15 Desember 2013

Perkecualian

Manusia itu hidup berdasarkan cara hidup orang kebanyakan. Jika di kanan-kirinya bercocok tanam, ia akan juga tertarik untuk turut bercocok tanam. Ini adalah pemandangan umum. Hidupnya seperti silogisme yang menyimpulkan dua premis mayor-minor.

Di antara yang begitu, ada pula yang mengambil jalan “perkecualian”. Mereka yang terkecualikan ini berada di luar jalur dan cara pandang kebanyakan. Dalam permainan anak (di Madura), ada ungkapan “sapa sé laén, daddi” (siapa yang beda, dia yang 'jadi'). Dia ‘jadi’ karena berbeda dengan kebanyakan, menjadi perkecualian. Dalam permainan tersebut tersirat satu statemen: bahwa keputusan atau pandangan umum itu biasanya ditetapkan berdasarkan kebanyakan, bukan berdasarkan asas perkecualian.

“Menjadi perkecualian” tidak selalu meninggalkan kesan baik/hebat di mata setiap orang, malah terkadang dianggap konyol atau tolol oleh yang lain. Baru-baru ini tersiar kabar adanya seseorang yang melepaskan sertifikasi guru-nya karena sadar akhir-akhir ini ia tidak mampu lagi mengajar secara maksimal. Ini adalah pilihan perkecualian di antara orang yang bahkan untuk lolos pun terkadang harus menyogok. Memilih hidup ugahari dan derana juga merupakan perkecualian di saat punya banyak kesempatan untuk berfoya-foya. Kedua contoh di atas tampak heroik di satu sisi, namun mungkin saja kelihatan konyol dari sudut pandang yang lain.

Dalam hal kesusastraan, dulu, Alquran menyindir ‘penyair kebanyakan’, yakni mereka yang disebut secara khusus dalam satu surah, Asy-Syu’ara’ (penyair-penyair) sebagai para pembual:  “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (224); “Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah?” (225); “Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?” (226). Akan tetapi, apakah para penyair itu pembual? Tunggu dulu, simak satu ayat lagi: “kecuali orang-orang (para penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapatkan kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (227).

Itulah kisah-kisah unik, terkadang juga aneh, yang ada di sekitar kita, saat ini. Dan karena anggapan kebanyakan orang adalah seperti itu, maka satu ‘orang waras’ di antara ‘orang gila’ akan ‘tampak gila’ karena ia telah menjadi perkecualian. Selamat berlibur!

05 Desember 2013

Talqin Mayit dan Malaikat Palsu


Talqin itu, dalam pengertian kamus, berarti inisiasi, yakni upacara atau ujian yang dijalani seseorang yang akan menjadi anggota suatu perkumpulan, dlsb. Dalam pemahaman yang lebih sederhana, ia berarti bimbingan. Sebutan ‘talqin’ umum digunakan untuk mayit (orang yang mati), namun juga digunakan sebagai istilah bimbingan bagi ikhwan thariqah, yaitu membimbing calon anggota thariqah agar tahu fungsi dan cara berdzikir yang benar. Adapun talqin mayit memiliki arti membimbing mayit. Membimbing apa?

Sebagaimana diyakini oleh orang Islam, jenazah yang sudah diliangkan ke dalam kubur itu akan segera dikunjungi oleh dua orang malaikat begitu para pengantar sudah meninggalkan lokasi pemakaman. Kedua malaikat tersebut adalah Munkar dan Nakir. Keduanya akan mengajukan beberapa pertanyaan interogatif. Pertanyaan tersebut, antara lain, berbunyi ‘siapakah Tuhanmu?’. Tentu saja, pertanyaan semacam ini akan dengan enteng dijawab oleh seseorang ketika dia masih hidup. Namun, situasi di dalam kubur tentu berbeda. Nah, maka dibutuhkan talqin agar mayit tidak grogi, kira-kira begitu.

Malam Kamis, pukul 01.00 dinihari, tanggal 14 November lalu, merupakan pengalaman pertama saya dalam menjalani tugas ini; menalqin mayit. Kala itu, paman yang biasa bertugas sedang berhalangan. Tak ada orang lain yang dapat diminta keluarga duka untuk melakukannya selain saya. Namanya pertama kali, ya, sudah barang tentu saya grogi. Kacau, kan, jika si mayit grogi sementara dan si panalqin juga grogi? Bukan lantaran dilakukan di tengah malam, atau di tempat yang sepi dengan rumpun bambu mengelili itulah yang menjadi sebabnya. Namun, sialnya, ketika itu, pada saat saya siap untuk melaksanakan talqin, mendadak saya teringat sebuah cerita konyol.

Begini ceritanya…

Dalam redaksi talqin tertentu, terdapat sebuah kalimat yang berbunyi begini: “fa idza ja-akal malakaani muwakkalani bika wa huma munkarun wa nakiir…” yang artinya kira-kira “apabila telah datang kepadamu dua orang malaikat, dan mereka berdua itu adalah Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir…”. Konon, di tempat tertentu pula, talqin yang aslinya berbahasa Arab itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa lokal. Dalam cerita yang saya dengar beberapa bulan yang silam ini, saat si penalqin sampai pada bagian tersebut, ia pun menerjemahkannya.

Akan tetapi, dia sial. Dia apes karena terlanjur salah saat menerjemahkan. Mestinya ia menerjemahkannya menjadi “apabila telah datang kepadamu DUA orang malikat, dan mereka berdua itu adalah Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir…” pun terpeleset menjadi “apabila telah datang kepadamu TIGA orang malikat, dan mereka adalah Munkar-Nakir…”. Si penalqin sadar telah keliru. Namun, agar tidak kaco sebab ia gengsi kalau harus mengulangi, dia pun meneruskan talqin terjemahannya itu menjadi “…maka yakinlah kamu bahwa salah satu dari KETIGA Malaikat itu adalah PALSU!”



03 Oktober 2013

Kapok Berbohong

Bohong, dalam banyak kitab hadits dan akhlak, termasuk kebiasaan buruk yang sangat serius. Salah satu buktinya adalah karena bab bohong, juga atau pelit, selalu disebut pada bagian-bagian awal kitab. Bahkan, ia tergolong penyakit yang sulit disembuhkan.

Saat itu tahun 1993. Saya ingat pernah bohong seperti ini:

Saya naik bis dari Prenduan menuju Surabaya. Lalu, bis AKAS yang saya naiki itu singgah di Terminal Pamekasan untuk ambil penumpang. Sesampainya di sana, naiklah beberapa orang. Satu di antaranya duduk sebangku dengan saya. Dan seperti lazimnya penumpang Madura, dia ini mudah akrab, tanya ini tanya itu segala.

Ketika itu saya lagi malas bicara. Makanya, saya kurang suka jika diurus ‘dari danmau ke mana’-nya. Karena desa saya merupakan desa yang terkenal di daerah saya, yaitu Guluk-Guluk, saya lantas berbohong kalau saya berasal dari desa itu. Dugaan saya, jika saya bilang “dari Guluk-Guluk” kepadanya, teman duduk ini pasti makin gencar nanya ini-itunya.

“Sampeyan mau ke mana?”
“Surabaya.”
“Tadi naik dari mana?”
“Prenduan.”
“Aslinya dari mana?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini lazim terjadi di angkutan umum di Madura. Jadi, jangan kaget kalau Anda ditanya teman duduk yang belum kenal sama sekali dengan cecaran pertanyaan mirip pertanyaan KPK ini. Dia bahkan mirip hansip atau petugas pemeriksa yang mengorek informasi terdakwa. Maka, saya pun berbohong untuk menghindari interogasi lebih lanjut.

“Dari Bata’al...” jawab saya, berbohong.

Dengan menjawab begitu, saya berharap dia tidak tahu banyak tentang desa tetangga ini sehingga tidak mengajak saya bicara ini-itu lagi. Saya males, saya ingin tidur. Tapi, ia malah bertanya lagi; sebuah pertanyaan yang membuat saya tak bisa menyembunyikan kebohongan.

“Oya! siapa, ya, kepala desa Bata'al sekarang, ya?”

Saya tidak bisa menjawab karena memang tidak tahu. Saya pun tampak bodoh: mengaku warga desa Bata’al adalah bohong kalau bahkan kepada nama kepala desanya saja saya tidak tahu. Saya sungguh malu.

* * *

Itulah pengalaman berbohong saya yang membuat saya kapok. Nah, saat ini, sungguh banyak kita temukan orang berbohong untuk hal kecil yang seolah-olah itu tidak dianggap kesalahan. Padahal, berbohong itu tak pandang level, tidak ada takaran prosentasenya. Ia seperti nilai halal dan haram: tidak ada 100% halal dan tidak bisa pula hanya 90% halal, atau sebaliknya. Ia kaku, hitam-putih: bohong atau jujur; halal atau haram.

Saat ini, kebiasaan berbohong, dalam segala jenisnya, sudah merasuk ke dalam ranah kehidupan kita semua. Bukan saja pada ranah korupsi dana jutaan rupiah, tapi juga dalam hal yang sangat sepele. Coba kita perhatikan jawaban di telepon: “Ini sudah di jalan” untuk pertanyaan yang mendesak “sudah berangkat belum? Kok nggak muncul-muncul, sih?” padahal sejatinya dia belum berangkat. Banyak ‘kan kebohongan sejenis itu dan seolah-olah itu dianggap biasa? Semoga kita segera sadar bahwa orang bohong yang ‘selamat’ itu bukan karena ia bisa menghindari dari kebohongan, melainkan hanya karena belangnya belum terkuakkan. Itu saja.

21 September 2013

Puisi Jiplakan dan Detektif Dadakan

Suatu hari, saya ketibaan dua orang tamu. Satunya membawa segepok karya. Dia bilang, dia harap agar saya bisa membacanya dan memberikan tanggapan, sejenis endorsemen. Saya bilang kepada satu dari dua orang itu agar meminta komentar kepada guru bahasa atau tokoh sanggarnya saja. “Itu lebih baik karena merekalah yang membimbing kamu,” saya bilang begitu. Entah alasan apa, dia ingin agar saya juga menulis komentar untuk puisi yang akan segera diterbitkannya ini.

“Ya, Sampeyan pulang dulu. Kapan dibutuhkan?” Saya biasa menanyakan hal seperti ini untuk menguji tingkat kepentingan. Biasanya, orang-orang dan bahkan kita pun akan menjawab “secepat mungkin”, atau “lebih cepat lebih baik”, dan sejenisnya. Nah, untuk hal seperti ini, saya sudah menyiapkan jawaban berdasarkan pengalaman yang saya alami. “Ya, kalau bisa besok atau lusa,” katanya. “Hah, besok atau lusa?” Mata saya membelalak. “Begini, saya pernah minta kata pengantar pada seseorang dan hampir satu tahun lamanya, lho, buat menunggu. Itupun yang saya dapatkan ‘hanya’ komentar pendek. Masa kamu kamu minta saya membaca secepat itu?”

Wajahnya tiba-tiba sedih. Saya segera menghiburnya. “Rabu depan kamu kembali!”

Selama rentang waktu kira-kira 5 hari, saya menyempatkan diri untuk membaca karyanya itu. Alangkah kaget, astaga, saya jumpai beberapa frase dan kalimat yang sungguh-sungguh saya kenali, yaitu puisi saya sendiri. Dia mengubah beberapa bagian pada puisi untuk menghilangkan jejak puisi saya di dalam puisinya. Tapi, namanya juga karya saya sendiri, tentu saya tetap kenal bagian-bagian yang diubah itu karena perubahannya pun tidak banyak. Sayang sekali, dia ini kurang kreatif. Dia hanya melakukan penggantian di level kata (diksi) dan sejenisnya.

Dari pembacaan itu, saya berkesimpulan bahwa orang ini punya niat tidak baik, yaitu menjiplak. Ah, jangan-kangan itu kebetulan. Ah, masa kebetulan? Satu-dua sih iya, tapi kalau sampai sebegitu banyaknya, jelas ini pemalsuan namanya. Saya lantas menaruh curiga, dia tidak hanya kulakan puisi dari karya saya, melainkan juga dari karya-karya orang lain. Hanya saja saya yang tidak mampu mengenalinya.

Adalah suatu hal yang aneh karena orang itu datang kepada saya, kepada orang yang puisi-puisinya justru ditirunya. Mungkin, dia tidak tahu dan tidak pernah kenal dengan wajah saya; mungkin pula ia mendapatkan puisi saya tersebut dari lembaran-lembaran yang ditulis ulang dan telah dihilangkan nama pengarangnya (saya) untuk kepentingan tertentu; atau juga dia menemukan puisi itu dan tahu itu karya saya tapi tidak tahu siapa saya serta tidak pernah saling-bertemu sebelumnya. Apes benar dia.

Rabu yang ditentukan, dia datang. Setelah berbasa-basi dan saya suguhkan kopi, saya bilang kalau saya keberatan untuk memberikan endorsemen untuknya. Dia diam, tidak ada tanggapan. Mulailah saya mencari tahu dengan cara bertanya pada masalah tingkat paling rendah, yakni seputar kosa kata. Saya menyebut suatu kata, hanya sebagai contoh, seperti ini, misalnya:

“Dari mana kamu dapat kata Wayanjana?” Saya tanyakan ini karena kosa kata dimaksud—sebagai contoh—ada di dalam puisi saya yang ditirunya itu.
“Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia,” jawabnya.
“Ah, kata itu tidak ada dalam KBBI, lho, ya. Jangan ngarang!” Dia diam, saya bertanya lagi,
“Kamu tahu, apa itu Wayanjana?” Dia menggeleng tanda tak tahu. “Loh, tadi kami bilang kata itu kamu ambil dari kamus besar, sekarang kamu bilang nggak tahu. Baiklah, kamu sudah jujur dengan bilang nggak tahu. Tapi, kenapa kamu menulis sesuatu yang kamu nggak tahu?”

Dia diam begitu lama. Akhirnya, saya minta temannya itu untuk membacakan karya saya. Sementara dia sendiri membacakan karyanya, secara bersamaan. Akhirnya, dia tahu kalau kedua puisi itu relatif sama, bahkan dalam jumlah bait dan barisnya.

“Penyair dan seniman itu harus jujur. Berhentilah melakukan penjiplakan.” Dia pun pamit pulang. Dia tersenyum meskipun terasa hambar. Tapi, tak apalah asalkan dia menyadari kekeliruannya. Dan setelah mereka berdua menghilang dari pandangan, saya berdoa. “Semoga penyair itu segera mendapatkan hidayah dan tidak suka menipu lagi.”

11 September 2013

Tukar Ilmu Sesama Blogger

Berbekal pengetahuan menulis, saya pun berani mengajukan diri untuk berter ilmu dengan teman-teman blogger “Plat-M”, sebuah komunitas blogger Madura yang bermarkas di Bangkalan. Saya bilang kepada salah satu dari mereka, bahwa saya akan memberikan beberapa teknik menulis, khususnya catatan perjalanan, dengan syarat mereka kasih saya ilmu tentang ‘kode’ dan ‘html’ (hypertext markup language), yaitu sistem penentuan tampilan suatu teks dalam web/blog.Akhirnya, kesepakan itu ditemukan titiknya, yakni pada hari Ahad, 8 Sepetmber 2013.

Saya datang sendirian dari Guluk-Guluk (rumah saya) ke Broadband Learning Center milik TELKOM Bangkalan. Itulah titik temu yang kami sepakati. Saya harus menempuh perjalanan kira-kira 125-an kilometer untuk mencapai tempat itu dalam sekali pergi, atau setara 3,5 jam perjalanan dengan angkutan umum.  

Ketika nyampe di sana, hari sudah menjelang Duhur. Saya disamput oleh Wahyu Alam, klebun blog Plat-M. Dia membonceng saya dari Junok, tempat saya turun dari angkutan umum, ke lokasi acara. Lalu, saya pun bertemu dengan teman-teman blogger di sana. Raden dan Fendi di antaranya.

Kira-kira hampir 1 jam lebih lamanya saya belajar html dan lain-lain, lewat pukul 1 kami melaksanakan shalat Duhur berjamaah. Acara pun dilanjutkan setelah itu. Kini, giliran saya punya tugas: memberikan materi penulisan. Satu demi satu anak-anak berdatangan dan bertambah. Rupanya, mereka ini memang datang untuk belajar menulis. Saya sangat senang. Sementara yang datang pagi-pagi itu adalah mereka yang siap mendampingi saya belajar kode dan html.

Acara berakhir beberapa saat setelah adzan Ashar. Saya pun shalat berjamaah dengan mereka dan langsung pamit pulang setelahnya. Saya diantarkan Wahyu ke Tangkel, termpat pertemuan jalan raya dengan akses Suramadu. Saya menunggu angkutan umum yang akan membawa saya ke arah timur, ke Sumenep.

foto oleh: Plat-M
Dalam perjalanan pulang, saya kembali mengingat-ingat pelajaran apa saja yang diberikan oleh teman-teman di Bangkalan tadi, menyangkut html, url, serta bahasa kode yang tampak rumit namun setelah saya pikir, ia mirip bahasa pemrograman dalam Word Star yang menggunakan perintah-perintah bertitik dan belum WYSIWYG (biasa dibaca ‘waysiwig’: What You See Is What You Get)


25 Agustus 2013

Ter-Ater Mobil

Di dalam masyarakat Madura, dikenal tradisi ter-ater, yakni mengantar/berbagi makanan, dari tetangga yang satu ke tetangga yang lain. Ter-ater bisa pula satu arah, seperti dari para tetangga ke masjid (yang dikelola oleh kiai) yang tengah menyelenggarakan kegiatan keagamaan, seperti lebaran dan maulid nabi. Adapun oleh-oleh yang dibawa biasanya berupa nasi, sepiring lauk (terdiri dari sekerat daging, sejumput mi, perkedel, srundeng kelapa/acar, dll), dan semangkok kuah (biasanya gulai; baik gulai daging maupun gulai labu-kacang panjang).

Bukan lantaran bersedekah itu dianjurkan oleh Islam-lah yang menjadi dasar tradisi ini, melainkan adanya beberapa hadits nabi (sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab hadits; antara lain Riyadus Shalihin) yang secara khusus mengindikasikan ter-ater. Pernyataan ini hanyalah analisa saya semata dalam memandang tradisi ini. Salah satunya adalah sebuah hadits Nabi tentang anjuran ter-ater alias berkirim makanan (kuah) ke rumah-rumah tetangga (terdekat) jika di antara kita sedang masak-masak.

Namun, ter-ater yang ini sungguh berbeda.

Tersebutlah Kiai Jauhari dari Jember. Secara nasab, beliau adalah juju’ (buyut/ayah kakek) saya. Buktinya adalah karena kakek/nenek saya memanggilnya ‘paman’. Dulu, semasa mendiang kakek-nenek saya masih ada, beliau sering bertandang ke rumah, membawa gula, kopi, dan selalu ater-ater benda yang tidak lazim, seperti perangkat pengeras suara misalnya, dll. Barang bawaannya yang berjibun itu juga dibagikan kepada saudara-saudara yang lain. Beliau membawa sebuah Holden tua untuk mengangkutnya. Kadang, beliau juga bersama rombongan pengiring dalam sebuah station wagon.

Nah, dalam empat tahun terakhir, ter-ater dari juju’ ini mengalami perubahan. Ia tetap membawa kopi dan oleh-oleh yang lain. Namun, yang ‘lain-lain’ inilah yang sungguh tidak lazim. Ter-ater-nya berupa mobil. Tahun pertama, ter-ater itu adalah sebuah Mitsubishi L300 bensin untuk Kiai Ahmad Basyir. Tahun kedua, ter-ater-nya adalah Toyota Hiace untuk Kiai A. Warits. Berikutnya di tahun ketiga, beliau kembali membawa L300 bensin untuk keluarga Kiai Ishom. Yang terakhir adalah tahun ini, 2013, ter-ater Suzuki Carry untuk keluarga Kiai Abdul Basith AS.

Kira-kira setahun yang lalu, saya sempat bertemu dengan putranya, Tantowi, lalu menanyakan perihal ter-ater yang unik ini. Dia malah menjawab dengan pertanyaan begini sambil tertawa: “Apakah ter-ater berikutnya mau digulirkan ke Sabajarin (tempat saya)?”. Ditanya begitu, saya menjawab begini: “Ha, ha, terima kasih, Mbah! Kebetulan saya juga sudah mendapatkan ter-ater serupa dari seseorang. Sementara ini kami belum butuh. Barangkali ada saudara kita yang lain dan membutuhkannya.”


Orang yang unik harus dilayani secara unik. Maka, si Mbah yang masih muda ini pun menghadiahi saya biji-biji kopi yang konon berasal dari perkebunannya. Tak ada mobil, kopi pun jadi. Itulah pepatahnya.

03 Agustus 2013

Paimo: Catatan Orang Waras dalam Petualangan Gila


Akhir Nopember tahun lalu, 2012, empat orang guru bersepeda dari Suramadu, lewat pesisir utara Madura. Tujuan mereka adalah Guluk-Guluk. Setelah bermalam di rumah teman mereka, Imam Junaidi di Ketapang, esoknya mereka melanjutkan perjalanan ke Guluk-Guluk, via Waru dan Pakong.

Saat pertama kali bertemu mereka (Pak Nanang dan istrinya, Liza; Pak Tedi Wardhana dan istrinya, Sekar Dinihari), saya nyaris tak percaya melihat mereka benar-benar nyampe di Guluk-Guluk. Mereka telah melahap jarak tempuh sekitar 150-an kilometer. Hebat, kata saya. Tentu, pernyataan ini saya bandingkan dengan kemampuan saya dalam bersepeda, selama ini.

Nah, 4 hari yang lalu, 31 Agustus 2013, saya mendapat hadiah buku dari Sekar Dinihari; sebuah buku berjudul “Bersepeda Membelah Pegunungan Andes”. Membaca judulnya saja, saya terperangah, karena Andes adalah pegunungan terpanjang di dunia. Benarkah ada orang nekat seperti itu?

Di halaman pertama, ada tanda tangan dari penulis. Ya, namanya Bambang Hertadi Mas, namun lebih dikenal dengan nama panggilan ‘Paimo’: “Buat M. Faizi”, begitu tulisnya, “sepeda adalah media yang tepat untuk menggapai mimpi”. Maka, mulailah saya membaca.

Begitu dapat satu-dua-tiga halaman, sontak saya seperti dipaksa harus melahapnya dalam beberapa kali duduk saja. Maka, pada setiap babnya, bukan decak kagum yang terlontar, tapi ungkapan sejenis “Paimo Edan!” lah yang keluar. Bagaimana tidak, dia itu bersepeda dari La Paz (Bolivia), yang ketinggiannya rata-rata di atas 3.500 mdpl, ke arah barat daya. Daerah-daerah yang dilaluinya antara lain adalah Andean Alti-Plano, menyeberangi danau garam (Salar de Uyuni), melintasi pegunungan Andes, menyusuri gurun Atacama (belakangan dijadikan ajang rally, gantinya Paris-Dakar), La Serena dan Santiago de Cile di Cile, Patagonia. Dia lalu ke Comodor Rivadavia di Argentina, balik lagi ke wilayah Cile, dan berakhir di Punta Arenas, ujung paling selatan Benua Amerika.

Akhirnya, buku terbitan Kompas (2012) dengan ketebalan 304 halaman ini saya baca pagi hari tanggal 1 Agustus 2013 dan selesai esok malamnya, pukul 22.00. Tidak pernah saya membaca buku sampai sengotot ini. Rasanya, buku tersebut menciptakan sensasi tersendiri, sensasi bersepeda jarak jauh dalam kata-kata. Saya pun turut mengharu-biru merasakan 74 hari pengembaraan Paimo dalam dua hari membaca.

Astaga, ‘bener-bener gila ini orang’, begitu batin saya. Paimo telah melintasi pegunungan, danau garam, stepa, sabana, tundra, pampa, dengan jarak 6000 kilometer jauhnya dengan sepeda. Paimo edhyaaan! Lebih-lebih, semua itu ia lakukan sendirian.

Dari sana, pelajaran yang saya dapatkan antara lain adalah: petualangan itu membutuhkan ketangguhan lahir-batin, uang nomor sekian; kemampuan berbahasa asing tidak begitu diperlukan jika kita bisa menggunakan bahasa hati, demikian saran Paimo; nilai-nilai kemanusiaan selalu muncul dan tercipta dalam setiap pertemuan dengan masyarakat setempat, bertahan dari gempuran alam dan cuaca; terakhir, rasa penasaran pada sikap istri dan anaknya, Ochen dan Tia, yang ditinggalkan: bagaimana sikap dan perasaan mereka berdua atas seorang kepala keluarga yang petualang. Inilah inti dari pembacaan saya yang tak sedikit pun terbayang jawabannya.

28 Juli 2013

Bonceng Mania

Pada tahun 1999, pada suatu hari, saya sempat diburu waktu untuk tiba di suatu tempat. Sementara angkutan umum yang lewat sangat jarang di kala itu. Waktu mendesak, saya kepepet. Apa boleh buat, akhirnya saya nekat mencegat seorang bapak tua yang bersepeda motor dan kebetulan melintas. Alhamdulillah, dia berhenti. Saya bilang izin nunut, dia mengangguk. Saya pun mengangkangi sadel Yamaha Alfa-nya. Di perjalanan, saya sampaikan alasan saya kenapa mencegat dia. Dia paham dan akhirnya saya sampai di lokasi tanpa terlambat.

Berdasarkan pengalaman pertama di atas, maka pada tahun-tahun berikutnya, ‘bonceng mendadak’ seperti ini, selama beberapa waktu, nyaris jadi kebiasaan saya. Setiap pergi kuliah, saya selalu membawa helem. Seringkali saya cegat orang yang naik sepeda motor sendirian, di tempat yang ramai tentu, tersenyum manis, agar saya tidak diduga penjahat. Kalau dia mau, saya nunut, mengeluarkan helem dari tas. Kalau ogah, ya, biarkan saja dia lewat karena saya tetap menunggu angkutan umum yang akan lewat.

Nah, tahun-tahun setelah itu, saya masih ingat ketika dulu, sebelum Jembatan Suramadu diresmikan, sering sekali saya numpang bonceng orang yang akan turun dari ferry di Pelabuhan Kamal. Perlu diketahui, dari dermaga ke tampat parkiran taksi (sub-terminal) di Pelabuhan Kamal itu lumayan jauh, ya, sekitar 400-an meter. Kalau berjalan kaki jelas capek, apalagi jika kita sedang bawa barang berat. Ketika geladak kapal tinggal berapa meter dengan dermaga, mesin-mesin sepeda motor dinyalakan. Nah, pada saat itu saya amati, siapa saja orang yang hanya sendirian. Minta izin numpang tentu, maksudnya, “Pak, nunut sampai pintu gerbang!”

Setelah sekian lama hal itu tidak saya alami, kemarin sore, 27 Juli 2013, ia terjadi lagi:

Saya menghadiri acara Haul Kiai Abdul Hamid bin Itsbat di Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, Sabtu 18 Ramadhan 1434 (27 Juli 2013) kemarin. Sesiangnya, saya berpesan kepada Nirul, sopir yang membawa kami berangkat secara rombongan, agar parkir di bagian terdepan karena saya mau pulang cepat. Nirul tahu saya punya tugas menjadi imam tarawih setiap malam tanpa pemain pengganti. Adapun jarak lokasi haul ke rumah saya itu kira-kira 30-an km atau perjalanan 45 menit. Karena itu, waspada dan sigap, habis buka puasa saya mesti langsung mancelat (pergi berbegas).

Namun, begitu saya sampai di lokasi parkir, astaga. Manusia dan mobil tumpek blek. Bis lebih seratus dan entah berapa puluh mobilnya. Manusia nggak terhitung lagi. Saya hampiri Nirul dan bilang padanya, “Maaf, Rul. Saya pulang duluan. Kamu pulang belakangan saja, ya, setelah macet selesai.”

Sebetulnya, saya tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana mengingat ini bulan puasa, sudah adzan Maghrib pula. Angkutan umum, di situ, pada hari-hari biasa saja susah, apalagi sekarang. Namun karena tuntutan harus tiba di rumah sebelum Isya, maka saya pun memakai jurus lama (seperti di atas), yakni mencegat sembarang orang naik sepeda motor yang tidak berboncengan.

Seorang lelaki bersepeda Supra lewat.
“Pak, numpang ikut sampe pertigaan!”
“Wah, maaf, saya bonceng dua,” katanya setelah sempat memperlambat laju sepeda motornya. Dua-tiga sepeda motor lewat tanpa bisa distop. Lalu, seorang lagi, agak tua, lewat dengan sepeda motor Vega.
“Pak, ikut sampai pertigaan.”
Dia berhenti. “Nah, pasti ini dia pahlawannya,” batin saya di dalam hati.

Senang dan tanpa basa-basi, langsung saya kangkangi saja sadelnya. Sepeda berjalan, saya bertanya, “Ini Sampeyan mau ke mana, Pak?”
“Palengaan.”
Putar haluan, nggak jadi cuma sampai pertigaan, pindah jalur saja.
“Ah, kalau begitu, saya ikut sampai Palengaan.”
“Loh, memang Sampeyan ini mau ke mana?”
“Guluk-Guluk.”
“Wah, jauh itu.”

Bapak ini agar oportunis. Tanjakan-tanjakan panjang atau pun mengular dilahapnya begitu saja. Gayanya ambil kanan terus,  karena kebetulan malam itu banyak sepeda motor yang pulang dari tempat yang sama, Banyuanyar. Di tengah perjalanan, saya sampaikan padanya bahwa saya punya tugas jadi imam tarawih. Saat itu, jam menunjukkan pukul 17.45. “Berarti, waktu saya tinggal 45 menit lagi,” kata saya yang sontak membuat ia mendadak menarik gasnya. Gawat!

Saya menelepon orang rumah agar dijemput ke Bandungan. Saya berjaga-jaga. Dan setelah saya bertanya perihal kemungkinan adanya tukang ojek, dari Palengaan ke Bandungan, juga dari Bandungan ke Guluk-Guluk. Nggak ada ojek, katanya. Dan dia pun langsung menawarkan diri untuk antar saya langsung ke Bandungan.  Saya tahu, jarak dari Palengaan ke Bandungan itu lumayan jauh, sekitar 7-8 kilometer. Saya berbasa-basi dengan rasa kasihan. Saya tahu, Pak Trisno—namanya saya ketahui belakangan—ini pasti ingin cepat sampai di rumahnya. Tapi, saya juga sedang kepepet, kan? Repot.

Tak terasa, tibalah kami di Palengaan. Dan orang itu, langsung  ambil  kanan menuju Bandungan tanpa banyak bicara. Jalan sepi membuatnya makin gairah untuk ngebut. Saya minta sedikit pelan karena jalan tidak rata dan banyak berlubang. Semua perjalanan ini sungguh lancar.

Setelah tiba di Bandungan, saya kasih dia 20.000 serta berkata,
“Pak ini, buat ganti bensin.”
“Terima kasih,” katanya.

Tak lama setelah dia pergi, saya shalat Maghrib di sebuah mushalla tepi jalan. Habis itu, sekadar ngobrol dengan penjual kembang api dan petasan, saya bertanya perihal tukang ojek yang biasa mangkal di pertigaan Bandungan. Jawaban mereka sama: tidak ada tukang ojek. Apa karena faktor bulan puasa atau karena memang tidak ada pangkalan ojek di sana?

Beruntung, sebentar kemudian, datanglah jemputan dari rumah. Budi nongol dengan sepeda motor Honda Astrea Prima. Pukul 18.18, kami meluncur ke timur. Saya hubungi Nirul untuk melaporkan perjalanan; dia bilang baru bebas macet pada saat saya sudah sampai di Bakeong. Akhirnya, bertepatan dengan dikumandangkannya adzan Isya, saya tiba di rumah, ambil wudu, langsung meddal ke langgar untuk Isya dan tarawih.


11 Juli 2013

Menguji Puasa di Jalan Raya


Puasa itu artinya tidak makan, tidak minum, tidak bersetubuh, tidak memasukkan sesuatu pada lubang-lubang anggota tubuh yang intinya menyebabkan batal, di siang hari bulan puasa. Namun, makna lebih dalam dari puasa itu bukanlah demikian saja. Berpuasa itu merupakan latihan menahan hawa nafsu dari berbuat yang bukan-bukan.

Sejatinya, di luar definisi di atas, puasa adalah menahan diri dari segala niat busuk yang biasanya selalu muncul dari dalam diri. Menahan diri dari marah, menahan diri untuk tidak menghasud, menahan diri untuk tidak sombong dan dengki, misalnya, merupakan ejawantah dari puasa itu. Kiranya, yang begini ini jauh lebih sulit daripada sekadar menahan makan-minum di siang hari di bulan Ramadhan.

Sekarang, mari kita pergi kita ke jalan raya. Bagi saya, jalan raya adalah medan paling tepat untuk menguji seberapa kuat kita berpuasa. Mengapa? Di jalan raya, perilaku kita sebagai manusia muncul dengan serta-merta, berbeda dengan di tempat lain. Di kantor, misalnya, seseorang bisa munafik dengan menyampaikan yang baik-baik kepada teman kerja meskipun dia sendiri menjilat atasan sambil korupsi pada saat yang sama. Di rumah, kita bisa menampak sok soleh pada tetangga, namun di saat yang sama berlaku dzalim pada orangtua. Tidak, di jalan raya kita sulit melakukan itu. Di jalan raya, perilaku dan tabiat kita cenderung muncul apa adanya.

Menggunting jalan, belok mendadak, merampas hak pelalu lintas lain, masih sering kita lihat bahkan di bulan puasa. Lihatlah bagaimana kesemrawutan lalu lintas jalan raya kita. Orang-orang yang melanggar dan arogan tersebut bukannya tidak paham pada pelanggaran yang dilakukannya, mereka justru merupakan orang yang sadar dan tahu, namun tak mau menyadari dan tak mau tahu-menahu. Jika perbuatan serampangan dapat mengurangi nilai puasa seseorang, maka sesungguhnya sangat banyak di antara kita yang sejatinya memaknai puasa dengan sekadar menahan diri dari makan dan minum, namun tak mampu menahan diri untuk mengambil hak orang lain, terutama di jalan raya.

Terus terang, bagi saya, jalan raya tetap menjadi tempat yang tepat untuk menguji emosi dan kesabaran, terutama di bulan puasa. Selamat menunaikan ibadah puasa di semua tempat; di kantor, di rumah, juga di jalan raya. Semoga kita bisa benar-benar menjadi orang yang menjalankan ibadah puasa secara sempurna.

02 Juli 2013

Karnaval, Imtihan, Kemacetan

Di beberapa madrasah (pondok pesantren) di Madura khususnya, bulan-bulan Sya’ban (Juni-Juli) seperti sekarang merupakan masa tutup tahun pelajaran. Untuk ini, ada lembaga yang menggunakan istilah ‘haflah akhir sanah’ dan ada pula yang menggunakna istilah ‘halaltful imtihan’. Intinya, haflah atau perayaan atau festival itu adalah bentuk ungkapan rasa syukur anak didik dan awak pendidikan atas telah berakhirnya proses belajar-mengajar selama satu tahuan di sebuah lembaga pendidikan.

Perayaan, namanya perayaan, biasanya selalu dipungkasi dengan lomba-lomba selama beberapa hari sebelum hari-H. Di dekat lokasi, biasanya juga ada bazar alias pasar dadakan. Pada malam puncaknya, malam penganugerahan juara kelas dan siswa teladan, ‘hiburan’-nya .yang umum adalah ceramah agama. Ya, di tempat saya, ceramah agama adalah sejenis ‘hiburan’ bagi masyarakat, bukan konser dangdut atau yang lain.
Namun, hiburan sesungguhnya untuk rakyat biasanya dilangsungkan pada sore hari-H, yaitu karnawal di jalanan. Karnaval ini berupa kirab atau pawai. Biasanya, kelas per kelas menampilkan lakon, seperti happening art, atau semacam drama berjalan. Di awal, atau di ujung  kirab, biasanya ada kelompok drum band.

Di musim seperti sekarang ini, banyak orang males bepergian di sore hari. Soalnya, kirab akan menghadang. Itulah hiburan masyarakat setempat tetapi juga sekaligus mengganggu masyarakat yang lain, terutama mereka yang berlalu lintas. Tidak semua memang, tapi rata-rata, kirab dan pawai macam ini jelas memacetkan jalan. Yang lebih menyebalkan adalah apabila penanggap tidak mau tahu-menahu bagaimana menguraikan kemacetan, seperti turut memikirkan area parkir penonton, lokasi titik akhir dan pembongkaran karnaval, ruang untuk papasan mobil, dan seterusnya.

Apakah karnaval jalanan seperti ini telah mengantongi izin keramaian dari kepolisian? Dalam beberapa kali kesempatan terjebak macet, sama sekali saya tidak melihat adanya pihak kepolisian yang tampak untuk membantu menguraikan kemacetan. Saya maklum karena jumlah aparat yang terbatas sementara jumlah karnaval bisa saja berlangsaung secara bersamaan dalam hari dan jam yang sama. Tapi, mengapa tak satu pun yang datang? Kemacetan seperti ini mungkin tidak dianggap masalah serius bagi masyarakat sekitar yang sudah mengetahui jadwal dan situasi jalan jauh hari sebelumnya. Namun, bayangkan jika yang mengalaminya adalah ambulan atau sejenisnya.


14 Juni 2013

Bagai Meninggalkan Tribun Saat Injury Time

“Demikianlah acara demi acara yang…” terdengar penata acara menyampaikan kalimat-kalimat terakhirnya demi menutup seluruh rangkaian acara. Biasanya, kalimat seperti itu disampaikannya setelah “acara penutup/doa”. Dalam pada itu, sering saya perhatikan undangan. Ada sebagian dari mereka yang beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan ruangan bahkan sebelum penata cara itu merampungkan ucapannya.

Anda pernah melihat kejadian seperti ini? Saya seringkali menyaksikan urusan remeh-temeh ini. Ketika kita mempercayakan seseorang untuk memandu, mengatur dan menyusun acara sejak dari awal, maka dengan begitu kita harus setia untuk mematuhinya. Apa yang dilakukan mereka yang saya contohkan di atas adalah tipe yang tidak sepakat untuk jenis kapatuhan ini.

Maka, apabila Anda temukan orang (undangan) yang bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan tempatnya hanya beberapa detik sebelum acara berakhir, sebelum penata acara selesai bicara, cobalah sesekali diperhatikan. Sekali-dua, mungkin ia melakukannya karena kebelet pipis, karena tergesa-gesa. Namun, jika hal seperti itu juga dia lakukan dalam kesempatan-kesempatan yang lain, berkali-kali, pasti dia adalah tipe orang yang suka bicara tetapi enggan mendengar. Insya Allah, akan banyak capek-nya kalau berurusan dengan orang seperti itu.

Apa susahnya, sih, bertahan duduk 30-60 detik saja sampai penata acara mengucapkan salam tanda acara benar-benar selesai?

12 Juni 2013

Kabut di Atas Payudan

Hari ini, saya sekeluarga, beserta, adik perempuan dan anak-anaknya, pergi kondangan ke daerah Nangger, tetangga desa satu kecamatan. Letaknya kira-kira 9 kilometer dari desa dusun saya. Tuan rumah bernama Hosni. Hari ini kami memnuhi undangan walimah untuk anaknya, Khotimah.  


Tanpa lebih dulu mengingat-ingat pada dampak hujan yang turun sejak kemarin hingga hari ini, siang itu saya terkejut begitu melihat kondisi jalan setapak menuju lokasi;  becak dan licin. Anak saya sempat terjatuh dan bajuya kotor. Ibu nyaris terseok, sangat kesulitan melangkah. Istri dan adik perempuan saya, yang kebetulan juga membawa 2 anakya, pun mengalami hal yang sama. Jalan itu hanyalah pematang, jalan setapak yang mengantarai petak-petak sawah. Kalau tergelincir, dijamin kotorlah semua pakaian.

Pemandangan yang mencuri perhatian saya adalah adanya kabut di gunung Payudan. Ini adalah pemandangan tidak biasa mengingat “gunung” Payudan itu sebetulnya hanyalah gugusan bukit saja. Dari bawah, saya membayangkan sedang berada di lereng Merbabu atau Dieng, atau kalau mau lebih hiperbolis, sedang berada di kaki Himalaya. Kami sangat senang sekali melihat penampakan kabut itu karena nyaris tak pernah kami lihat sebelumnya, di Madura.

Desa Nangger merupakan desa yang barangkali paling subur di kecamatan Guluk-Guluk, atau bahkan di Sumenep. Di sana, air sangat melimpah. Padi tumbuh di tanah yang gembur. Berbeda dengan daerah lain di Madura yang selalu krisis air di musim kemarau panjang, desa Nangger serta tetangga desanya, Daleman dan Tambuko, selalu berkecukupan.

Desa ini berada di kaki perbukitan Payudan, perbukitan (masyarakat setempat menyebutnya “gunung”) tertinggi di Madura. Uniknya, siang tadi, saya lihat kabut tebal tampak bagaikan kerudung bagi puncaknya. Hanya satu-dua kali saya melihat ada kabut di Madura, namun tak sehebat kali ini.

Siang tadi, tuan rumah sangat berbahagia namun lantas seolah merasa bersalah. Seperti tamu-tamu yang lain, kami datang dengan belepotan lumpur. Kepada kepala desanya yang masih muda dan duduk bersebelahan dengan saya, Saifur Rahman, saya berkata, “Saya senang lewat di jalan becek. Jika bukan sekarang, tentu akan sulit saya datang menuju undangan walimah yang didahului oleh adegan berjibaku dengan lumpur seperti sekarang ini.”

Anggaplah ini latihan off-roading…



02 Mei 2013

Amal Perbaikan Jalan

Jika Anda menempuh perjalanan dari Ganding ke Rubaru (jalur tengah), Anda akan melewati sebuah perbukitan dengan titik rawan kendara yang disebut Sa’im. Sa’im adalah nama tanjakan-tikungan yang sangat terjal. Jalannya rusak. Tanjakannya mengular. Tikungannya tajam. Dulu, sebelum jalan diaspal, sering terjadi mobil mogok, umumnya bak terbuka, tidak kuat nanjak. Beberapa kali terjadi kecelakaan yang berujung pada korban jiwa. Di malam hari, tak ada seorang pun yang lewat karena tempat itu sama sekali sepi, tak ada rumah penduduk sama sekali.

Tak jauh dari Sa’im, ada perbukitan bernama Canggur. Setelah itu, ketika saya lewat dua hari yang lalu, terdapat jalan menanjak/menurun yang sejak dulu rusak parah. Pernah sekali bumper mobil nyaris ternyangkut. Kini, jalan itu sudah lumayan bagus.
"Kita Coba Bangkit Sendiri / Mari Bangun Jalan Ini / Dengan Rp 500,-"
Tersebutlah Syakir, seorang tokoh pemuda di situ. Dia, bersama masyarakat setempat, berinisiatif membangun sendiri jalan yang rusak cukup lama itu. Mereka bikin cegatan di jalan. Tersedia sebuah gardu dan loudspeaker. Mereka menerima sumbangan dari orang-orang yang lewat. Konon, dari situlah sumber dana mereka.

Memang betul, banyak cegatan di jalan di tempat kami. Masyarakat menyebutnya “amal”. Namun, amal ini biasanya berada di jalan yang dekat dengan masjid sehingga ada tulisan/plakat “Amal untuk Perbaikan Majid”. Nah, yang ini berbeda. Di sana tertulis “Amal untuk Perbaiukan Jalan”. Konon, masyarakat setempat membangun jalan itu sendiri, dengan dana dan tenaga sendiri. Mereka capek menunggu perbaikan jalan yang tak kunjung dimulai. Padahal, jalan kolektor yang menghubungkan Ganding dan Rubaru juga Pasongsongan itu relatif banyak dilewati kendaraan.


Ini adalah sebentuk upaya masyarakat mandiri. Mandiri? Ya, mereka yang memperbaiki fasilitas umum dengan dana dan tenaga sendiri. Namun, istilah ‘mandiri’ ini menjadi aneh karena hal itu terjadi di kabupaten yang kaya raya, di sebuah kabupaten yang—konon—memiliki APBD dan berada di level 10 besar se Indonesia. 

21 April 2013

Orang Bodoh Dilarang Mengemudi

Ada banyak cara untuk mengurangi terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Upaya-upaya ini sudah diujicoba dan atau diterapkan sejak dulu. Kenyataannya, meskipun kecelakaan lalu lintas betul berkurang, namun angkanya tidak sebanding dengan upaya yang telah dilakukan. Angka kecelakaan lalu lintas masih tergolong relatif tinggi.

“Menyalakan lampu di siang hari” bagi sepeda motor merupakan cara mutakhir yang diujicoba dan telah diterapkan untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas. Tentu, keputusan ini dibuat berdasarkan riset atas kenyataan di lapangan. Begitu pula dengan “uji kir” bagi kendaraan “plat kuning” (karena relatif lebih sering berjalan daripada “plat hitam”) juga merupakan salah satu cara yang dilakukan demi keselamatan dan kenyamanan transportasi di jalan. Tidak menutup kemungkinan, cara lain akan segera ditemukan di masa-masa yang akan datang.

Saya beranggapan, satu hal yang juga tak kalah penting adalah “uji kecerdasan calon pemegang SIM”. Kepolisian yang bertugas menerbitkam SIM sebaiknya membuat semacam Tes Potensi Akademik (TPA) bagi calom pemegang SIM. Jadi, tes ini bukan sekadar uji simulasi menyetir/mengemudi. Emosi, temperamen, intelektualitas, semua harus diukur dan dinilai. Ada skor tertentu yang telah disepakati. Pemarah, suka naik pitam, tidak tahu sopan santun, misalnya, semua ini termasuk “golongan orang bodoh” yang tidak boleh memiliki SIM meskipun mereka berhasil lulus simulasi menyetir. Sebab, orang bodoh seperti ini sungguh berbahaya jika diberi kesempatan menguasai jalan raya. Jika dia tidak celaka, maka orang lainlah yang akan dibuatnya celaka.

Sudah pernahkah diselenggarakan uji kecerdasan bagi pelaku pelanggaran lalu lintas, baik itu kecerdasan intelektual atau kecerdasan emosional? Mari kita coba.





04 April 2013

Ditanya, Bertanya

Suatu hari, seorang murid bertanya kepada gurunya seputar hukum syariah.

“Guru, bagaimana jika kelak ada pesawat terbang komersil yang kecepatannya sama dengan kecepatan cahaya, sehingga andai kita naik pesawat tersebut pada pukul 13.00, maka kita akan tiba di tempat tujuan juga pada pukul 13.00 andai pun kita melakukan perjalanan nonstop selama 9 jam, misalnya, dan bagaimana hukum shalat kita di dalam rentang waktu perjalanan itu?

“Sebentar,” pangkas sang guru, “Apakah pesawat terbang itu sudah ada saat ini?”

“Belum ada, Guru. Ini cuma andai saja…”

“Oh, iya, kalau begitu aku tidak perlu sesegera mungkin mencarikan jawaban untuk pertanyaan kamu ini, karena banyak persoalan penting yang kiranya lebih mendesak untuk dicarikan jawabannya, misalnya, mengapa kita lebih minat mengembangkan teknologi kendaraan bermotor berbahan bakar fosil dan jelas akan semakin menambah kemacetan lalu lintas kita yang sudah terkenal semrawut? Mengapa kita tidak merekayasa dan menciptakan teknologi yang berpihak pada pertanian dan kelautan saja mengingat hal itu merupakan kekayaan kita?”

Si murid tersenyum dan berharap tak ada pelajaran di kelas, hari ini, sehingga dia dapat mempergunakan waktunya untuk berpikir panjang mengenai jawaban untuk pertanyaan sang guru itu.

26 Maret 2013

Kehebatan Kode (Pos)

Hari ini saya menerima sepucuk surat paling unik selama hidup. Isinya sih tidak penting. Hal yang aneh sehingga membuat saya harus menuliskannya di sini adalah faktor alamat. Ya, alamat si penerima (saya) di situ tidak tertera sebagaimana biasa. Yang tertulis hanya kode pos, tepatnya hanya nama saya dan kode pos. Begini persisnya: “Kepada YTh M. Faizi 69463”. Pengirimnya adalah “Syaf” dengan stempel kantor kirim Jakarta Pusat.


Sebetulnya, sepucuk surat ini tidak serta-merta demikian kejadiannya. Kira-kira sebulan yang lalu, saya bercerita kepada si Syaf tentang artikel di blog Pangapora, tentang kode pos. “Itu artikel yang konyol dan lucu!” kata saya padanya seraya menjelaskan bahwa salah satu keistimewaan PT Pos Indonesia adalah “kode pos”-nya. Dengannya, petugas pos dapat dengan mudah menjangkau pelanggan di hampir semua kecamatan di seluruh tanah air, Indonesia.

“Dengan kode pos, petugas kantor setempat dapat langsung tahu kecamatan si alamat, melalui dua digit angka terakhir dari 5 digit kode pos itu,” kira-kira begitulah penjelasan saya pada si Syaf ini melalui sambungan telepon. “Kalau tidak percaya, boleh dibuktikan!”

Saya melihat, setelah internet menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, perkabaran melalui surat fisik menurun drastis. Orang-orang cenderiung menggunakan pesan instan di dunia maya; baik SMS, Yahoo! Messenger, email, dan sejenisnya. Masyarakat mempergunakan jasa pos hanya untuk jasa peket saja. Itupun, dalam hal pengiriman paket, PT Pos Indonesia bersaing dengan pemain besar lain, seperti Elteha, DHL, Tiki, JNE, dll.

Pengalaman membuktikan, teman-teman yang berkirim barang/paket kepada saya umumnya menggunakan jasa paket di luar PT Pos Indonesia. Ini menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada perusahaan yang identik dengan warna oranye itu. Namun, belakangan, sekurang-kurangnya dalam setahun terakhir, justru saya rasa pelayanan PT Pos Indonesia semakin baik. Kecepatan pengiriman barangnya pun relatif bersaing dan singkat, antara 2-3 hari. Saya pun  sering menerima dan mengirim surat via pos.

Namun, kode pos, suatu hal yang istimewa dan unik itu, cepat atau lambat, mungkin tidak diperlukan lagi. Kelak, petugas-petugas pos kecamatan akan dilengkapi dengan perangkat GPS untuk mengantarkan surat fisik dan paket. Maka, dalam surat atau paket yang akan saya terima kelak itu, alamat saya pun mungkin hanya berupa kode, menjadi seperti ini:

Kepada Yth
M. Faizi
7° 3'43.49"
113°40'30.50"

Walhasil, di masa-masa yang akan datang, petugas pos akan semakin jarang bertanya, semisal, “Permisi, di mana rumah, Pak Faizi?”, atau “Yang mana, ya, rumah Si Misdin?”, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis yang sejatinya telah membuat petugas pos kenal dengan banyak nama orang di kecamatan tempat dia bekerja. Tukang pos masa depan akan lebih sering melihat gadget untuk mencari kordinat, daripada bertemu dengan lawan bicara tempat bertanya.  

“Bukan orang yang memberi petunjuk, namun satelit yang akan menuntun”, begitu kira-kira. Terima kasih, Pak Pos! Jasa Anda tak terlupakan.

10 Maret 2013

Tamu Tetap

Tersebut seorang bernama Tamam. Tidak setiap hari sih dia datang ke Lubangsa, menjadi 'tamu tetap' Kiai Warits, cuma sering. Tamam datang tanpa kepentingan apa-apa. Ia datang saja, hanya bertamu saja. Orang banyak menyebutnya silaturrahmi. Kadatangannya ini disebut 'cabis' atau 'sowan'. Yang aneh adalah, bahwa 'cabis' atau 'sowan' itu biasanya sesekali saja, tidak lantas setiap saat dan sering kali. Tamam datang bertubi-tubi.


Saya punya pengalaman yang nyaris sama. Saya juga punya 'Tamam', namun sedikit berbeda. Maksud saya, tamu tetap itu gonta-ganti, tapi jam kedatangan dan kepentingannya selalu sama. Mereka adalah tamu yang 'tidak punya kepentingan'. Adakah tamu yang tidak punya kepentingan? Ada! Ya, termasuk Tamam dan tamu saya itu salah satu contohnya.

Secara prinsip, pasti ada kepentingan di dalam benak setiap orang yang datang sebagai tamu. Masyarakat awam tidak akan menyebut hal itu sebagai kepentingan jika kedatangannya hanya silaturrahmi, meminum kopi, ngomong tanpa topik khusus, misalnya. Adapun kepentingan tamu-tamu tanpa kepentingan ini adalah datang sebagai tamu tanpa kepentingan bisnis, politik, atau lobi-lobi lain. Kepentingannya adalah silaturrahmi. Sedangkan silaturrahmi dipahami orang dengan 'bertandang tanpa kepentingan'.

Omamak-lah, saudara sepupu, yang lantas menyebut tamu-tamu tetap saya itu dengan panggilan 'Tamam' juga (meskipun dia, misalnya, bernama Agus). Bedanya, mereka biasanya datang malam-malam, kisaran jam 9 malam sampe tengah malam, kadang pula setelah 12 malam ke belakang. Beberapa kali saya pernah kedatangan tamu jam 2 malam. Mereka hanya duduk-duduk dan minum kopi.

Sepintas, kedatangan tamu yang model begini sangatlah mengganggu privasi, berhubung saya bukan dukun yang buka praktek tengah malam, bukan pula petugas UGD. 'Kepentingan' mereka pun rata-rata tidak mendesak. Jika saya merasa ingin istirahat, tentu saya bilang apa adanya. Namun,  bagi tamu yang datang dari jauh dan hanya punya kesempatan tengah malam untuk bertemu, jam istirahat tuan rumah-lah, menurut saya, yang harus mengalah. Didatangi orang bertamu itu sebuah kehormatan bagi kita, bahkan andaipun tamu tersebut hendak menipu, umpamanya.

Nah, sekarang soal jam bertamu. Di desa dan kota, ada perbedaan penting perihal jam bertamu. Di kota, saya perhatikan, jam bertamu banyak berlangsung bakda Mahgrib. Hal ini mungkin karena sepanjang hari orang-orang ada di kantor dan tak bisa ke mana-mana. Di desa, masyarakat masih menganggap sakral waktu antara Maghrib ke Isya' sebagai waktu istijabah, peak time untuk ibadah. Jadi, bertamu bakda Maghrib terasa agak aneh karena tuan rumah biasanya ada di langgar/surau. Ini menandakan bahwa suatu tempat menerapkan kebiasaannya sendiri, termasuk dalam hal/jam bertamu.

Secara pribadi, sesekali saya juga menerima tamu pada jam-jam sibuk dimaksud, yakni bakda Maghrib. Bagi saya, itu tak masalah, toh tamu semacam itu tidak datang setiap hari, tidak seperti orang ngapel. Cuma yang begitu itu jarang sekali terjadi.

Saya pernah mendengar cerita tentang kekakuan aturan bertamu di sebuah komunitas masyarakat tertentu, di Eropa. Sebelum bertamu, di sana, konon hendaknya kita mengatur janji kencan lebih dulu. Sebut saja misal, kita akan bertamu ke rumah seorang rekan pada pukul 20.00 malam. Nah, andai kita datang 15 menit lebih cepat (pukul 19.45), ada jenis tuan rumah yang tidak mau mempersilakan kita masuk walaupun dia tahu kita sudah ada di depan pintu, hanya karena belum tiba waktunya. Ini soal kedisiplinan yang super dan kaku, meskipun saya tidak dapat memastikan benar-tidaknya cerita itu.

Leluhur meninggalkan ajaran bahwa tamu harus epangghi'i (diterima dan diperlakukan sebagai tamu). Namun, untuk 'tamu tetap' jenis di atas itu, saya bergantung pada mood. Kalau saya sedang ngantuk, misalnya, saya bilang apa adanya, tidak perlu ewuh-pakewuh sebagaimana mereka juga tidak ewuh-pakewuh dalam memilih jam bertamu. Tengah malam tentu bukan hal yang cocok dijadikan jam tamu (tapi oke saja selagi tuan rumah bersedia) karena ini rumah rakyat biasa, bukan kafe atau night club.

Saya menulis catatan ini karena kini tamu-tamu saya itu pada menikah. Satu pergi datang bujang Tamam yang lain. Yang menikah sudah sibuk dengan anak-istrinya. Yang Tamam masih sering bertandang. Bahkan, ada yang sudah tidak pernah bertamu tengah malam lagi sejak bertahun lalu.

Saya kadang kangen pada mereka. Kapan, ya, mereka datang lagi ke tempat saya pada saat tengah malam sehingga saya merasa terganggu? 'Merasa diganggu' pun menjadi semacam sensasi yang menyenangkan karena sejatinya yang disebut 'mengganggu' itu berhubungan dengan 'keseringan'. Kalau jarang-jarang maka itu disebut rindu namanya; rindu Tamam.

"Seberapa banyak Tamam dalam hidupmu, begitu pula kira-kira kautakar kebahagiaanmu."

27 Februari 2013

Periksa Golongan dan Gula Darah

"Sakit, ya, kalau diambil darah untuk cek golongan dan gula darah?"
"Ya, ndak lah, cuma sedikit saja, kok."
"Saya takut mendadak pusing dan roboh."

Mbak petugas Apotek Setia di Jalan Kesehatan, Pamekasan, itu tersenyum. Mungkin maksudnya heran bertemu pasien seperti saya. Ternyata, setelah menunggu hanya 5 menitan, saya pun diperiksa, duduk di sebuah kursi. Urutan kejadiannya seperti ini: Buka lengan baju hem; tangan diluruskan, mengepal; tarik napas panjang; jarum disuntikkan; napas teratur; darah diambil; tarik napas panjang; jarum dicabut; tangan ditekuk; petugas menempel 'plast' ke bekas luka suntikan; selesai. 

"Sudah, Pak!"
"Cuma begini?"
"Ya, silakan bapak kembali!"

Awalnya, saya membayangkan bahwa memeriksa golongan darah dan gula darah itu ribet dan serem. Mungkin karena pra-anggapan ini menunggui pikiran saya maka saya pun terlalu cemas untuk menjalaninya. Namun, setelah dijalani, ternyata, ya, biasa-biasa saja. Kiranya, ini merupakan gambaran untuk hal lain yang kita hadapi. Banyak hal yang tampak menyeramkan sebelum dijalani, lalu ternyata biasa-biasa saja setelah dijalani.

Dulu saya pernah cek golongan darah, namun data sudah saya lupakan. Jadi, saya tak ingat apakah golongan darah saya. Kini, saya lakukan lagi, sekaligus mengecek kadar gulanya. Bukan karena saya ditengara sakit karena tanda-tanda. Tidak, saya hanya ingin tahu saja. Sambil menunggu hasil laborat, saya menulis catatan ini. Demikianlah.


22 Februari 2013

Dekat tapi Berjauhan

Kalau kita datang ke sebuah tempat yang menyediakan hotspot gratis, di sebuah kafe misalnya, atau di tempat lain di mana beberapa orang yang  mempunyai gadget dan terkoneksi dengan internet sedang berkumpul, sering dijumpai apa yang disebut “dekat tapi berjauhan” itu. Mereka berada ada di sebuah tempat, duduk dan saling berdekatan. Setelah itu, satu orang mengeluarkan gadget mulailah mereka berhunganan dengan orang lain, bukan dengan orang yang ada di dekatnya.

Irfan buka blog di PC;  Agus buka Youtube di MacBook
Tampaknya sepela, tapi sebetulnya kecenderungan semacam ini sering kali memicu masalah tersendiri dalam hal komunikasi. Terkadang, kita asyik dengan orang lain tetapi melupakan mereka yang ada dan senantiasa bersama dengan kita, dengan kelurga misalnya. Ini saya alami, dan mungkin juga Anda juga alami.

“Dekat tapi berjauhan” adalah fenomena komunikasi mutakhir umat manusia. Dengan koneksi internet, yang semula tidak terjangkau jadi terasa dekat sekali. Bahkan, terkadang kita merasa sangat akrab dengan mereka yang sama sekali belum pernah bertatap muka secara langsung daripada dengan mereka yang saban hari berada di dekat kita. Maka, dengan gambaran di atas, nilai intensitas sebuah komunikasi sedikit banyak akan bergeser dari pemahanan semula. Antara lain, nilainya didasarkan atas kekerapan komunikasi, bukan sekadar pada jumlah kekerapan tatap muka semata.




31 Januari 2013

Tamu Sepeda

HARI RABU, 27 Nopember 2012, kami kedatangan 4 orang tamu dari Jakarta. Mereka adalah Ahmad Rizali (panggilannya Nanang, aneh, ya!), Liza (istri Pak Nanang), Tedi K. Wardhana dan juga istrinya, Sekar. Mereka datang ke Annuqayah sebagai tamu. Ini mungkin biasa saja. Yang tidak biasa adalah karena mereka datang dengan mengendarai sepeda.

Sore hari Rabu, saya menerima sebuah panggilan.
“Pak, ini dari Sekar, rombongan Pak Nanang.”
“Iya, posisi Anda di mana?”
“Di sekitar sekolah-sekolah, dekat masjid.”
“Ya, tunggu, saya segera ke situ.”

Saya heran, mengapa Pak Nanang bisa lupa lokasi Annuqayah padahal kedatangan dia ke Guluk-Guluk ini bukan kali pertama. Rupanya, setelah saya menjumpai rombongan, saya tahu kalau mereka masuk komplek pesantren dari utara, bukan dari arah timur sebagaimana biasanya. Langsung saya menyalami Pak Nanang. Saya perhatikan, pakaiannya basah. Tanpa pikir panjang, saya bertanya.

“Wah, selamat datang kembali, Pak Nanang. Kena hujan di mana?”
“Hujan? Tidak, kok. Cuaca cerah sepanjang perjalanan.”
“Itu kaos Anda kok basah?”
“Weleh, ini basah oleh keringat.”

Saya tersadar, mereka pasti capek karena mengayuh sepeda dari Ketapang (Sampang) sejak pagi setelah semalam bermalam di rumah Imam Junaedi. Mereka berangkat hari Selasa dari Bangkalan. Berdasarkan keter bagasi yang saya temukan, sepeda ini mereka bawa naik Garuda Indonesia dari Jakarta. ‘Perjalanan sepeda ontel yang cukup jauh’, batin saya.

Pak Nanang bersama rombongan akhirnya bernalam di rumah penginapan Pondok Pesantren Annuqayah. Esoknya, Kamis, 28 Nopember, Tedi K. Wardhana mengisi pelatihan fotografi. Pelatihan bertema “Pelatihan Fotografi dengan Kamera Ponsel” ini bertempat di komplek SMA 3 (Putri) Annuqayah. Adapun peserta terdiri dari siswa dan guru di lingkungan PP Annuqayah. Ada pula beberapa yang datang dari lembaga pendidkan sekitar (untuk membaca laporan tentang pelatihan fotografi, sialakan ikuti tautan ini).

Mendampingi Pak Tedi, hadir di acara itu Eko Prasetyo dari Jawa Pos. Dia memberikan materi bagian kepenulisan. Acara ini berlangsung seharian. Peserta sangat antusias, terutama pada sesi praktek. Muhammad Mushthafa selaku kepala SMA 3 Annuqayah, yang notabene juga dikenal sebagai penggerak “naik sepeda” di lingkungan kami, mengawal acara ini hingga selesai menjelang sore.

Rombongan meninggalakan Annuqayah pada hari Jumat, 30 Nopember 2012. Sebelum berangkat, saya kembali bertanya
“Ngayuh lagi ke Surabaya, Mas?”
“Ya, ndak lah, itu terlalu heroik,” balas Pak Nanang sambil tertawa.

Rombongan kembali ke Surabaya menggunakan angkutan umum. Kami mengantarkan mereka ke Prenduan. Semula mereka menunggu patas. Namun karena bis yang ditunggu tak kunjung lewat, juga karena adanya pertimbangan ingin merasakan penyeberangan Kamal-Perak dengan kapal ferry, akhirnya mereka pun memilih naik minibus saja, menuju Kamal. Sementara sepeda-sepeda mereka diangkut dengan mobil bak terbuka.

(KETERANGAN: 3 foto di atas oleh Sekar Dinihari; 2 foto lainnya oleh saya, M. Faizi)


23 Januari 2013

Krupuk Tangguk (Krupuk Raksasa)

“Krupuk Tangguk” merupakan krupuk yang unik  karena dianggap banang, yaitu besar pada jenisnya. Sepanjang yang saya tahu, krupuk ini dapat ditemukan di Madura, khususnya di daerah Pamekasan. Berdasarkan namanya (‘tangguk’), menurut anggapan saya, nama ini mengacu pada bentuknya yang sangat lebar seperti caping. “Tangguk” berasal dari Bahasa Madura, artinya caping, topi petani.

Suatu waktu, teman saya dari Jakarta, Fajar namanya, memesan krupuk ini, meminta saya agar memaketkannya ke Jakarta. Mungkin dia mendengar adanya krupuk besar dan unik ini dari liputan di televisi. Jelas, dan saya yakin, teman saya itu penasaran sama bentuknya, bukan pada rasanya.

Sebelum membeli krupuk, saya menghubungi agen paket, menjelaskan kepada petugasnya untuk kirim paket krupuk tangguk ke Jakarta. Kebetulan, ketika itu saya menghubungi paket ESL dari Karina. Petugas berpikir, lalu menyatakan keberatan. Alasannya, berat krupuk itu mungkin hanya 0,5 kilogram tapi “rua” (banyak makan tempat). Padahal, paket mempertimbangkan berat, kan? Lagi pula, nilai barang krupuk juga rendah, tidak seperti emas yang andaipun ringan tapi nilainya tetap tinggi.

“Jadi, tidak bisa, ya, Pak?” Saya memastikan.
“Iya, Mas. Itu banyak makan tempat. Mmm..” Petugas tampak berpikir lagi, lalu mengajukan usul, “Bagaimana kalau krupuk tangguk itu dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam kardus? Praktis, kan?”
“Ha, ha, ha,” Saya tetawa lalu menjelaskan kepadanya. “Nilai dari krupuk tangguk ini ada pada bentuknya, Pak, bukan pada rasanya. Kalau dipotong kecil-kecil, nggak jadi tangguk lagi deh.”

Saya dan dia sama-sama tersenyum.

(*foto oleh Marzukiy)

05 Januari 2013

Blogger Tertua

Photo by Romyan Fauzan
Arsyad Indradi (foto oleh Romyan Fauzan)
Siang itu, Ahad 30 Desember 2012, saya berkesempatan duduk semeja dengan penyair Arsyad Indradi. Pertemuan dengan penyair kawak dari Kalimantan Selatan ini tak disangka-sangka. Nama Arsyad Indradi sudah lama saya tahu. Beberapa fotonya juga sudah saya lihat di blognya, Penyair Nusantara.

Usia sepuhlah yang membuat takjub untuk hal ini, "blogging", bukan semata pada ranah kepenyairan yang digelutinya. Saya tahu dan saya kenal banyak orang sepuh yang masih aktif berkarya, menulis dan membacakan puisi di forum-forum sastra. Tapi, seorang penyair sepuh yang aktif nge-blog sungguh tidak banyak jumlahnya. Abah Arsyad, panggilan akrab penyair ini, adalah salah satu dari yang sedikit itu.


Pada kesempatan makan siang di Hotel Ratu, Jambi, dalam serangkaian acara Pertemuan Penyair Nusantara VI tersebut, saya memanfaatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan beliau. Lelaki sepuh yang suka bercanda ini menyatakan telah lupa jumlah blog yang dia kelola. Kiranya, pernyataan ini bukanlah pernyataan mengada-ada jika disimak penuturannya.
"Ya, kira-kira 60 blog lah.."
"Wah, sebanyak itu, Bah? Dan semuanya di blogger?"
"Cuma satu yang pakai wordpress, lainnya pakai blogspot."
"Wah, salut, Bah. Saya mengelola 6 blog, Bah, dan merasa kewalahan," sambung saya mengimbangi pembicaraan. "Tiga pakai blogspot, 1 wordpress, 1 multiply, dan 1 lagi di myspace."

Arsyad Indradi bercerita banyak tentang aktivitas kesehariannya, khususnya ngeblog. Paparnya, beberapa waktu lalu ada media cetak nasional yang telah meliput kegemarannya akan blogging ini. Dia mempublikasikan karya-karya penyair Nusantara di blog yang dia buat berdasarkan prinsip kedaerahan itu. Karena begitu, maka wajar jika blog yang dia urus pada akhirnya menJadi banyak. Bahkan, jelasnya, dia masih akan menambah beberapa blog lagi, salah satunya adalah blog untuk penyair Sulawesi Utara.

Arsyad Indradi dan saya (M. Faizi)
"Maaf, Bah," kata saya menahan ucapan untuk melihat perubahan air muka, khawatir pertanyaan berikut ini menyinggung perasaannya, "Usia Abah berapa?"
"Mmm... 36!"
"Hah? 36? Lebih muda daripada saya, dong. Yang bener nih, Bah? Apa nggak terbalik tuh?!"

Setelah diam sejurus, Abah Arsyad terbahak-bahak, lalu berkata dengan sisa ketawa.
"Ooo... Salah, ya? Iya, mungkin angka itu memang terbalik," katanya menahan senyuman.


Dengan usia segitu sebagai blogger, Pak Arsyad Indradi mungkin punya teman sebaya atau mungkin pula ada blogger yang lebih tua darinya. Namun dengan usia 63 tahun dengan menjadi admin bagi 60-an blog yang dikelolanya, kiranya ini adalah keajaiban yang lain. Semoga Pak Arsyad masih terus setia dan terus kreatif, berkah dalam usia.  

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog