Rombongan berangkat, mengendarai bis berplat merah dengan no.pol M-7001-VP dan berlogo kuda terbang Sumekar di sisi logo Mercedes Benz Royal Coach-E. Bus dengan tipe mesin Mercy-1518 buatan 2001 ini berangkat dari depan TK Bina Anaprasa sekitar jam 7.30 waktu tidak di tempat.
Di antara kerumunan orang yang sibuk memasukkan barang ke bagasi, kulihat ada Pak Amir juga ngangkut dua tandan pisang dan menyelinapkannya di sana. Tidak hanya pisang, mungkin ada juga nangka atau labu di situ sesuai dengan apa yang dikatakan oleh K.Syamli Muqsith selaku kordinator rombongan kepada wartawan Kormeddal, "Ya, kami akan bawakan pisang, nangka, dan juga labu untuk Acu, selaku tuan rumah kami di Parung!"
Itulah oleh-oleh khas produk desa kepada keluarga yang ada di kota.
Hari ini beda dengan seminggu yang lalu, saat aku pulang dari Jakarta naik Kramat djati. Yang manarik, ada orang kota (yang kerja sebagai penjaja sate keliling di Jakarta) membawa buah kelapa dan ayam ke desanya di Sampang. Itukah oleh-oleh khas kota yang akan dibawa ke desa? Pak Husnan ini [jika tak keliru dia bernama demikian; aku belum sempat ngecek KTP-nya sih, karena kebetulan saat itu seragam POL-PP milikku sedang dicuci] mungkin punya pikiran seperti Paul Ricoeur, bahwa oleh-olehnya sebagai simbol, bukan sebagai metafor. Dalam simbolisme, akarnya menghunjam pada realitas. Simbolisme dalam ayam dan kelapa Pak Husnan ini juga mengacu pada "oposisi identitas berhadapan" (aku juga tak paham ini istilah apa?? He..he…) yang relatif memunculkan makna baru dalam setiap pembacaan. Sementara jika ayam dan kelapanya dia beli di Bangkalan dan dibawa ke rumahnya di Galis, maka oleh-oleh dari Jakarta itu sudah menjadi "metafor" yang usianya dipendekkkan oleh kekerapan dan peristiwa. Kelak, ketika orang-orang Sampang membeli "Nasi Uduk Khas Jakarta" di kota Bangkalan dan di bawa pulang sebagai oleh-oleh, jadilah ia dead metaphor!
dan …… DORR!! matilah puisi itu perlahan-lahan!
Saya berandai-andai, kalau saja K.Syamli bertemu dengan Pak Husnan dari Galis yang pulang bawa nyiur dan ayam dari Jakarta itu, akan terjadi percakapan seperti ini,
K.Syamli: "Pak, Sampeyan kok bawa ayam dan kelapa ke Madura dari Jakarta. Di Madura kan sudah banyak ayam dan kelapa. Harganya pun pasti lebih murah!"
Pak Husnan, "Kalau beli di Madura kan jadi ayam Madura, Mas, bukan ayam Jakarta. Nah, kalau yang saya bawa ini, ayam dan nyiur dari ibu kota."
K. Syamli: "Ya, tapi, ternak ayamnya kan juga di desa, Pak? Paling-paling, ayam dan nyiur yang Sampeyan bawa itu juga dari desa di Sukabumi atau Cianjur.."
Pak Husnan, "Memang betul, Mas. Setelah masuk Jakarta, ayam desa pun juga ganti KTP. Dan ayam yang saya bawa ini sudah ber-plat "B". Coba Mas lihat, kendaraan plat B itu jelek dikit sudah dioper ke desa-desa, dan di desa masih kelihatan keren. Tul Gak?"
K.Syamli, "Ya…ya….. begitu ya…. Oke deh," K.Syamli mengangguk-angguk.
Pak Husnan menatap K.Syamli, "Sampeyan bawa oleh-oleh apa ke Jakarta?"
K.Syamli, "Kami bawa pisang, nangka, dan labu. Kami panen dari kebun sendiri. Di Jakarta pasti mahal..."
Pak Husnan, "Oooo, ndak juga. Yang mahal paling cuma pisang itu!"
K.Syamli, "Loh, kok, bisa?"
Pak Husnan, "Di Jakarta tidak ada Pondok PISANG soalnya. Belinya harus ke supermarket. Kalau nangka dan labu sih di sono itu tempatnya."
K.Syamli, "Di sono? Sono mana?"
Pak Husnan, "Ya, di sono, di Jakarta, tepatnya di Pondok LABU dan ci-NANGKA!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar