28 Desember 2011

Rapat


Setiap ada undangan rapat, saya merasa malas untuk menghadirinya. Mengapa? Setiap kali menghadiri undangan rapat, biasanya, dan hal ini berkali-kali saya alami, saya hanya mendengar orang mengeluh. Peserta rapat umumunya menyampaikan keluhan.

Nah, dari keluhan yang satu muncul keluhan yang lain. Keluhan salah seorang peserta rapat memancing gairah peserta yang lain untuk juga mengeluh. Misalnya begini, jika ada salah seorang peserta menyampaikan keluhan tentang kebiasan buruk orang yang suka membuang sampah bukan pada tempatnya, peserta yang lain cenderung menambah persoalan serupa, tentang kebiasaan buruk yang lain. Ia juga menyampaikan keluihan, bukan turut membantu menyelesaikan masalah yang sedang dibicarakan

Dalam rapat, saya berusaha untuk tidak menambah beban kerutan kening peserta rapat. Saya jarang berkomentar untuk hal-hal yang seperti itu. Karena itulah, saya berusaha hanya menyampaikan komentar yang menyengkan, sekurang-kuranganya dapat menetralkan kekalutan air muka para peserta, misalnya dengan ucapan: “Para peserta rapat, nanti kita akan makan siang dengan menu ikan bakar dan nasi rawon.”

Semoga itu menjadi menu untuk rapat mendatang.

20 Desember 2011

Dilarang Parkir

Saat saya hampir mematikan mesin untuk parkir di depan warung rujak itu, si penjual, seorang ibu-ibu, memberi isyarat saya dengan lambaian tangan. Saya paham, isyarat itu merupakan tanda bagi saya agar tidak memarkir kendaraan di depan kedainya, meskipun tidak ada plang “P coret" di sekitar sana. Namun, sebelum dia bicara lebih lanjut, saya mendahuluinya,

“Bu, rujak, satu.” Saya mengacungkan jari telunjuk.
“Bungkus?”
“Tidak, makan di sini.”

Si ibu menghilang dari pandangan, mengaduk kacang dan tentu mengupas mentimun setelah itu. Dia menunaikan tugas untuk satu pesanan rujak, untuk saya. Larangan parkir tidak berlaku lagi.

05 Desember 2011

Waktu Indonesia bagian Lenteng


Penentuan waktu kencan atan mengikat janji di daerah saya (Sumenep, Madura) yang saya tahu bersifat fleksibel. Salah satu buktinya adalah dengan adanya penanda waktu yang tidak dijelaskan dengan angka, melainkan dengan suasana, antara lain:

“Rang-terrang tana” (waktu matahari belum terbit tetapi sudah sangat terang); “Manjing dluha” (saat matahari setinggi tombak atau sekitar 15 menit setelah terbit matahari); “Ban-aban laggu” (nah, ini yang tidak jelas, yaitu waktu antara pagi menjelang siang), sama juga dengan penanda waktu “Sar-Ashar mabha” (setelah shalat ashar tetapi sudah agak sore menjelang Maghrib).

Ada pula yang lebih tegas, yaitu penanda waktu berdasarkan waktu shalat, antara lain, bakda Maghrib, bakda Isya’, dan bakda-bakda yang lain. “Bakda” artinya “setelah”. Bakda Maghrib atrinya setelah shalat Maghrib secara sempurna. Penanda waktu seperti ini biasanya digunakan untuk acara tahlilan dan lain sebagainya. Namun, untuk acara walimah/akad nikah, masyarakat menggunakan penanda waktu angka sebagaimana lazimnya, seperti pukul 10.00 WIB, atau pukul 1 siang istiwa’, dan seterusnya.

Molor? Ya, saya sering menghadapi dan mengalami keadaan seperti ini, kecuali untuk acara walimah/akad nikah di daerah Pore dan Cangkreng sekitarnya (kecamatan Lenteng, Sumenep). Saya sangat kagum terhadap komitmen masyarakat di sana terhadap waktu karena nyaris tidak pernah molor dalam menentukan acaranya.

14 November 2011

Poligami dan Kejujuran


Suatu saat, saya sedang omong-omong dengan seorang sopir. Obrolan ngalor-ngidul dengannya akhirnya sampai juga pada tema yang sedang hangat dibicarakan oleh para tetangganya tetangga, tentang seorang tetangga yang baru saja menambah satu lagi istri dalam kehidupan rumah tangganya.

Lawan bicara saya yang sopir ini berkata, “Dulu, terus terang, pernah terbersit keinginan saya untuk berpoligami. Saya sowan pada seseorang yang saya tuakan untuk dimintai pendapatnya. Lalu, dia balik bertanya, ‘Apakah kamu bisa untuk selalu jujur kepada masing-masing istrimu? Kamu bisa mencari pembenaran untuk poligami itu, tetapi kamu tak mungkin dibenarkan atas sikap ketidakjujuran. Mungkinkah engkau bersikap jujur dan adil untuk semua hal dalam urusan cinta?”

Dia mendesah. Dia bilang, “Saya bisa membuat kompromi antar-istri dengan berbagai cara, tetapi tidak mampu kalau kejujuran saya harus berpoligami dengan kebohongan.”




09 November 2011

Sarmo dan Ponar


Pernahkah Anda mendengar istilah “sarmo” dan “ponar”?

Di Madura, di daerah tempat saya tinggal, ada istilah “sarmo” dan “ponar”. Dua istilah ini selalu disebut secara berdampingan. Sarmo berarti akur. Misalnya, dua mempelai itu telah sarmo. Istilah ini menandakan bahwa pada umumnya, perjodohan antarpasangan biasanya direncanakan oleh orang tua kedua pihak dan tanpa kehendak pasangan bedua. Karena itu, banyak pasangan yang tidak saling mengenal satu sama lain, seperti umumnya di kota-kota yang kenal lebih dulu (pacaran). Mereka baru berkenalan di pelaminan, tentunya setelah akad nikah.

Sementara ponar adalah jenis makanan. Ia adalah ketan berwarna kuning. Apakh filosofi warna ini? Entahlah. Yang jelas, ponar diberi warna agar ia tidak dianggap ketan biasa, atau sebagai makanan biasa. Ponar adalah makanan istimewa, makanan pertanda. Hanya saja, adanya hantaran (ter-ater) atau suguhan ponar kepada tetamu menunjukkan bahwa kedua mempelai telah sarmo alias akur alias telah tidur bersama.

Saat ini, ponar masih terus disuguhkan. Namun, keberadaan ponar mulai kehilangan pelambangan/simbolisasinya karena ia telah mulai menjauh dari pengertian asalnya. Ponar mulai tidak berdampingan lagi dengan sarmo. Ponar, ya, ponar sebagai makanan semata. Demikian pula, istilah sarmo kini sungguh jarang dibicarakan mengingat lebih banyak pasangan yang kenal lebih dulu sebelum mereka berdua beranjak ke pelaminan.

11 Oktober 2011

Pungli, "Yang Biasa"


Tanggal 29 September lalu, pagi sekali, saya menyetir kendaraan menuju Situbondo. Kami berangkat tengah malam dari Pamekasan, menjelagn pukul 2 dinihari. Mengapa? Rencana semula kami mau berangkat pukul 12 malam. Namun, karena saya kecapekan, maka pemumpang yang lain membiarkan saya tidur agar istirahat mengingat tujuan kami jauh sekali.

Karena tangki bensin sudah diisi penuh sebelumnya, saya tenang dalam mengemudikan kendaraan Aventura tahun 1993 ini. Maklum, tidak semua stasiun SPBU di Madura itu yang buka 24 jam. Hanya ada beberapa stasiun saja yang selalu siap sedia.

Kira-kira 100 menit kemudian, mobil sudah masuk Jalan Kenjeran, Surabaya, setelah melewati Suramadu. Tiba-tiba, seorang lelaki mengenakan jaket dan membawa pentungan yang berlampu merah itu, mengendarai sepeda motor Megapro, memberikan isyarat agar saya menepikan kendaraan.

“Kenapa?” terdengar suara dari belakang.
“Polisi,” jawab saya singkat sambil mengambil dompet STNKB-SIM dan membuka pintu.

“Selamat pagi!”
“Pagi,” kata saya sambil menyodorkan STNKB-SIM.

Sambil melihat ke arah lain—sungguh pemandangan ini disaksikan oleh semua penumpang saya—bapak berjaket itu berkata,
“Bukan, yang biasa.”

Beliau ini sama sekali tidak menyentuih STNKB dan SIM saya. Dia hanya memandang saya sekilas lalu membuang muka, “Yang biasa.” Ini pengamalan pertama. Saya baru menghadapi peristiwa seperti ini untuk ertama kali, tapi saya langsung mengerti apa yang dimaksud dengan “yang biasa” itu.


Sampai kami mau masuk kota Pasuruan lalu berhenti untuk menunaikan shalat Subuh di sebuah masjid di tepi jalan, pikiran saya tetap tidak tenang. Saya masih terus membayangkan nasib uang 10 ribu yang telah saya berikan tadi. Apakah uang itu akan ia belikan rokok, mie, kopi, atau yang lain? Semoga kami dan anak cucu ksami diselamatkan oleh Allah dari uang hasil pemberian orang yang tidak ikhlas, apalagi terpaksa.

17 September 2011

Layang-Layang Cangka




Setiap habis panen temabkau, biasanya tanah tegalan menjadfi lapang. Sisa-sisa batang pohon pun dicabut dan tanah keras pejal meranggas siap diinjak kaki-kaki penarik layang-layang. Inilah hiburan masyarakat sehabis panen.

Di malam hari, di desa saya, biasanya orang-orang mulai ramai bermain layang-layang berlampu. Layangan ini dipasangi lampu led dengan tenaga batere ataupun dinamo mini. Langit desa penuh lampu warna-warni.

Namun, layang-layang seperti ini tergolong baru. Sejak dulu, masyarakat desa biasanya mengampai layang-layang cangka (lajangan cangka), layang-layang yang besar. Layangan ini, untuk ukuran yang relatif besar, harus ditarik-ulur oleh dua orang sekeligus. Jarak penarik dengan layang-layang bisa mencapai 150-200 meter. Ia akan terbang tinggi jika telah mencapai angin balabad.

16 Agustus 2011

Minyak Wangi dan Konsentrasi


Saya sangat suka parfum ini, Silver Stone. Aromanya segar. Maaf, ini bukan iklan. Sekitar 15 bulan yang lalu, paman saya mengirim parfum ini dari Makkah, dua satu kotak sekaligus. Pafum bikinan Abdul Rahman Qurban Parfume Factory ini berisi satuan, per botol isi 8 ml. Kotak yang satunya berisi versi 3 ml-an. Meja saya seperti warung penjual minya wangi.

Tiga hari yang lalu, saat saya menyelenggarakan shalat tarawih, tiba-tiba sajadah saya menyemburkan aroma parfum. Namun, yang ini beda, bukan silver stone, karena saya memang tidak mengolesi sajadah itu. Yang ini, baunya sangat tajam, lebih tajam daripada wangi hajar aswad. Mungkin dari keluarga misik. Saya akui, saya terganggui dengan aroma tersebut. Siapakah yang mengolesi sajadah saya tadi? Apa maksudnya? Saya berbaik sangka, barangkali salah seorang anggota shalat tarawih ingin berbaik hati. Sayang, ia melakukan cara yang keliru.

Esoknya, sajadah itu dicuci dan saya menggunakan sajadah yang lain. Eh, ternyata, tadi malam, begitu saya bersujud untuk rakaat pertama shalat Isya’, astaga, wangi parfum menyengat itu muncul lagi. Rupanya, seseorang telah mengolesi parfum itu pada waktu antara Maghrib dan Isya’.

Konsentrasi langsung buyar. Apa boleh buat, selesai shalat Isya’ dan sebelum shalat tarawih, saya langsung melipat sajadah berparfum tersebut dan menggantinya dengan sajadah yang lain yang juga saya tinggal di mushalla. Saya tidak tahan, concentrated parfume itu telah mengalahkan konsentrasi saya yang lain. Saya berharap, semoga si pengoles parfum itu tidak mengolesi parfum kebanggaannya di sajadah saya, nanti malam.

08 Agustus 2011

Keinginan, Nasib, Rezeki (Edisi Ramdhan)

Keinginan teman saya ini sederhana, tetapi butuh spekulasi yang tinggi: menang undian/lotere sekitar 1 milyar. Semua duitnya akan didepositokan dan dia tidak akan bekerja atau investasi apa pun. Dia hanya akan menikmati hidup dengan duduk baca koran di pagi hari, siang nonton tivi, dan jalan-jalan sampai malam. Ia hanya ingin hidup dari bunga bank. Cukup.

Ada pula seorang yang sungguh sangat kagum dan bernafsu menjadi pegawai. Pokoknya pegawai, apalagi pegawai negeri. Karena dengannya, kata dia, hidup dia akan terjamin setiap bulan. Kelak, dia juga akan tenang menghabiskan hari-hari di masa tua. Namun, kasihan yang ini: dia belum meraih cita-cita itu sampai sekarang meskipun telah banyak menghilangkan sawah dan ladang orang tuanya. Entah untuk apa.

Satu lagi. Dia yang ingin menjadi orang terkenal. Keinginan ini berdasar pada faktor dendam. Dan dia tidak tidak main-main untuk ini. Ia belajar menyanyi, bersengau-sengau kalau bicara, dan sangat mencintai cermin. Rambutnya selalu rapih, pakaian bersih, dan punya hobi bersisir. Ia ingin jadi sejenis artis, sekurang-kurangnya masuk tabloid showbiz lah. Tujuan akhirnya bukanlah duit, melainkan dengannya dia berharap bisa memilih pasangan yang paling cantik lalu menunjukkan kepada perempuan-perempuan desanya yang telah menolak cintanya.

Ada yang lurus-lurus saja; ini beda lagi. Jalan hidupnya seperti kereta api. Serongnya tidak diketahui. Pikirannya seperti kubus: kotak-kotak. Ia seoalah-olah tidak pernah punya cita-cita. Nasib membuatnya menikah dengan tunangannya yang kebetulan kaya mendadak. Lalu, kebetulan lagi, si putri anak tunggal yang didukung oleh kebetulan lainnya lagi; baru menikah, mertua meninggal. Lelaki itu kini belajar mengemudi, punya mobil mendadak. Dia itu sangat mencintai kebetulan.

Sungguh, ini adalah macam-macam keinginan, pekerjaan, dan nasib. Kiranya, tidak ada yang salah dengan keinginan itu. Saya menulis catatan ini hanya karena tiba-tiba menyadari, betapa banyak cara pandang orang untuk mengetahui cara memperoleh rezeki, bahkan termasuk dengan cara yang jahat, seperti korupsi. Masih mending jika itu hajat dasar hidup, seperti makan. Yang aneh adalah tetap menempuah cara yang haram hanya untuk bermewah-mewah.

Satu lagi: di antara semua teman yang saya kenal, keinginan Udin yang paling remeh. Ini buktinya: “Perempuan seperti apa yang kamu inginkan, Din?”/ “Tidak perlu cantik karena aku juga tidak tampan. Tidak perlu kaya karena aku juga masih pengangguran. Yang seimbang lah. Tapi kalau boleh berharap…” / “Iya, apa harapanmu menyangkut perempuan calon istrimu itu, Din?” / “Punya rumah di tepi jalan.” / “Hanya itu?” / “Iya. Karena aku sudah bosan tinggal di pedalaman selama 20 tahun, jauh dari jalan raya dan lalu lintas kendaraan.” Sungguh. Ini keinginan beneran dari manusia beneran.

Terus terang, karena saya bukan pekerja kantoran, tidak memperoleh pendapatan yang pasti setiap bulan, maka wajar jika saya selalu khawatir, sudah murnikah makanan yang saya telan? Apakah rezeki itu saya peroleh dari jalan yang suci dan benar-benar bebas dari sogokan? Nah, di bulan suci ini, kiranya masih banyak yang menikmati rezeki dari jalan yang kotor. Bahkan, terkadang untuk kepentingan suci di tanah suci, benar-benar ada orang yang membiayainya dari rezeki yang tidak benar-benar suci.


Na’udzubillahi minas sogok, ya, Rabbi..


06 Juni 2011

Syaikh Abdul Basith Abdus Shamad dan Teknik Qiraahnya

Syaikh Abdul Bastih Abdus Shamad merupakan salah seorang qari’ yang memiliki suara yang istimewa dalam segala sisinya, kejernihannya, kefasihannya, juga dalam tinggi-rendahnya suara. Lainnya, beliau juga memiliki nafas yang kuat sehingga terkadang beliau mampu membaca ayat yang satu ke ayat yang lain dengan satu tarikan napas. Biografi syaikh dapat Anda temukan di Wiki, di sini:

Terbitan ini saya naikkan demi permohonan teman yang secara tidak sengaja menemukan kerinduannya pada masa lalu, tepatnya pada suara Syaikh Khalil al-Husari pada terbitan saya yang berjudul “Al-Hujurat dan Ar-Rahman Versi Syaikh Mahmud al-Husari”.

Syaikh Abdul Bastih Abdus Shamad dan Syaikh Mahmud Khalil al-Husari hidup hampir semasa. Berdua mereka sama-sama berasal dari Mesir. Namun, popularitas syaikh Abdul Bastih Abdus Shamad ini dikenal lebih baik karena dia memiliki teknik bacaan yang istimewa dan beda daripada qari’ yang lain. Aritnya, syaikh ini tidak saja berbekal kebagusan suara saja. Dalam amatan saya, salah satu teknik sari syaikh Abdul Bastih Abdus Shamad yang menonjol adalah teknik “membuka-menutup mulut dengan tangan kanan guna menimbilkan efek derau” (seperti bunyi hujan yang dibawa nagin: kadang nyaring, kadang hilang). Anda bisa saksikan teknik seperti ini di dalam video-videonya yang mudah Anda temukan di internet.

Syaikh Abdul Bastih Abdus Shamad, menurut cerita yang saya peroleh dari Paman Abdul Bastih Bahar, pernah datang ke Indonesia, tepatnya di Gondanglegi, Malang. Qiraah yang beliau bacakan ini (silakan diunduh pada tautan di bawah) konon dibacakan pada sebuah haflah para qari’ yang ketika itu syaikh datang sebagai peserta biasa, bukan sebagai undangan. Namun, semua hadirin ketika itu takjub dan terkagum-kagum kepada suara beliau yang sama seklai tidak diduga sebelumnya. Tentang kebenaran riwayat di atas, saya kurang tahu persis karena berita ini saya dapat hanya dari mulut ke mulut.

(setelah membaca terbitan ini, saya mohon Anda mengirimkan sedekah surat Al-Fatihah untuk beliau. Untuk file mp3 Surat Ad-Duha, silakan unduh di sini)

02 Juni 2011

Tambal Ban dan Pekerjaan Sampingan

Adalah Pak Sander. Dia adalah tukang tambal ban yang menekuni pekerjaannya sampai usia tua. Apa yang saya perlu ceritakan dari Pak Sander ini adalah karena dia menekuni pekerjaannnya itu tidak saja sebagai sumber penghidupan. Ya, memang seberapa banyakkah laba dari usaha tambal ban? Sering kali tengah malam orang mengetuk pintu rumahnya untuk minta tolong. Pak Sander tetap menganggap “pasien”-nya itu sebagai tamu. Karena itu, Pak Sander membuatkannya secangkir kopi lebih dulu sehingga orang tersebut bisa santai sambil menunggu ban sepeda motornya selesai ditambal.

Pak Sander adalah tukang tambal yang langka karena dia tidak akan marah dan tidak menggerutu jika dibangunkan tengah malam sekali pun. Namun, sisi lain dari kebaikan ini, ada pula terkadang orang yang memanfaatkannya. Misalnya, ada pengendara sepeda motor lalu meminta tolong ditambalkan bannya, tengah malam, dibikinkan kopi, dan meningglakan utang dengan alasan tidak membawa uang receh atau ketinggalan dompet. Utang-utang itu pun terus tak terlunasi sampai sekarang, sampai Pak Sander telah berpulang. Kasihan.

* * *

Tadi malam, saya menemukan hal serupa. Sewaktu numpang ojek dari Prenduan ke Guluk-Guluk pukul 02.10 dinihari, saya ikut ojek Pak Ram. Ban depan motor Kaze-nya pecah setelah kira-kia 4 kilometer perjalanan. Pak Ram ini menepikan kendaraannya di sebuah rumah di tepi jalan. Ia mengetuk sebuah sambil memanggil sebuah nama. Si tukang tambal keluar sambil kucek-kucek mata. Saya tidak melihat dia merengut. Ia mengeluarkan perkakas dan segera menambal. Kira-kira 20 menit, pekerjaannya selasai kami pun berngkat kembali. Pak Ram berkata, “Memang dia begitu. Dia mau dibangunkan kapan saja jika ada orang yang membutuhkan pertolongannya.”

Saya menjawab, “Orang seperti dia itu pasti sudah jarang kita temukan, ya, Pak.” Pak Ram mungkin tidak mendengar perkataan saya karena desir angin atau suara saya kalah pada bunyi knalpot sepeda motor. Saya meneruskan di dalam hati, “Dia yang bekerja jadi tukang tambal ban tidak semata sebagai sumber penghidupan, melainkan juga sebagai upaya menjadi manusia yang suka menolong.”

19 Mei 2011

For Example

Beberapa waktu lalu, saya sempat memiliki netbook Lenovo dengan kontrak model wikalah. Cicilannya perbulan selama setahun. Cicilan ini juga dilakukan secara berjamaah dengan beberapa rekan guru di sekolah.

Singkat cerita, ketika Om Amal, paman saya, menginstal netbook itu, dia bertanya, “Computer name-nya mau dikasih nama apa?”
“Ya, sembarang-lah. Kasih saja seperti contoh, for example Mr. John.” Saya tersenyum nyaris tertawa. “Misalnya, kasih nama For Example M. Faizi,”kata saya.

Seminggu lamanya saya pegang itu netbook, tiba-tiba kebutuhan banyak datang berbarengan, menyerbu kocek saya; listrik, telepon, kopi, dan macam-macam yang lain. Saya kelabakan. Dan karena saya merasa telah melanggar perjanjian saya dengan diri sendiri, bahwa cicilan untuk netbook itu akan saya upayakan dengan cara ‘bikin honor’ sementara seminggu ini saya hanya main facebook, habislah niat mencicil saat itu pula. Beban cicilan netbook yang hanya berusia seminggu dan kurang lebih 3 X charging itupun berpindah ke paman saya, Man Naqib.

Sejak saat itu, saya menyesal telah main-main. Ya, saya menyesal telah memberi nama computer name itu dengan embel-embel “for example” di depan nama saya. Betul, mungkin ini hanya main-main, tetapi kemungkinan lainnya, cara ini, jika berbarengan dengan kehendak Allah, akan juga menjadi sebuah pengharapan, dan nyata.

03 Mei 2011

Paguyuban Becak: Korban Kesetiakawanan

Sore kemarin, saya naik becak dari pertigaan (congap) Larangan Tokol. Orang-orang suka menyebut tempat ini dengan satu kata yang populer, “Silur”, yaitu sebuah sebutan yang identik dengan nama pemilik toko yang berada di pertigaan itu.

* * *

Saya naik angkutan dari Guluk-Guluk, turun di Prenduan, lalu oper, naik angkutan lagi dan turun di Gurem. Saya berteduh sejenak dan hujan yang deras mengguyur, deras luar biasa. Dari Gurem saya oper lagi ke angkutan yang ke arah selatan untuk selanjutnya turun di Silur itu. Semua perjalanan saya dariGuluk-Guluk ini benar-benar perjalanan melawan hujan deras. Usaha saya memperoleh hasil sekitar 70% kering dan 30% dari basah dari total pakaian.

Namun, dari Silur itu, saya memanggil abang becak dan naik di depan.
“Mana?” tanyanya.
“Astah, Soklancar,” jawab saya singkat.
Becak dikayuh cepat. Tapi…
“Pak, mana ini tutup plastiknya?” tanya saya kepada si abang yang membiarkan saya terkena hujan.
“Gak ada,” enteng dia menjawab.
“Kenapa tidak diberi plastik?”
Sambil mengayuh cepat, dia menjawab, “Becak saya sudah diberi tudung plastik, tetapi kawan-kawan sesama kawan paguyuban becak selalu menyobeknya.”
“Lho, kok?”
“Iya, kata mereka biar sama-sama tidak pakai tutup plastik, dan penumpang tidak pilih-pilih becak kalau hujan begini..”

Astaga! Akhir cerita, saya tiba di lokasi dalam keadaan basah kuyup.

21 April 2011

The Audience is Listening

Barusan saya naik bis bumel dari Tanah Merah (Bangkalan) sampai Prenduan (Sumenep). Dari Blega, naiklah dua orang bercelana, bertambang mahasiswa S2. satu di antaanya ngomong tiada henti, dan terus ngomong hampir sejam lamanya, sampai bis tiba di terminal Sampang karena dia tidur. Saya senang. Setelah itu yang terdengar hanya bunyi mesin, klakson, dan knalpot. Eh, kok hanya dalam tujuh menit, dia bangun lagi dan mulailah dia ngomong lagi. Kawan duduknya hanya mendengarkan. Sesekali menanggapi. Saya meliriknya, dan dia tidak peduli dengan air muka saya yang menunjukkan kalau saya tidak suka. Adapun kata-kata kunci yang dibicarakannya adalah penguatan, pemberdayaan, pembangunan, dan sejenisnya.

Orang-orang desa yang bertampang kumuh di dalam kabin bis tua itu diam. Tidak ada orang yang berbicara secara keras. Merekalah yang justru diam. Rasanya, butuh adanya pelatihan untuk menjadi pendengar yang baik, bukan saja pelatihan untuk menjadi pembicara yang baik.

29 Maret 2011

Terjepit Undangan

Hari Rabu siang, 23 Maret 2011, saya bersama ibu dan istriku menghadiri undangan resepsi pernikahan di Bangkalan. Jaraknya tak kurang dari 130 kilometer dari rumahku (sekali pergi). Undangan dimulai pukul 20.10 dan selesai kira-kira 25 menit kemudian. Kami pulang dan tiba di rumah sekitar pukul 1 tengah malam.

Pagi harinya, pukul 07.10, lagi-lagi saya berangkat untuk acara akad nikah di daerah Payudan. Jaraknya berkisar 28 kilometer pergi-pulang. Begitu acara akad nikah selesai, saya langsung minta izin pulang sebelum hidangan disajikan mengingat jam 09.30 saya terlanjur mengikat janji dengan bis P.O. Haryanto yang akan membawaku ke Jakarta, juga untuk undangan. Bedanya, ini adalah undangan untuk menghadiri pameran bis dan truk serta alaat-alat berat di The Indonesia International Bus, Truck & Components Exhibition atau IIBT di Jakarta International Expo, Kemayoran.

Berangkat Kamis siang, saya tiba Jumat pagi di Jakarta. Pagi hari Jumat langsung menyusuri sudut-sudut kota Jakarta dengan sepeda motor, sore lihat pameran, malam bertandang ke rumah kawan. Sabtu esoknya kembali ke rumah. Menempuh perjalanan 18 jam lebih, akhirnya saya tiba di rumah pada hari Ahad pukul 06.30. Setengah jam saya gunakan untuk bikin kopi dan cuci muka, karena pada pukul 07 sudah kembali berangkat untuk acara walimah (lagi) di Paojajar, Prancak. Pukul 10.30 siang saya pulang dari lokasi. Namun, tak ada waktu istirahat karena saya dan keluargaku, juga ibuku, kembali berangkat ke Bangkalan untuk menghadiri acara resepsi pernikahan (lagi). Ya, apa boleh buat, perjalanan 133 kilometer (sekali jalan) pun ditempuh.

Dan inilah akibat dari semua itu: karena dalam perjalanan ke Bangkalan itu pun saya tidak sempat memejamkan mata, rupanya kecapekan dan kengantukan terakumulasi dan mengakibatkan “kartu merah”. Di lokasi resepsi, saat MC memegang mike untuk membuka acara, saat itu pula saya tertidur dalam posisi tetap duduk manis di kursi. Saya terbangun oleh tepukan tangan. Saya melihat sepiring nasi dijulurkan ke haribaan.

“Loh, aneh. Biasanya, acara makan itu ada di akhir acara.”
“Sudah selesai, Kak!” kata adik sepupuku yang duduk di samping kiriku.

Rupanya, sepanjang acara saya tertidur. Ya, apa lacur. Demikianlah, saya datang ke kondangan itu hanya untuk tidur dan makan. Yang pasti, barakallahu lahuma deh pokoknya.

21 Maret 2011

Mobil Irit BBM

Dua orang bersaudara sedang bermusyawah tentang upaya menghemat BBM di masa ini. Masing-masing dua saudara ini sama-sama orang yang memiliki kendaraan pribadi untuk kegiatan sehari-harinya. Namun, yang membedakannya adalah unsur pendapatannya, sehingga yang satu menyebabkan punya kendaraan yang bagus dan irit BBM, yaitu Lovina, sedangkan yang lain hanya mrmiliki mobil station wagon tua, Hayas, yang lebih boros tetapi jauh lebih murah harganya.

Si adik memberi saran, “Mas, Sampeyan ganti mobil Lovina saja. Saya pergi ke mana-mana, wah, bensinnya nggak habis-habis tuh. Apalagi jika dibandingkan dengan kendaraan Hayas milik Sampeyan ini, kendaraanku sungguh ini akan tersa sangat irit.

Tak perlu menunggu lama, saudara yang satu si pemilik Hayas langsung menjawab, “Iya, betul, tapi punyamu itu boros pada pembelian.”

14 Maret 2011

Sarang (tolak hujan)

Hujan adalah berkah. Namun, hujan berubah kekecewaan bagi keluarga Pak Rifa’i yang malam itu nanggap hadrah untuk acara maulid nabi. Beberapa undangan datang terlambat, satu per satu. Hujan belum reda. Akibatnya, acara pun tidak segera dimulai.

“Siapa sih yang pawang (hujan) acara ini?” tanya Sabri iseng, sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Kenapa? Siapa lagi kalau bukan Samrawi,” jawab As’ad. Samrawi adalah paman daripada Sabri yang kebetulan juga ada di tempat itu. As’ad tertawa karena menganggap Sabri salah ambil langkah dalam bertanya.
Bukannuya kikuk, Sabri malah berdalih.
“Untung Paman Samrawi yang sarang. Coba bukan dia, mungkin banjir malam ini.”

13 Maret 2011

Duel Meet Dua Penceramah

Berceramah atau berbicara secara monolog di depan orang banyak merupakan salah satu tugas yang tidak bisa saya lakukan. Terbukti, saya pernah berceramah dalam bahasa Madura. Namun kurang dari 10 menit, bahan-bahan omongan sudah habis. Berbeda dengan penceramah yang ahli, mereka bisa berbicara berjam-jam dan tanpa merasa keder untuk mengulik bahan sekali pun sambil jalan.

Ceramah adalah suara satu arus. Tugas penonton hanya mendengarkan, ya
the audience is listening. Maka dari itu, materi-materi yang disampaikan dalam ceramah, di satu sisi, akan selalu aman mengalir sampai ke telinga pendengar. Namun, pernyataan ini bukan berarti penceramah boleh semena-mena dengan gagasan yang disampaikannya.

Di Madura, sering kali ada acara yang menampilkan lebih dari seorang penceramah. Bahkan, pada acara-acara haflatul imtihan atau kegiatan tutup tahun sebuah madrasah, atau maulid nabi, ada yang menampilkan tiga penceramah sekaligus. Suatu peristiwa terjadi berkaitan dengan hal ini: seorang penceramah secara berapai-api mengungkapkan gagasannya di atas panggung. setelah satu jam lebih, ceramah selesai dan dia turun dari panggung.

Mungkin, karena statemen dari si penceramah pertama ini dianggap membahayakan atau khawatir disalahpahami, waktu dimanfaatkan oleh penceramah kedua untuk memberikan tanggapan balik. Sayang, tanggapan baliknya ini cenderung mengadung kritik terhadap pesan yang telah disampaikan oleh penceramah pertama tadi.

Di sana, di bawah panggung, penceramah pertama yang kini duduk di sofa baris depan bersama tuan rumah, tampak mulai gelisah. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berbisik kepada teman duduknya. Ia sampaikan bahwa yang tadi telah disampaikananya telah disalahpahami oleh penceramah kedua. "Padahal saya tidak bermaksud demikian," katanya. "Saya tidak sembarangan begitu."

Hari sudah mulai larut. Begitu penceramah kedua selesai, penceramah pertama meminta waktu kepada panitia, naik ke podioum untuk yang kedua kalinya. Celakanya, karena mungkin takut atau sungkan, panitia memberikan waktu bagi si penceramah pertama itu. Apa yang terjadi? Isi pidato penceramah pertama yang naik panggung untuk kedua kalinya itu pun berisi protes dan bantahan terhadap pernyataan-pernyataan yang telah disampaikan oleh penceramah kedua.

Siapa yang bingung? The audience is listening.

22 Februari 2011

Tamu-Tamu Online


“Setiap tamu akan membawa kebahagiaan; kalau tidak datangnya, ya, perginya.”

Sayang saya tidak tahu, ungkapan ini berasal dari mana. Saya pernah mendengar ungkapan ini secara langsung (bukan dari buku) dari mulut seorang kawan yang ketika itu baru didatangi debt collector, dan ia tidak punya uang. Saat tukang tagih duit datang, ia sedih, dan baru senang ketika ia sudah pergi.

Bulan Pebruari ini saya kedatangan banyak tamu dari jauh, antara lain Binhad Nurrohmat, Andy Fuller dan Sarah yang datang awal bulan. Lalu, tak lama setelah itu, datang lagi Nano Darmawansyah, Heru, dan Coradion. Dua hari setelah mereka bertiga, datang lagi rombongan Ade Boim dan Bagus Wiranto dengan 6 orang yang lain. Kebanyakan dari tamu itu adalah teman online, mereka yang sebelumnya saya kenal lewat milis atau jejaring sosial/facebook. Mereka semua berasal dari Jakarta.

Hari ini saya kedatangan tamu dari Gresik, Jauhari Ahmad dan Azmil Muftaqor. Mereka berdua ini, seperti beberapa tamu yang lain, mengaku tidak membawa maksud apa-apa selain silaturrahmi. Jadinya, saya tidak merasa aneh kalau mereka, seperti halnya beberapa tamu di atas lainnya, hanya tidur-tiduran seharian di kamar dan tidak pergi ke mana-mana.

Demikianlah, saya senang dengan kedatangan mereka yang datang tanpa maksud apa-apa. Tadi malam, saya mendengar ceramah seorang muballigh, katanya, “tamu yang banyak maunya, sekali memperoleh apa yang dia maksud dari kita, akan jarang bertandang lagi, bahkan mungkin tidak akan kembali lagi.”


05 Februari 2011

Ditilang, Mengancam


Ini adalah adegan percakapan antara penumpang dan petugas. Sopir mobil carteran terlanjur pasrah dan diam karena STNK dan SIM-nya sudah berpindah ke tangan petugas.

“Kendaraan Anda kelebihan penumpang!” kata petugas dengan nada tegas.

“Beh, Pak! Kami ini mau pergi ziarah ke Syaikhona Kholil, Pak!”

“Iya. Itu urusan Anda, mau ke mana saja terserah Anda. Tapi kendaraan ini kelebihan penumpang dan tetap harus ditilang. Mari, mari kita selesaikan di pos.”

“Lha... Pak! Pak! “Orang tua itu memanggil-manggil petugas. Sementara si sopir pasrah karena membayangkan denda yang harus dibayarkan, di pos atau di pengadilan.

“Pak!!” Kali ini, lelaki itu memanggil petugas dengan nada nyaris berteriak, “Sampeyyan ini mau tilang kami? Benar? Sampeyyan ndak takut kena tola (tulah)? Kami ini mau ziarah ke pasarean Syaikkona Kholil lho. Awas, ya. Saya ndak tanggung jawab kalau terjadi apa-apa dengan Sampeyan besok.”

04 Februari 2011

Plat M


“Jangan! Jangan mutasi mobilmu ke plat M kalau memang mau digunakan perjalanan ulang-alik Madura-Jawa..”

Testimoni ini, dulu, kerap kali saya dengar di sela-sela pembicaraan antarpengemudi atau para pemilik mobil carteran. Di Madura, sebagaimana lazim diketahui di era pertengahan 80-an hingga awal 90-an, banyak sekali kendaraan MPV/station wagon (berupa Colt T 120, Hiace, L300, atau Suzuki Carry, yang digunakan mobil carteran. Umumnya, mobil-mobil ini disewa untuk kepentingan kondangan ke Jawa, ziarah, atau lainnya.

Dulu, saat semua kendaraan harus melewati penyeberangan Kamal untuk tiba di Ujung (Jawa), kendaraan-kendaran plat M, kata gosip yang berkembang di kalangan sopir, senantiasa jadi santapan empuk dalam urusan tilang. Biasanya, pelanggaran tersebut mencakup urusan tuduh-menuduh seputar “taksi gelap”, dan lain-lain. Mengapa palt M? Anehnya, ini juga kata gosip yang mereka kembangkan, kendaraan serupa akan relatif lebih aman asalkan plat nomornya non-Madura (bukan plat M), lebih-lebih plat L (Surabaya). Karena itu, banyak pemilik kendaraan yang beroperasi di lintasan ini justru memutasi nomor polisinya menjadi plat L.

Bagaiamana ketakutan ini bisa terbentuk? Saya tak mengerti, mengapa, kapan, dan bagaimana kenyataan semacam ini terjadi, berjalan, dan rasanya terus berlangsung hingga hari ini. Boleh jadi, hal ini diakibatkan oleh banyaknya kasus pelanggaran tatib di masa lalu yang telah dilakukan oleh mobil-mobil berplat M. Tapi, seberapa banyak yang melanggar? Mengapa teror itu berlangsung hingga hari ini? Dampaknya, “mereka yang berjalan di jalan yang benar” akhirnya terkena dampak perasaan inferior juga, ikut-ikutan minder. Di atas semua itu, saya juga tidak tidak tahu, berapa banyak mobil bodong yang berkeliaran di luar sana dan karena penampilannya yang keren dapat terlepas dari jerat pelanggaran tatib ini.

Apakah ini merupakan bagian dari persoalan identitas; pencitraan yang tercipta sejak era kolonial; dampak buruk dari entologi yang berkembang?

Waduh, kok jadi bertanya terus menerus sih? Eh, kok malah tambah bertanya? :-)

10 Januari 2011

Pertanyaan yang Dipertanyakan

“Eh, kamu tahu isu terakhir kasus anggaran daerah Anu?”
Ento menggeleng, “Enggak. Emang kenapa? Mana HP-mu?”

Lelaki penanya bertampang klimis itu mengeluarkan ponsel Nokia E 66-nya dari kantung celana dengan tangan kiri dan memberikannya pada si Ento. Tangan kanan si empunya ponsel tetap sibuk di atas layar sentuh ponselnya yang lain.

Kira-kira semenit kemudian, setelah Ento mencari tahu informasi lewat internet, Ento menjelaskan begini-begininya pada si kawan duduk itu. Ia menjelaskan, lebih tepatnya membacakan ulang berita yang dia baca di sebuah situs, berikut penyebab begitu-begitunya sehingga anggaran daerah kabupaten Anu bermasalah.

Si pemilik HP malah terkaget dan bertanya, “Jadi, ponselku ini bisa dibuat internetan, ya?”
Ento kaget, lalu bertanya, “Lho, emang kamu beli dua ponsel mahal begini untuk apa? Untuk main potret-potretan saja?”

01 Januari 2011

Malam Tahun Baru di Desaku

Sejak habis shalat Isya, yang terdengar dari balik kamarku, hanyalah suara merdu Syaikh Mahmud Khalil al-Husari melagukan surat Al-Hujurat. Suara merdu ini terdengar cempreng melalui speaker TOA, di arah timur laut rumahku. Sementara, entah di arah mana, aku juga mendengar seseorang membunyikan lagu dangdut koplo dari seperangkat sound system, lumayan keras juga, sih. Di luar itu, bunyi-bunyian lainnya adalah rintik hujan dan bunyi kodok bersahutan.

Pada pukul 23.58 (31/12/2010), dua detik menjelang pergantian tahun (berdasarkan jam di komputerku), terdegar bunyi sepeda motor 4 tak (mungkin Astrea Grand) lewat di jalan depan rumah. Pengemudinya membunyikan klakson panjang, kira-kira selama 7 detik tanpa putus, merusak keheningan. Setelah itu, sampai pagi, tak ada suara apa-apa selain, ya, bunyi rintik hujan dengan selingan bunyi gelgar guntur, kiriman salam dari langit yang murung. 

Hingga Subuh, aku terus duduk di depan komputer. Tak ada pesta di sini, tak ada hura-hura, tak terdengar hiruk-pikuk terompet ataupun letusan kembang api. Aku hanya mendengar suara qurra’, pembacaan ayat-ayat suci akhir surat Ali Imran, dari pengeras suara masjid jamik yang berjarak sekitar 375-an meter dari rumahku. Ya, itulah qurra’ sebelum azdan Subuh dikumandangkan. 


Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog