26 Maret 2015

Bahkan untuk Minum Pun Kita Harus Berpikir

Dulu, saat saya masih Ibtidaiyah (SD), kira-kira tahun 1985 atau 1986, saya menemukan iklan AMDK pada sebuah majalah kaluarga, ‘Majalah Amanah’. Adalah suatu hal yang tidak pernah saya bayangkan bakal ada jawaban untuk pertanyaan “mungkinkah air yang selama ini kita dapatkan gratis dari bumi akan dijual demi keuntungan pribadi?”. Kini, setiap melakukan perjalanan, bahkan di rumah sendiri pun, kebanyakan orang (kita?) sudah terbiasa minum dari air minum dalam kemasan yang dimaksudkan itu.

Di masa kecil saya, dulu, di Madura, mudah ditemukan gentong berisi air minum yang diletakkan di pinggir jalan. Biasanya, gentong ini ditempatkan di depan rumah. Pejalan kaki yang melintas dapat minum dari gentong ini secara langsung karena juga disediakan gayung (umumnya dari batok kelapa). Air tersebut adalah air minum cuma-cuma untuk siapa pun yang haus dan kebetulan lewat di sana.

Lambat laun, gentong seperti ini tidak tampak lagi. Hanya beberapa kali saya sempat melihatnya. Salah satunya, yang terakhir saya lihat, berada di depan rumah Haji Jirman, di Larangan Tokol, Pamekasan. Bedanya, wadah air berupa ember plastik, bukan gentong tanah liat. Saya tidak tahu, entah masih ada atau tidak orang yang minum dari ember itu mengingat Haji Jirman juga pemilik toko kelontong yang menjual air minum dalam kemasan (AMDK).

Yang tersisa dari kenyataan ini adalah “pelajaran berbagi”, bahwa berbagi bagi siapa pun itu baik dan tidak perlu kita kenal lebih dulu. Bukan soal hanya karena air yang dapat diperoleh secara cuma-cuma itu yang dibagi, tetapi yang patut dipikirkan adalah untuk  apa warisan leluhur ini masih dan harus dipertahankan. Nilai-nilai kemanusian yang ada di sana sangatlah tinggi meskipun secara materi tentu tidak seberapa.

Dalam walimah, resepsi, selamatan, atau kegiatan apa pun, nyaris semua hidangan dan suguhan disisipi air minum dalam kemasan. Jelas, maksud dari semua ini adalah nilai praktisnya karena tuan rumah tidak perlu repot harus mencuci gelas dan tidak perlu khawatir ia pecah atau hilang. Namun, yang tidak dipikirkan, apakah kebiasan ini merupakan kebiasan baik bagi alam? Apakah leluhur kita pernah mengajari membuat sampah kelas berat (sampah plastik) untuk sesuatu yang sangat sepele (minum air)? Kiranya, tidak perlu dijelaskan di sini perihal berapa puluh/ratus tahun tanah mampu mengurai sampah plastik yang dibuang sembarangan dan ditinggalakan oleh manusia hanya demi seteguk air untuk mengobati rasa hausnya.

Kita melakukan hal-hal demikian itu karena kekaprahan, karena banyaknya orang melakukan, terlepas itu benar atau salah. Awalnya, ia dianggap anomali, lama-lama menjadi biasa. Apa pasal jadi begitu? Hilangnya kebiasaan berpikir untuk semua tindakan yang kita lakukan sebab ia dianggap remeh dan tidak berdampak langsung bagi kehidupan pribadi manusia. ‘

Bukan hanya karena takjub pada begitu besarnya gugusan bintang, bima sakti, pleades, cluster, dan planet-planet saja kita harus berpikir, bahkan untuk minum air pun semestinya kita juga berpikir.

07 Maret 2015

Manusia Multitugas: Kelola Waktu bagi Pumula

Ada beberapa tugas/pekerjaan yang harus diselesaikan manusia selagi dia hidup di dunia. Sebagian besar pekerjaan itu—bahkan secara bersamaan—dapat dikerjakan sejak (atau ketika) muda, seperti belajar, mengaji, mencari ilmu, banyak membaca, dll. Jika itu tidak dilakukannya sejak muda, dan karena ia merupakan tugas yang harus dilaksanakan sebelum mati, maka banyak dijumpa orang yang justru sibuk di masa tuanya. Mereka yang sibuk itu terkadang bukan melakukan sesuatu yang baru, melainkan hanya mengganti tugas-tugas tertunda yang sejatinya bisa dibereskan di masa mudanya.

Kian hari, tugas kian banyak, pekerjaan terus bertambah, sedangkan bilangan waktu tetap 24 jam sehari-semalam, tidak berubah. Pada praktiknya, masa tua itu, masa yang diandaikan sebagai masa tenang dan rehat kala kita masih remaja, ternyata juga merupakan masa penuh aktivitas. Jadi, tak ada waktu yang benar-benar santai dalam hidup ini kecuali hanya di saat kita ngopi di warung, itupun kalau tidak sibuk sambil main gadget.

Menghadapi situasi seperti ini, maka tugas-ganda (multitasking) harus diterapkan. Pepatah lama; “sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui”, sebetulnya sudah mengacu pada prinsip ini. Contoh: ada seorang ibu sambil lalu melipat pakaian, ia juga nonton televisi dan login Facebook dalam waktu yang bersamaan. Atau bisa juga seperti menyiapkan buku bagi Anda yang punya jaringan internet lemot sehingga berkesempatan membaca paragraf demi paragrafnya di saat menunggu laman yang dibuka tak kunjung nongol.

Orang yang mampu melakukan banyak hal dalam satu kali kesempatan bukanlah orang sakti. Dia hanya orang biasa yang beruntung karena mampu ‘mengelola’ waktunya. Andaipun ia diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan sejenis ‘sudahkah Anda’ yang mencakup hal-hal seputar ibadah, ilmiah, amaliyah, seperti ‘sudahkah Anda membaca (Alquran, shalawat, buku) hari ini?’, ‘sudahkah Anda ngopi hari ini?’, atau ‘sudahkah Anda mandi/sikatan hari ini?’, dengan mudah dia akan “Yes to All” lalu “Enter”.

Jika Facebook dianggap tidak berguna, tinggalkan. Jika nge-blog tidak berguna, tinggalkan. Jika SMS dan  telepon juga tidak berguna, tinggalkan.

Akan tetapi, Anda harus dapat mengimbangi alasan buang-buang waktu itu dengan pekerjaan yang nyata bermanfaat. Maka, tentu menjadi rugi jika dengan ‘meninggalkan banyak hal’ itu waktu kita ternyata juga tidak lebih efektif untuk berinteraksi dengan Tuhan, dengan manusia, pun dengan alam dan tidak mampu “Yes to All” untuk beberapa pekerjaan harian. Eh, hampir lupa. Ada satu hal lagi: perlu diingat, bahwa ‘aktivitas berganda dalam sekali waktu’ ini tidak dapat diterapkan untuk semua urusan, misalnya ngemil sambil SMS-an sambil nonton video sambil mengemudi, begitu pula tidak elok diterapkan seperti ngomong sama teman tapi pandangan mata terus melolot ke layar ponsel di tangan.

06 Maret 2015

Oleh-Oleh dalam Kardus

Saya masih ingat, dulu sewaktu saya masih muda, ketika hendak kembali ke pondok atau ketika sudah remaja, manakala saya akan kembali ke kampus dari libur panjang, sering kali—jika tidak bisa dibilang pasti—saya pergi dengan membawa kardus. Isinya adalah barang bawaan yang kurang layak masuk ke ransel, misalnya beras atau gula. Kardus tersebut umumnya seukuran 8” x 10”  atau lebih kecil, semacam kardus bungkus air kemasan atau mi instan.

model oleh: saya (M. Faizi); foto oleh: Ahmad Faisal Imron
Saya tak pernah ambil urusan, mengapa banyak orang membawa kardus-kardus semacam itu dalam perjalanan, terutama mereka yang berangkat dari Madura atau hendak ke Madura? Itu baru terasa penting untuk diingat dan diperhatikan saat ini, yakni setelah saya mulai jarang melakukannya lagi. Saat hendak naik bis, misalnya, selalu saja saya bertemu dan melihat orang-orang seperti itu, membawa kardus, dari Madura pergi ke Jawa atau sebaliknya. Di perjalanan, saya benar-benar tidak sendirian. Di halte atau partelon tempat perhentian bis antarkota, selalu saja saya temukan orang yang selau membawa kardus untuk membungkus barang bawaannya. Bagi kami, kardus adalah semacam ‘koper yang tertunda’. Ia terkadang dimasukkan ke dalam bagasi atau juga setara dengan penumpang lainnya; masuk ke dalam kabin bis. Orang Madura nyaris identik dengan pemandangan ini. Oleh karena itu, andaikan Anda menemukan pemandangan tersebut di, misalnya, Bandar Udara Frankfurt atau di Schiphol, cobalah langsung disapa dengan Bahasa Madura…

Ada sebuah perusahan otobis yang melayani trayek Jakarta-Madura. Dari  pembicaraan yang bersumber dari salah satu krunya, saya mendengar keluhan bahwa ia terkadang stress menghadapi penumpang Madura karena terkadang satu penumpang bisa membawa kardus berjibun, sebanyak satu Carry bak terbuka: entah ini hiperbola atau memang sejumlah itu banyaknya. Yang pasti, bahwa kerap ada barang bawaan penumpang yang lebih berat daripada berat badannya sendiri. (Kembali ke kru…) Di sisi lain, PO mereka tersebut justru menjadi laris dan menjadi pilihan penumpang Madura karena tidak mengenakan tarif barang (kecuali tip biasa), berbeda dengan armada pesaing yang mengenakan tarif barang untuk jumlah di luar batas normal.

Melihat kenyataan, saya lantas berpikir bahwa masyarakat Madura (atau mana pun) yang percaya pada filosofi ‘oleh-oleh’, cenderung akan membawa oleh-oleh dari rumahnya dengan pengutamaan jenis buah tangan yang tidak ada atau jarang ditemukan di tempat tujuan. Akan tetapi, pada praktiknya, kriteria oleh-oleh yang demikian itu sudah susah sekali dipegang karena banyak faktor, salah satunya adalah ‘globalisasi’ seiring makin ‘sempitnya dunia’: Dodol Garut dengan mudah diperoleh di Madura sebagaimana Jenang Kudus pun dapat ditemukan di mana-mana. Maka, filosofi yang terus bertahan sehingga oleh-oleh itu selalu ada dan selalu dibawa adalah karena oleh-oleh itu disyaratkan menempuh perjalanan panjang. Contoh: orang Madura tetap membawa oleh-oleh beras dan gula, misalnya, walaupun di saat mengunjungi sanak saudaranya yang tinggal di Jatiroto, yakni tempat pabrik gula terbesar di Indonesia itu berada.

(Kembali ke kardus…)

Dari gambaran ini, dapat dimengerti bahwa oleh-oleh yang dibawa di dalam kardus oleh orang-orang Madura itu biasanya cenderung berupa ‘barang kasar’, seperti buah kelapa, dll, dan telah menempuh perjalanan jauh, bukan sekadar barang yang akan diberikan kepada tuan rumah atau sanak yang hendak dikunjungi atau keluarga yang menunggu di rumah namun dibeli di dekat tujuan. Buktinya, sering saya jumpai orang yang  membawa ayam dari Madura ke Jember sebagai oleh-oleh, padahal… masa’ di Jember tidak ada ayam? Filosofinya: ayam Jember akan berbeda dengan ayam Madura meskipun ras-nya sama, sebab ayam Madura yang dibawa ke Jember sudah pengalaman naik AKAS. Intinya: jarak dan perjalanan juga menentukan nilai oleh-oleh sebagai buah tangan.


Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog