Suatu saat, saya sedang omong-omong dengan seorang sopir. Obrolan ngalor-ngidul dengannya akhirnya sampai juga pada tema yang sedang hangat dibicarakan oleh para tetangganya tetangga, tentang seorang tetangga yang baru saja menambah satu lagi istri dalam kehidupan rumah tangganya.
Lawan bicara saya yang sopir ini berkata, “Dulu, terus terang, pernah terbersit keinginan saya untuk berpoligami. Saya sowan pada seseorang yang saya tuakan untuk dimintai pendapatnya. Lalu, dia balik bertanya, ‘Apakah kamu bisa untuk selalu jujur kepada masing-masing istrimu? Kamu bisa mencari pembenaran untuk poligami itu, tetapi kamu tak mungkin dibenarkan atas sikap ketidakjujuran. Mungkinkah engkau bersikap jujur dan adil untuk semua hal dalam urusan cinta?”
Dia mendesah. Dia bilang, “Saya bisa membuat kompromi antar-istri dengan berbagai cara, tetapi tidak mampu kalau kejujuran saya harus berpoligami dengan kebohongan.”