orang Madura punya kosa kata paling ringkas yang harus dijabarkan dengan panjang lebar dalam bahasa Inggris maupun bahasa Arab: "parobha?" yang artinya kurang lebih "Anak (Anda) itu berjenis kelamin laki-laki apa perempuan?".

Mereka juga punya jualan aneh yang disebut tembakau: Mengapa aneh? Harganya ditentukan oleh pembeli!

Gitu dulu. Ambu kah, lebile pole. Ya' la malem. Katondu!

22 Desember 2008

Langit Kota dan Langit Desa

Salah satu perbedaan kota dan desa adalah dalam hal melihat benda-benda langit. Pernah menikmati pemandangan langit malam selepas dini hari? Asyik, lho.. Anda yang tinggal di desa, atau di kota kecil, cobalah sesekali melihat pemandangan langit malam dengan saksama dan dalam tempo yang lama. Liihatlah milyaran pendar cahaya itu. Wow, betapa kita akan merasa kecil dan tak berdaya.

Baru 3% rahasia benda-benda langit yang dapat dikuak, selebihnya masih tetap menjadi rahasia. Angka itu adalah angka penelitian, bukan angka bagi kita yang mendongak ke langit di waktu malam dan memandang dengan mata telanjang.

Ayolah, nikmati keindahan malam dengan langit berbintang. Jika Anda telah menjadi penduduk kota Surabaya atau Jakarta, Anda akan kehilangan kesempatan itu. Langit kota besar telah dipenuhi oleh polusi udara dan polusi cahaya. Di kota, Anda hanya dapat melihat simulasinya, itupun jika ada duit untuk bayar tiket masuk planetarium atau punya komputer dan software astronomi/antariksa seperti Celestia dan Starry Night Backyard.

Kok serius...???

:: M. Faizi ~Guluk-Guluk~

20 Desember 2008

MATA UANG RUPIAH YANG (LEBIH) BARU

Waduh, ternyata mata uang rupiah yang baru bukan cuma permen seperti yang ditulis dalam "Mata Uang Rupiah yang Baru". Sore ini aku belanja beberapa perkakas elektronik di Prenduan. belanjaanku berupa IC, kabel, dan potensio meter. Kusodorkan uang kertas 13.000 karena total belanjaanku 12.500. Sisa 500 rupiah yang dikembalikan si penjual kepadaku berupa "tema", sekitar 1 meter panjangnya.

"Siapa tahu Anda kehabisan tema pada saat Anda membutuhkannya nanti tengah malam nanti saat Anda asyik menyolder sementara toko suduh tertutup rapat. Sedia tema sebelum menyolder, bukan?" Mungkin demikianlah ungkapan yang ada di dalam benak si penjual.

Sore ini, mata uang rupiah yang baru bertambah lagi: "tema" .

17 Desember 2008

SUDAH BEKERJA?

Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku punya kesempatan lagi main ke Bu Kos. Ibu Kos sangat terharu melihat kondisi tubuhku yang tetap seperti dulu, tapi secara ''kayak''nya, dia menyampaikan kekangenannya.

Ibu kos menyuguhkan sepiring kue dan segelas kopi instan (komentar adikku; kopi instan sejenis coffeemix ini sih bukan kopi, tapi lebih mirip sirup) yang hampir terasa hambar karena kebanyakan air. Aku menyeruputnya sambil bercerita ini-itu tanpa tema pembicaraan.

Suasana menjadi kurang asyik ketika Ibu Kos bertanya, "Sudah bekerja?''
Apa yang mesti kujawab? Aku sudah akil-baligh. Aku tahu, yang dimaksud ''bekerja'' oleh Si Ibu ini adalah ''menjadi PNS'', atau: duduk di sebuah ruangan, datang setiap hari, melakukan aktivitas yang sama selama sepekan, berlibur bersama anak bini di hari Ahad, dan menerima gaji di akhir bulan.

"Pekerjaan saya banyak, Bu!'' jawabku. Si Ibu tersenyum, bukan tanda bahagia, melainkan karena tidak paham. ''Bekerja'' dan ''pekerjaan'' dibentuk dari akar kata yang sama, ''kerja''. Namun, pengertiannya, apalagi dalam konteks pembicaraan ini, tetaplah berbeda.

Pada saat itu, terbayang olehku, saat melintasi rumput setinggi lutut, di jalanan setapak berkelok dan licin, di bawah gerimis, tanpa senter dan payung, bersama rasa cemas akan pagutan ular, untuk datang ke acara sarwah. Itulah salah satu ''pekerjaan''-ku setiap Senin malam setengah bulan sekali.

Sedih..
Kudengar ada orang yang menjual kunci jawaban seharga 26 juta pada saat tes ''Calon''-PNS kemarin. ''Calon'' saja dibeli 26 juta. Orang nekat seperti ini jelas karena dia punya mertua seperti ibu kos-ku, atau ingin kos di tempat kosku dulu, lalu pula kampung, dan setelah bertahun -tahun kemudian akan bertamu pada ibu kosnya, sehingga mantab menjawan saat ditanya, "Sudah bekerja?''

Deja Vu !!

16 Desember 2008

PA' LOPA'

Pa' lopa' adalah seperangkat alat hisap (pakai ''p'', bukan ''b'') yang terdiri dari tembakau rajangan, papir (ashluhu mungkin ''paper''), cengkeh rokok (optional) dan dimasukkan ke dalam kantong plastik setengaah/satu kiloan. Biasanya, pa' lopa' dimasukkan ke dalam gulungan sarung, atau bisa juga disimpan di saku celana pendek (bagi mereka yang mengenakan ''salebbar bidaya'').

Siang ini aku ikut pembukaan acara Kongres I Bahasa Madura di Pendopo Ronggosukowati Pamekasan. Saat mendaftar ulang tadi siang di pendopo wabup, tor-ator-nya (hidangan) berupa makanan khas; seperti kocor, krupuk tanggug dan juga tajin dengan minuman poka'. Ya, andai yang disuguhkan hanya teh dan kopi, mungkin aku mengeluarakan rokok Liem Seeng Tee (234). Tapi karena ada poka', kukeluarkan juga itu pa' lopa'.

''Kita adalah apa yang kita bawa,'' demikian tadi kubilang pada teman duduk. Jika kita membawa laptop, orang yang melihat kita akan langsung mengidentifikasi kita dengan hal-hal yang berhubungan dengan laptop (meskipun laptop pinjaman), seperti aktivis sosial, peneliti, penulis, dll., dan bukannya nelayan tradisional atau petani. Jika kita bawa Toyota Alphard untuk beli sayur di pasar, maka kita akan dianggap orang sebagai tajir yang tidak saja mampu membeli berton-ton sayuran, melainkan juga mampu membeli pasar itu sendiri.

Nah, bagaimana jika kita bawa pa' lopa' yang kita keluarkan dari gulungan sarung? Kita akan dianggap udik (ngadhisa)? Mungkin iya, karena itu anggapan umum. Tapi jangan salah, mungkin ada orang yang turun dari Nissan Serena dan mengeluarakan pa' lopa' dari gulungan sarungnya. Karena tembakau dalam pa' lopa' itu adalah tembakau Jambangan; tembakau terbaik dimuka bumi ini... (ini-nya Madura).

Apa kabar pa' lopa'?

13 Desember 2008

BIAR SALAH ASAL CEPAT

Pagi ini tidak cerah. Mendung, tapi tidak begitu tebal. Yang jelas, kami penduduk bumi cabang Indonesia ranting pelosok ini hanya kebagian sedikit panas matahari.

Di pagi yang tidak cerah ini, ada dua orang ibu-ibu muda bertengkar, dari balik pagar rumah mereka setinggi dada, saat mereka sama-sama menjemur cucian (sekali lagi: di bawah sinar matahari yang tidak cerah itu).

Ibu KESATU (beberapa dialog sebelumnya dipangkas karena tidak layak dibaca oleh masyarakat umum, terutama anak-aanak):
"Kamu itu, jelek, gak pernah ngurus ke mana suami ngelayap. Tahu ndak, gara-gara kamu yang vegetarian, dia babat semua tanaman di pagarku buat lalapanmu..''
Ibu KEDUA:
"Emang cuma suamiku yang gak beres? Suamimu juga kok. Dia sering menggoda anakku. Untung saja anakku pemberani. Dia goda balik tuh suamimu.."

Pada saat itu, ada ibu KETIGA datang mendekat. Sebenarnya, si Ibu KETIGA ini ingin melerai diskusi pagi yang tampaknya akan menjurus ke ''acara jambak-menjambak rambut'' itu. Tapi, ia menegur hanya sebatas begini.
"Idih… idih… ada apa ini? Pagi-pagi sudah senam mulut. Kenapa gak jadi komentator sepakbola saja. Kan enak?"

Kedua ibu yang bertengkar itu sama-sama menoleh pada ibu KETIGA.

Ibu KESATU:
"Ini, Teh, si cerewet ini bilang suami ane suka ngelayap!"
Ibu KEDUA:
"Lho, emang demikian kok, Teh, suami si jelek ini suka gitu, kok…"

Tapi, hanya segitu saja. Sebab, kedua ibu itu kembali melanjutkan sepak mulut-nya.


Ibu KESATU:
"Ah, kamu itu, Jelek, urus suamimu itu biar gak ngelayap cari daun muda lagi. Kalau begini caranya, ini sih bukan pagar makan tanaman lagi namanya, tapi PAGER makan HANDPHONE"
Ibu KEDUA:
"Kamu itu yang jelek, mana mungkin bisa ngurus suami. Aku aku kan pintar merawat diri. Tuh liat, muka sendiri saja harus didefrag!"
Ibu KESATU:
"Eh… eh.. sembarangan ngomong! Muke lu itu yang jelek. Tau nggak, MUKE GUE ITU KAYAK PANTAT LU!"

Ibu KETIGA terkejut, ia mencoba menjadi wasit yang bijak.
"Eits, salah, Bu! Yang betul, seharusnya kamu bilang: "MUKE ELU KAYAK PANTAT GUE" kok malah dibalik-balik…"
Ibu KESATU: "Biarin, Teh! Yang penting cepet. Pokoknya nggak keduluan dia. Soal salah atau benar itu urusan belakangan! Toh dia juga paham kok maksudnya...''

11 Desember 2008

OLEH-OLEH KE JAKARTA

Hari ini, 10 Desember 2008 (12 Dzulhijjah 1429) 34 dari ''total entah berapa ''keluarga Bani Syarqawi RT Guluk-Guluk RW Annuqayah, berangkat ke Jakarta untuk menghadiri undangan Sayyid Bakar di Condet, besok lusa, tanggal 12 Desember 2008.

Rombongan berangkat, mengendarai bis berplat merah dengan no.pol M-7001-VP dan berlogo kuda terbang Sumekar di sisi logo Mercedes Benz Royal Coach-E. Bus dengan tipe mesin Mercy-1518 buatan 2001 ini berangkat dari depan TK Bina Anaprasa sekitar jam 7.30 waktu tidak di tempat.

Di antara kerumunan orang yang sibuk memasukkan barang ke bagasi, kulihat ada Pak Amir juga ngangkut dua tandan pisang dan menyelinapkannya di sana. Tidak hanya pisang, mungkin ada juga nangka atau labu di situ sesuai dengan apa yang dikatakan oleh K.Syamli Muqsith selaku kordinator rombongan kepada wartawan Kormeddal, "Ya, kami akan bawakan pisang, nangka, dan juga labu untuk Acu, selaku tuan rumah kami di Parung!"
Itulah oleh-oleh khas produk desa kepada keluarga yang ada di kota.

Hari ini beda dengan seminggu yang lalu, saat aku pulang dari Jakarta naik Kramat djati. Yang manarik, ada orang kota (yang kerja sebagai penjaja sate keliling di Jakarta) membawa buah kelapa dan ayam ke desanya di Sampang. Itukah oleh-oleh khas kota yang akan dibawa ke desa? Pak Husnan ini [jika tak keliru dia bernama demikian; aku belum sempat ngecek KTP-nya sih, karena kebetulan saat itu seragam POL-PP milikku sedang dicuci] mungkin punya pikiran seperti Paul Ricoeur, bahwa oleh-olehnya sebagai simbol, bukan sebagai metafor. Dalam simbolisme, akarnya menghunjam pada realitas. Simbolisme dalam ayam dan kelapa Pak Husnan ini juga mengacu pada "oposisi identitas berhadapan" (aku juga tak paham ini istilah apa?? He..he…) yang relatif memunculkan makna baru dalam setiap pembacaan. Sementara jika ayam dan kelapanya dia beli di Bangkalan dan dibawa ke rumahnya di Galis, maka oleh-oleh dari Jakarta itu sudah menjadi "metafor" yang usianya dipendekkkan oleh kekerapan dan peristiwa. Kelak, ketika orang-orang Sampang membeli "Nasi Uduk Khas Jakarta" di kota Bangkalan dan di bawa pulang sebagai oleh-oleh, jadilah ia dead metaphor!

dan …… DORR!! matilah puisi itu perlahan-lahan!

Saya berandai-andai, kalau saja K.Syamli bertemu dengan Pak Husnan dari Galis yang pulang bawa nyiur dan ayam dari Jakarta itu, akan terjadi percakapan seperti ini,

K.Syamli: "Pak, Sampeyan kok bawa ayam dan kelapa ke Madura dari Jakarta. Di Madura kan sudah banyak ayam dan kelapa. Harganya pun pasti lebih murah!"
Pak Husnan, "Kalau beli di Madura kan jadi ayam Madura, Mas, bukan ayam Jakarta. Nah, kalau yang saya bawa ini, ayam dan nyiur dari ibu kota."
K. Syamli: "Ya, tapi, ternak ayamnya kan juga di desa, Pak? Paling-paling, ayam dan nyiur yang Sampeyan bawa itu juga dari desa di Sukabumi atau Cianjur.."
Pak Husnan, "Memang betul, Mas. Setelah masuk Jakarta, ayam desa pun juga ganti KTP. Dan ayam yang saya bawa ini sudah ber-plat "B". Coba Mas lihat, kendaraan plat B itu jelek dikit sudah dioper ke desa-desa, dan di desa masih kelihatan keren. Tul Gak?"
K.Syamli, "Ya…ya….. begitu ya…. Oke deh," K.Syamli mengangguk-angguk.

Pak Husnan menatap K.Syamli, "Sampeyan bawa oleh-oleh apa ke Jakarta?"
K.Syamli, "Kami bawa pisang, nangka, dan labu. Kami panen dari kebun sendiri. Di Jakarta pasti mahal..."
Pak Husnan, "Oooo, ndak juga. Yang mahal paling cuma pisang itu!"
K.Syamli, "Loh, kok, bisa?"
Pak Husnan, "Di Jakarta tidak ada Pondok PISANG soalnya. Belinya harus ke supermarket. Kalau nangka dan labu sih di sono itu tempatnya."
K.Syamli, "Di sono? Sono mana?"
Pak Husnan, "Ya, di sono, di Jakarta, tepatnya di Pondok LABU dan ci-NANGKA!"

07 Desember 2008

ADA STAVOLT MAIN BOLA

Menguasai informasi memang bisa mengendalikan keadaan.

Saya dikibuli seorang kawan, anggap saja namanya Bihrul. Dia bilang kalau pemain sepakbola Asia yang merumput di Eropa termahal, ketika itu, bernama Nakata. Dari namanya sudah dapat diduga dia berasal dari Jepang. Kata si Bihrul ini, "Nakata ditransfer dengan harga "26 Midfield".

Saya tidak banyak tahu sepakbola. Yang saya tahu "mid" merupakan kependekan dari "midlle" dan "field" berarti halaman, sehingga saya mengira kalau "midfield" itu kira-kira berarti "berada di tengah halaman (tengah lapangan). Tapi, yang bikin penasaran, kenapa cuma seharga "26"? Apakah nilai "26" sudah cukup mahal? Sedemikian hebatkah nilai tukar "midfield" itu beradu dengan Dolar arau Euro? Mata uang manakah "midfield" itu?

Saya yakin si Bihrul ini ngibul, ndak beres kalau dibilang midfield itu mata uang. Pasti itu posisi gelandang. Dan 26 itu adalah usia, bukan nilai harga. Yakin. Payah tuh si Bihrul. Tahu begitu, saya ganti kerjain dia! Saya bilang, "Ada pemain liga lokal Jepang bernama Matsunaga yang akan ditransfer dari Urawa Red ke Real Madrid, Rul. Dia pemain harapan timnas Jepang. Nilai transfernya paling tinggi untuk ukuran pemain Asia yang merumput di Eropa.."

Bihrul mengangguk-angguk sebelum saya kasih tahu dia kalau Matsunaga itu sebenarnya merek stavolt, bukan nama orang. Masa' stavolt main bola?

06 Desember 2008

KOSONG LAPAN SATU


Suatu ketika, saya mengeluh atas pemotongan pulsa yang tidak semestinya pada sebuah operator GSM yang biasanya selalu beres tetapi kali ini ternyata tidak beres. Pulsa saya diembat di luar tarip yang ditentukan. Saya minta ganti. Dan alhamdulillah diganti dengan yang lebih banyak.

Suara lembut di seberang: “Cengsongsel Selamat Pagi dengan Rini ada yang bisa dibantu?”
Aku: “Begini, Rini, saya…” (dan seterusnya)
Suara di seberang semakin lembut: “Bisa disebutkan lebih dulu nomer handphone-nya, Pak Faizi!”
Aku: “Nol Delapan Satu, Blegedez Blegedez Blegedez, Tujuh Tujuh, Dua-Dua, Dhezthang Dhezthang.”
Suara di seberang: “Baik, Pak. Terima kasih atas informasi yang telah diberikan. Kami ulangi, ya: KOSONG Delapan Satu …”
Aku: “Eh, Rini?”
Suara di seberang tidak terkejut: “Kenapa, Pak?”
Aku: “Saya bilang NOL Delapan Satu, bukan KOSONG Delapan Satu. Nol itu angka, Rin. Kalau kosong itu volume.” (Jadi, beda dong…Rin… Ah, kamu Rin, rumahmu di mana? Aku main ke rumahmu, ya?) Catatan: yang di dalam kurung ini saya tambahkan sekarang, bukan di saat kejadian.


(Dialog saya putus sampai di sini. Menurut Anda, meskipun Anda tahu kalau semua customer service itu sangat ramah di saat bicara dengan pelanggannya, kira-kira suara hati Si Rini (nama customer service itu) mengeluh; “Huh, Bapak ini ada-ada saja!” atau begini; “Terima kasih atas kritiknya, Pak Faizi!” seperti yang dia ucapkan kepada saya dengan suara selembut bulut se gi’ nga’-anga’?)


05 Desember 2008

KALAU NGOMONG JANGAN KORMEDDAL


Suatu saat, ada tamu saya bernama Sakdi (semua nama yang disebut dalam cerita ini bukan nama sebenarnya). Dia cerita macam-macam tentang peruntungannya minggu ini. Terus, tak lama kemudian, datanglah Saiful. Saya pergi meninggalkan mereka berdua. Saya masuk ke kamar. Mereka berdua duduk di serambi depan.

Karena keduanya saling tidak mengenal, terjadilah percakapan seperti ini:
Sakdi: "Sakdi!"
Saiful: "Saiful.."
(mungkin, mereka sedang berjabat tangan, berkenalan)
Sakdi: "Dari mana?
Saiful: "Manding. Kamu?"
Sakdi: "Dasuk. Di mananya Pak Latip?''
Saiful: "E dhajana.. (di sebelah utaranya), "Maksud kamu, Pak Latip yang mulang di MAN itu kan?"
Sakdi: Ya, iya, Pak Latip botak yang killer itu. Semua tahu, kok, sama dia. aku kan alumni MAN. Huuhh, aku sering dihukum sama dia. Kamu akrab sama dia?
Saiful: Ya, beliau kakak ibu saya. Beliau paman saya.."

[Makanya, gini memang kalau tidak hat-hati. Bukan nyupir saja yang harus lihat kanan-kiri. Kalau ngomong, lihat-lihat spion, Mas! Jangan kormeddal!]


03 Desember 2008

Tepuk Tangan Para Guru

Selasa, tanggal 2 Desember 2008 kemarin, kami, para guru yang ikut lomba nasional kategori porseni, naskah pembelajaran, serta penulisan naskah buku bahan bacaan, berkumpul di gedung tenis indoor Senayan untuk mengikuti acara peringatan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI yang ke-63 dengan tema "Guru yang Profesional, Bermartabat, Sejahtera dan Terlindungi, Mewujudkan Pendidikan Bermutu". Upacara ini sedianya jatuh pada tanggal 25 Nopember 2008 sebagaimana yang ditetapkan.

Para hadirin yang umumnya terdiri dari guru-guru, tenaga pendidik dan kependidikan, sangat bergairah di ruangan besar itu. Hal ini dibuktikan dengan tidak henti-hentinya tepuk tangan yang bahkan sangat mengganggu kekhidmatan acara: bagaimana tidak mengganggu, belum selesai bicara sudah ditepuktangani, berisik jadinya! Belum lagi gaya mereka guru-guru bahasa Indonesia yang tidak mengerti bahasa Indonesia: bagaimana tidak akan disebut tidak mengerti bahasa Indonesia, mereka tetap mengatur suara dering ponselnya keras-keras meskipun pembawa acara sudah memohon dengan hormat kepada hadirin agar ''dering'' diganti pada ''getar'', atau ponsel dimatikan.

Acara dimulai...

Himne guru yang dinyanyikan oleh paduan suara siswa dari berbagai sekolah SMP di Jakarta, bergema memenuhi dome tenis indoor Senayan yang megah itu. Catatan: ada yang berubah pada akhir lirik lagu itu sekarang: guru sebagai ''pahlawan tanpa tanda jasa'' diubah menjadi ''pendidik insan cendekia". Hal ini, mungkin agar selaras dengan tema yang telah disebut di atas, yaitu ''profesional dan sejahtera".

Mana para ustad yang datang memakai sarung ke ruang-ruang kelas di kampung? Mereka tidak tampak hadir di ruangan ini. Kemana gerangan? Ada di kursi pojok manakah mereka yang mengajar tanpa santunan/dengan tunjangan namun tidak memadai? Mereka tidak ada di sini karea korp Persatuan Ustad Seluruh Nusanrara (PUSN) belum terbentuk. Sedih deh...

Tepukan paling keras terdengar manakala presiden SBY, dengan suara yang mantap, mengumumkan bahwa sejak tahun 2009 nanti, guru akan duduk sejajar dengan manusia ''profesional dan sejahtera'' seperti dokter dan notaris. Dengan tercapainya alokasi dana 20% untuk pendidikan, para guru akan digaji minimal 2 juta per bulan untuk masa kerja "nol tahun" alias di tahun pertama bekerja. Uang sejumlah itu mungkin wajar jika mengingat, dari 210 T dana pendidikan, 110 T-nya untuk gaji guru, fantastis. Dalam pidato ini, saya merasakan betapa SBY tampak yakin, pendukungnya akan melimpah jika dia kembali mencalonkan diri untuk menjadi presiden yang kedua kalinya.

Ada hal penting yang patut kita perhatikan sekarang; akan terjadi sebuah pergeseran persepsi dan pandangan masyarakat terhadap guru! Demikian pula, banyak/tidak, akan ada guru yang akan mengubah, atau berubah, cara pandangnya terhadap pendidikan terkait profesionalisme dan kesejahteraannya. Akan kembali hangat pembicaraan dan pertimbangan zakat profesi. Bahkan, petugas akta dan catatan sipil, juga akan bersiap-siap untuk menambah jenis pekerjaan baru di dalam KTP: "Guru".

Acara selesai. Rasa capek tersisa di badan, rasa gelisah tersangkut di pikiran: maukah pemerintah menganggap ustad (yang mulang Ta'limul Muta'allim dan Alfiyah Ibnu Malik misalnya) sebagai guru berjenis pekerjaan profesional yang tentunya kelak juga BISA dicantumkan dalam KTP sehingga mereka tidak melulu dibuat tidak jelas nasib dan statusnya dengan selalu dianggap "wiraswasta"? Soalnya, dalam banyak hal, wiraswasta terkadang menjadi ameliorasi, kata penghalus bagi "pengangguran".

Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah! Jangan terus-menerus melungker dengan selimutmu. Hai orang-orang yang bersarung, bangkitlah. Jadilah, satu orang saja di antara kalian, seorang presiden, atau paling tidak menteri pendidikan nasional, agar dapat membuat keputusan penting bagi dunia pendidikan (pesantren).

Kenapa jadi Mendiknas dan tidak jadi Menag saja? Iya, ya, kenapa, ya? Saya kok baru nyadar... Tapi, kalau di Depag, rekan-rekan kalian itu sudah terlalu banyak di situ. Cari tempat lain saja. Soalnya, kalau ngumpul ''sesama jenis'', cenderung memunculkan ide untuk ...

(bersambung)

BASA BASI


Si Tanya: "Pak, bagaimana hasil panen kali ini?''
Si Jawab: "Yaah.. Alhamdulillah, lumayan.''
Si Tanya: "Dapat untung berapa?"
Si Jawab: "Ya, sedikit, Pak, cuma lima juta."
Si Tanya: "Modal berapa?
Si Jawab: "13 jutaan.."

Untung besar saja ngomongnya lumayan. Coba kalau rugi, akan mengeluh seperti apa, ya, Si Jawab ini. Begitulah, kita memang benar-benar selalu merasa kurang terhadap pemberian.

Si Tanya: "Dapat juara berapa, Kang?"
Si Jawab: "Juara harapan, Boss! Situ?"
Si Tanya: "Saya juara 2."
Si Jawab: "Wah, lumayan, ya! Tapi, sebetulnya saya gak nyangka lho masuk final.. Saya ikut kompetisi ini tanpa persiapan."
Si Tanya: "Tanpa persiapan saja Situ masuk final, coba persiapan lebih lama, pasti juara pertama.."
Si Jawab: "Saya hanya bersiap dua bulan. Tapi, sebetulnya naskah saya dipuji juri, lho, Boss. Sayang, kata ketua dewan jurinya, naskah saya kurang sublim dan masih butuh editing pada bagian-bagian awalnya.."

Sudah dapat juara harapan, bilangnya tanpa persiapan. Sudah dapat penghargaan, mengajukan alasan untuk mengeluh macam-macam. Itulah kita, penuh basa-basi dan kurang pandai bersyukur. Coba kalau Si Jawab ini dapat juara pertama: apa kata dunia!!?

Pernah megalami hal seperti ini, kan? Basa-basi itu memang tidak dapat dipungkiri. Eufimismus, yang dikenal tidak hanya di Timur melainkan juga di Barat, merupakan salah satu bukti keberadaan basa-basi. Bahasa iklan umumnya basa-basi.
Oya, kalau iklan caleg yang dipajang di tepi-tepi jalan itu, yang menampilkan foto tokoh jadi ganteng-gagah dan cantik-muda karena rekayasa komputer, boleh tidak dianggap basa-basi

.....asalkan

yang jadi sponsornya bukan partai politik, tapi "Sampoerna A Mild").


01 Desember 2008

Sopir dan Guru

Tidak banyak orang yang punya anggapan baik terhadap sopir: pernyataan ini didasarkan dari ungkapan masyarakat yang beberapa kali saya dengar: "Cari sopir yang bilu' (bengkok) itu sulit. Yang banyak adalah sopir yang noq-calennoq (bengkok berkeluk-keluk)".

Pernyataan di atas menunjukkan suatu anggapan minor masyarakat terhadap sopir: bahwa sopir itu cenderung diberi label sifat tidak relegius, keras, dan banyak sifat tidak bersahabat yang lain.

Sopir sebagai pilihan pekerjaan merupakan sebuah keputusan yang sulit; tanggung jawab seorang sopir sungguh berat. Di samping itu, pelekatan sifat buruk yang diberikan masyarakat, sungguh sangat tidak mengenakkan.

Tapi, ini perkecualiannya: dialah Haji Jajang. Haji Jajang ini pengemudi di Lorena Group. Dia sopir Karina asal Purwakarta. Malam 28 Nopember 2008 kemarin, dia bawa Karina dari Pamekasan menuju Lebak Bulus (Jakarta). Kesan saya terhadap sopir ini sudah muncul sejak di terminal Pamekasan. Sewaktu sholat Jumat, dia berada pada shaf depan.

Haji Jajang bawa Karina dari Pamekasan sampai Tuban. Diganti sopir cadangan, dan dia kembali nyetir dari Semarang sampai Cirebon. Dan di sepanjang perjalanan malam Semarang-Cirebon ini, lamat-lamat aku mendengar ini sopir bergumam-gumam. Nah, kaget juga saya ketika duduk di kursi navigator (kursi buat kenek itu). Saya dengar dia membaca surat-surat pendek, Yasin, tahlil, dan shalawat secara bergantian. Santai sekali ini sopir menjalankan Mercedes Benz Jumbo Intercooler 1725 (?) ini sambil bershalawat.

Ada pula kisah Ibu Suyanti! Jika banyak perempuan mengemudi sedan, itu biasa; mengemudi busway, itu juga banyak; tapi jika menjalankan profesi sebagai sopir bus malam dengan trayek ratusan kilometer, nah, mungkin ini yang jarang dimiliki oleh perempuan selain orang Wonogiri bernama Mbak Yanti ini. Ibu Suyanti adalah sopir bus malam GMS (Gajah Mungkur Sejahtera), jurusan Jakarta-Wonogiri. Karena keterdesakan hidup, Suyanti menjadi sopir: sebagai kederdesakan, bukan pilihan pilihan pekerjaan sebagaimana pekerjaan sopir-sopir ''lelaki''pada umumnya?

Sudah bicara sopir, kita ganti bicara guru: kata seseorang yang saya hormati pendapat-pendapatnya, ''guru'' itu ''dilahirkan'', bukan ''diciptakan''. Nah, adakah yang menjadi guru--dengan mengacu kisah mbak Yanti tadi--dengan anggapan sebagai ''keterdesakan'' (karena untuk mau berini-itu sudah tidak bisa berbuat lebih banyak lagi) dan bukan sebagai ''pilihan''?

Mana kutahu!
Jawab saja sendiri!!

27 November 2008

Sanad Obat dan Sugesti

Kemarin, ada seseorang kawan minta amalan. Katanya, dia mau menghadap seseorang yang besar, ya, menghadap “pembesar”. Pembesar ini, belum tentu punya tubuh yang besar, tetapi mungkin punya status sosial atau kapasitas intelektual, yang lebih tinggi darinya. Andai dia mahasiswa, sejenis dosen, dekan, atau bahkan rektor lah si pembesar ini..

Saya mengusulkan agar dia membaca bacaan/amalan yang populer saja di kalangan santri, tentu dengan Al-Fatihah secara khusushan.. (bi barakat-“il Fatihah”; dan tentu bukan bi barakat-“il Baqarah”: karena bisa dower tuh bibir jika dibaca dalam sekali duduk). 

Tampaknya, dia kurang mantap karena bacaan yang saya usulkan itu terlalu populer, bukan sejenis amalan yang ada Bahasa Ibrani atau Bahasa Suryani-nya, atau juga bacaan “tidak populer’ lain yang tidak dikenalnya. Namun, saya yakinkan bahwa saya sudah mencobanya dulu. Spontan, keyakinannya berubah. Kini dia menjadi lebih mantab (pakai “b”).

Nah, itulah sugesti! Betapa hebat sugesti! Amalan Surat Yasin dan Shalawat Nariyah merupakan amalan populer; tetapi dari mana silsilah kaifiyah itu, nah, itulah persoalannya. Ternyata sanad dalam silsilah itu penting untuk nilai kemantapan dan keyakinan bagi seseorang. Orang yang lemes karena kurang darah, lalu saya sarankan untuk beli tonikum, akan beda kualitas sanadnya jika kaifiyah itu ia terima dengan sanad dari dokter. Nah, keyakinan sejenis itu sudah cukup menjadi 50% obat. Begitu saya kira. Kaifiyah “tonikum” yang saya sampaikan itu “saran”, tetapi apa yang dokter sampaikan itu mengandung unsur “sugesti”, meskipun yang disampaikan sama-sama tentang “tonikum”. Namun, jika kaifiyah tersebut bukan berupa tonikum: anggaplah kaifiyah membaca Surat Yasin 3 kali, maka kenyataan akan berbalik.

Tetapi, bukan apa yang saya sampaikan di atas itu persoalannya, melainkan adalah: jika seorang pasien datang ke dokter dan dia berobat lalu membeli resep; jika seseorang sowan (cabis dalam Bahasa Madura) pada seorang kiai wajhan bi wajhin (tatap muka) dan dia cabis; lalu bagaimana jika sowannya jarak jauh? Ya, tentu sowan tetap berlangsung: sowan pakai telepon, pakai messenger (pakai YM atau GTalk) dan cabisnya pun bisa pakai pulsa atau transfer langsung ke rekening.

Sekarang, kita masih merasa aneh dan tabu dengan hal itu. Tak lama lagi, ia akan menjadi lazim. Bersiaplah menghadapi era modern, modern yang "miring" ini… 

24 November 2008

LIRIK LAGU-LAGU KITA


Beberapa waktu lalu, saya sempat mendengarkan beberapa lagu yang sedang hits (naik daun) di radio. Mendengarnya ini pun kebetulan; dari sebuah radio di kios makanan ringan.


Saya mendengar, lagu demi lagu, miris rasanya. Betapa lagu-lagu yang katnaa ngetop itu sungguh tidak saja ecek-ecek secara musikal, tetapi juga rendah kasta secara kesastraan. Ayo nikmati lagu bertema selingkuh ini:


Jangan Kau Dustai Aku

Jangan Kau Sakiti Aku

Bila Kau Cinta Padaku

Jangan Kau Bohongi Aku

Jangan Kau Lukai Aku

Bila Kau Sayang Padaku

Reff:

Tanpa Ku Tahu Salahku

Tanpa Ku Tahu Dosaku

Kau Berbuat Semaumu

Jangan Pernah Kau Selingkuh

Jangan Pernah Kau Mendua

Bila Kau Memang Cintaku

(Angkasa - Jangan Pernah Selingkuh)


Aduh, benarkah ini lirik lagu? saya kok tidak habis pikir mendengarnya (ya, sayang sekali kalau pikirnya harus dihabisin). Mana ruang kontemplasi dalam lirik ini? Dug! kontemplasi? Ah, kontemplasi!


Ada pula yang berjudul “Tak Selamanya Selingkuh Itu Indah”. Yakin saya kalau ini merupakan tanggapan si penulis lirik buat Agus Noor yang menulis “Selingkuh itu Indah”. Sebagai sebuah pernyataan sikap, di mata saya, judul lagu ini “benar” dan Agus “salah”. Tetapi, secara estetik, pernyataan jadi terbalik.


betapa ku mengerti sebagai selingkuhanmu

kuharus menjalani ikatan yang tersembunyi

ku mencoba bertahan meskipun menyakitkan

tak menyisakan sebuah sesal di hatiku

(Merpati Band - Tak Selamanya Selingkuh Itu Indah)


Masih dengan tema selingkuh, ada pula yang serupa tapi tak sama, yang mendayu dan bersedih hati:


Pacarku sayangilah aku

Seperti ku menyayangimu

Pacarku cintailah aku

Seperti aku cinta kamu

Bridge:

Tapi kamu kok selingkuh

Tapi kamu kok selingkuh

(Kangen Band - Selingkuh)


Itulah sebagaian kecil lirik lagu band-band Indonesia kita yang dipuja oleh banyak orang di sini. Tidak perlu penelitian serius, ini sudah cukup menjadi sample untuk mengambil gambaran umum: kira-kira, beginiliah selera pasar kita saat ini; beginilah selera musik-sastra masyarakat kita! Asyik, ya?!


Tiba-tiba, saya teringat sebuah band asal surabaya, Grass Rock. Band ini muncul dan awal paruh pertama tahun 80-an, namun baru menjajaki nama belantika musik rock tanah air sejak 90-an. Di tahun 1992/1993 lalu, band yang kerap mengusung karya-karya band art-rock-progresif “Yes” di awal-awal kemunculananya ini pernah ngetop dengan lagu melankoli bertajuk “Bersamamu”. Lagu ini jadi hits di beberapa stasion radioa. Tapi, ya, tentu penjualannya tidak sedahysat band-band sekarang seperti almukarram Kangen Band dan Radja.


Lagu “Bersamamu” adalah lagu rock biasa, dngan tema cinta anak manusia. Hanya saja, lirik yang disajikan bukanlah sekadar cinta yang diobral di pasar cinta Adam dan Hawa. Karena itu, ingat masalah lirik, mari kita coba perhatikan lirik cinta-cintaan milik Grass Rock ini:


BERSAMAMU

Dentang bunyi kedamaian, telah terdengar di kejauhan

hari-hari berlalu, bawa pergi angan dan mimpi

hanya letih kautinggalkan

menanti matahari pagi

ingin kuterbang tinggi lagi

meraih pelangi di angkasa

letakkan jiwaku

Reff:

Rengtangkan sayapmu

janganlah aku kaubiarkan, melayang

hanya bersamamu

semua misteri yang terjadi dapat kita lalui

tanpa sunyi

Hanya lagu ini

yang dapat aku nyanyikan

untuk sepi rinduku

bersama denganmu

segala mendung di langit biru

dapat kita lewati

kau, imanku!


Ini sebuah lirik—yang dalam anggapan saya—sangat liris, tentang ratapan panjang yang mungkin mendayu, lambat, namun menyimpan sebuah ambisi permenungnan yang dalam (mohon tidak terlalu jauh membanding-bandingkan lirik lagu ini dengan lirik yang telah disebutkan di atas, nanti hanya akan menimbulkan fitnah dan iri dengki).


Masih milik Grass rock, ini juga petilan lirik lagunya yang lain pada lagu hitsnya yang lain, “Bulan Sabit”:


lantas apa yang didapat olehnya

setelah semua itu akan berakhir

kebenaran yang hilang tanpa sebab

atau kedamaian yang menjadi tengkorak

Wahai bulan sabit

cucu dewa

bulan sabit, cucu dewa

merah darah, putih jiwa


Demikianlah. Pernyataan-pernyataan saya di atas mungkin berpihak: ini pendapat, bukan fakta. Tetapi, faktanya, adalah: tidak saja dari segi kualitas aransemen lagu, lirik lagu-lagu kita sekarang memang punya masalah. Lirik gak diurus. Lirik tidak dilirik. Lirik harus poppish. Lirik tidak mendididk. Lirik tidak puitis. Lirik tidak, ah, sudahlah.. ambu kah!


Tapi, bagaimana pun, proses kreatif haruslah dihargai, seberapa pun itu nilainya.

Untuk Angkasa, Merpati, dan Kangen: salut untuk kreativitas kalian. Berangkatlah duluan. Saya menyusul. Semoga kalian selamat sampai di tujuan Hati-hati di jalan, ya!!


jika ingin mendengarkan lagu "Bersamamu" dan "Peterson (Anak Rembulan" karya Grass Rock, bisa didownlod dari tautan ini.


20 November 2008

MATA UANG RUPIAH YANG BARU

Suatu saat, saya belanja di sebuah supermarket di Jl.Diponegoro Sumenep.

Ini supermarket lokal. Mudah mencirikan supermarket atau swalayan lokal; awaknya itu, gak kayak umumnya personel swalayan/supermarket luar yang cari rezeki di sini. Biasanya, tampak agak serius dikit dan agak cuek sama pembeli. Hebatnya lagi: kasirnya tuh bisa marah-marah sama konsumen (apalagi konsumen udik alias dhisa'an yang salah-salah jika bertanya).

Setelah saya memperoleh barang yang saya cari, dengan harga Rp.2400, saya ambil itu barang dan saya bawa ke kasir dengan uang 5000 perak. Kembalian Rp.2500. Lho? Kurang 100 rupiah kan? 100-nya berwujud gula-gula (manisan).

Saya gak mau terima gula-gula itu sambil berkata, "Maaf mbak, gigi saya sakit. Saya ndak bisa makan manisan. Saya minta receh 100-an saja.''

Saya mengatakan ini karena saya melihat dengan mata kepala saya sendiri masih banyak uang receh yang ada di dalam kotak mesin kasir dia. "Lagian mbak, sejak kapan gula-gula telah resmi menjadi mata uang rupiah yang baru?'' tambah saya sebagai hidangan penutup dalam kesempatan siang itu.

(Bagi Anda yang menerima uang kembalian permen/manisan, tolaklah jika memang tidak suka. Kalau diterima, ya, telan saja gak perlu pakai gerutu! Kalau masih menggerutu, berarti Anda nggak terima/ndak rela sama transaksi itu, kan? Kalau gak rela, sahkah hukum jual-beli itu? Ijab-kabulkah? Nah,, LHO??!$#&^%*)

ini juga mata uangnya!

19 November 2008

GARA-GARA SMS TULALIT, RUSAK RENCANA SEMUANYA

Sepulang dari arah Pamekasan, persis di sebelah tugu batas Kabupaten Sumenep di daerah Kaduara, Hendra dicegat sekelomok orang berseragam coklat, polantas. Mereka menanyakan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermoror (STNKB) kendaraan yang dia bawa. (Oya, mereka itu menyebutnya “STNK”, dan kami terbiasa memangkasnya jadi “STN” saja).“Baik, Pak, Terima kasih!”, kata Pak Pol itu seraya mengembalikan surat-surat begitu semua yang Hendra sodorkan lengkap (Bahkan, surat kreditnya aja lengkap dan dibawa kok. Untung tidak dikeluarkan, he…he…)


Di tengah perjalanan, kira-kira beberapa kilometer dari tempat operasi tadi digelar, Hendra berpapasan dengan kawannya, Zubair, yang rupanya hendak pergi ke arah Talang. Zubair tidak pakai helm. Dia tidak yakin hari ini ada polisi karena bukan hari Selasa/Sabtu (Pasaran Keppo). Sayangnya, Hendra tak sempat memanggil Zubair saat berpapasan karena dia melaju agak kencang. Hendra segera menepikan kendaraan dan mengeluarkan HP-nya lalu tit…tuut. tit..tuutut… Dia memencet keypad HP-nya untuk memanggil si Zubair.


Tulalit…


(Tulalit pertama sih tidak heran. Sebab, operator yang dia pakai ini kalau dibuat manggil selalu saja didahului dengan “Tulalit” sebagai tegur sapa, dan terkadang iklan tertulis “Network Busy/Jaringan Sibuk”. Kalau nelepon dan langsung nyambung,,, nah, ini yang baru layak untuk diherankan)


Tulalit…

Tulalit….


Karena gak bisa-bisa, akhirnya Hendra SMS saja. SMS biasanya langsung terkirim dan lebih mudah masuk meskipun mungkin tidak segera direspon si penerima. Ada polisi di Kaduara, kembali, ambil helmmu!” SMS terkirim, tapi pending (tunda)… Akhirnya, Hendra pun melanjutkan perjalanan.


Di Kaduara

Betul seperti diduga, Zubair kena tilang dengan dakwaan mengendarai sepeda motor tanpa membawa SIM dan tidak pakai helm. Persis ketika dia duduk bersama polisi di bawah payungan untuk menandatangani surat tilang, SMS-Hendra ternyata baru masuk.


Titit…. Titit….. (maklum, monofofofofonik)


Ada polisi di Kaduara, kembali, ambil helmmu!”

Dengan air muka tenang, Zubairi masih sempat membalas SMS itu begini:

“Oke, thanks Kawan. Nih aku lagi sama dia! Bye....”


Ganti yang Lebih Besar



Rosi, pemilik Motorola T190, cukup berbangga dan boleh bergaya angkat kepala menghadap ke langit jika sedang menelepon. Dia merasa sebagai satu-satunya pemilik ponsel yang paling kecil di antara kawan-kawan se kos, apalagi jika diadu dengan 5110 kepunyaanku. Motorola T190 memang sangat mungil bentuknya dibandingkan dengan Nokia 5110 yang bongsor.

Sayangnya, si Fahrur Rosi (dia susah menyebut Rozi; atau karena dimirip-miripkan dengan si Valentino Rosi) ini punya kebiasaan sembrono. Dia suka tidak mengunci pintu kamar meskipun sering tidur tak pakai celdam. Dan suatu hari, HP motorola TI90-nya itu diembat si kawan yang entah dari mana juntrungnya. Ponsel pun hilang seperti dibawa angin.

Rosi bersedih, tapi sebentar saja. Bukan karena dia banyak uang, tapi memang karena begitulah cara dia menyikapi keadaan. Dia selalu slenge'an dan santai menghadapi situasi apa pun,. Sambil duduk di depan kos, dia berdoa: “Ya, Allah, biarlah HP saya hilang. Semoga Engkau segera menggantinya dengan yang lebih besar.. Amin.”

Alhamdulillah, beberapa hari kemudian. Si Rosi sudah mampu membeli ponsel Motorola lagi, sama-sama HP bekas juga. Kali ini tipe 2288 yang bongsor dan jauh lebih gede ketimbang T190 itu. Dia datang ke saya dan bilang, “Alhamdulillah, saya sudah punya handphone lagi. Tuhan telah mengabulkan permintaan saya sesuai dengan redaksi doa: ponsel yang lebih besar..!!”

Dan saya merasa tidak perlu memberinya fatwa agar mengubah redaksi doanya menjadi "Tuhan, berilah hamba ganti ponsel yang lebih bagus. Saya kira, Rosi  bahagia dengan ponselnya itu, dengan yang lebih besar.

PUJIAN UNTUK 6310 i


''Saya suka barang-barang antik, termasuk, atau terutama, handphone. Saya mengagumi handphone antik—yang jarang dipegang orang—dengan pertimbangan bahwa barang tersebut telah cukup memiliki fungsi-fungsi dan fasilitas yang saya butuhkan meskipun produk itu telah diproduksi ketika saya belum mampu membeli barang itu dalam kondisi dos box.

Salah satu ponsel klasik yang ingin saya miliki dan kini telah kesampaian adalah Nokia 6310i. Handphone ini saya beli dengan sangat tergesa-gesa karena setelah mencari kemana-mana gak dapat, eh, ternyata kawan sendiri yang mau jual. Saya kawatir keburu laku dan keduluan orang. Jadi, saya beli saja segera..


Target saya, setelah dua kali kecewa memiliki SL-45 karena penyakitan ''nguras betere''—konon ini memang penyakit jantung koronernya Siemens—saya ingin punya hanphone yang punya fasilitas ''address book'' banyak, sehingga nomer-nomer yang selama ini hanya saya ingat di kepala saja, dapat juga disimpan di buku alamat itu. Dan pilihan itu jatuh pada 6310i.


Handphone Nokia 6310i (Catat: ada “i”-nya) ini memiliki 500 address book, dengan layar berwarna putih-kelabu (entah kayak apa definisinya, yang pasti ''sedap dipandang'' yang dalam bahasa Arab disebut ''tasurrun nadhirin''), juga dilengkapi inframerah dan bluetooth sebagai kelengkapan konektivitas. Saya puas dengan fasilitas handphone monoponik dan monokrom ini," pungkas pemilik handphone yang konon dapat dijadikan remote buat pintu gerbang ini kepada wartawan Kormeddal.
S~E~K~I~A........gak jadi.


''Eh, mas,.mas..
Tadi kok masnya bilang kalau Nokia 6310i itu bisa buat remote pintu gerbang?''
“Ya, memang iya kok. Saya biasa menggunakannya. Entahlah kalau di tempat Anda. Kalau pengalaman saya pake sih bisa. Biasanya, dengan 6310i itu saya SMS anak-anak agar dibukakan/ditutupkan pintu gerbangnya, kalau kebetulan saya pergi atau berada di tempat yang jauh. Jadi, remote-nya gak pake inframerah, Mas, tapi pake pulsa!!'' jawaban inilah yang benar-benar mengakhiri wawancara Kormeddal.

S~E~K~I~A~N~ beneran!


16 November 2008

NEGRO SABADO


-->
Hari Sabtu 19 April 2008, jam 6.40, dengan mengendarai Supra M-3071-E, aku berangkat ke Pamekasan. Tujuanku adalah Bagandan.

Dari arah Prenduan menuju Pamekasan, aku melaju dengan kecepatan rata-rata: 60 KM per jam. Dan sekitar jam 7.15, aku nyampe di masjid Tentenan. Di depanku ada L.300 pick up, sementara di belakangku ada Akas Asri jurusan Banyuwangi. Belakangan aku sudah mengantongi nopol bisnya, cuma tidak dipasang di sini karena khawatir menimbulkan fitnah.

Sebelum tikungan, aku mendahului pick up. Dari spion, aku melihat bus Akas itu juga menyusul. Bus itu mendahului L.300 bak terbuka itu tepat sebelum tikungan. Betul firasatku, persis selepas tikungan, Akas langsung menyalipku. Namun, dari arah berlawanan, melaju kendaraan lain. Bus mepet ke dalam, dan lebih ke dalam lagi karena ada pattoq, pemisah jalan tidak permanen yang diletakkan di tengah marka jalan untuk kepentingan amal pembangunan masjid.

Aku kelabakan karena bodi kendaraan besar beroda enam itu sudah tinggal 2 jengkal lagi menyentuh stang stirku. Daripada kena sikut kendaraan berbobot kosong 8 ton-an itu, aku langsung mengambil kesimpulan untuk turun ke tanah. Beberapa meter dari aspal, aku jatuh, meluncur seperti Drogba atau Ibrahimovic saat melakukan perayaan, terjun di atas rumput usai mencetak gol ke gawang lawan. Sayang, saat itu tak ada gol!

Persis di depan pintu gerbang gudang, arah tenggara Wartel Hemat, aku tengkurap di atas rerumputan basah. Beberapa orang pekerja di gudang seberang jalan bermunculan. Mereka menawariku duduk. Kukira mereka akan menyuguhkan segelas air atau secangkir kopi, eh, malah betadine. Rupanya mereka tahu kakiku memar, sedikit luka..

Sepuluh menit berikutnya, aku berangkat melanjutkan perjalanan.

Tiba di Bagandan, aku langsung ke wartel: menelepon terminal Ceguk untuk menanyakan Akas Asri itu. Ternyata, menurut petugas terminal, bus tersebut hanya parkir sebentar dan langsung berangkat. Tapi, aku tetap berangkat menuju terminal.

Tiba di sana, ada Akas NNR jurusan Surabaya yang biasanya dikemudikan oleh Agus Supriyono (Pak Pri). Sayang, ketika itu Pak Pri tidak mengemudi. Aku menjumpai P.Harto dan P.Zainal, kondekturnya. Aku bilang kepada mereka bahwa bus yang berangkat sebelum mereka itu hampir saja mencelakaiku, barusan. Kepada mereka aku berpesan, tolong hal ini disampaikan kepada pengemudinya, pada Si Sumaryono itu; aku bukan hendak menuntut, hanya sekadar untuk diketahui agar menjadi pelajaran.

Akan tetapi, di sisi lain, aku berpikir bahwa bis itu mepet kiri karena menghindari pemisah jalan. Mestinya, jalan raya itu harus bebas dari rintangan yang dibuat untuk mengurangi kecepatan laju kendaraan. Masyarakat setempat memasang itu untuk amal masjid. Karena alasan ini pula aku tidak apresiatif pada proyek minta amal pembangunan masjid yang ada di jalan raya. Di samping kurang elok, juga mengganggu dan membahayakan lalu lintas. Aku salah satu korbannyua.

Demikianlah kisahku di hari Sabtu yang kelabu: black sabbath, negro sabado!

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog