26 Desember 2009

Tidak Ada yang Gratis di Dunia Ini?


-->
Setelah bangun pagi dan menyeruput secangkir kopi panas, aku dan tuan rumah yang kusambangi, bersantai di kebun belakang yang asri.

“Aku buru-buru. Aku mau ke Solo,” kataku padanya, pamit.
“Bawa saja mobilku!”
Jawabannya setengah kuduga. Terbayanglah perjalanan menyenangkan ke Solo hari itu. Semua akan berjalan lancar. Sayangnya—kalau harus kubilang “sayangnya”, semua kendaraan yang ditawarkan si empunya rumah bertransmisi otomatis. Menyesal diriku tak membiasakan diri dengan kendaraan macam ini.
“Yang manual gak ada?”
“Hanya Xenia.”
“Ya, gak apa-apa lah, yang penting ada bensinnya,” aku berseloroh. Maksudku, sekali dayung, dua pulau terlampaui.

Kami pergi ke garasi. Tapi, saat mobil Xenia itu dipanaskan untuk berangkat, kulihat jarum kontrl bensin itu—ah—menunjuk ke hurup E: kosong!
“Waduh, ini kontrolnya mati atau bagaiamana?”
Dia melhat, betul-betul kosong. “Oya, ya, maaf, kemarin di atas separo, kok.”
“Jadi, bagaimana mobil ini bis samapai Solo?”
“Ya, biar kuisi penuh dulu.”
Aku tersenyum, nyaris tertawa.

Karena hari ini hari Jumat, aku ngajak Mamat agar berangkat habis shalat. Tos, sepakat. Ketika kami berdua telah berada di dalam kabin, aku mengusulkan sesuatu.
“Mat, kita sudah gratis mobil dan bensin. Masak buat makan siang saja tak ada yang gratis?”
Mamat tidak menjawab, dia hanya tertawa. Namun, aku yakin, tawanya adalah tanda setuju, suatu persetujuan. Langsung kutelepon Bang Hendrik, si empunya rumah makan Kinantan (Seturan).
“Bang, ada di warung?”
“Iya, kamu di jogja, tah?”
“Iya Bang, saya mau ke situ, ya! Eh, Bang, masih jaulan lontong Medan tidak?
“Iya, kemari saja.”
Singkat cerita, kisah manis terulang siang itu, semanis es teh yang disuguhkan selepas menghabiskan satu porsi lontong medan.

Alhamdulillah. Rezeki Allah sungguh tersebar luas di mana-mana. Masih banyak lagi, yang tentu tak cukup kutuliskan di halaman blog yang sempit ini. Ya, Allah, jadikan aku makhluk yang pandai berskuyur. Siapa bilang di dunia ini tak ada yang gratis? Jika semua harus “dibayar dengan uang”, keseimbangan akan sulit tercapai: yang kayak makin kaya, yang miskin makin miskin, kata Rhoma Irama.

Jazakumullah Khairal jaza'

14 Desember 2009

Klakson


Entah karena faktor punya klakson baru atau karena menjajal tingkat kebisingan klakson angin Cap Hella, seorang sopir demam klakson. Sebentar-sebentar, tekan klakson.


Penumpang: perasaan, dari tadi Bapak main tekan klakson terus. Itu barusan; kayaknya Bapak tidak sedang dalam situasi berbahaya, juga tidak sedang berpapasan, tidak ada rintangan, hanya ada orang berjalan kaki, itupun di trotoar, kok Bapak juga bunyikan klakson?

Bapak Sopir: yang jalan kaki itu teman saya

Penumpang: kalau yang dari tadi itu, pak? Mobil-mobil yang berpapasan itu, apa bapak kenal mereka semua?

Bapak Sopir:semua semua pengguna jalan adalah saudara, kita berteman

Penumpang: tapi, kuping saya ini pak, jadi pusing kuping saya ini, Pak, tiodak berteman deh pak

Bapak Sopir:Kalau begitu, sampeyan tidur saja di rumah


CATATAN: Jadi bingung, fungsi klakson itu sebetulnya apa, ya?

Konsentrasi


Sopir 1: tadi kita berpapasan ya?

Sopir 2: di mana?

Sopir 1: di Talang Siring

Sopir 2: mana? Enggak, ah. Aku kok gak ingat, ya? Pas apa?

Sopir 1: kamu mau nyalip truk tapi gak jadi karena kres denganku. Kuberi lampu dim.

Masa kamu gak kenal mobilku?

Sopir 2: Nggak. Nyopir kan butuh konsentrasi, jadi aku gak sempat memperhatikan mobil kamu

Sopir 1: Jadi, kamu konsentrasi untuk mendahului tetapi tidak konsentrasi pada lampu dim-ku?


CATATAN: sejatinya, apakah makna konsentrasi dalam kamus lalu lintas di jalan raya?

09 Desember 2009

Pesan Nasi Apa?

Setelah rombongan takziyah pulang dari Besuki, dan aku terlena dibuai goyangan lembut Neoplan ex. Bis Bandara Soekarno-Hatta, aku terjaga. Kukucek-kucek mataku, menoleh, dan ternyata bis sudah diparkir rapi di depan Giant Probolinggo.

Para penumpang turun. Mereka berbelanja. Aku tidak. Uangku tidak sempurna untuk itu. tak dinyana, Aku melirik ke seberang jalan. Ada depot di situ. Aku pun masuk dan langsung kuamati sekeliling. Tak ada orang. Sepi.

Lalu, seorang pelayan datang mendekat, tetapi tidak mengajakku bicara, atau bertanya, seperti biasa. Aku mendongak, memperhatikan menu makanan dan minuman yang dipajang di dinding (memang, banyak depot/warung makan yang meletakkan menu di meja, tetapi ada pula yang memajangnya di dinding ruangan, bahkan ada yang lengkap dengan daftar harganya sekalian).


Kulihat di sana:
Soto Daging
Soto Ayam
Rawon
… … …
dan banyak lagi yang lainnya.

Mungkin karena aku tak kunjung memesan, pelayan itu akhirnya mengawali pembicaraan.

“Pesan apa, Pak?”
“Gak makan, kopi saja.”

05 Desember 2009

Terlalu Gesit

“Mat, tolong karburator ini diantar ke aku. Sekarang aku jumatan di Masjid Karduluk. Kamu cari Yono. Suruh dia yang berangkat. Cepetan, Mat. Pokoknya, habis Jumatan, aku tunggu. Makasih. Wassalamualaikum…”


Aku mengakhiri panggilan dan langsung menuju tempat wudhu’, siap shalat Jumat di Masjid Karduluk. Singkat cerita, beberapa menit sehabis Jumatan, aku telepon lagi Si Mamat.

“Sudah berangkat Yono-nya, kak.” Sergah suara di seberang, lebih dulu menjawab pertanyaanku yang telah diduganya.

“Oke, Makasih.”

“Iya. Saya kasih tahu dia agar langsung ke Masjid Karduluk, dan dia langsung berangkat, kira-jkira lima menit yang lalu.”


Dalam hitungan normal, jarak waktu tempuh dari rumahku ke Masjid Karduluk berkisar 20 menit, atau 15 menit jika agak ngebut. Tapi, sudah 40 menitan aku menunggu, si kurir tak kunjung datang juga. Perasaan was-was mulai membayang, “Jangan-jangan ban sepeda motornya pecah; jangan-jangan kehabisan bensin dan dia sedang tidak membawa uang; jangan-jangan…”

[Aku tahu secara haqqul yaqin, Si Yono ini jelas tidak membawa HP]


“Mana, Mat?” Teleponku lagi dengan suara memburu.

“Loh? Belum nyampe, apa?” Mamat justru menunjukkan intonasi keheranan.


Akhirnya, kuputuskan saja untuk kembali ke rumah, dengan harapan: semoga nanti bisa berpapasan di tengah jalan. Aku pun meninggalkan Masjid Karduluk dengan kecepatan 40 km / jam dan terus konsentrasi ke arah depan, memperhatikan semua sepeda motor yang datang dari arah berlawanan. Dan betul! Aku menjumpainya di depan Masjid Mustaqbil, Prenduan. Kucegat, dan langsung aku semprot:

“Ke mana saja kamu? Kok lama?”

“Saya sudaha sejak tadi di sini.”

“Lho, kok?”

“Saya cari-cari, tapi gak ketemu, bahkan saya sudah sampai ke kantor Telkom di Aeng Panas?”

“Loh???”


Sekarang, aku mulai paham. Ada yang tidak beres dengan ini semua.

“Memang masjid Karduluk itu sebelum kantor Telkom atau sesudah kantor Telkom?” tanyaku menguji kecapakan geogafi dan peta dasarnya. Tapi, Si Yono ini hanya diam tanpa ekspresi. Aku segera menjelaskan, “Masjid itu masih jauh ke arah timur kantor Telkom, masih dua kilometeran lagi, Yon.”

Aku diam, menarik napas, dan mengambil bungkusan plastik berisi karburator itu dari tangannya.

“Kamu tahu Masjid Karduluk, kan?”

“Tidak!” Jawabnya begitu cepat, begitu gesit.

Anak Gila

Ini cuplikan beneran, edisi nguping yang saya terima dari Kak Zainon. Dia pun mendapatkan cuplikan ini dari balik dinding rumahnya.

“Nak, jangan nakal, ayo mandi.”
“Enggak…”
“Ayo, Nak, mandi.”
“Enggak. Bapak gila!”

Ini anak rupanya sudah mulai keterlaluan. Masak, bapaknya dibilang gila. Namun, dengan bekal kesabaran tingkat tinggi, sang Bapak tidak mengurungkan niatnya untuk membujuk si anak agar segera mandi. Ia coba-coba menggoada:


“Kalau bapak gila, kamu memang anaknya siapa?”
Anaknya menjawab, “Anak orang gila.”

25 November 2009

Ceper

Sejak era The Filnstones, ketika suspensi belum dikembangkan karena zaman itu masih zaman batu: naik mobil batu, pakai roda batu, dan mungkin juga pompa anginnya juga bari batu, manusia mencari cara agar saat naik kendaraan, getaran dan goyangan dapat diminimalisir sebaik mungkin. Walhasil, targetnya: naik mobil agar enak dan empuk.

Dengan teknolgi hidup pun jadi lebih mudah. Manusia menemukan teknologi suspensi. Mulai dari per daun, shockbreaker, hingga per keong, dan belakangan suspensi udara (air suspension).


Namun, karena kreativitasnya pula, manusia juga selalu ingin menemukan pembaruan, meskipun terkadang hal itu tidak lazim, tidak “pada umumnya”, yang intinya: yang tidak sama dengan yang lain. Baru!

Salah satu cara mencari yang baru adalah dengan langkah modifikasi. Dan salah satu bentuk modifikasi di bidang ini adalah memendekkan jarak ground clearance (jarak bagian bawah kendaraan dengan bumi). Istilah modifikasinya adalah ceper (mapa’ dalam bahasa Madura).


Mobil yang diceperkan, tentu suspensisnya jadi tidak enak. Tujuannya, mungkin, demi sedap saat dipandang atau tidak banyak beradu satu-lawan-satu dengan angin yang datang dari depan saat melaju kencang.


Tapi, terus terang aku belum paham jika langkah ini diterapakan pada kendaraan besar, seperti bis. Mengapa bis Omah Mlaku yang bermesin Volvo B12M ini juga ceper, ya? Dibandingkan bis lainnya, ground clearance bis ini sungguh dekat sekali dengan permukaan jalan.


Dan aku akan lebih tidak paham lagi jika langkah ini diterapakan pada songkok: “songkok ceper”! Suspensi bagian mana yang jadi tujuannya? Entahlah..

17 November 2009

Kalimat Efektif

“Kalimat efektif itu, Saudara- saudara,” kata Pak dosen itu berapi-api, “Adalah kalimat yang secara tepat mampu mewakili gagasan atau perasaan si penulis. Kita semua tahu, bahwa kalimat itu tidak serta-merta dengan sendirinya akan dapat mewakili apa yang kita sampaikan, bukan? Kadang-kadang, saat kita menulis A, yang muncul justru tanggapan bernada B; salah-paham.”


Pak dosen mundur selangkah ke belakang, mendekati papan, lalu menambahkan begini: “Lagi soal kalimat efektif: agar efektif, kalimat hendakanya memiliki kesatuan gagasan, yakni lengkap subjek-predikatnya, dan boleh objek dan keterangan jika dibutuhkan, harus padu, hemat bahasanya, tidak bertele-tele.”


“Dan tentunya, agar kalimat kita benar-benar efektif, kita juga harus “sadar diksi”, kita harus bisa memilah dan memilih kata yang benar-benar cocok. Tidak menggunakan “mengintip”, meliankan “menjenguk”, jika yang kita maksud adalah “melihat orang sakit”. Oya, ejaan dan tanda baca harus diperhatikan juga ya!”


Diam sejenak. Tampaknya, kali ini saatnya untuk membuka sesi pertanyaan.

Ada yang mau bertanya?”


Semua mahasiswa extension yang kebanyakan telah berusia 30 tahun ke atas itu diam saja. Sepertinya mereka sudah sangat paham dengan penjelasan materi “kalimat efektif” hari itu.

“Mari,” kata pak dosen mempersilakan sekali lagi. “Apa Anda semua sudah paham betul dengan kalimat efektif ini?” Wajah-wajah datar menghampar di hadapan pandangan pak dosen berkaca mata itu.


Tiba-tiba, satu orang mengacungkan tangan.

“Iya!” Kata pak dosen menyambut dengan senyuman


Efektif itu artinya apa, Pak?”

09 November 2009

Pengawalan untuk Orang Miskin

Naik L300 dari Baranta menuju Sampang, tanggal 7 kemarin Nopember, pada kisaran jam 9:45-an, aku berpapasan dengan segerombolan orang gede ber-moge: ples! Cocok! Mereka datang berkonvoi, dikawal, dan masuk ke arela parkir Pantai Camplong. Pak polisi mengatur lalu-lintas. Mereka juga datang dengan kendaran mewah. Sempat kulihat ada BMW sport berwarna merah beratap kanvas, juga Alphard, serta entah apalagi.


Setelah kurang lebih 10 menitan terjebak macet karena mereka, mobil yang kutumpangi pun akhirnya bergerak lagi. Di dalam kabin mobil yang panas, Zulkarnaen, si pengemudi dari Bandaran ini berkomentar. “Saya tidak kagum melihat rombongan Harley ini. Mengapa tidak ada pengawalan untuk orang miskin?” Katanya sedikit masam. Dia bicara sendiri dengan tatapan lurus ke depan. Aku tidak berkomentar, karena yakin ada kelanjutan dari komenetar Si Zulkarnaen ini.


Terbukti: “Yang saya herankan, mengapa penumpangku begitu sepi hari ini..” lanjutnya seraya tersenyum. Berbarengan dengan itu, segera kusodorkan uang 5000-an untuk ongkos. Kernet menerimanya tanpa ekspresi. Aku maklum. Karena setelah kutengok ke belakang, hanya ada satu penumpang di sana, seorang pedagang krupuk. Kami berempat seolah-olah seang mencarter mobil dari “Mitsubishi Rent a Car”.


Masih terngiang, “Mengapa tidak ada pengawalan untuk orang miskin?”

Dan aku turun dari mobil itu untuk mencegat mobil berikutnya yang akan mengantarku ke arah Bangkalan.

31 Oktober 2009

Juru Parkir Antik

Seperti biasa, setiap mau pergi dari area parkir, aku selalu meminta karcis sebagai bukti. Cara ini, meskipun terkadang makan hati, kuanggap sebagai langkah yang bijak sebagai bahan pembelajaran “anti-kompromi terhadap segala macam pungli”. Sebab, dengan membiarkan parkir tanpa tanda bukti, itu berarti kita setuju/membiarkan praktik pungli (pungutan liar) terjadi. Bukankah pungli merupakan salah satu nenek-moyang korupsi, kawan?

Tadi pagi, setelah hendak pergi dari tempat parkir, jukir (juru parkir) itu mendekatiku. Kusodorkan uang 1000 rupiah karena kutahu tarip parkir di tempat itu masih Rp500,- saja. Setelah selembar uang seribuan itu berpindah tangan, orang itu menjauh.

“Ah,” keluhku. “Sudah tidak ada karcis, narip-nya 1000 rupiah lagi!” Aku membatin sambil membayangkan, berapa banyak orang yang mengalami kejadian seperti ini dan menghadapinya denmgan cuek saja.

“Pak, karcisnya mana?” Kataku agak lantang.

“Oh, ini!” Kata si bapak jukir tersenyum seraya menyodorkan karcis dengan tarip 500 perak untuk sekali parkir.

“Kok tidak ada kembaliannya, ya? Seharusnya kan cuma 500 rupiah?”

Setelah kuamati, ternyata karcis parkir itu ada dua lembar. Bapak tersebut mungkin turunan Abu Nawas, demikian kesimpulanku. Dia ogah untuk membayar sisa uang kembalian 500 rupiah padaku, tetapi justru memberiku 2 karcis sekaligus sehingga bertarip 1000 rupiah.

Maunya marah, akhirnya aku jadi tersenyum, meskipun agak masam.

25 Oktober 2009

Lampu Kota

Malam sabtu kemarin, aku mendahului/berpapasan, dengan beberapa sepeda motor yang tidak punya lampu kota (lampu belakang). Ada pula yang kaca lampu kotanya diganti warna puitih. Jadinya, sepeda motor seolah-olah sedang berjalan mundur.

Sungguh menyebalkan berada di belakang kendaraan seperti ini, utamanya di malam hari, dan utamanya jika Anda sedang mengendarai kendaraan roda empat/roda enam. Maunya, saat sedang asyik-asyiknya berjalan cepat di gigi empat misalnya, eh, tiba-tiba mendadak ada makhluk bergerak-gerak, samar, dan ternyata sepeda motor tanpa lampu belakang. Harusnya berjalan dengan istighfar, eh, ketemu kayak beginian, biasanya enggak memisuh, akhirnya, harus mengeluh.

Di tengah keadaan seperti ini, masih sempat saya berpikir, apakah tidak sebaiknya, saat pengambilan/uji SIM, diadakan pula ada uji mental/emosional, ya? Maksudnya, agar tidak mudah kita berbuat anarkis di jalan raya.

Malam Sabtu kemarin, sungguh saya gelisah rasanya ingin menulis esai untuk “Manusia Madura”-nya Mien A. Rifai yang dipuji-puji: Madura yang cerdas itu seperti apa? Saya kira, jika kasus yang saya alami ini menjadi salah satu sampel penelitian Pak Mien (sepanjang jalan Prenduan-Pamekasan lebih banyak bertemu sepeda motor yang tidak menggunakan lampu belakang daripada yang resmi/menggunakannya), arah pembicaraan buku itu mungkin akan sedikit berubah.

Namun demikian, saya buat kesimpulan lebih dulu, ya...
Ini dia:

Lampu depan saja: enak sama dia, gak enak sama saya
Lampu belakang saja: enak sama saya, gak enak sama dia (tapi kasus yang macam ini kok jarang ada, ya?)
Semua lampu menyala: enak sama dia, juga enak sama saya
Semua lampu tidak menyala: tidak enak sama dia, tidak enak sama saya, dan enak tilang-nya

Prit…….
Parkir.
Ada surat-surat?
Ada lampu kota?

GELAP!



22 Oktober 2009

Bukan Kambing Hitam

Tengah malam begini, ada kambing masuk pekarangan rumah dan bikin keributan dengan suara yang sepertinya tidak merdu, tak ada do-mi-sol-do-nya. Aku semakin tidak bersemangat untuk memiara kambing karena khawatir melakukan aktivitas serupa di pekarangan tetangga.

Kambing yang ini tidak hitam. Pokoknya, bukan kambing hitam.

19 Oktober 2009

Spion

Beberapa kali dalam perjalanan Sumenep-Pamekasan, berkali-kali saya nyaris nyenggol pengendara sepeda motor, gara-gara spion. Kebanyakan, kejadian ini disebabakan oleh pengendara sepeda motor yang pindah jalur secara mendadak tanpa melirik spion terlebih dulu. Namun, ada pula yang memang tanpa spion, atau juga pakai spion imitasi yang menggunakan kaca cermin.


Menyebalkan, memang.


Saya khawatir, jangan-jangan, kasus seperti ini disebabkan oleh ketidaktahuan pelalu lintas atas fungsi spion. Jangan-jangan (pula) mereka memang menganggap kaca spion itu buat berkaca dan macak sebelum berangkat kerja.


Saya usul, uji keterampilan untuk pengadaan SIM wajib ada soal: “Apa gunanya spion ini diciptakan?” Harus itu! Jika tidak, jangan salahkan jika kecelakaan lalu lintas akan terus bertambah hanya karena kurangnya pengetahuan pengendara terhadap fungsi-fungsi dan elemen kendaraan, dan bukan saja minimnya pengetahuan terhadap rambu-rambu lalu lintas. Bahkan, na’udzubillah jika sampai ada yang menganggapnya sebagai aksesoris murni belaka. Atau, jangan-jangan spion itu dianggap seperti puzzle-mainan: yang penting bentuk, tak peduli maknanya.

17 Oktober 2009

Lemari yang Bagus

Kisah ini dari zaman yang lampau, dan telah dikisahkan berulang-ulang:

Seorang hartawan desa datang ke kota. Saat menyodorkan uang untuk tape-compo paling mahal yang dia beli, ekor matanya melirik sebuah lemari besar. Dia beli itu juga. Dan ketika pelayan toko memberikan pencerahan, bahwa lemari pembeku (freezer) tersebut membutuhkan watt tinggi dan harus dengan listrik bertegangan 220-230 untuk pengoperasiannya, wak haji kaya ini tetap tidak peduli. “Sudah sejak lama saya mengimpikan punya lemari licin yang bagus,” katanya ketus.

Menurut Vladimir Propp di dalam bukunya, Morphology of the Folktale (1979: 1924), pada dasarnya setiap cerita mempunyai konstruksi. Dan tiap konstruksi terdiri dari beberapa unsur, seperti unsur pelaku, perbuatan, dan penderita. Ketiga unsur itu dapat dikelompokkan lagi pada dua bagian, yakni ‘unsur yang tetap’ dan ‘unsur yang berubah’. Adapun ‘unsur yang tetap’ adalah perbuatan dan tindakan. Sementara ‘unsur yang berubah’ adalah unsur pelaku dan penderitanya.

Karena itu, setiap ada cerita konyol tentang Madura, saya tak langsung mempercayainya. Jangan-jangan, cerita sejenis juga berkembang di daerah lain, dengan perbuatan dan tindakan yang sama, tetapi hanya direkonstruksi lakonnya. Cerita-cerita konyol juga sering ditemukan di Aceh dan Ambon, dengan format cerita yang sama, lakonnya saja yang berbeda.

Namun, yang paling akrab dimunculkan adalah kekonyolan orang Madura, meskipun dari beberapa bahan yang saya kumpulkan, seringkali juga sama dengan struktrur naratif foklor Nusantara lainnya. Mengapa? Barangkali, kata Sindunata dalam resensi untuk buku Across Madura-Strait (Basis, no.09-10, Desember 2006), merupakan anak-pinak dari cara pandang minor (inferioritas) yang diciptakan oleh etnografi (yang juga “dioperasikan” oleh orang-orang Jawa) sejak zaman penjajahan Belanda. Kasihan, kau Madura!

Akan tetapi, yang di bawah ini, sungguh benar-benar saya lihat sendiri, beberapa menit yang lalu sebelum saya menerbitkannya di sini:

:

09 Oktober 2009

Kebetulan atau Kurang Pengalaman

Wah, sungguh kebetulan. Saya tidak menyangka karya dan aransemen saya akan jadi begini rupa.

(kebetulan/karena kurang pengalaman?)


Eh, ini baru! Apa ada alasan mengapa Anda melakukan ini?

(sebenarnya, ini sudah lama, Dul. Kamu saja yang baru tahu!)

19 September 2009

Puasa Sial

Panas terik membakar bumi. Sebetulnya, saat saya hendak berangkat pergi takziah ke Prajjan (Sampang), kerongkongan tidak begitu kering. Puasa-pusa begini, wah, saya akan menempuh perjalanan 65 km X 2; takziah; nyampe siang hari; tak ada kopi atau camilan: semua tagline ini sudah terbayang dalam batok kepala. Saya memang berangkat mepet shalat Jumat, kira-kia 15 menit menjelang angka 11 siang dari rumah.

Saat tiba di rumah mertua,  di Pamekasan, shalat jumat hampir didirikan. Seperti biasa, halaman depan rumah itu, jika Jumat begini, dijadikan tempat parkir sepeda motor dan becak. Nah, begitu saya mau parkir Colt, tentu susah masuknya karena halaman telah sesak oleh kendaraan roda dua dan roda tiga. Parkir di tepi jalan, tidak mungkin, khawatir bikin macet. Yang membuat semakin sesak areal parkir itu adalah karena ada mobil yang parkir duluan dekat pintu masuk, merintangi jalan.

Saya tetap ngotot masuk, mencari celah agar bisa parkir di halaman “rumah” sendiri. Tapi, tiba-tiba, seseorang menyerobot jalan, masuk dan hendak parkir di halaman “rumah saya”. Hebatnya, saya tidak kenal sama orang ini. Dan tanpa lebih dulu turun dari sepeda motornya, dia berkata dengan suara keras seperti ada membran TOA di tenggorokannya, “Pak, kalau mobil parkir di selatan, Pak. Di sini cuma buat parkir sepeda motor dan becak! Sana, Pak, ke selatan…”

Sial benar nasib saya, ha, ha, ha: mau parkir di rumah sendiri justru dilarang oleh tamu. Satu hal yang saya catat dari pengalaman hari ini. Main serobot itu ternyata tetap berjalan di bulan puasa. Hal ini juga malah mirip nasib bangsa saya, bangsa kita.

15 September 2009

Bahasa Madura Rasa Arab


جَاءالنَّاسِئُ ِلمَا تقِرْ


والشَّاطيُ ِلمَا طُؤْعُورْ


اَلتِّيُّ لا, قافِيُّ لا, والسُّوسو إيَّاهْ


اَو ليمُونَ لم فُطولاً فُطولاَ



Nase’ lema taker
Sati lema to’or

Etté? nje’!
Kopi? Enje’ keyyah
Mun bhada susu, mara dimmah!
Otabha limun lema bhutoL

(NB: pesan anonim, entah siapa pengarangnya)

14 September 2009

Prosa untuk Mazda

Setelah terucap: “Saya menjual, saya membeli”, ijab-qabul telah terjalin, jual-beli telah terjadi.


Pukul 4.35 pagi, 14 September 2009, mobil ini telah pergi meninggalkan Sabajarin menuju Banyuwangi. Selamat jalan, Mazda! Jasamu padaku cukup banyak meskipun beberapa kali kamu pernah merepotkanku: putus ban kipas dan batere-mu yang gak nge-charge. Dan terjadilah dorong-dorongan. Tapi, da’ apa-apa da’. Biarlah, aku terima itu. Karena dibandingkan dengan jasa-jasamu mengantarkanku pergi ke mana-mana, itu tak seberapa.


Dan ingat ini, ya! Tak perlu pakai acara mogok! Meskipun bagiku mogok itu “mobiliawi”, seperti halnya sakitku yang “manusiawi”, tapi tolong kasihani tuanmu yang baru. Dia masih belum akrab dengan hal-hal semacam itu.


Selamat jalan, semoga selamat sampai tujuan. Hati-hati di jalan. Jangan paksa kalau tubuh capai. Jangan menyalip kalau pandangan tak bebas. Itu bukan tekat, tapi kormeddal namanya!

* * *

Seolah punya perasaan, mobil itu berjalan pelan meninggalkan sesuatu di dada dan mataku. Dengan pengemudi Haji Alwalid dan co-driver Ahmad Kholis, cahaya lampu kota mobil itu merembes dalam gelap, merah di kanan dan putih di kiri karena kaca lampunya yang telah pecah, pelan-pelan semakin meredup, lalu menghilang di tikungan, di atas Sumber Daleman.


Catatan: kok bisa ada emosi di sana, ya? Padahal, ini kontak besi dengan hati. Dari mana chemistry itu? Lalu, jika dengan "besi" saja bisa tersentuh, masa aku tidak akan tersentuh dengan hati sesama? Keterlaluan, kan? :-)


13 September 2009

Napsu MeddaL

Siang ini, seleraku benar-benar meddal: pengen es nutrisari! Padahal, aku bermusuh dengan es batu: nyaris tak pernah minum es batu, terutama di bulan puasa. keras & pusing.


Lalu, disiapkanlah nutrisari. Tapi, Maghrib nanti juga harus buat kopi. Gak nendang tanpa kopi, si teman tembakau. Tapi, kayaknya, kolak pisang juga harus disipakan, karena ini, aromanaya, enak sekali. Tapi, nasi masak gak usah?


Semua itu rencana, tapi bila bila azan tanda berbuka telah tiba, segelas air putih ternyata, eh, ternyata mampu mengalahkan keinginan itu semua. Ya, begitulah.


Napsu dilawan, tak selesai-selesai.

Napsu pake turbo ganda, dan juga los solar.


Blog kiri, blong kanan. Meddal.

04 September 2009

Workshop Penonton


Saat nonton festival teater di Aula Asy-Syarqawi, kulihat penonton berjubel. Ramai sekali. Para penonotn umumnya siswa SLTA dan SLTP. Sebagian kecil saja yang sudah jadi mahasiswa. Aku menghitung selayang pandang, sekitar 400-450-an orang tumpek blek di sana.

Kondisi seperti ini jelas tidak kondusif, terutama untuk pementasan, mengignat peristiwa ini terjadi bukan di Balai Sarbini atau gedung teater modern milik Taman Ismail Marzuki, melainkan di sebuah aula yang bukan gedung pertunjukan, ruang tertutup berkapasitas 2000 hadirin, tidak dilengkapi dengan tata ruang ber-akustik baik. Suara berisik dan gaduh pastilah jadi problem ketaknyamanan yang pertama.

Namun, kegaduhan tidak terjadi di sana. Penonotn duduk manis menikmati jalannya pertunjukan. Kecuali hanya pada bebrapa titik saja terdengar orang mengobrol sesama kawan duduknya. Di aula itu, hadirin bukan saja datang untuk menonotn pertunjukan, malainkan ada juga pengunjung bazar yang berseliwer untuk melihat-lihat pameran buku di dalamnya. Dan secara umum, jika mengitung jumlah pengunjung seramai ini, aku merasa heran, justru karena pengunjung relatif tidak gaduh dan terkesan menikmati pertunjukan. Dalam hati aku membatin, “Alhamdulillah, anak-anak di sini rupanya sudah menjadi penonton yang baik, tidak seperti penonton pertunjukan seni/teater di Indonesia pada umumnya, bahkan mungkin bisa disejejarkan dengan masyarakat pecinta teater di negera-negara maju.”

Seorang kawan yang kebetulan tinggal di Jerman, Farid Mustofa namanya, mengirim surat seperti ini kepada saya beberapa waktu lalu:

...malamnya aku lihat musik klasik di lapangan. Orchstra kota ini, Gewandhaus orchestra namanya, sudah 6 abad usianya, J.Bach, Bethoven, Mandelson pernah di sini. Dlm rangka ultah salah satu komponis besarnya, Felix Mendelson, orchestra yg jadi barometer musik eropa dan dunia ini memberi kesempatan rakyat jelata menonton di lapangan, krn klo di gedung karcisnya mahal. Meski di lapangan tatacaranya sama dg di dlm ruang, misal ga boleh berisik, motret dg blitz, nyoting. Aku makan kacang...ditegur depanku. Cewek. Mangkel aku. Krn sblmnya dia dengan suara gemerecak dia cepokan sama pacarnya. Tahun depan kalo ada lagi, dan aku bs bhs jerman, mau genti tak marahi. Mentang2..

Betapa pentingnya menjadi penonton yang baik. Di Eropa, dan negara-negara maju yang lain, saat menonton pertunjukan seni, karena kebiasaan dan iklimnya, serta merta kita akan menjadi “terdidik dan terpelajar” dengan sendirinya. Tetapi di sini, apalagi pentas teater, tetap saja kurang bisa menghargai pementasan. Rame ya rame. Pentas dangdut dan pentas baca seni/teater nyaris sama gaduhnya. Yang membedakan hanya jumah penontonnya.
Sudah sering kudengar adanya wokrshop teater, workshop keaktoran, tetapi belum ada workhop penonton. Kita dilatih menjadi aktor, membuat naskah, menjadi sutradara yang baik, tetapi tidak pernah dilatih menjadi penonton yang baik. Barangkali, panitia acara ini, telah melakukan “workshop penonton” sebelumnya sehingga pada malam itu, di aula itu, hadirin benar-benar menikmati jalannya pertunjukan teater.

Kudatangi ketua panitianya dan aku berucap salam untuk memberikan selamat. “Hebat, sukses acaramu. Pentas teater sebegini banyaknya dihadiri oleh siswa-siswa Aliyah dan SMA, tetapi penonton cukup terkendali. Tidak gaduh. Apa caramu mengkondisikan suasana seperti ini mengignat pertunjukan kawan-kawan juga tidak begitu bagus?”

Apa jawabnya? Ini dia:
"Jika ada yang gaduh, saya datangi sumber suara, langsung jewer telingnya!”

30 Agustus 2009

Warung Betis


Bulan puasa seperti sekarang, di daerahku, warung-warung makan biasanya pada tutup. Pemilik warung menyadari, mayoritas penduduk di sini merupakan pemeluk agama Islam dan tentu saja mereka—umumnya—berpuasa. Jalan raya di sini juga bukan jalan provinsi yang tentu tidak begitu ramai dilalui orang-orang yang punya “Surat Izin Tidak Berpuasa” karena sedang dalam perjalanan jarak-jauh (musafir) dengan kompensasi/rukhshah (diperbolehkan buka/tidak berpuasa dengan syarat harus menggantinya suatu saat, di lain hari).


Tetapi, di terminal-terminal, umumnya di kota, tetap saja ada “Warung Betis” yang online. “Warung Betis” ini merupakan kedai makanan kaki lima yang hanya bertabir kain memanjang. Mereka tetap buka siang-siang (meskipun di antara para pelanggan itu ada yang benar-benar mengantongi “Surat Izin Tidak Berpuasa”, tetapi bukan berarti memang ada pula yang benar-benar tidak mau berpuasa). Di warung ini, wajah para penyantap saja yang di-klik_kanan>properties>attributes>hidden pada orang lain, kaki dan betisnya, tetaplah kelihatan. Asap rokok, bau rempah-rempah, dan aroma makanan pada umumnya tetap mengumbar dari sana.


Catatan: hanya ada bagian kecil dari anggota tubuh seseorang yang dapat ditandai sebagai bagian “rawan dan malu jika ditampakkan”, antara lain adalah “wajah/muka”. Rupanya, betis tidak termasuk pada bagian ini. Kasihan kau, betis!


27 Agustus 2009

Paragraf


Kali ini, Kormeddal tampil untuk edisi bahasa, khususnya seputar paragraf deduktif dan induktif.


DEDUKTIF (Inti kalimat ada pada bagian awal paragraf)

Nahas benar hari-hariku belakangan ini. Sepupuku menabrakkan bumper Suzuki Carry ke tembok gudang tadi malam. Bumper jadi penyok dan lampu seinnya retak. Siang hari esoknya, atap pojok kamar mandi mushalla yang baru saja diperbaiki diserempet atap mobil tamu. Patahlah papan kayu bercat meni merah itu. Sore harinya, pojok kanan bokong Colt T-120 milikku ditabrakkan Jauhari, sopir yang kukenal paling hati-hati dalam mengemudi, ke tugu pembatas. Akibatnya, hancurlah dempulan bodi colt tua itu sebesar peci nasional ukuran 10. Kocekku pun harus dirogoh lebih dalam. Belum selesai: esok hari berikutnya, sopir adik iparku, saat memundurkan kendaraannya, menabrak pohon klengkeng kesayanganku hingga patah. Pohon ini merupakan tanaman terakhir alhamrhum bapakku, dua tahun yang lalu, dan tumbuh baru sejengkal setengah saja.


INDUKTIF (Inti kalimat ada pada bagian akhir paragraf)

“Padahal, ceritanya begini, Pak. Setelah bumper Carry itu penyok, dibawalah ia ke Pak Muntasir untuk diperbaiki. Sebetulnya, Pak eMMon ini bukan bengkel mobil, tetapi dia merupakan “kakek segala tahu”-nya kami. Dia ini bisa mengerjakan kabel, karburator, las, cat, dan apa saja sesuai permintaan pasiennya. Demikian pula, Si Titos yang baru saja nyeruduk tugu, harus opname di “As’ari & Dulla All Stars”. Colt Titosku ini harus melalui tahap pengecatan ulang pada beberapa sisinya. Kedua cerita di atas ini tidak sekadar butuh dempul dan cat, tetapi juga butuh uang. Nah, apakah Sampeyan ini sedang ada uang? Mari, beri saya pinjam.


Catatan: seseorang cenderung menggunakan paragraf induktif ini untuk meminjam uang. Hal ini sesuai dengan kata pepatah: "Berbasa-basi dulu, berinti-inti kemudian..."


19 Agustus 2009

Hukum Karma

“Jika kita tidak dapat berbaut baik pada orang lain, berusahalah untuk, sekurang-kurangnya, tidak mengusik orang lain.”

Ini pesan seseorang padaku. Dia, meskipun mungkin tidak percaya karma, tetapi menyadari kalau perbuatan baik itu akan diganjar dengan kebaikan juga. Seorang kawanku yang lain (dia ini bapak-bapak dan punya dua anak) sering mentraktir aku sewaktu kost dahulu di Jogja. Beliau ini juga sering memasakkan mie plus mentega plus kornet buatku. Aku merasa sungkan (tapi enak, sih) karena seharusnya akulah yang berlaku demikian. Suatu saat, aku tanya mengapa ia lakukan hal-hal semacam ini? “Aku ini perantau,” jawabnya. “Aku tinggalkan anak-istri di rumah. Jika aku berbuat baik pada orang, maka orang lain akan berbuat baik padaku, atau keluargaku yang ada dirumah.” Begitu kepercayaannya.

Hukum karma adalah hukum sebab akibat. Yang belajar akan pintar, yang malas tak naik kelas. Begitu hukum umumnya. Atau, versi yang lain adalah seperti yang disampaikan seseorang kepadaku, tadi sore. Begini katanya:

“Dulu, kita selalu dibikin antre panjang saat mau masuk feri Ujung-Kamal. Sekarang, sejak diresmikannya Suramadu, giliran feri yang nunggu kita. Rasain.”

Capo’ tola itu…

12 Agustus 2009

Jujur Kukatakan: Aku Tak Suka "Jujur"



Pada suatu saat di tahun 2005...

“Mana ini, Mas?” tanya saya sambil kucek-kucek mata. “Pulo Gadung,” jawab lelaki berseragam warna terong itu melintas.
“Pool tidak jauh lagi, kan?” Saya mengajukan konfirmasi, tanpa perasaan maksud bertanya, dan dengan air muka orang yang seolah-olah berpengalaman di Jakarta.
“Nggak begitu jauh...”

 Segera saya telepon adik sepupu, memberikan perintah agar segera meluncur dari kost untuk menjemput di Lebak Bulus, pool Lorena-Karina. Tapi, karena kantuk mata mengalahkan segalanya, tertidurlah saya pun dengan asyiknya. Handphone di saku celana pun melorot tanpa terasa.

 Entah berapa lamanya kemudian, baru saya terjaga. Bus melaju dengan kecepatan, dalam perkiraanku, 80 KM per jam. Saya bangkit dari kursi dan maju ke depan sambil kulihat sisi kiri-kanan jalan. Ah, sepertinya, kok?

* * *

“Pool masih jauh?” Kali ini, saya bertanya dengan nada agak sumbang, dengan air muka mengandung keraguan.
“Hampir…” jawab salah satu dari awak bis itu dengan sekali toleh, dingin.
Saya duduk kembali, tak berani tidur. Cukuplah sisa perjalanan 22 jam dari rumah, dengan segala acara bonus macetnya, dinikmati saja.

Bis masuk keramaian. Tapi, perasaan ini kok memberontak bahwa saya sedang dalam arah yang salah? Ah, ini tampaknya bukan pemandangan yang pernah saya lihat beberapa tempo sebelumnya. Dan ternyata… ini Bogor. Ya, Karina mau masuk pool Bogor, karena tadi (mungkin) sudah masuk Lebak Bulus dan saya tertidur.

* * *

Meskipun saya datang dari Madura memang mau pergi ke Bogor, tapi karena acara masih esoknya dan saya harus ke Ciputat lebih dulu di hari itu, saya pun balik jalan. Dengan rasa capek yang membuncah, saya ikut bis—kalau tak salah—Agra Mas dari Baranangsiang dengan tujuan Lebak Bulus. Saat masuk bis, ternyata saya adalah penumpang satu-satunya, yang masuk pertama. Saya pikir, berapa lama lagi, ya, bis ini akan berangkat? Musik mengalun, “Jujur”. Itulah saat pertama kali saya mendengarkan lagu—yang belakangan diketahui dari—band Radja yang kebetulan berada di pamuncak kemasyhurannya. Capek dan kesal campur aduk.

Makanya, sampai sekarang, setiap kali mendengar lagu ini mengalun, memori saya langsung terbawa pada hal-hal yang mengandung capek dan kesal: ketiduran, Baranangsiang, Karina. Itulah mengapa pula harus dikatakan: “Jujur, aku tak suka “Jujur”!

11 Agustus 2009

Tilang Berhadiah

Setiap kali melihat anak muda ngebut sembarangan, atau tak memakai lampu di malam hari, belok tiba-tiba tanpa lampu sein, berhenti mendadak tanpa lampu rem, atau, intinya, ugal-galan di jalanan raya, ingin rasanya Saya jadi polisi dan akan kuberi tindakan dan penyadaran mereka semua itu (makanya, dulu aku mengidolakan Chip's dan suka kartun Police Academy).

Namun, sejak pukul 09:15 (14 Mei 2009) keinginan itu pupus sudah...

Mobil Titos (Colt T-120) yang kujalankan, dengan penumpang 4 orang, diberhentikan polisi dalam sebuah operasi lalin di Jalan Panglegur, Pamekasan, seberang jalan RSUD yang baru.

Kami sempat adu mulut; saya bicara sopan, tapi perwira polisi berinisial DH itu marah-marah (masih sopan tidak kutulis “membentak-bentak”).
“Malu sama peci haji Anda..” (ketika itu aku pakai peci haji)
“Alasan Anda itu biasa, modus operandi sopir-sopir di sini...”

(Perwira itu menghindar ketika saya desak dan menyatakan bahwa saya membuka sabuk pengaman itu karena mau turun. Sabuk itu copot ketika sang perwira menyentaknya). Maklumlah, semua safety belt (sabuk keselamatan) beginian (yang “dipasang sendiri” di mobil-mobil tua, atau mobil baru sekalipun tetapi bukan dari pabrikan) lebih bersifat simbolis, tak ada artinya. Seharusnya, sabuk keselamatan akan menahan badan secara otomatis dari benturan dengan stir jika terjadi hentakan/tabrakan. Tapi sabuk-sabuk keselamatan macam di mobilku itu, mana mungkin dia berfungsi seperti itu. Ya, pasti melorot lah, karena memang tidak berpegas.

“Anda itu harus minta maaf!”

Tapi, karena hujjahku masuk akal, dan agar tidak lebih panjang urusan, saya minta maaf. Akhirnya, permintaan dikabulkan meskipun dengan berat hati, begitu kelihatannya. Saya tidak jadi kena tilang. Sementara anak buahnya bilang selamat jalan dengan hormat...

Istriku dan beberapa penumpang perempuan yang lain merasa tidak terima atas sikap tidak sopan sang perwira polisi tersebut terhadapku. Saya mengajak mereka buru-buru pergi karena khawatir akan terjadi cek-cok dan adu tensi tinggi. Dengan gaya suami siaga yang sok bijak, saya bilang, “Mungkin bapaknya itu punya masalah dengan istrinya sebelum pergi bertugas. Akibatnya, ya, emosinya tumpah di jalanan..” Masuk gigi 1, lepas kopling, tancap gas, dan kami melaju. Mobil Titosku menderu…

Saya tiba di tujuan dalam keadaan capek pikiran, tapi masih bersyukur karena daftar tilang saya masih nihil. Alhamdulillah..

Namun, tiba-tiba...

Saat merogoh sak baju, kedapatan duit 20.000 yang tak jelas silsilahnya di dalam saku. Saya itung ulang semua uangku: lengkap, kap, kap! Lalu, milik siapakah uang 20.000 itu? Saya menduga, uang-bernasib-malang ini milik pelalu-lintas lain yang melanggar yang tak mau ditilang dan memilih nyogok. Astaghfirullah. Siapah tuan pemilik uang haram ini?
Saya membatin, “Apakah milik muda-mudi tak berhelem, ya? Ataukah punya sopir colt pick up yang muatannya berjibun itu-kah? Entahlah, yang pasti, saat saya ambil SIM/STNKB-ku dari meja kap sedan mobil polisi itu memang tergeletak bersama SIM/STNKB kendaraan-kendaraan lain yang kebetulan juga kena tilang.

Waduh..

Saya serahkan uang itu kepada seseorang sambil berkata, “Terserah mau dibagaimanakan,” kataku sambil menyerahkan uang itu. “Tapi, jangan sampai perutmu, perut istrimu, dan perut anak-anakmu, kemasukan makanan dari uang yang tak jelas silsilahanya ini.”
“Kalau masuk ke telinga?” tawarnya.
“Maksudnya?” Saya balik bertanya.
“Dibelikan pulsa, misalnya, buat nelepon?

Makin pusing kepalaku dibuatnya!

Catatan Tersisa:
1. Image Colt T-120 adalah omprengan. Jadi, mobil plat hitam pun dikira ngompreng.
2. Barangkali, saya juga disepelekan karena perwira itu melihat SIM-ku yang “masih A” dan saya dianggap baru belajar mengemudi (meskipun sudah 3 kali bikin SIM A). Menyesal saya tak ambil SIM B-2 saja biar dikira sopir bis/tronton.
3. Bukan hanya kanker yang berbahaya, cara pandang bahwa pengemudi lebih rendah derajatnya daripada aparat polisi itu juga tak kalah berbahaya.
4. Lain kali, kalau mau ke kota aku bawa Grandis atau Mazda RX-ku saja, ah, meskipun DURNO! :-)

[tulisan di atas diambil dari blog-ku juga]

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog