Hari Rabu siang, 23 Maret 2011, saya bersama ibu dan istriku menghadiri undangan resepsi pernikahan di Bangkalan. Jaraknya tak kurang dari 130 kilometer dari rumahku (sekali pergi). Undangan dimulai pukul 20.10 dan selesai kira-kira 25 menit kemudian. Kami pulang dan tiba di rumah sekitar pukul 1 tengah malam.
Pagi harinya, pukul 07.10, lagi-lagi saya berangkat untuk acara akad nikah di daerah Payudan. Jaraknya berkisar 28 kilometer pergi-pulang. Begitu acara akad nikah selesai, saya langsung minta izin pulang sebelum hidangan disajikan mengingat jam 09.30 saya terlanjur mengikat janji dengan bis P.O. Haryanto yang akan membawaku ke Jakarta, juga untuk undangan. Bedanya, ini adalah undangan untuk menghadiri pameran bis dan truk serta alaat-alat berat di The Indonesia International Bus, Truck & Components Exhibition atau IIBT di Jakarta International Expo, Kemayoran.
Berangkat Kamis siang, saya tiba Jumat pagi di Jakarta. Pagi hari Jumat langsung menyusuri sudut-sudut kota Jakarta dengan sepeda motor, sore lihat pameran, malam bertandang ke rumah kawan. Sabtu esoknya kembali ke rumah. Menempuh perjalanan 18 jam lebih, akhirnya saya tiba di rumah pada hari Ahad pukul 06.30. Setengah jam saya gunakan untuk bikin kopi dan cuci muka, karena pada pukul 07 sudah kembali berangkat untuk acara walimah (lagi) di Paojajar, Prancak. Pukul 10.30 siang saya pulang dari lokasi. Namun, tak ada waktu istirahat karena saya dan keluargaku, juga ibuku, kembali berangkat ke Bangkalan untuk menghadiri acara resepsi pernikahan (lagi). Ya, apa boleh buat, perjalanan 133 kilometer (sekali jalan) pun ditempuh.
Dan inilah akibat dari semua itu: karena dalam perjalanan ke Bangkalan itu pun saya tidak sempat memejamkan mata, rupanya kecapekan dan kengantukan terakumulasi dan mengakibatkan “kartu merah”. Di lokasi resepsi, saat MC memegang mike untuk membuka acara, saat itu pula saya tertidur dalam posisi tetap duduk manis di kursi. Saya terbangun oleh tepukan tangan. Saya melihat sepiring nasi dijulurkan ke haribaan.
“Loh, aneh. Biasanya, acara makan itu ada di akhir acara.”
“Sudah selesai, Kak!” kata adik sepupuku yang duduk di samping kiriku.
Rupanya, sepanjang acara saya tertidur. Ya, apa lacur. Demikianlah, saya datang ke kondangan itu hanya untuk tidur dan makan. Yang pasti, barakallahu lahuma deh pokoknya.
29 Maret 2011
21 Maret 2011
Mobil Irit BBM
Dua orang bersaudara sedang bermusyawah tentang upaya menghemat BBM di masa ini. Masing-masing dua saudara ini sama-sama orang yang memiliki kendaraan pribadi untuk kegiatan sehari-harinya. Namun, yang membedakannya adalah unsur pendapatannya, sehingga yang satu menyebabkan punya kendaraan yang bagus dan irit BBM, yaitu Lovina, sedangkan yang lain hanya mrmiliki mobil station wagon tua, Hayas, yang lebih boros tetapi jauh lebih murah harganya.
Si adik memberi saran, “Mas, Sampeyan ganti mobil Lovina saja. Saya pergi ke mana-mana, wah, bensinnya nggak habis-habis tuh. Apalagi jika dibandingkan dengan kendaraan Hayas milik Sampeyan ini, kendaraanku sungguh ini akan tersa sangat irit.
Tak perlu menunggu lama, saudara yang satu si pemilik Hayas langsung menjawab, “Iya, betul, tapi punyamu itu boros pada pembelian.”
Si adik memberi saran, “Mas, Sampeyan ganti mobil Lovina saja. Saya pergi ke mana-mana, wah, bensinnya nggak habis-habis tuh. Apalagi jika dibandingkan dengan kendaraan Hayas milik Sampeyan ini, kendaraanku sungguh ini akan tersa sangat irit.
Tak perlu menunggu lama, saudara yang satu si pemilik Hayas langsung menjawab, “Iya, betul, tapi punyamu itu boros pada pembelian.”
14 Maret 2011
Sarang (tolak hujan)
Hujan adalah berkah. Namun, hujan berubah kekecewaan bagi keluarga Pak Rifa’i yang malam itu nanggap hadrah untuk acara maulid nabi. Beberapa undangan datang terlambat, satu per satu. Hujan belum reda. Akibatnya, acara pun tidak segera dimulai.
“Siapa sih yang pawang (hujan) acara ini?” tanya Sabri iseng, sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Kenapa? Siapa lagi kalau bukan Samrawi,” jawab As’ad. Samrawi adalah paman daripada Sabri yang kebetulan juga ada di tempat itu. As’ad tertawa karena menganggap Sabri salah ambil langkah dalam bertanya.
Bukannuya kikuk, Sabri malah berdalih.
“Untung Paman Samrawi yang sarang. Coba bukan dia, mungkin banjir malam ini.”
“Siapa sih yang pawang (hujan) acara ini?” tanya Sabri iseng, sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Kenapa? Siapa lagi kalau bukan Samrawi,” jawab As’ad. Samrawi adalah paman daripada Sabri yang kebetulan juga ada di tempat itu. As’ad tertawa karena menganggap Sabri salah ambil langkah dalam bertanya.
Bukannuya kikuk, Sabri malah berdalih.
“Untung Paman Samrawi yang sarang. Coba bukan dia, mungkin banjir malam ini.”
13 Maret 2011
Duel Meet Dua Penceramah
Berceramah atau berbicara secara monolog di depan orang banyak merupakan salah satu tugas yang tidak bisa saya lakukan. Terbukti, saya pernah berceramah dalam bahasa Madura. Namun kurang dari 10 menit, bahan-bahan omongan sudah habis. Berbeda dengan penceramah yang ahli, mereka bisa berbicara berjam-jam dan tanpa merasa keder untuk mengulik bahan sekali pun sambil jalan.
Ceramah adalah suara satu arus. Tugas penonton hanya mendengarkan, ya the audience is listening. Maka dari itu, materi-materi yang disampaikan dalam ceramah, di satu sisi, akan selalu aman mengalir sampai ke telinga pendengar. Namun, pernyataan ini bukan berarti penceramah boleh semena-mena dengan gagasan yang disampaikannya.
Di Madura, sering kali ada acara yang menampilkan lebih dari seorang penceramah. Bahkan, pada acara-acara haflatul imtihan atau kegiatan tutup tahun sebuah madrasah, atau maulid nabi, ada yang menampilkan tiga penceramah sekaligus. Suatu peristiwa terjadi berkaitan dengan hal ini: seorang penceramah secara berapai-api mengungkapkan gagasannya di atas panggung. setelah satu jam lebih, ceramah selesai dan dia turun dari panggung.
Mungkin, karena statemen dari si penceramah pertama ini dianggap membahayakan atau khawatir disalahpahami, waktu dimanfaatkan oleh penceramah kedua untuk memberikan tanggapan balik. Sayang, tanggapan baliknya ini cenderung mengadung kritik terhadap pesan yang telah disampaikan oleh penceramah pertama tadi.
Di sana, di bawah panggung, penceramah pertama yang kini duduk di sofa baris depan bersama tuan rumah, tampak mulai gelisah. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berbisik kepada teman duduknya. Ia sampaikan bahwa yang tadi telah disampaikananya telah disalahpahami oleh penceramah kedua. "Padahal saya tidak bermaksud demikian," katanya. "Saya tidak sembarangan begitu."
Ceramah adalah suara satu arus. Tugas penonton hanya mendengarkan, ya the audience is listening. Maka dari itu, materi-materi yang disampaikan dalam ceramah, di satu sisi, akan selalu aman mengalir sampai ke telinga pendengar. Namun, pernyataan ini bukan berarti penceramah boleh semena-mena dengan gagasan yang disampaikannya.
Di Madura, sering kali ada acara yang menampilkan lebih dari seorang penceramah. Bahkan, pada acara-acara haflatul imtihan atau kegiatan tutup tahun sebuah madrasah, atau maulid nabi, ada yang menampilkan tiga penceramah sekaligus. Suatu peristiwa terjadi berkaitan dengan hal ini: seorang penceramah secara berapai-api mengungkapkan gagasannya di atas panggung. setelah satu jam lebih, ceramah selesai dan dia turun dari panggung.
Mungkin, karena statemen dari si penceramah pertama ini dianggap membahayakan atau khawatir disalahpahami, waktu dimanfaatkan oleh penceramah kedua untuk memberikan tanggapan balik. Sayang, tanggapan baliknya ini cenderung mengadung kritik terhadap pesan yang telah disampaikan oleh penceramah pertama tadi.
Di sana, di bawah panggung, penceramah pertama yang kini duduk di sofa baris depan bersama tuan rumah, tampak mulai gelisah. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berbisik kepada teman duduknya. Ia sampaikan bahwa yang tadi telah disampaikananya telah disalahpahami oleh penceramah kedua. "Padahal saya tidak bermaksud demikian," katanya. "Saya tidak sembarangan begitu."
Hari sudah mulai larut. Begitu penceramah kedua selesai, penceramah pertama meminta waktu kepada panitia, naik ke podioum untuk yang kedua kalinya. Celakanya, karena mungkin takut atau sungkan, panitia memberikan waktu bagi si penceramah pertama itu. Apa yang terjadi? Isi pidato penceramah pertama yang naik panggung untuk kedua kalinya itu pun berisi protes dan bantahan terhadap pernyataan-pernyataan yang telah disampaikan oleh penceramah kedua.
Siapa yang bingung? The audience is listening.
Siapa yang bingung? The audience is listening.
Langganan:
Postingan (Atom)