“Jangan! Jangan mutasi mobilmu ke plat M kalau memang mau digunakan perjalanan ulang-alik Madura-Jawa..”
Testimoni ini, dulu, kerap kali saya dengar di sela-sela pembicaraan antarpengemudi atau para pemilik mobil carteran. Di Madura, sebagaimana lazim diketahui di era pertengahan 80-an hingga awal 90-an, banyak sekali kendaraan MPV/station wagon (berupa Colt T 120, Hiace, L300, atau Suzuki Carry, yang digunakan mobil carteran. Umumnya, mobil-mobil ini disewa untuk kepentingan kondangan ke Jawa, ziarah, atau lainnya.
Dulu, saat semua kendaraan harus melewati penyeberangan Kamal untuk tiba di Ujung (Jawa), kendaraan-kendaran plat M, kata gosip yang berkembang di kalangan sopir, senantiasa jadi santapan empuk dalam urusan tilang. Biasanya, pelanggaran tersebut mencakup urusan tuduh-menuduh seputar “taksi gelap”, dan lain-lain. Mengapa palt M? Anehnya, ini juga kata gosip yang mereka kembangkan, kendaraan serupa akan relatif lebih aman asalkan plat nomornya non-Madura (bukan plat M), lebih-lebih plat L (Surabaya). Karena itu, banyak pemilik kendaraan yang beroperasi di lintasan ini justru memutasi nomor polisinya menjadi plat L.
Bagaiamana ketakutan ini bisa terbentuk? Saya tak mengerti, mengapa, kapan, dan bagaimana kenyataan semacam ini terjadi, berjalan, dan rasanya terus berlangsung hingga hari ini. Boleh jadi, hal ini diakibatkan oleh banyaknya kasus pelanggaran tatib di masa lalu yang telah dilakukan oleh mobil-mobil berplat M. Tapi, seberapa banyak yang melanggar? Mengapa teror itu berlangsung hingga hari ini? Dampaknya, “mereka yang berjalan di jalan yang benar” akhirnya terkena dampak perasaan inferior juga, ikut-ikutan minder. Di atas semua itu, saya juga tidak tidak tahu, berapa banyak mobil bodong yang berkeliaran di luar sana dan karena penampilannya yang keren dapat terlepas dari jerat pelanggaran tatib ini.
Apakah ini merupakan bagian dari persoalan identitas; pencitraan yang tercipta sejak era kolonial; dampak buruk dari entologi yang berkembang?
Waduh, kok jadi bertanya terus menerus sih? Eh, kok malah tambah bertanya? :-)
4 komentar:
Kok cuma sebatas yang versi 'katanya'? Mestinya dilengkapi dengan contoh kasus yang dialamai sendiri dan mutakhir. Ya, kan?
saya tidak punya pengalaman, kecuali ini.
http://titosdupolo.blogspot.com/2010/08/etape-iv-situbondo-paiton-guluk-guluk.html
satu contoh lagi diskriminasi sama orang madura
Alangkah oh alangkah-nya ya, Mas...
Posting Komentar