Beberapa bulan yang lalu, saya bertamu ke ndalem salah seorang kiai untuk suatu keperluan. Usianya, dalam taksiran saya, barangkali 65 tahun. Kesehatannya sudah mulai menurun, tetapi beliau tetap menemani para tetamu dengan kopi dan rokok.
Singkat cerita, percakapan pun akhirnya tiba pada pertanyaan saya, mengapa beliau masih merokok di usia yang relatif tua itu. Apakah mengganggu kesehatan atau tidak, demikian intinya. Beliau justru menjawab pertanyaan saya ini dengan sebuah cerita dalam bentuk percakapan:
Dokter Fulan: sudahlah Kiai, berhentilah merokok. Apa manfaat rokok? Tidak ada sama sekali. Rasul tidak merokok, nabi yang lain tidak merokok. Anda kan buang-buang uang. Berhentilah merokok agar Bapak Kiai lebih sehat dan bisa lebih lama melayani ummat. Merokok itu pekerjaan sia-sia, dan pekerjaan sia-sia itu hanya dikerjakan oleh setan. Sudah ya, berhenti merokok saja. Merokok adalah penyebab utama kematian, lho.
Kiai Fulan: Ya, saya mengerti, Pak. Tapi, janganlah Anda mengecam keras begitu. Jangan terlalu, Pak. Coba ajak saya berhenti merokok dengan cara yang tidak mengancam, yang tidak “nakut-nakuti”. Urusan syubhat Anda tegas, tapi urusan yang jelas-jelas maksiat Anda plin-plan.
Saya: itu, dokter Fulan dokter mana, ya, Pak Kiai?
Kiai Fulan: di Sumenep. Dia suka sekali menakut-nakuti saya (sambil tersenyum lebar)
Saya: Tetapi, apa Panjennengan masih sering periksa kesehatan ke dokter fulan itu?
Kiai Fulan: terakhir, tiga bulan yang lalu saya diundang ke rumahnya untuk menghadiri acara peringatan 1000 hari wafatnya.
Kesimpulan saya bukanlah soal rokok yang berbahaya atau tidak bagi kesehatan, melainkan pelajaran tentang cara menegur dan bagaimana kita mencintai/membenci seseorang ala kadarnya saja. Kurang lebihnya mohon maaf. Sekian dan terima kasih.
22 Juli 2010
19 Juli 2010
Spekulasi Tingkat Tinggi
Tadi malam, ada seseorang yang datang dan mengeluh. Katanya, sudah memasukkan uang 10 juta untuk dapat seragam dinas dan bekerja setiap hari. Tiap bulan ia ingin mendapat gaji. Itu intinya. Tapi, katanya kemudian, sudah berbulan-bulan tak ada kabar beritanya.
“Mengapa tidak kaubuat modal saja. Bukankah uang 10 juta itu kan lumayan besar untuk modal usaha?” saranku.
“Untuk modal usaha? Tentu saya tidak punya uang sebanyak 10 juta.”
“Lah, buktinya kamu bisa menyerahkannya buat uang pelicin itu?”
“Nah, itulah. Itu saya dapatkan tersebut dari hasil pinjaman.”
Dug. Aku terkejut. Ternyata, orang ini bukan saja culun, melainkan juga berani melakukan spekulasi tingkat tinggi. Aku berpikir, mengapa agama melarang spekulasi tingkat tinggi, seperti judi? Ya, seperti halnya spekulasi menyalip di tikungan, siang boloong, pada pandangan tidak bebas, dan bukan pula pada saat balapan di sirkuit.
Spekulasi tingkat tinggi memang sangat berbahaya.
“Mengapa tidak kaubuat modal saja. Bukankah uang 10 juta itu kan lumayan besar untuk modal usaha?” saranku.
“Untuk modal usaha? Tentu saya tidak punya uang sebanyak 10 juta.”
“Lah, buktinya kamu bisa menyerahkannya buat uang pelicin itu?”
“Nah, itulah. Itu saya dapatkan tersebut dari hasil pinjaman.”
Dug. Aku terkejut. Ternyata, orang ini bukan saja culun, melainkan juga berani melakukan spekulasi tingkat tinggi. Aku berpikir, mengapa agama melarang spekulasi tingkat tinggi, seperti judi? Ya, seperti halnya spekulasi menyalip di tikungan, siang boloong, pada pandangan tidak bebas, dan bukan pula pada saat balapan di sirkuit.
Spekulasi tingkat tinggi memang sangat berbahaya.
Langganan:
Postingan (Atom)