Ungkapan “menerima serangan fajar”, “mana duitmu, ini suaraku”, atau “NPWP (nomor piro wani piro)” yang semua itu dimaksudkan sebagai guyonan atau lelucon satir menjelang pemilu begitu marak di jejaring sosial, bahkan ada pula yang dipasang di tempat umum. Bahwa suara dapat dibeli kini bukan lagi menjadi rahasia. Idealisme yang dulunya suci pun, kini, menjadi profan. Suara tak ubahnya sayur dan lauk-pauk di pasar tradisional yang bisa ditawar.
Ya, memang benar, semua ungkapan di atas (atau sejenisnya) hanyalah guyonan, sebuah kritik nan satir, hanya main-main. Itulah yang tersurat, namun yang tersirat tidaklah demikian. Redaksi frase/kalimat di atas yang mengandung unsur ‘tantangan namun main-main’ itu tampaknya bisa berubah menjadi sungguh-sungguh dalam situasi dan konteks yang juga berubah-ubah. Begitu seringnya teks itu muncul dan terbaca, sedikit banyak, tanpa disadari akan menciptakan persepsi dan pengaruh pada masyarakat yang melihat/membacanya. Apa bukti? Kini, masyarakat semakin permisif terhadap jual-beli suara, menyepelekan, dan bahkan tanpa merasa bersalah lagi jika menjual suara mereka untuk orang/wakil yang sebetulnya tidak mereka ketahui kapasitasnya, idealismenya, watak dan kepribadiannya, dan seterusnya.
Dibandingkan sekadar menerima uang untuk suara, sifat dan sikap permisif (dalam hal ini menganggap sogokan dan suap serta beli suara sebagai sesuai yang biasa) merupakan “salah di atas kesalahan”. Inilah musibah besar kemanusiaan. Harapan untuk untuk memperoleh wakil kita di parlemen selama 5 tahun ditukar dengan harga semangkok bakso atau setara dengan uang belanja dapur selama 1 hari. Sadis, bukan?
Berharap kepada seseorang yang akan menjadi wakil kita dalam menyampaikan ‘suara hati’ untuk kemakmuran dan keadilan itu haruslah ada, bahkan andaipun mereka akan berkhianat. Berharap agar mereka jujur atau bertobat setelah berdusta adalah obat pada saat tak punya harapan sama sekali adalah penyakitnya. Dan, pada saat kita memilihnya “hanya karena uang” dengan tanpa mempedulikan lagi siapa, visi-misi, serta kepribadiannya, maka itu artinya kita telah mengubur harapan ke dalam jurang putus asa yang dalam, jurang yang gelap dan tanpa penolong, kecuali kita sendiri yang sejak awal tak mau melakukannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
bahaya ini, Ra. kemaren, di sekitar kampus UIN Jogja, saya juga mendengar beberapa mengenai, semisal: "ayo cari orang, lah, kamu. entar tak kasi uang dari caleg 'ini', "aku mau jual suaraku, siapa berani bayar mahal?"
di jogja, tinggal bersekutu dengan orang-orang yang nguasai TPS dan, meskipun nggak berpenduduk jogaja, makanya bisa n y o b l o s
Sejak tadi malam sampai malam ini, di sini, di daerah saya di Sumenep, ada banyak peristiwa lucu yang jadi bahan obroilan orang0-orang. Apa itu? Adanya oknum caleg yang sebar duit tapi hasilna sangat tidak sebanding dengan yang diharapkan.
Semoga preseden buruk ini jadi pertanda baik bahwa masyarakat sudah mulai pinter dan tidak mudah dikibuli, tidak mudah dibeli.
SAYA pernah membaca tentang money politics, yang satu suara setara dengan, misalnya, uang limapuluh ribu saja. Seorang teman saya, malam-malam sehari sebelum pencoblosan, mengabari lewat SMS bahwa ia sekeluarga malam itu telah menerima total 600rb dari para tim sukses caleg yang 'mohon untuk dibantu'. (satu caleg 50rb, kali 3 jenjang --DPRD II, DPRD I dan DPR Pusat, seorang saja dapat 150rb, kali empat anggota keluaraga yang mempunyai hak pilih. Ya, terkumpul 600rb.)
Seperti Sampeyan bilang di tulisan di atas, si teman saya itu tak peduli caleg dari partai apa, track record si calon bagaimana, yang penting ia terima saja uang itu.
Hal itu, bukan lagi sebuah rahasia yang mesti ditutup rapat-rapat. Ia telah menjadi hal lumrah walau itu tentu saja salah.
tadi malam saya sempat ngomong dengan warga tetangga desa sampai pukul 21.15. asyik sekali obrolan kami kalau sudah menyangkut duit. ya, sekarang mereka tetap berkelakar karena melihat lelucon-lelucon yang telah mereka tonton dari permainan uang ini.
Namun, bukanlah lelucon kalau bagi duit ini terus berlangsung dengan tanpa mempedulikan calon wakil kita di parlemen. Ini bahaya. Kita dalam bahaya.
Tolak hasil pemilu!
Mari suarakan agar kita masih bisa menegas bahwa wakil kita telah disandera.
marengis
@Ahmad: mari bersama-sama. Betapa menyeramkan, kita akan diwakili oleh orang-orang yang terpilih bukan karena integritas, tapi karena duit.
@Zyadah: itulah, seperti komentar saya di atas ini, menyeramkan
Posting Komentar