26 Maret 2013

Kehebatan Kode (Pos)

Hari ini saya menerima sepucuk surat paling unik selama hidup. Isinya sih tidak penting. Hal yang aneh sehingga membuat saya harus menuliskannya di sini adalah faktor alamat. Ya, alamat si penerima (saya) di situ tidak tertera sebagaimana biasa. Yang tertulis hanya kode pos, tepatnya hanya nama saya dan kode pos. Begini persisnya: “Kepada YTh M. Faizi 69463”. Pengirimnya adalah “Syaf” dengan stempel kantor kirim Jakarta Pusat.


Sebetulnya, sepucuk surat ini tidak serta-merta demikian kejadiannya. Kira-kira sebulan yang lalu, saya bercerita kepada si Syaf tentang artikel di blog Pangapora, tentang kode pos. “Itu artikel yang konyol dan lucu!” kata saya padanya seraya menjelaskan bahwa salah satu keistimewaan PT Pos Indonesia adalah “kode pos”-nya. Dengannya, petugas pos dapat dengan mudah menjangkau pelanggan di hampir semua kecamatan di seluruh tanah air, Indonesia.

“Dengan kode pos, petugas kantor setempat dapat langsung tahu kecamatan si alamat, melalui dua digit angka terakhir dari 5 digit kode pos itu,” kira-kira begitulah penjelasan saya pada si Syaf ini melalui sambungan telepon. “Kalau tidak percaya, boleh dibuktikan!”

Saya melihat, setelah internet menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, perkabaran melalui surat fisik menurun drastis. Orang-orang cenderiung menggunakan pesan instan di dunia maya; baik SMS, Yahoo! Messenger, email, dan sejenisnya. Masyarakat mempergunakan jasa pos hanya untuk jasa peket saja. Itupun, dalam hal pengiriman paket, PT Pos Indonesia bersaing dengan pemain besar lain, seperti Elteha, DHL, Tiki, JNE, dll.

Pengalaman membuktikan, teman-teman yang berkirim barang/paket kepada saya umumnya menggunakan jasa paket di luar PT Pos Indonesia. Ini menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada perusahaan yang identik dengan warna oranye itu. Namun, belakangan, sekurang-kurangnya dalam setahun terakhir, justru saya rasa pelayanan PT Pos Indonesia semakin baik. Kecepatan pengiriman barangnya pun relatif bersaing dan singkat, antara 2-3 hari. Saya pun  sering menerima dan mengirim surat via pos.

Namun, kode pos, suatu hal yang istimewa dan unik itu, cepat atau lambat, mungkin tidak diperlukan lagi. Kelak, petugas-petugas pos kecamatan akan dilengkapi dengan perangkat GPS untuk mengantarkan surat fisik dan paket. Maka, dalam surat atau paket yang akan saya terima kelak itu, alamat saya pun mungkin hanya berupa kode, menjadi seperti ini:

Kepada Yth
M. Faizi
7° 3'43.49"
113°40'30.50"

Walhasil, di masa-masa yang akan datang, petugas pos akan semakin jarang bertanya, semisal, “Permisi, di mana rumah, Pak Faizi?”, atau “Yang mana, ya, rumah Si Misdin?”, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis yang sejatinya telah membuat petugas pos kenal dengan banyak nama orang di kecamatan tempat dia bekerja. Tukang pos masa depan akan lebih sering melihat gadget untuk mencari kordinat, daripada bertemu dengan lawan bicara tempat bertanya.  

“Bukan orang yang memberi petunjuk, namun satelit yang akan menuntun”, begitu kira-kira. Terima kasih, Pak Pos! Jasa Anda tak terlupakan.

10 Maret 2013

Tamu Tetap

Tersebut seorang bernama Tamam. Tidak setiap hari sih dia datang ke Lubangsa, menjadi 'tamu tetap' Kiai Warits, cuma sering. Tamam datang tanpa kepentingan apa-apa. Ia datang saja, hanya bertamu saja. Orang banyak menyebutnya silaturrahmi. Kadatangannya ini disebut 'cabis' atau 'sowan'. Yang aneh adalah, bahwa 'cabis' atau 'sowan' itu biasanya sesekali saja, tidak lantas setiap saat dan sering kali. Tamam datang bertubi-tubi.


Saya punya pengalaman yang nyaris sama. Saya juga punya 'Tamam', namun sedikit berbeda. Maksud saya, tamu tetap itu gonta-ganti, tapi jam kedatangan dan kepentingannya selalu sama. Mereka adalah tamu yang 'tidak punya kepentingan'. Adakah tamu yang tidak punya kepentingan? Ada! Ya, termasuk Tamam dan tamu saya itu salah satu contohnya.

Secara prinsip, pasti ada kepentingan di dalam benak setiap orang yang datang sebagai tamu. Masyarakat awam tidak akan menyebut hal itu sebagai kepentingan jika kedatangannya hanya silaturrahmi, meminum kopi, ngomong tanpa topik khusus, misalnya. Adapun kepentingan tamu-tamu tanpa kepentingan ini adalah datang sebagai tamu tanpa kepentingan bisnis, politik, atau lobi-lobi lain. Kepentingannya adalah silaturrahmi. Sedangkan silaturrahmi dipahami orang dengan 'bertandang tanpa kepentingan'.

Omamak-lah, saudara sepupu, yang lantas menyebut tamu-tamu tetap saya itu dengan panggilan 'Tamam' juga (meskipun dia, misalnya, bernama Agus). Bedanya, mereka biasanya datang malam-malam, kisaran jam 9 malam sampe tengah malam, kadang pula setelah 12 malam ke belakang. Beberapa kali saya pernah kedatangan tamu jam 2 malam. Mereka hanya duduk-duduk dan minum kopi.

Sepintas, kedatangan tamu yang model begini sangatlah mengganggu privasi, berhubung saya bukan dukun yang buka praktek tengah malam, bukan pula petugas UGD. 'Kepentingan' mereka pun rata-rata tidak mendesak. Jika saya merasa ingin istirahat, tentu saya bilang apa adanya. Namun,  bagi tamu yang datang dari jauh dan hanya punya kesempatan tengah malam untuk bertemu, jam istirahat tuan rumah-lah, menurut saya, yang harus mengalah. Didatangi orang bertamu itu sebuah kehormatan bagi kita, bahkan andaipun tamu tersebut hendak menipu, umpamanya.

Nah, sekarang soal jam bertamu. Di desa dan kota, ada perbedaan penting perihal jam bertamu. Di kota, saya perhatikan, jam bertamu banyak berlangsung bakda Mahgrib. Hal ini mungkin karena sepanjang hari orang-orang ada di kantor dan tak bisa ke mana-mana. Di desa, masyarakat masih menganggap sakral waktu antara Maghrib ke Isya' sebagai waktu istijabah, peak time untuk ibadah. Jadi, bertamu bakda Maghrib terasa agak aneh karena tuan rumah biasanya ada di langgar/surau. Ini menandakan bahwa suatu tempat menerapkan kebiasaannya sendiri, termasuk dalam hal/jam bertamu.

Secara pribadi, sesekali saya juga menerima tamu pada jam-jam sibuk dimaksud, yakni bakda Maghrib. Bagi saya, itu tak masalah, toh tamu semacam itu tidak datang setiap hari, tidak seperti orang ngapel. Cuma yang begitu itu jarang sekali terjadi.

Saya pernah mendengar cerita tentang kekakuan aturan bertamu di sebuah komunitas masyarakat tertentu, di Eropa. Sebelum bertamu, di sana, konon hendaknya kita mengatur janji kencan lebih dulu. Sebut saja misal, kita akan bertamu ke rumah seorang rekan pada pukul 20.00 malam. Nah, andai kita datang 15 menit lebih cepat (pukul 19.45), ada jenis tuan rumah yang tidak mau mempersilakan kita masuk walaupun dia tahu kita sudah ada di depan pintu, hanya karena belum tiba waktunya. Ini soal kedisiplinan yang super dan kaku, meskipun saya tidak dapat memastikan benar-tidaknya cerita itu.

Leluhur meninggalkan ajaran bahwa tamu harus epangghi'i (diterima dan diperlakukan sebagai tamu). Namun, untuk 'tamu tetap' jenis di atas itu, saya bergantung pada mood. Kalau saya sedang ngantuk, misalnya, saya bilang apa adanya, tidak perlu ewuh-pakewuh sebagaimana mereka juga tidak ewuh-pakewuh dalam memilih jam bertamu. Tengah malam tentu bukan hal yang cocok dijadikan jam tamu (tapi oke saja selagi tuan rumah bersedia) karena ini rumah rakyat biasa, bukan kafe atau night club.

Saya menulis catatan ini karena kini tamu-tamu saya itu pada menikah. Satu pergi datang bujang Tamam yang lain. Yang menikah sudah sibuk dengan anak-istrinya. Yang Tamam masih sering bertandang. Bahkan, ada yang sudah tidak pernah bertamu tengah malam lagi sejak bertahun lalu.

Saya kadang kangen pada mereka. Kapan, ya, mereka datang lagi ke tempat saya pada saat tengah malam sehingga saya merasa terganggu? 'Merasa diganggu' pun menjadi semacam sensasi yang menyenangkan karena sejatinya yang disebut 'mengganggu' itu berhubungan dengan 'keseringan'. Kalau jarang-jarang maka itu disebut rindu namanya; rindu Tamam.

"Seberapa banyak Tamam dalam hidupmu, begitu pula kira-kira kautakar kebahagiaanmu."

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog