Tadi pagi aku habis kondangan manten. Suasananya seperti bisa. Datang tepat waktu, dan acara sedikit molor. Biasa.
Setelah besan datang, pembawa acara langsung meddal. Salut, pembaca acara bermain cantik! Tak ada salah dalam pembacaan nama. Ini agak jarang terjadi. Soalnya, menurut sebagian orang, acara aqdun nikah merupakan acara yang berrit: biasanya, selalu ada kesalahan, baik itu soal jangkauan undangan (seperti tetangga dekat tetapi luput, hidangan yang mengecewakan, waktu terlalu molor, bahkan hingga teknis pelaksaan. Umumnya, dalam amatanku, pembawa acara (MC) selalu memalukan kesalahan saat menyebutu nama, meskipun nama-nama itu sudah akrab di lidahnya.
Yang ini, tidak. semuanya berlangsung aman dan lancar. Hanya ada satu hal. Ada kebiasaan buruk. Soundsystem, tata suara, yang kutaksir berkekuatan 5000 watt-an itu, diputar keras-keras, baik di waktu pra-acara, saat acara berlangusng, hingga pada acara makan-makan. Jadinya semua orang harus berteriak-teriak jika ingin berbicara dengan kawan duduknya sekalipun. Suasana tidak nyaman. Emang, sound system itu disewa buat apa, ya, jika seperti itu keadaannya…
Ini masih untung, di kesempatan lain, aku pernah mengalami hal serupa. Sound ditekan sampai ke tingkat desibel yang membahayakan gendang telinga. Dangdut, hadrah, koplo, gambus berbaur jadi satu. Tapi saat acara berlangsung, ternyata mike-mike-annya bermasalah. Nge-ground dan grusak-grusak tidak jelas bunyinya. Gedubrak! Acara akad nikah, acara inti itu, jadi tidak tersiar dengan baik.
Padahal, tuan tumah membayar mahal sewa soundsystem itu, intinya, hanya untuk menyiarkan acara akad nikah pada semua undangan…
Karena Perempuan Berkalung Sorban sedang diributkan…
Novel karya Abidah yang berjudul Perempuan Berkalung Sorban (PBS) merupakan sebuah novel yang sebetulnya sudah saya lupakan kisahnya. Saya membaca novel ini sekitar tahun 2003-an lalu mengingat novel ini telah terbit pada tahun 2001. Dulu, di awal mula terbit, tidak ada ribut-ribut tentang novel ini.
Beberapa tahun kemudian, tahun 2009 ini, novel PBS diributkan banyak orang karena dianggap mendiskreditkan kelompok, atau golongan, atau kategori personal/sosial tertentu. Keributan ini terlambat datang, seiring dengan mendadak terkenal ketika telah difilemkan dengan judul yang sama (Duh, lagi-lagi saya juga belum nonton filemnya).
Meskipun saya belum nonton, tetapi saya yakin, bahwa novel yang difilemkan (ecrane : betul gitu, ya?) tentu mirip karya terjemahan. Ada reduksi. Terjemahan saja yang merupakan alih-bahasa menimbulkan reduksi, apalagi dari novel ke filem yang merupakan alih-media. Jelas, meskipun filem lebih kompleks karena memiliki segalanya, tetapi reduksi itu tampaknya tetap tak terelakkan.
* * *
Akhir-akhir ini adalah era-nya novel relegius (meskipun tahun ini tampaknya mulai meredup). Yang ada bau agama, yang sedikit ada bahasa Arab-arabnya, lagi laku-lakunya. Lihatlah Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan cinta-cinta yang lain. Entah ini sekadar tren atau selera masyarakat atas nuansa religius memang membaik, tak tahu lah saya. Yang jelas, dalam kamus bisnis, meraup keuntungan bis dengan cara ikut tren alias niru-niru. Meniru memang lebih mudah dengan keuntungan finansial juga tinggi, sementara tingkat kesulitannya rendah.
Peniruan ini biasanya dibentuk oleh citra yang pertama, mencakup gagasan, bentuk, citraan, gaya, pola, atau bahkan “segala-galanya sampai tak tersisa” alias membajak (he..he..). Misalnya meniru Laskar Pelangi dengan Laskar Kemangi (kisah segerombolan orang penggila lalapan lalapan); atau bisa juga meniru gagasannya, gambarnya, pokoknya lah…
Kembali ke muka…
Jika di awal-awal munculnya PBS kurang mendapat perhatian, kini, setidaknya setelah difilemkan, atau memang karena juga kebetulan tahun ini merupakan tahun hokinya, menginspirasikan rekan saya, Dharmo Budi Encus, untuk meluncurkan produk “beda tapi tak sama” ini: sebuah saingan berat PBS:
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah perjalanan di jalur pendek, saya naik bis, dan duduk di kursi baris ketiga dari belakang. Bis yang saya tumpangi ini lumayan banter. Meskipun bodinya sudah rusak-rusak, tetapi deru mesinnya masih memperdengarkan suara gahar seperti James Hetfield saat menyanyikan Master of Puppets. Menilik aumannya, dapur bis ini pasti pakai kompor Mitsubishi, bukan Hino atau Mercy.
Duduk persis di belakang saya, seorang lelaki berseragam NNR, pak kondektur, tukang tarik karcis. Saya mencari pembenaran kepadanya untuk memulai pembicaraan pertama.
“Mesinnya Mitsubishi, ya?
“Kok tahu?”
“Ya, derunya itu kan beda sama AK!”
Diam beberapa saat, konedektur itu memperhatikan peciku.
“Sampeyan ini tirakat jalan, ya?”
Saya meringis, seperti kena silet.
“Suka naik bis saja, tidak lebih,” jawabku sejujurnya.
“Ah, solanya, ada lho yang tirakatnya di tempat-tempat yang ramai,” sambungnya.
“Enggak. Asli. Saya cuma suka naik bis. Ini bisnya banter. Sennang saya.”
Seperti kebanyakan, sudah naluriah mungkin, awak bis selalu memuji bisnya, sebagaimana orang tua selalu memuji anak-(pertama)nya.
“Wah, ini sih ndak ngebut, Mas. Sopirnya bukan sopir asli. Coba sopirnya yang asli, lebih banter. Ini jamnya sudah ngepres. Nanti kami harus putar-balik di pertigaan terminal. Jam parkir sudah habis.”
Saya melongo, mencoba mengiyakan, mencoba mencari pemahaman.
Sepeminuman teh…
Sang kondektur curhat kalau dia juga suka ijazah-ijazah kesaktian, tapa, puasa mutih, dan sebagainya. Saya jadi pendengarnya di sela-sela bunyi mesin depan, gedubrak-krongsang baut-baut bodi bus yang sudah atal-talan.
“Aslinya, saya juga suka amalan-amalan, Mas,” lanjutnya. “Saya ndak pernah mondok, tapi saya juga bisa cepet kalau ngaji Al-Quran.”
Saya tersenyum
“Kalau lagi perpal, saya ikut khataman.”
Saya tersenyum lagi.
“Bahkan, ngaji 1 juz bisa saya selesaikan dalam 15 menit saja!!
Saya (memaksakan diri untuk) tersenyum.
Pikirnya, dalam pikir saya, yang suka naik bis banter dikiranya pasti suka banter-banter yang lain: bukankah sopir bis banter juga harus tahu tajwid-nya jalan raya?