Di antara yang begitu, ada pula yang mengambil jalan “perkecualian”. Mereka yang terkecualikan ini berada di luar jalur dan cara pandang kebanyakan. Dalam permainan anak (di Madura), ada ungkapan “sapa sé laén, daddi” (siapa yang beda, dia yang 'jadi'). Dia ‘jadi’ karena berbeda dengan kebanyakan, menjadi perkecualian. Dalam permainan tersebut tersirat satu statemen: bahwa keputusan atau pandangan umum itu biasanya ditetapkan berdasarkan kebanyakan, bukan berdasarkan asas perkecualian.
“Menjadi perkecualian” tidak selalu meninggalkan kesan baik/hebat di mata setiap orang, malah terkadang dianggap konyol atau tolol oleh yang lain. Baru-baru ini tersiar kabar adanya seseorang yang melepaskan sertifikasi guru-nya karena sadar akhir-akhir ini ia tidak mampu lagi mengajar secara maksimal. Ini adalah pilihan perkecualian di antara orang yang bahkan untuk lolos pun terkadang harus menyogok. Memilih hidup ugahari dan derana juga merupakan perkecualian di saat punya banyak kesempatan untuk berfoya-foya. Kedua contoh di atas tampak heroik di satu sisi, namun mungkin saja kelihatan konyol dari sudut pandang yang lain.
Dalam hal kesusastraan, dulu, Alquran menyindir ‘penyair kebanyakan’, yakni mereka yang disebut secara khusus dalam satu surah, Asy-Syu’ara’ (penyair-penyair) sebagai para pembual: “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (224); “Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah?” (225); “Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?” (226). Akan tetapi, apakah para penyair itu pembual? Tunggu dulu, simak satu ayat lagi: “kecuali orang-orang (para penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapatkan kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (227).
Itulah kisah-kisah unik, terkadang juga aneh, yang ada di sekitar kita, saat ini. Dan karena anggapan kebanyakan orang adalah seperti itu, maka satu ‘orang waras’ di antara ‘orang gila’ akan ‘tampak gila’ karena ia telah menjadi perkecualian. Selamat berlibur!
5 komentar:
Inspiratif. Tidak banyak orang yang melakukan hal itu...
KARENA sebuah organisasi telah begitu dikuasai oleh kelompok orang kurang baik, saat satu orang baik ditugasi masuk ke dalamnya untuk membenahi, ia laksana setitik susu dalam belanga nila. Dalam kasus itu, doa untuknya adalah; semoga ia mampu mewarnai, bukan malah dilunturi warna yang sudah ada. Dan, ada kemungkinan ia mampu mengubah yang sudah mengakar di sana. Kecuali...
@Subaidi: Iya, baiklah jika begitu
@Edi Winarno: betul, Mas. Itu juga yang saya maksud secara tersirat dalam posting kali ini. Banyak hal yang sebetulnya terjadi di sekitar kita dan itu unik, namun kita lupa memperhatikannya.
Biasanya yang banyak selalu dianggap benar, padahal belum tentu. Hal-hal kecil yang tidak diperhatikan, karena orang tersebut mungkin belum memiliki pemahaman yang memadai....tapi kalo dalam menilai sikap atau perbuatan seseorang justru terbalik, kelasahan yang sedikit yang dilihat ketimbang kebaikannya yang menggunung.
@Hamiddin:
untuk kasus yang tama (dalam komentarmu), jawabannya ada pada kaidah ushul: "hukum itu ditetapkan berdasarkan kasus kebanyakan, bukan perkecualian"
yang kedua sesuai pepatah: gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga
Posting Komentar