Di daerah saya, di Madura, tidak sulit menjumpai kegiatan pembacaan tahlil. Tidak harus menunggu ada orang meninggal lebih dulu untuk mengikuti kegiatan seperti ini. Hampir setiap saat saya bisa mengikuti orang membacakan tahlil.
Orang-orang yang ada di majlis tahlil itu tidak kesulitan mengikuti bacaan yang dipimpin oleh seorang imam (yang memimpin pembacaan/kegiatan). Hal ini menunjukkan bahwa pembacaan tahlil sudah merupakan kegiatan yang biasa saya jumpai dalam kehidupan bermasyarakat di daerah saya, di Madura khususnya. Umunnya, masyarakat sudah hapal dan tahu apa yang akan dibaca, mulai dari pembacaan surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Mu’awwidzatain, Al-Fatihah lagi, awal surat Al-Baqarah, dan seterusnya. Bahkan, di beberapa tempat yang lain, pembacaan tahlil ini didahului oleh pembacaan Surat Yasin bersama, kadang pula dirangkai dengan pembacaan Surat Al-Mulk (Tabarak) sekaligus. Para hadirin cukup lancar mengikuti imam tanpa perlu sontekan.
Namun, contoh di atas adalah contoh untuk aktivitas yang tidak semua muslim melakukannya. Bagaimana dengan shalat, dalam hal ini shalat berjamaah? Ya, semua muslim tahu apa yang harus dilakukannya dalam melakukan shalat berjamaah. Semua makmum, yakni anggota shalat yang berada di belakang imam, akan mengikuti semua gerakan dan aktivitas yang dilakukan oleh imam tanpa perlu panduan lagi. Sebab, shalat berjamaah adalah shalat yang nyaris tidak berbeda dengan shalat yang dilakukannya sendirian, kecuali dalam hal pahala (Shalat berjamaah 27 derajat lebih utama daripada bershalat seorang diri). Hal ini sudah dimaklumi. Makmum akan mengawali shalatnya dengan takbiratul ihram, tentu setelah imam melakukannya. Setelah itu, mereka lalu melakukan bacaan maupun gerakan yang telah mereka ketahui urutannya, sekali lagi, tentu dengan syarat mengikuti imam.
Baik tahlil maupun shalat, jika kedua amal ini dilakukan secara berjamaah, harus dilukakan atas “panduan” seorang pemimpin, yakni imam, walaupun kita sudah paham dan hapal bacaan dan gerakan yang akan kita lakukan. Namun dalam kenyataannya, banyak orang yang tidak mengindahkan hal ini. Sebagian makmum melakukan gerakan/bacaan sesuai urutan yang mereka ketahui saja, bukan mengikuti imam. Akibatnya, tidak jarang saya jumpai orang yang sedang bershalat dan ia sudah bangkit untuk i’tidal pada saat sang imam masih melakukan ruku’; atau bangkit di antara dua sujud ketika sang imam masih sedang dalam keadaan bersujud.
Gambaran di atas membuat saya paham bahwa masih banyak orang yang beranggapan bahwa “berjamaah” itu hanyalah sekadar melakukan kegiatan yang sama secara bersama-sama, tanpa perlu terlalu mengindahkan sang imam. Mereka tidak sadar posisi. Mereka lupa posisinya sebagai makmum, yaitu bahwa di samping melakukan apa yang dilakukan oleh imam, makmum juga diharuskan untuk tidak “melampaui komando” sang imam. Padahal, saya yakin, sesungguhnya terdapat nilai-nilai luhur kebersamaan, organisasi, kordinasi, kolektivitas, dan banyak filosofi penting lain dalam “berjamaah” ini, tentu dengan syarat jika kita senantiasa sadar akan posisi itu, baik sebagai imam maupun sebagai makmum.