Nah, kebetulan, rute sarwah malam itu termasuk medan semi off road. Saya lewat di jalan setapak dengan jarak tempuh kira-kira (PP) 1300-an meter. Jalan ini jarang dilewati. Rumpuntya tinggi di atas mata kaki, bahkan hampir menutupi jalan. Meskipun medan begitu, seolah telah mengantongi sertifikat dari perkumpulan Off-Roader, saya tetap jalan bergegas (gancang). Saya berjalan terdoyong-doyong karena lampu senternya juga sangat tidak terang. Saya khawatir datang terlambat di TKP.
Entah di tikungan yang keberapa, saya terpeleset, dari nyaris jatuh dari tastabun ke kali (kurang lebih 2 meter dalamnya). Pak Amir pun meddal dari belakang: “Beh, ma’ munyer, Keh?! Pola eb-ban-a tepes?” (Beh, kok selip? Apa sudah gundul bannya?).
Saya tersenyum. Datar saja..
Hanya beberapa langkah kemudian, kembali saya nyaris terjatuh lagi karena jalan setapak itu memang betul-betul medan yang tidak akrab terhadap sandal jepit biasa. Maka, Pak Amir pun menambah komentarnya, “Loronga e attas, Keh! Mun se e bhaba ka’ essa sok-sok. Tengate, ta’ asareya adung-ghindung sampeyan kaula..” (jalannya itu di sini (di atas), Keh. Kalau yang di bawah itu kali namanya. Hati-hati, saya ogah mau gendong Sampeyan kalau ntar terjatuh ke kali).
Nah, malam ini, dua pekan berikutnya, saya juga bareng dia ke sarwah. Kali ini, saya bawa lampu senter berpemantul lebar, tapi sayang giliran mata saya yang sakit, kelelahan. Dan inilah saran penyajian dari Pak Amir: “Ja’ lako amaenan komputer, Keh. Tak asareya atontonton, kaula, ha..ha….” (jangan komputer saja dipelotot, saya ogah kalau harus nuntun sampeyan, ha..ha…)