Sebetulnya, sepucuk surat
ini tidak serta-merta demikian kejadiannya. Kira-kira sebulan yang lalu, saya
bercerita kepada si Syaf tentang artikel di blog Pangapora, tentang kode pos. “Itu
artikel yang konyol dan lucu!” kata saya padanya seraya menjelaskan bahwa salah
satu keistimewaan PT Pos Indonesia adalah “kode pos”-nya. Dengannya, petugas pos
dapat dengan mudah menjangkau pelanggan di hampir semua kecamatan di seluruh tanah
air, Indonesia .
“Dengan kode pos, petugas kantor setempat dapat langsung
tahu kecamatan si alamat, melalui dua digit angka terakhir dari 5 digit kode
pos itu,” kira-kira begitulah penjelasan saya pada si Syaf ini melalui
sambungan telepon. “Kalau tidak percaya, boleh dibuktikan!”
Saya melihat, setelah internet menjadi bagian penting dalam kehidupan
masyarakat, perkabaran melalui surat
fisik menurun drastis. Orang-orang cenderiung menggunakan pesan instan di dunia
maya; baik SMS, Yahoo! Messenger, email, dan sejenisnya. Masyarakat mempergunakan
jasa pos hanya untuk jasa peket saja. Itupun, dalam hal pengiriman paket, PT
Pos Indonesia bersaing dengan pemain besar lain, seperti Elteha, DHL, Tiki, JNE,
dll.
Pengalaman membuktikan, teman-teman yang berkirim
barang/paket kepada saya umumnya menggunakan jasa paket di luar PT Pos Indonesia.
Ini menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada perusahaan yang
identik dengan warna oranye itu. Namun, belakangan, sekurang-kurangnya dalam
setahun terakhir, justru saya rasa pelayanan PT Pos Indonesia semakin baik. Kecepatan
pengiriman barangnya pun relatif bersaing dan singkat, antara 2-3 hari. Saya
pun sering menerima dan mengirim surat via pos.
Namun, kode pos, suatu hal yang istimewa dan unik itu, cepat
atau lambat, mungkin tidak diperlukan lagi. Kelak, petugas-petugas pos kecamatan
akan dilengkapi dengan perangkat GPS untuk mengantarkan surat fisik dan paket. Maka, dalam surat atau paket yang
akan saya terima kelak itu, alamat saya pun mungkin hanya berupa kode, menjadi seperti ini:
Kepada Yth
M. Faizi
7° 3'43.49"
113°40'30.50"
Walhasil, di masa-masa yang akan datang, petugas pos akan semakin
jarang bertanya, semisal, “Permisi, di mana rumah, Pak Faizi?”, atau “Yang mana,
ya, rumah Si Misdin?”, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis yang sejatinya telah membuat
petugas pos kenal dengan banyak nama orang di kecamatan tempat dia bekerja. Tukang
pos masa depan akan lebih sering melihat gadget untuk mencari kordinat, daripada bertemu dengan
lawan bicara tempat bertanya.
“Bukan orang yang memberi petunjuk, namun satelit yang akan menuntun”,
begitu kira-kira. Terima kasih, Pak Pos! Jasa Anda tak terlupakan.