27 November 2008

Sanad Obat dan Sugesti

Kemarin, ada seseorang kawan minta amalan. Katanya, dia mau menghadap seseorang yang besar, ya, menghadap “pembesar”. Pembesar ini, belum tentu punya tubuh yang besar, tetapi mungkin punya status sosial atau kapasitas intelektual, yang lebih tinggi darinya. Andai dia mahasiswa, sejenis dosen, dekan, atau bahkan rektor lah si pembesar ini..

Saya mengusulkan agar dia membaca bacaan/amalan yang populer saja di kalangan santri, tentu dengan Al-Fatihah secara khusushan.. (bi barakat-“il Fatihah”; dan tentu bukan bi barakat-“il Baqarah”: karena bisa dower tuh bibir jika dibaca dalam sekali duduk). 

Tampaknya, dia kurang mantap karena bacaan yang saya usulkan itu terlalu populer, bukan sejenis amalan yang ada Bahasa Ibrani atau Bahasa Suryani-nya, atau juga bacaan “tidak populer’ lain yang tidak dikenalnya. Namun, saya yakinkan bahwa saya sudah mencobanya dulu. Spontan, keyakinannya berubah. Kini dia menjadi lebih mantab (pakai “b”).

Nah, itulah sugesti! Betapa hebat sugesti! Amalan Surat Yasin dan Shalawat Nariyah merupakan amalan populer; tetapi dari mana silsilah kaifiyah itu, nah, itulah persoalannya. Ternyata sanad dalam silsilah itu penting untuk nilai kemantapan dan keyakinan bagi seseorang. Orang yang lemes karena kurang darah, lalu saya sarankan untuk beli tonikum, akan beda kualitas sanadnya jika kaifiyah itu ia terima dengan sanad dari dokter. Nah, keyakinan sejenis itu sudah cukup menjadi 50% obat. Begitu saya kira. Kaifiyah “tonikum” yang saya sampaikan itu “saran”, tetapi apa yang dokter sampaikan itu mengandung unsur “sugesti”, meskipun yang disampaikan sama-sama tentang “tonikum”. Namun, jika kaifiyah tersebut bukan berupa tonikum: anggaplah kaifiyah membaca Surat Yasin 3 kali, maka kenyataan akan berbalik.

Tetapi, bukan apa yang saya sampaikan di atas itu persoalannya, melainkan adalah: jika seorang pasien datang ke dokter dan dia berobat lalu membeli resep; jika seseorang sowan (cabis dalam Bahasa Madura) pada seorang kiai wajhan bi wajhin (tatap muka) dan dia cabis; lalu bagaimana jika sowannya jarak jauh? Ya, tentu sowan tetap berlangsung: sowan pakai telepon, pakai messenger (pakai YM atau GTalk) dan cabisnya pun bisa pakai pulsa atau transfer langsung ke rekening.

Sekarang, kita masih merasa aneh dan tabu dengan hal itu. Tak lama lagi, ia akan menjadi lazim. Bersiaplah menghadapi era modern, modern yang "miring" ini… 

24 November 2008

LIRIK LAGU-LAGU KITA


Beberapa waktu lalu, saya sempat mendengarkan beberapa lagu yang sedang hits (naik daun) di radio. Mendengarnya ini pun kebetulan; dari sebuah radio di kios makanan ringan.


Saya mendengar, lagu demi lagu, miris rasanya. Betapa lagu-lagu yang katnaa ngetop itu sungguh tidak saja ecek-ecek secara musikal, tetapi juga rendah kasta secara kesastraan. Ayo nikmati lagu bertema selingkuh ini:


Jangan Kau Dustai Aku

Jangan Kau Sakiti Aku

Bila Kau Cinta Padaku

Jangan Kau Bohongi Aku

Jangan Kau Lukai Aku

Bila Kau Sayang Padaku

Reff:

Tanpa Ku Tahu Salahku

Tanpa Ku Tahu Dosaku

Kau Berbuat Semaumu

Jangan Pernah Kau Selingkuh

Jangan Pernah Kau Mendua

Bila Kau Memang Cintaku

(Angkasa - Jangan Pernah Selingkuh)


Aduh, benarkah ini lirik lagu? saya kok tidak habis pikir mendengarnya (ya, sayang sekali kalau pikirnya harus dihabisin). Mana ruang kontemplasi dalam lirik ini? Dug! kontemplasi? Ah, kontemplasi!


Ada pula yang berjudul “Tak Selamanya Selingkuh Itu Indah”. Yakin saya kalau ini merupakan tanggapan si penulis lirik buat Agus Noor yang menulis “Selingkuh itu Indah”. Sebagai sebuah pernyataan sikap, di mata saya, judul lagu ini “benar” dan Agus “salah”. Tetapi, secara estetik, pernyataan jadi terbalik.


betapa ku mengerti sebagai selingkuhanmu

kuharus menjalani ikatan yang tersembunyi

ku mencoba bertahan meskipun menyakitkan

tak menyisakan sebuah sesal di hatiku

(Merpati Band - Tak Selamanya Selingkuh Itu Indah)


Masih dengan tema selingkuh, ada pula yang serupa tapi tak sama, yang mendayu dan bersedih hati:


Pacarku sayangilah aku

Seperti ku menyayangimu

Pacarku cintailah aku

Seperti aku cinta kamu

Bridge:

Tapi kamu kok selingkuh

Tapi kamu kok selingkuh

(Kangen Band - Selingkuh)


Itulah sebagaian kecil lirik lagu band-band Indonesia kita yang dipuja oleh banyak orang di sini. Tidak perlu penelitian serius, ini sudah cukup menjadi sample untuk mengambil gambaran umum: kira-kira, beginiliah selera pasar kita saat ini; beginilah selera musik-sastra masyarakat kita! Asyik, ya?!


Tiba-tiba, saya teringat sebuah band asal surabaya, Grass Rock. Band ini muncul dan awal paruh pertama tahun 80-an, namun baru menjajaki nama belantika musik rock tanah air sejak 90-an. Di tahun 1992/1993 lalu, band yang kerap mengusung karya-karya band art-rock-progresif “Yes” di awal-awal kemunculananya ini pernah ngetop dengan lagu melankoli bertajuk “Bersamamu”. Lagu ini jadi hits di beberapa stasion radioa. Tapi, ya, tentu penjualannya tidak sedahysat band-band sekarang seperti almukarram Kangen Band dan Radja.


Lagu “Bersamamu” adalah lagu rock biasa, dngan tema cinta anak manusia. Hanya saja, lirik yang disajikan bukanlah sekadar cinta yang diobral di pasar cinta Adam dan Hawa. Karena itu, ingat masalah lirik, mari kita coba perhatikan lirik cinta-cintaan milik Grass Rock ini:


BERSAMAMU

Dentang bunyi kedamaian, telah terdengar di kejauhan

hari-hari berlalu, bawa pergi angan dan mimpi

hanya letih kautinggalkan

menanti matahari pagi

ingin kuterbang tinggi lagi

meraih pelangi di angkasa

letakkan jiwaku

Reff:

Rengtangkan sayapmu

janganlah aku kaubiarkan, melayang

hanya bersamamu

semua misteri yang terjadi dapat kita lalui

tanpa sunyi

Hanya lagu ini

yang dapat aku nyanyikan

untuk sepi rinduku

bersama denganmu

segala mendung di langit biru

dapat kita lewati

kau, imanku!


Ini sebuah lirik—yang dalam anggapan saya—sangat liris, tentang ratapan panjang yang mungkin mendayu, lambat, namun menyimpan sebuah ambisi permenungnan yang dalam (mohon tidak terlalu jauh membanding-bandingkan lirik lagu ini dengan lirik yang telah disebutkan di atas, nanti hanya akan menimbulkan fitnah dan iri dengki).


Masih milik Grass rock, ini juga petilan lirik lagunya yang lain pada lagu hitsnya yang lain, “Bulan Sabit”:


lantas apa yang didapat olehnya

setelah semua itu akan berakhir

kebenaran yang hilang tanpa sebab

atau kedamaian yang menjadi tengkorak

Wahai bulan sabit

cucu dewa

bulan sabit, cucu dewa

merah darah, putih jiwa


Demikianlah. Pernyataan-pernyataan saya di atas mungkin berpihak: ini pendapat, bukan fakta. Tetapi, faktanya, adalah: tidak saja dari segi kualitas aransemen lagu, lirik lagu-lagu kita sekarang memang punya masalah. Lirik gak diurus. Lirik tidak dilirik. Lirik harus poppish. Lirik tidak mendididk. Lirik tidak puitis. Lirik tidak, ah, sudahlah.. ambu kah!


Tapi, bagaimana pun, proses kreatif haruslah dihargai, seberapa pun itu nilainya.

Untuk Angkasa, Merpati, dan Kangen: salut untuk kreativitas kalian. Berangkatlah duluan. Saya menyusul. Semoga kalian selamat sampai di tujuan Hati-hati di jalan, ya!!


jika ingin mendengarkan lagu "Bersamamu" dan "Peterson (Anak Rembulan" karya Grass Rock, bisa didownlod dari tautan ini.


20 November 2008

MATA UANG RUPIAH YANG BARU

Suatu saat, saya belanja di sebuah supermarket di Jl.Diponegoro Sumenep.

Ini supermarket lokal. Mudah mencirikan supermarket atau swalayan lokal; awaknya itu, gak kayak umumnya personel swalayan/supermarket luar yang cari rezeki di sini. Biasanya, tampak agak serius dikit dan agak cuek sama pembeli. Hebatnya lagi: kasirnya tuh bisa marah-marah sama konsumen (apalagi konsumen udik alias dhisa'an yang salah-salah jika bertanya).

Setelah saya memperoleh barang yang saya cari, dengan harga Rp.2400, saya ambil itu barang dan saya bawa ke kasir dengan uang 5000 perak. Kembalian Rp.2500. Lho? Kurang 100 rupiah kan? 100-nya berwujud gula-gula (manisan).

Saya gak mau terima gula-gula itu sambil berkata, "Maaf mbak, gigi saya sakit. Saya ndak bisa makan manisan. Saya minta receh 100-an saja.''

Saya mengatakan ini karena saya melihat dengan mata kepala saya sendiri masih banyak uang receh yang ada di dalam kotak mesin kasir dia. "Lagian mbak, sejak kapan gula-gula telah resmi menjadi mata uang rupiah yang baru?'' tambah saya sebagai hidangan penutup dalam kesempatan siang itu.

(Bagi Anda yang menerima uang kembalian permen/manisan, tolaklah jika memang tidak suka. Kalau diterima, ya, telan saja gak perlu pakai gerutu! Kalau masih menggerutu, berarti Anda nggak terima/ndak rela sama transaksi itu, kan? Kalau gak rela, sahkah hukum jual-beli itu? Ijab-kabulkah? Nah,, LHO??!$#&^%*)

ini juga mata uangnya!

19 November 2008

GARA-GARA SMS TULALIT, RUSAK RENCANA SEMUANYA

Sepulang dari arah Pamekasan, persis di sebelah tugu batas Kabupaten Sumenep di daerah Kaduara, Hendra dicegat sekelomok orang berseragam coklat, polantas. Mereka menanyakan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermoror (STNKB) kendaraan yang dia bawa. (Oya, mereka itu menyebutnya “STNK”, dan kami terbiasa memangkasnya jadi “STN” saja).“Baik, Pak, Terima kasih!”, kata Pak Pol itu seraya mengembalikan surat-surat begitu semua yang Hendra sodorkan lengkap (Bahkan, surat kreditnya aja lengkap dan dibawa kok. Untung tidak dikeluarkan, he…he…)


Di tengah perjalanan, kira-kira beberapa kilometer dari tempat operasi tadi digelar, Hendra berpapasan dengan kawannya, Zubair, yang rupanya hendak pergi ke arah Talang. Zubair tidak pakai helm. Dia tidak yakin hari ini ada polisi karena bukan hari Selasa/Sabtu (Pasaran Keppo). Sayangnya, Hendra tak sempat memanggil Zubair saat berpapasan karena dia melaju agak kencang. Hendra segera menepikan kendaraan dan mengeluarkan HP-nya lalu tit…tuut. tit..tuutut… Dia memencet keypad HP-nya untuk memanggil si Zubair.


Tulalit…


(Tulalit pertama sih tidak heran. Sebab, operator yang dia pakai ini kalau dibuat manggil selalu saja didahului dengan “Tulalit” sebagai tegur sapa, dan terkadang iklan tertulis “Network Busy/Jaringan Sibuk”. Kalau nelepon dan langsung nyambung,,, nah, ini yang baru layak untuk diherankan)


Tulalit…

Tulalit….


Karena gak bisa-bisa, akhirnya Hendra SMS saja. SMS biasanya langsung terkirim dan lebih mudah masuk meskipun mungkin tidak segera direspon si penerima. Ada polisi di Kaduara, kembali, ambil helmmu!” SMS terkirim, tapi pending (tunda)… Akhirnya, Hendra pun melanjutkan perjalanan.


Di Kaduara

Betul seperti diduga, Zubair kena tilang dengan dakwaan mengendarai sepeda motor tanpa membawa SIM dan tidak pakai helm. Persis ketika dia duduk bersama polisi di bawah payungan untuk menandatangani surat tilang, SMS-Hendra ternyata baru masuk.


Titit…. Titit….. (maklum, monofofofofonik)


Ada polisi di Kaduara, kembali, ambil helmmu!”

Dengan air muka tenang, Zubairi masih sempat membalas SMS itu begini:

“Oke, thanks Kawan. Nih aku lagi sama dia! Bye....”


Ganti yang Lebih Besar



Rosi, pemilik Motorola T190, cukup berbangga dan boleh bergaya angkat kepala menghadap ke langit jika sedang menelepon. Dia merasa sebagai satu-satunya pemilik ponsel yang paling kecil di antara kawan-kawan se kos, apalagi jika diadu dengan 5110 kepunyaanku. Motorola T190 memang sangat mungil bentuknya dibandingkan dengan Nokia 5110 yang bongsor.

Sayangnya, si Fahrur Rosi (dia susah menyebut Rozi; atau karena dimirip-miripkan dengan si Valentino Rosi) ini punya kebiasaan sembrono. Dia suka tidak mengunci pintu kamar meskipun sering tidur tak pakai celdam. Dan suatu hari, HP motorola TI90-nya itu diembat si kawan yang entah dari mana juntrungnya. Ponsel pun hilang seperti dibawa angin.

Rosi bersedih, tapi sebentar saja. Bukan karena dia banyak uang, tapi memang karena begitulah cara dia menyikapi keadaan. Dia selalu slenge'an dan santai menghadapi situasi apa pun,. Sambil duduk di depan kos, dia berdoa: “Ya, Allah, biarlah HP saya hilang. Semoga Engkau segera menggantinya dengan yang lebih besar.. Amin.”

Alhamdulillah, beberapa hari kemudian. Si Rosi sudah mampu membeli ponsel Motorola lagi, sama-sama HP bekas juga. Kali ini tipe 2288 yang bongsor dan jauh lebih gede ketimbang T190 itu. Dia datang ke saya dan bilang, “Alhamdulillah, saya sudah punya handphone lagi. Tuhan telah mengabulkan permintaan saya sesuai dengan redaksi doa: ponsel yang lebih besar..!!”

Dan saya merasa tidak perlu memberinya fatwa agar mengubah redaksi doanya menjadi "Tuhan, berilah hamba ganti ponsel yang lebih bagus. Saya kira, Rosi  bahagia dengan ponselnya itu, dengan yang lebih besar.

PUJIAN UNTUK 6310 i


''Saya suka barang-barang antik, termasuk, atau terutama, handphone. Saya mengagumi handphone antik—yang jarang dipegang orang—dengan pertimbangan bahwa barang tersebut telah cukup memiliki fungsi-fungsi dan fasilitas yang saya butuhkan meskipun produk itu telah diproduksi ketika saya belum mampu membeli barang itu dalam kondisi dos box.

Salah satu ponsel klasik yang ingin saya miliki dan kini telah kesampaian adalah Nokia 6310i. Handphone ini saya beli dengan sangat tergesa-gesa karena setelah mencari kemana-mana gak dapat, eh, ternyata kawan sendiri yang mau jual. Saya kawatir keburu laku dan keduluan orang. Jadi, saya beli saja segera..


Target saya, setelah dua kali kecewa memiliki SL-45 karena penyakitan ''nguras betere''—konon ini memang penyakit jantung koronernya Siemens—saya ingin punya hanphone yang punya fasilitas ''address book'' banyak, sehingga nomer-nomer yang selama ini hanya saya ingat di kepala saja, dapat juga disimpan di buku alamat itu. Dan pilihan itu jatuh pada 6310i.


Handphone Nokia 6310i (Catat: ada “i”-nya) ini memiliki 500 address book, dengan layar berwarna putih-kelabu (entah kayak apa definisinya, yang pasti ''sedap dipandang'' yang dalam bahasa Arab disebut ''tasurrun nadhirin''), juga dilengkapi inframerah dan bluetooth sebagai kelengkapan konektivitas. Saya puas dengan fasilitas handphone monoponik dan monokrom ini," pungkas pemilik handphone yang konon dapat dijadikan remote buat pintu gerbang ini kepada wartawan Kormeddal.
S~E~K~I~A........gak jadi.


''Eh, mas,.mas..
Tadi kok masnya bilang kalau Nokia 6310i itu bisa buat remote pintu gerbang?''
“Ya, memang iya kok. Saya biasa menggunakannya. Entahlah kalau di tempat Anda. Kalau pengalaman saya pake sih bisa. Biasanya, dengan 6310i itu saya SMS anak-anak agar dibukakan/ditutupkan pintu gerbangnya, kalau kebetulan saya pergi atau berada di tempat yang jauh. Jadi, remote-nya gak pake inframerah, Mas, tapi pake pulsa!!'' jawaban inilah yang benar-benar mengakhiri wawancara Kormeddal.

S~E~K~I~A~N~ beneran!


16 November 2008

NEGRO SABADO


-->
Hari Sabtu 19 April 2008, jam 6.40, dengan mengendarai Supra M-3071-E, aku berangkat ke Pamekasan. Tujuanku adalah Bagandan.

Dari arah Prenduan menuju Pamekasan, aku melaju dengan kecepatan rata-rata: 60 KM per jam. Dan sekitar jam 7.15, aku nyampe di masjid Tentenan. Di depanku ada L.300 pick up, sementara di belakangku ada Akas Asri jurusan Banyuwangi. Belakangan aku sudah mengantongi nopol bisnya, cuma tidak dipasang di sini karena khawatir menimbulkan fitnah.

Sebelum tikungan, aku mendahului pick up. Dari spion, aku melihat bus Akas itu juga menyusul. Bus itu mendahului L.300 bak terbuka itu tepat sebelum tikungan. Betul firasatku, persis selepas tikungan, Akas langsung menyalipku. Namun, dari arah berlawanan, melaju kendaraan lain. Bus mepet ke dalam, dan lebih ke dalam lagi karena ada pattoq, pemisah jalan tidak permanen yang diletakkan di tengah marka jalan untuk kepentingan amal pembangunan masjid.

Aku kelabakan karena bodi kendaraan besar beroda enam itu sudah tinggal 2 jengkal lagi menyentuh stang stirku. Daripada kena sikut kendaraan berbobot kosong 8 ton-an itu, aku langsung mengambil kesimpulan untuk turun ke tanah. Beberapa meter dari aspal, aku jatuh, meluncur seperti Drogba atau Ibrahimovic saat melakukan perayaan, terjun di atas rumput usai mencetak gol ke gawang lawan. Sayang, saat itu tak ada gol!

Persis di depan pintu gerbang gudang, arah tenggara Wartel Hemat, aku tengkurap di atas rerumputan basah. Beberapa orang pekerja di gudang seberang jalan bermunculan. Mereka menawariku duduk. Kukira mereka akan menyuguhkan segelas air atau secangkir kopi, eh, malah betadine. Rupanya mereka tahu kakiku memar, sedikit luka..

Sepuluh menit berikutnya, aku berangkat melanjutkan perjalanan.

Tiba di Bagandan, aku langsung ke wartel: menelepon terminal Ceguk untuk menanyakan Akas Asri itu. Ternyata, menurut petugas terminal, bus tersebut hanya parkir sebentar dan langsung berangkat. Tapi, aku tetap berangkat menuju terminal.

Tiba di sana, ada Akas NNR jurusan Surabaya yang biasanya dikemudikan oleh Agus Supriyono (Pak Pri). Sayang, ketika itu Pak Pri tidak mengemudi. Aku menjumpai P.Harto dan P.Zainal, kondekturnya. Aku bilang kepada mereka bahwa bus yang berangkat sebelum mereka itu hampir saja mencelakaiku, barusan. Kepada mereka aku berpesan, tolong hal ini disampaikan kepada pengemudinya, pada Si Sumaryono itu; aku bukan hendak menuntut, hanya sekadar untuk diketahui agar menjadi pelajaran.

Akan tetapi, di sisi lain, aku berpikir bahwa bis itu mepet kiri karena menghindari pemisah jalan. Mestinya, jalan raya itu harus bebas dari rintangan yang dibuat untuk mengurangi kecepatan laju kendaraan. Masyarakat setempat memasang itu untuk amal masjid. Karena alasan ini pula aku tidak apresiatif pada proyek minta amal pembangunan masjid yang ada di jalan raya. Di samping kurang elok, juga mengganggu dan membahayakan lalu lintas. Aku salah satu korbannyua.

Demikianlah kisahku di hari Sabtu yang kelabu: black sabbath, negro sabado!

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog