Sore kemarin, saya naik becak dari pertigaan (congap) Larangan Tokol. Orang-orang suka menyebut tempat ini dengan satu kata yang populer, “Silur”, yaitu sebuah sebutan yang identik dengan nama pemilik toko yang berada di pertigaan itu.
* * *
Saya naik angkutan dari Guluk-Guluk, turun di Prenduan, lalu oper, naik angkutan lagi dan turun di Gurem. Saya berteduh sejenak dan hujan yang deras mengguyur, deras luar biasa. Dari Gurem saya oper lagi ke angkutan yang ke arah selatan untuk selanjutnya turun di Silur itu. Semua perjalanan saya dariGuluk-Guluk ini benar-benar perjalanan melawan hujan deras. Usaha saya memperoleh hasil sekitar 70% kering dan 30% dari basah dari total pakaian.
Namun, dari Silur itu, saya memanggil abang becak dan naik di depan.
“Mana?” tanyanya.
“Astah, Soklancar,” jawab saya singkat.
Becak dikayuh cepat. Tapi…
“Pak, mana ini tutup plastiknya?” tanya saya kepada si abang yang membiarkan saya terkena hujan.
“Gak ada,” enteng dia menjawab.
“Kenapa tidak diberi plastik?”
Sambil mengayuh cepat, dia menjawab, “Becak saya sudah diberi tudung plastik, tetapi kawan-kawan sesama kawan paguyuban becak selalu menyobeknya.”
“Lho, kok?”
“Iya, kata mereka biar sama-sama tidak pakai tutup plastik, dan penumpang tidak pilih-pilih becak kalau hujan begini..”
Astaga! Akhir cerita, saya tiba di lokasi dalam keadaan basah kuyup.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
he he.. benar2 pagutuban setia kawan.. :)
Pebasah Kuyuban Becak itu namanya....
@Cinta Syahadah; Edi Winarno; Imam Ciprut: maaf baru membalas dan membaca komentar Anda bertiga :-(
Posting Komentar