15 Mei 2017

Dilarang Sakit di Hari Jumat

Saya pernah membesuk seorang pasien di rumah sakit. Ia masuk Jumat sore dan baru dikunjungi dokter di hari senin siangnya. Saya membayangkan, ngapain saja dia selama kurang lebih 70 jam di sana? Saat itulah benar terasa: betapa menunggu itu benar-benar membosankan. 

Orang sakit sungguh tidak menginginkan apa pun selain kesembuhan. Orang sakit tidak suka buah naga dan klengkeng atau roti. Kalau kamu bawa itu sebagai buah tangan saat menjenguk, yang memakannya pastilah si penjaga, bukan si pasien. Tapi, si penjaga juga tidak nikmat-nikmat amat saat menyantapnya karena ia pun punya cita-cita yang sama: membawa pulang pasien dari rumah sakit karena hal itu jauh lebih nikmat daripada makan buah dan ngemil penganan apa pun.

Rumah sakit begitu senyap. Ini mungkin peran kerja psikologis meskipun sebetulnya rumah sakit tidaklah senyap. Lihatlah, orang-orang berseliweran. Muka mereka tampak serius, tegang. Jalannya bergegas, mengurus diri sendiri. Itulah satu hal yang membuat rumah sakit tetap ‘menakutkan’ meskipun di pintu masuknya kita disambut dengan koridor penuh bunga dan taman yang indah. Lobi UGD yang berpendingan dan bersofa tebal tetaplah tidak bisa membuat kita betah demi hanya duduk-duduk santai di sana.

Pengalaman di Rumah Sakit

Saya pernah menjaga pasien di Rumkital/RSAL pada tahun 2005 dan di RS Dharmo di tahun berikutnya (kedua rumah sakit ini terletak di Surabaya). Yang heroik dari penjagaan ini adalah karena ia berlangsung pada saat hariraya. Pengalaman lainnya: saya pun pernah menginap satu malam di rumah sakit, sebagai pasien. Saya menjalani operasi ‘bisul’ di lengan kanan. Kata dokter bedah yang bernama Husnul Ghoib, bisul itu bukan sembarang bisul, melainkan “benjolan masa lalu”. Istilah kerennya adalah—jika saya tak salah dengar—“traumatic kist” (keluarga besar ‘kista’ mungkin) atau mungkin yang disebut dengan kista-tulang-traumatik.

Balik lagi ke omongan semula…

Masuk rumah sakit, intinya, sangatlah bikin galau, lebih-lebih jika hari masuk pasien adalah hari Jumat. Jika “masuk Jumat sore, pulang Senin siang” itu disebut “liburan dan nginap di hotel”, maka kalau Anda di rumah sakit, definisinya agak beda sedikit: “masuk Jumat sore, dikunjungi dokter Senin siang”. Demikianlah pandangan saya berdasarkan hasil curhatan orang-orang yang pernah saya besuk.  Saya sendiri tidak pernah mengalaminya sendiri, dan memang tak ingin. Mereka selalu bilang, mereka hanya bertemu dengan perawat dan dokter jaga. Entahlah kalau di rumah sakit besar. 

Mestinya, aktivitas di rumah sakit itu harus sama: buka terus selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun, tidak ada acara libur-liburan sebab sakit datang tak kenal waktu. Saya berharap, ada gubernur (apalagi presiden) yang bikin peraturan: “Tidak ada libur(an) di rumah sakit. Kalau mau libur(an) pergilah ke pantai atau ke gunung.” Soal bagaimana mengatur jadwal dan teknis lainnya, ya, jangan bebani saya untuk memikirnya. Biar yang ahli saja yang melakukan dan memetakan persoalan lanjutan karena mereka akan dibayar untuk itu. 

Pada suatu saat, saya pernah masuk (maksudnya melintasi saja, bukan tinggal)  rumah sakit Mount Elizabeth. Rekan saya bercerita begini.

“Ada kawanku yang nginap di sini selama 40 hari." 
“Wah, habis berapa, Bang?”
“Kayaknya sekitar 4M.”
“Sekarang?”
“Dia meninggal di hari ke 41.”
"Oh, kasihan."

Kami terus melangkah dan keluar, menuju Orchard. Sembari berjalan santai, kawan saya ini ngomong, “Ada, lho, pejabat Indonesia yang kalau cek darah saja dia pergi ke sini. Aku pernah memergokinya, kok.”

Si kawan menyebutkan satu nama. Ah, ruapanya nama itu, nama kesohor seorang koruptor. Dugaan saya, mengapa si koruptor itu cek darah di sini? Mungkin karena dia tidak perlu pulang hari Senin andai saja dia masuk hari Jumat. Menghabiskan uang dengan cara kelayapan ke Pulau Sentosa dan mal-mal Singapura tentu lebih menyenangkan daripada menghabiskan dolar hanya untuk berbaring menunggu dokter demi tensi dan cek darahnya. Begitu mungkin pikirnya.

Bang Muk, si kawan saya itu, bicara lagi. Hanya saja, kali ini, kata-katanya tertelan deru mesin kendaraan sehingga saya tidak dapat menyimaknya, tapi saya masih dapat menangkap maksudnya, tentu saja dengan perkiraan saja: "bis malam saja jalan terus setiap hari, meskipun sopirnya kadang berbeda-beda, gantian. Masa aktivitas rumah sakit kalah sama bis antarkota?"

09 Mei 2017

Di Pasar Prenduan

Pada suatu hari Rabu, saya pergi ke Pasar Prenduan. Pasar ini merupakan pasar desa di kecamatan Pragaan. Sebuah pemandangan unik saya saksikan dengan kepala sendiri. Pagi yang mulai panas itu jadi menyenangkan sekali.

Tampak seseorang yang menggiring anak kambing di sisi selatan jalan dan seorang lain ada orang yang menawarnya.

“Eyocola berempa?” (mau dilepas berapa [harga kambing itu])?
“Nemseket.” (650 ribu rupiah)
“Ta’ ekenning lemaratos?” (Enggak bisa kalau dilepas dengan harga 500 ribu?)
“Engko’ keng pas ta’ eparoko’a?” (Lalu, saya lantas enggak mau dikasih uang jajan buat sekadar beli rokok?). 

Pertanyaan retoris di atas ini adalah ungkapan populer masyarakat Madura. Meskipun bentuknya pertanyaan, tapi yang dimaksudkannya adalah bahwa ia keberatan dengan harga tersebut karena itu artinya sama dengan uang modal. Kalau dilepas dengan harga segitu (500 ribu), bahkan ia tidak akan dapat keuntungan sama sekali, meskipun hanya sekadar untung buat beli rokok). Ya, semacam basa-basi saja, sih.

“Yeh, lema’ seket lah.” (Ya udah, 550 ribu dah…)

Se penjual kambing kini melangkah tegap ke arah depan, tidak menoleh lagi seperti sebelumnya. Maklum, dari tadi, tawar-menawar ini terjadi di dua tempat yang bersisian, dipisahkan oleh jalan raya: Yang menggiring kambing berjalan di selatan jalan, yang menawarnya berada di utara jalan. Mereka berdua sama-sama berjalan ke arah arat, menuju ke pasar. Ya, mereka melakukan tawar-menawar sembari berjalan.

* * *

Betapa asyiknya mereka berdua, pikir saya.  Mereka begitu ceplas-ceplos melakukan tawar-menawar barang dagangan dan hal itu terajadi di kedua sisi jalan yang berbeda. Bagi bukan warga setempat, terutama mereka yang tinggal di Jawa dan sama sekali tidak paham Bahasa Madura, pemandangan ini mungkin tampak seperti dua orang yang sedang bertengkar karena nada suaranya begitu tinggi. Maklum, suara mereka harus lantang agar mampu mengalahkan deru kendaraan bermotor yang memisahkan mereka berdua.

Bagi orang yang terbiasa masuk ke dalam toko waralaba dan bermodel swalayan itu, saya yakin, akan kaget melihat pemandangan seperti ini. Biasanya, mereka disambut sapa pelayan, senyum kasir. Kata-kata yang ramah dan lembut sama sekali tidak ada di tempat ini. Orang tawar-menawar saja kayak orang bertengkar. Tapi, ya, mau apa lagi? Mereka sudah terbiasa begini dalam melakukan transaksi dan semua itu berlangsung asyik-asyik saja. Saya melihatnya begitu.

Makanya, saya suka belanja ke pasar dan toko kelontongan itu karena masih ada basa-basi, ada tawar-menawar dan ada pula obrolan tidak penting yang kadang tidak berhubungan langsung dengan barang dagangan. Semua itu tidak akan terjadi di toko yang semua harganya sudah dipatok dan tidak dapat ditawar lagi. Bahkan, ke toko seperti ini, kita dapat melakukan transaksi dengan tanpa bicara sama sekali, sama sekali, namun itu tidak mungkin terjadi di pasar, di toko kelontong.

Duh, asyiknya belanja di toko tetangga dan pasar yang sayangnya kini sudah mulai tidak begitu diminati lagi.


Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog