Ada kisah sedih yang baru saja saya terima dari seseorang. Adalah seorang India yang tinggal dan bekerja di Malaysia yang tega membunuh anak kecil seusia tiga tahun, di sebuah taman mainan. Ia melakukan itu atas alasan yang sepele bagi umum, tapi mendasar bagi dirinya.
Begini kisahnya.
Sebutlah lelaki itu Akhan dan si korban bernama Oci (Dua nama ini rekaan saya). Akhan hidup bersama seorang istri. Sepuluh tahun pernikahnnya dengan sang istri belum juga mendapat karunia anak. Sementara tetangga sebelahnya (karena ia tinggal di sebuah pemukiman, anggaplah itu rumah susun) adalah sepasang suami-istri yang baru menikah dan telah memiliki seorang putra yang lucu, Oci.
Setiap hari, dari balik jendela, atau dari balik dinding kamarnya, Akhan melihat pasangan suami-istri tetangga sebelah itu bermain-main riang dengan putranya, si Oci. Manja sekali kedengarannya. Acap kali Akhan mendengar anak kecil itu cekikian, tertawa tergeli-geli. Di kala Akhan murung karena dituduh mandul, tetangga sebelah justru bahagia bersama putranya; suatu impian yang tidak didapatkan Akhan. Ironis, bukan?
Keadaan ini berlangsung selama berbulan-bulan. Rupanya, tanpa sepengetahuan siapa pun, hati Akhan makin sakit terasa teriris. Hingga pada suatu hari, ia membujuk Oci ke sebuah tempat mainan. Ajakan itu bukanlah untuk memanjakannya, melainkan, sungguh tragis, justru untuk menghabisi nyawanya.
Kisah ini, dari sudut pandang berbeda, mirip kisah Mark Chapman yang tergila-gila pada sang idola, John Lennon. Karena tak tahan atas bayang-bayang si John yang begitu mengusik hari-harinya, Chapman nekat. Ia menembak mati John. Akhan dan Chapman sama-sama mengalami gangguan kecemburuan atas sebuah impian yang tidak tergapai.
Pergolakan batin seseorang yang tidak segera (ulang: “segera”) memiliki keturunan semacam itu juga saya alami selama beberapa tahun. Itulah mengapa, ketika berhadapan dengan seseorang yang baru saya kenal, atau teman yang tidak saya ketahui kabar terakhirnya kecuali ketika dia masih bujangan, saya tidak pernah mengajukan pertanyaan seperti “sudah punya putra berapa?”, dan apalagi guyon menyakitkan seperti “masa sudah lima tahun kok masih belum punya anak?” dan sejenisnya. Karena bagi mereka yang belum (diulang: "belum") dianugerahi keturunan, ucapan macam itu lebih tampak sebagai tamparan dan caci maki daripada sebuah pertanyaan biasa.
Ya Allah, sesungguhnya, semua itu adalah rahasia-Mu. Tanpa kehendak-Mu pula, tak ada kekuatan semena-mena apa pun yang dapat membuatnya menjadi nyata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
Ya ya ya.... "Love Kills". Too much love, will make you choose between Baygon or Railway, kata sebuah lagu lama. Hihihi
Iya, mainnya kok lantas bunuh-bunuhan, ya...Na'udzubillahi min dzalika. Ngerri...
waaaah, tapi kalo nanya pertanyaan '“sudah punya putra berapa?”, itu ke saya ndak bahaya ko mas... he
Ini salah satu Kormeddal edisi serius.
Baidewei, yang (dipersepsikan) mandul itu seringnya si istri, kan? Dan kalau riskan nanya sudah punya anak berapa, apa bisa diganti, mau saya bantu cepat punya anak, ga?
@Achen: he, he, he, paham, paham, paham....
@MyQuds: ini komentar berbahaya
Posting Komentar