05 April 2017

Fikih Jalan Raya

“Samsuri itu jalan pelan-pelan malah nabrak mobil. Joko ngebut melulu, bahkan kadang sambil ugal-galan, malah tidak tidak pernah nabrak. Ternyata, jalan pelan lebih sering celaka”. 

Mengapa Polantas dan orangtua kita melarang ugal-ugalan? (Catat! Ngebut tidak sama dengan ugal-ugalan [ngebut ≠ ugal-ugalan]). Berdasarkan penelitian, pengalaman, bahkan kenyataan di lapangan, perilaku ugal-ugalan itu cenderung lebih besar mengandung resiko celaka dan mencelakai daripada kalem-kaleman. Ugalan-ugalan tergolong tindakan “tahawwur” (ada pembahasan soal ini di dalam kitab Idzatun Nasyiin) yang kalau dilidahkan oleh orang Indonesia terdengar seperti “ngawur”. Ya, ngawur itu, gampangnya, adalah melakukan tindakan tanpa pertimbangan. Maka dari itu, apabila ada orang yang berpendapat seperti pada kalimat pembuka di atas, dipastikan ia juga ngawur saat membuat pernyataan: bahwa perkecualian (kasus Samsuri dan Joko) dapat dijadikan pijakan umum.

* * *

Menjalankan kendaraan bermotor, dengan jenis apa pun, sesungguhnya penuh resiko. Kita tetap melakoninya karena dua hal: tuntutan atau hobi. Boleh jadi, ada juga yang memiliki syarat kedua-duanya: tuntutan sekaligus hobi. Mestinya, kecelakaan lalu lintas di jalan raya akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan transportasi laut dan udara. Nyatanya, tingkat kecelakaan tertinggi—konon—terjadi di atas bentangan aspal. Kalau dipikir, di jalan raya kita lebih banyak punya kesempatan “mengelak dari celaka” dibandingkan dengan di laut dan di udara. Bayangkan, jika badai datang lalu membalikkan lambung kapal atau turbin mendadak mati di ketinggian jelajah tertinggi, dapatkah kita berjudi dengan ajal? Secara sederhana, logikanya begitu.

Hampir setiap hari, saya mendengar berita kecelakaan lalu lintas (laka lantas), bahkan terkadang menyaksikannya secara langsung di tengah perjalanan ketika bepergian. Peristiwa-peristiwa ini membuat miris karena seolah-olah kecelakaan lalu lintas itu merupakan hal wajar dan biasa saja karena terlalu sering terjadi, sehingga lama-lama ia membuat orang jadi kebal dan kebas perasaannya: tidak kaget bahkan cuek manakala mendengar berita tabrakan.

Nyaris setiap hari, jika Anda amati, mudah Anda jumpai pemandangan “mendekati kecelakaan” seperti ini: anak kecil yang menjalankan sepeda motor di jalan raya seolah aspal yang dilintasinya seempuk spons; seorang tua renta yang menyetir sepeda motor dalam keadaan limbung bagai dewa tuak; lampu sein yang terus berkedip-kedip mirip lampu disko padahal sepeda motornya berjalan lurus tanpa belok sama sekali; mobil angkutan penumpang yang berhenti atau menyalip di tikungan seolah kendaraan yang datang dari lawan arah semacam tebak-tebakan belaka; mobil yang parkir di atas jalan beraspal tanpa lampu hazard seolah sedang parkir di dalam garasi rumahnya sendiri; dll. Jika semua itu tidak menyebabkan laka lantas secara langsung, maka modal penyebab kecelakaan jelas-jelas sudah dimulai dari sana.

Andai saja persoalan ini dibawa ke ranah hukum, perilaku manusia di jalan raya itu ada pula fikihnya sebagaimana laku ‘muamalah’ lainnya. Artinya, tugas dan kewajiban kita (ketika menjadi pengemudi) juga ada status dan jenjang hukumnya: “fardu ain” dan “fardu kifayah”, misalnya. Kita tahu, Kepolisian memberikan izin kepemilikin SIM hanya kepada anak yang telah berusia 16/17 tahun. Mengapa angka 16/17? Barangkali karena usia ini dianggap sebagai pintu masuk ke masa dewasa. Secara psikologis, di usia itu, seseorang akan dianggap lebih mampu mengendalikan fisiknya, emosinya, dan juga lebih terbuka wawasannya. Maka dari itu, ketika seorang pengemudi sudah dianggap akil balig, maka tentu ada kaidah fikih yang akan mengaturnya. Contoh: “jika kita akan bepergian dan tidak boleh tidak harus menjalankan kendaraan bermotor, maka segala syarat demi sempurnanya pelaksanakan tugas itu juga menjadi wajib”. Oleh karenanya, jika kita hendak mengemudikan sepeda motor ke suatu tempat, maka syarat wajibnya adalah: ada sepeda motornya; ada SIM-nya, ada bahan bakarnya, dll.

Dengan mengetahui logika dasar “fikih jalan raya” ini, sepantasnya kita bisa lebih dewasa dalam menyikapi posisi diri dan posisi orang lain di sana. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM), calon pemegang harus melalui uji kecakapan-kecakapan khusus. Begitu pentingnya persyaratan ini sehingga di Jerman, orang yang terlibat laka lantas dan menyebabkan korban meninggal dunia, SIM-nya dicabut dan seumur hidup tidak akan pernah mendapatkannya lagi. Lalu, bagaimana jika dalam kenyataannya kita saksikan banyak orang yang punya SIM tapi sebetulnya dia hanya punya kecakapan dalam menyogok petugasnya?

Memang betul, punya SIM itu tidak wajib. Namun, ia mendadak wajib dimiliki ketika seseorang akan memanfaatkan SIM-nya secara langsung, yakni ketika akan berangkat mengemudi. Makanya, orang ambil SIM di Kepolisian itu biasanya jauh hari karena mewanti-wanti dan persiapan sebelumnya. Hal ini sama statusnya dengan wudu’: wudu itu tidak wajib ketika tidak sedang akan shalat, namun bagi seorang muslim mukallaf, wudu harus diketahui aturan dan rukunnya. Manasik haji tidak wajib diketahui ketika orang tidak akan berangkat haji, namun menjadi wajib dipelajari ketika ia sudah akan berangkat haji. Begitu pula dengan SIM: statusnya ‘sunnah’ dimiliki oleh seorang pengemudi ketika ia akil balig dan berusia 16/17 tahun. Lalu, status hukum berubah menjadi ‘wajib’ ketika ia sudah duduk di belakang kemudi dan siap berangkat.

Kecakapan ini mencakup hal-hal yang sangat prinsip dan harus dimiliki oleh seorang pengemudi demi terpenuhinya hal-hal yang ‘fardu’ (wajib) tadi. Adapun syarat-syaratnya, ada yang bersifat khusus—seperti disebutkan di atas—dan ada pula yang bersifat umum, seperti mengerti kompartemen/elemen kendaraan; paham fungsi-fungsi alat pemberi isyarat kendaraan (seperti lampu, klakson, dll) semisal bahwa klakson itu bukanlah elekton sehingga akan menyebalkan kalau sebentar-sebentar dibunyikan, sebentar-sebentar dipencet; juga paham rambu-rambu lalu lintas, semisal bahwa huruf  “S-coret” itu tanda tidak boleh berhenti, bukan tanda ada orang jualan “es coret”; paham kebiasaan dan perilaku orang di jalan, semisal bahwa selalu saja ada orang yang suka nyelonong di perempatan sehingga kita bisa berhati-hati setiap akan melintasinya, serta memahami kemungkinan-kemungkinan kejadian lain di jalan raya, terutama dalam situasi darurat, dan seterusnya.

Semua hal yang bersifat ‘fardu ain’ harus dijadikan bekal pengetahuan bagi setiap pengemudi. Dengan demikian, setiap pengemudi tidak cukup hanya punya modal bisa nyetarter, bisa mancal, bisa ngerem, tapi tidak paham rambu-rambu. Akan tetapi, akan percuma jika masalahnya adalah: bisa mengemudi, punya SIM, paham tertib lalu lintas, tapi “dari sono”-nya hobi melanggar.

Di samping syarat-syarat khusus, ada pula “syarat-bersyarat”. Syarat-bersyarat ini merupakan nota tambahan. Adapun syarat-syarat bersyarat itu, antara lain, adalah sebagai berikut:
1. Sehat jasmani dan rohani (kalau bawaannya temperamental melulu, mending dorong gerobak sampah saja)
2. Kendaraannya juga dalam keadaan fit (kalau rem blong, dibawa pergi)
3. Mengenal/mampu memperkirakan jalan dan medan yang akan ditempuh (kalau lebar jalan hanya jalan setapak, ya, jangan dilewati mobil)
4. Mengenal/mampu mempertimbangkan cuaca (kalau sekiranya Anda naik motor dan harus melintasi banjir setinggi mesin dan mencapai filter udara, jangan dilawan, sebab Anda tidak sedang mengikuti pertandingan)
5. Bersikap hati-hati sejak awal berangkat.

Sekarang kita tahu—dan mestinya sudah mulai mengubah sudut pandang bahwa—mengemudi yang tampaknya sepele itu ternyata banyak ini-itunya; seolah-olah ia hanya soal gampang, tapi nyatanya ia berbelit-belit urusan. Lalu, ada orang yang berkata, “Bukankah mengemudi itu hanya asal bisa ngegas, ngerem, belok, dan sekitar-sekitar itu saja?”. Jawabannya: tidak! Mengemudi lebih dari itu. Anggapan seperti ini muncul karena kita terbiasa menyederhakan masalah sehingga mengemudi pun menjadi urusan yang sepertinya sangat sepele, padahal tidak. Mengapa urusan mengemudi menjadi sangat penting diperhatikan dan begitu ruwet tata aturannya? Karena medan peruntukannya adalah jalan raya, yakni tempat di mana begitu banyak manusia, ragam budaya, watak dan karakter manusia yang berseliweran di atasnya. Sebab itulah, tidak boleh tidak, seorang pengemudi itu mestinya cerdas dan paham segala aturan lalu lintas sebab ia akan menyangkut urusan banyak orang dan banyak hal. Artinya, kalau sekali ia salah dan celaka, kemungkinan besar akan mencelakakan dirinya, bahkan mencelakakan orang lain yang boleh jadi sudah paham dan malah tidak bersalah sama sekali.

Sebagaimana hukum fikih yang menjadi pasangan ‘fardu ain’, maka ada pula ‘fardu kifayah’-nya. Seorang pengemudi itu juga—sebaiknya—tahu atau setidaknya memiliki kecakapan dasar pengetahuan per-pengemudi-an, seperti mengenal dan memahami item-item sekunder kendaraan yang dikemudikannya: isyarat segitiga, dongkrak, lampu hazard, spion tengah (untuk mobil); lampu sore, lampu dekat/dim, lampu jauh (untuk mobil dan sepeda motor); rantai atau belt (khusus sepeda motor), dll. Seorang pengemudi juga diutamakan untuk mengetahui pengalaman dan pengetahuan khusus, seperti tipe mesin, kerja mesin, kelas jalan dan peruntukannya, tonase, bikin betul kerusakan ringan, dll. Akan tetapi, andaipun dia tidak tahu pengetahuan tingkat lanjutan ini, itu juga tidak masalah selama ia kenal dan tahu di mana bengkelnya. Mengapa hal-hal tersebut sebaiknya juga harus diketahui? Karena motor dan mobil itu fana sebab ia buatan manusia. Mobil dan motor punya sifat “mobiliawi” sehingga sangat mungkin mengalami pecah ban meskipun ia baru dibeli bahkan baru dipasang; sebagaimana manusia yang mungkin demam dan batuk karena pancaroba dan itu disebut “manusiawi”.

Itulah beberapa hal yang harus diketahui oleh kita saat berada di jalan raya, terutama sebagai pengemudi. Bahkan, sebagai rakyat biasa pun, termasuk sebagai pejalan kaki, kita juga harus punya pengetahuan terhadap aturan dasar tersebut agar tidak melakukan tindakan ceroboh, misalnya menyeberang sembarangan, berdiri atau bahkan nongkrong di tepi jalan beraspal, bermain bola di jalanan karena lapangannya sudah dibeli investor dan dijadikan mall, dll.

Masih ada lagi? Masih, tapi sudahlah, tidak perlu ditulis semua. Biarlah sebagiannya kita pelajari dan kita renungkan sambil lalu agar otak punya kerja tambahan. Masih ada banyak tip untuk pengemudi, seperti mengurangi konsumsi karbohidrat agar tidak ngantuk saat mengemudi atau istirahat (merenggangkan otot dan syaraf) per 3 jam demi memulihkan konsentrasi. Namun, semua ini hanyalah hal-hal tambahan saja, sunnah-sunnah saja diketahui.

Di atas semua itu, jangan lupa berdoalah sebelum berangkat. Berdoa dan berharaplah agar perjalanan kita menjadi berkah, dijauhkan dari pemandangan yang tidak menyenangkan selama di jalan, serta sampai di tempat tujuan dan pulang kembali dalam keadaan selamat. Dan, oh, ya, masih ada pesan terakhir: jangan lupa pula untuk memeriksa rem dan lampu-lampu sebelum berangkat; SIM dan STNKB jangan dilupakan, surat kredit tidak perlu dibawa-bawa. Berhati-hatilah! Tuhan akan mengampuni pelanggaran yang dilakukan oleh hamba-Nya karena lupa, tapi Polantas tidak.

(M. Faizi: admin blog)

4 komentar:

Rusdi El Umar mengatakan...

Artikel "Fikih Jalan Raya" ini penting dibaca oleh siapa saja. Terlebih bagi pengemudi/pengendara yg saat ini memasuki masa mudik lebaran Hari Raya Idul Fitri 2017.

M. Faizi mengatakan...

Terima kasih atas tanggapan. Senang saya

Thariq Ateng mengatakan...

Alhamdulillah, bisa tuntas bacanya.
Mator kaso'on kiai.

M. Faizi mengatakan...

@mohammad Thariq: syukurlah jika sempat membacanya

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog