tag:blogger.com,1999:blog-73691796563913137152024-03-18T09:59:36.364+07:00Kormeddalyang ada di sekitar kita dari sudut pandang berbedaM. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.comBlogger276125tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-45633081456805737762024-03-16T18:59:00.003+07:002024-03-16T18:59:39.150+07:00Berempati di Rumah Sakit <p>
</p><p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
Hari ini, 16 Maret 2024, hari kelima Ramadan, saya pergi ke
Pamekasan. Dalam perjalanan berangkat, sehabis shalat asar, jalan
tampak sesak, berbeda dengan 30 menit sebelumnya. <i>Nyare malem</i>
atau <i>ngabuburit</i> ternyata masih jadi kegiatan favorit
masyarakat. Benar ada yang pergi untuk beli bekal puasa, tapi kiranya
lebih banyak lagi orang yang jalan-jalan sore menggunakan kendaraan
tanpa tujuan yang jelas kecuali hanya menghabiskan waktu sembari
menunggu maghrib.</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Di Talang Siring,
pantai yang terletak di perbatasan Sumenep-Pamekasan, beberapa anak
muda tampak nongkrong, tidak banyak. Masuk kota Pamekasan, pukul
15.45, lalu lintas semakin banyak. Ramai sekali jalan raya. Saya
lanjut ke selatan, menuju rumah sakit. Tujuan saya adalah menjenguk
Anam yang sedang menunggu embahnya yang sedang sakit dan ada di ICU.
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Di rumah sakit,
kerumunan orang banyak sekali. Yang membedakan dengan hari-hari
biasa; mereka duduk berkelompok dan tidak merokok dan juga tidak
makan-makan. Dua aktivitas ini biasanya jadi pemandangan lazim di
mana-mana, di hari biasa, di sepanjang koridor rumah sakit. Sore itu,
orang tampak tertib, tepatnya, dipaksa tertib oleh bulan Ramadan.
Meskipun mungkin satu dua orang ada yang tidak berpuasa, tapi di
Madura, orang-orang lebih tertib dan menghargai bulan puasa sehingga
tidak sembarangan menampakan diri kalau mereka sedang tidak berpuasa.
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Sekitar 30 menit
saya di sana, saya sudah cukup dapat berempati dan merasakan, betapa
tidak enaknya berada di rumah sakit. Di hari-hari biasa saja terasa
sangat berat dan lelah, apalagi di bulan puasa. Saatnya bersyukur
sebanyak-banyaknya karena telah diberi kesehatan lahir dan batin
sehingga bisa bergerak dan menikmati hari-hari dengan begitu leluasa.
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Dalam perjalanan
pulang, satu jam sebelum maghrib, saya berjumpa dengan beberapa
kerumunan di Talang Siring. Tadi, waktu berangkat, tempat itu masih
biasa, relatif sepi, tapi ketika pulang, tempat itu sudah dijadikan
tempat nongkrong dan balapan/drag. Kebiasaan seperti ini memang
berlangsung seperti itu sejak dulu, sejak puluhan tahun lalu.
Beberapa aparat tampak memegang kayu, mengancam anak-anak muda yang
nongkrong dan hendak balapan. Aparat siap menghalau untuk segera
membubarkan kerumaunan dan atau mungkin juga dipentungkan jika
terpaksa. Nongkrong memang tidak diperkenankan di dalam Islam
(Al-A’raf 66) karena dikhawatirkan dapat membuat risih orang yang
melintas, tapi cenderung dianggap biasa oleh orang-orang.
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Tiba di rumah, azan
maghrib berkumandang. Terasa nikmat hidup ini, makanya, saya tidak
segera makan, hanya menelan takjil dan menikmati beberapa suap nasi
saja, tidak sampai kenyang, berusaha berempati terhadap mereka yang
sudah menjalani hari ini dengan susah payah di rumah sakit.
</p>
<p><style type="text/css">p { line-height: 115%; margin-bottom: 0.1in; background: transparent }</style></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-89224893992060376532024-03-08T09:42:00.003+07:002024-03-08T09:43:26.993+07:00Sekolah Pranikah dan Tingginya Angka Perceraian <p><br /> </p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeri87Rf6chM0yUhop6U3sAAphWbly6_bmwgs24mvqT995YktDpQFLETAA_PAizKtfQLtHqFyLkMWXoHNbffoYSfHLuBiwGIhTScMe0HqtfxQalOfPFgdGcyeqfk-n22Ja1fVwfwuIWzg1v4i4tTp-7ITXNCH9EK3nNaBybevt2W2eeuDCVbgUQEwTPFuE/s1280/336671467_971381250693027_6728215332368298677_n.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="1280" height="169" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeri87Rf6chM0yUhop6U3sAAphWbly6_bmwgs24mvqT995YktDpQFLETAA_PAizKtfQLtHqFyLkMWXoHNbffoYSfHLuBiwGIhTScMe0HqtfxQalOfPFgdGcyeqfk-n22Ja1fVwfwuIWzg1v4i4tTp-7ITXNCH9EK3nNaBybevt2W2eeuDCVbgUQEwTPFuE/w400-h169/336671467_971381250693027_6728215332368298677_n.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><p>Ada puluhan (atau bahkan mungkin ratusan—belum pernah menghitung soalnya) ayat tentang pernikahan di dalam Alquran. Saya hanya memperkirakan bahwa ayat-ayat tentang pernikahan itu memang sangat banyak. Secara sepintas, jumlah itu dapat diraba karena para mubalig membicarakan ini di atas panggung, para penulis mengutipnya di dalam esai dan artikel, dan para motivator menyampaikannya di seminar-seminar. Kenyataan ini menunjukkan, betapa sakral dan krusialnya pernikahan itu.<br /><br />Pernikahan adalah ibadah paling tua, dimulai sejak Nabi Adam dan disempurnakan aturannya di masa kerasulan terakhir, Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, ironisnya, dibandingkan ritual ibadah yang lain, pernikahan justru yang paling tidak diperhatikan. Kantor Urusan Agama telah lama mengurus ini, namun para calon pengantin justru sangat, atau bahkan sama sekali, tidak merasa perlu menyiapkan diri untuk masuk ke jenjang kehidupan barunya, kehidupan pasca-pernikahan. Pernikahan itu seolah-olah hanya urusan akad dan pesta, selesai.<br /><br />Pada sisi lain mata koin pernikahan, terdapat fenomena perceraian. Datanya, di Indonesia, sungguh tidak masuk akal. Dari 2 juta akad yang tercatat dalam satu semester saja, nyaris 25%-nya (hampir 500.000 kasus) gagal menjalin ikatan dan jatuh dalam perceraian. Data di atas adalah data empat tahun yang silam, dan pada tahun yang lalu (2023), angkanya meningkat. Bisa jadi, data masih akan terus membengkak di masa yang akan datang jika pola dan aturan mainnya masih terus seperti yang sudah-sudah.<br /><br />Jika data faktor penyebab perceraian yang tersiar di Pengadilan Agama adalah tidak adanya kecocokan lagi antar-pasangan, sebetulnya tidak sesederhana itu kenyataannya. Pasti ada hal-hal prinsip yang melatarbelakanginya. Mana mungkin upaya saling-mengenal antar-pasangan selama 5 tahun sebelum menikah—misalnya—harus berakhir seumur jagung setelah menikah? Maka wajarlah jika pertanyaan-pertanyaan syak-wasangka bermunculan: Mengapa tidak cocok justru setelah baru saja menikah? Mengapa tidak sanggup mempertahankan? Apa penyebab ketidakcocokan jika memang telah saling mengenal? Adakah yang salah saat perkenalan atau adakah yang salah dalam mempertahankan?<br /><br />Inilah sebagian latar belakang dan alasan saya mendirikan Sekolah Pra-Nikah. Gagasan ini, alhamdulillah, bisa terlaksana berkat kerjasama antara BPM Annuqayah, Pokja (Kelompok Kerja) Desa Guluk-Guluk, dan Madaris 3 Annuqayah. Dimulai awal tahun 2023, di bulan kedua 2024, SPN sudah meluluskan angkatan yang ketiga (angkatan terakhir 45 orang). Pesertanya adalah para santri senior yang siap menikah serta beberapa warga dekat di luar pondok. <br /><br />Secara teknis, SPN ditempuh dalam 12 tatap muka (masing-masing 1 jam pemaparan dan 15-30 menit diskusi). Duabelas kali tatap muka ini diasosiasikan mata kuliah 1 semester. Adapun materinya mencakup pengenalam umum tentang pernikahan, cara memilih pasangan, konflik, managemen konflik internal dan sosial, pengenalan dan pembagian wilayah tanggung jawab dalam keluarga, kehamilan dan reproduksi, termasuk hubungan intim. Sebab itulah, salah satu persyaratan peserta adalah usia siap menikah, yaitu di kisaran 23-25 tahun. Sejauh ini, para peserta adalah mahasiswa semester akhir atau baru wisuda. <br /><br />Nara sumber untuk setiap sesi/pertemuan berbeda-beda latarnya. Ada nara sumber umum (untuk materi umum), penyuluh, bidan, dokter (untuk seksologi), psikolog, juga nyai dan kiai. Acapkali pembicara harus tandem dengan pembicara yang lain (seperti pada sesi reproduksi dan haid/isihadah) demi ketercapaian kurikulum Sekolah Pra-Nikah yang mengharuskan banyak kisi yang perlu dibahas. <br /><br />Dalam salah satu sesinya, pernah terlontar celetukan, mempertanyakan, mengapa pasangan si A dan si B akur-akur saja sampai tua, padahal mereka menikah secara mendadak di masa muda, sementara ada pasangan lain yang menjalin hubungan sangat lama sebelum menikah tapi ternyata pernikahannya hanya seumur jagung. Statemen seperti ini sebetulnya juga sering muncul di kalangan masyarakat awam karena mereka tidak menyadari bahwa “kenyataan dan pernyataan itu selalu diambil dari kasus kebanyakan, bukan kasus perkecualian” . Dalam hal ini, mempersiapkan pernikahan itu jauh lebih baik daripada tidak mempersiapkannya. Rumusnya, yang mempersiapkan pernikahan dipastikan akan lebih baik dalam mempertahankan institusi keluarga (yang memang rentan mendapatkan gangguan eksternal) daripada mereka yang tidak mempersiapkannya sama sekali. Jika ada pasangan yang tanpa persiapan tapi ternyata kehidupannya berjalan (seakan-akan) baik, maka itu hanyalah perkecualian saja. Kasusnya bisa jadi hanya satu di antara seratus, atau bahkan satu di dalam seribu. <br /><br />SPN diproyeksikan sebagai proyek kemaslahatan utama menuju pernikahan ideal, sebagai penanaman batu fondasi untuk mencapai status sakinah, mawadah, dan rahmah. SPN adalah ikhtiar, dan oleh karena itulah kita bisa pasrah setelah melakukannnya. Menerima takdir baru benar jika kita telah berusaha dengan maksimal. Dan dalam pernikahan, SPN adalah salah satu ikhtiar yang dimaksudkan itu.</p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7KI2Vvdjulr4qcF1EelN7vZIeLciuJypz4NJCwcM9KQMDqVTnWiDv3EACB98BfrFFk-wTHdew4fV0Lb6Bi0tZrzRNH4GtEif4Ku5c7L6Sf9iDfGUPo-jziEaB_kDrpsPwhVnAimCjyVb5wRwj5R8J2nGMbYXTdBkWMVkY4uP1BwWeWK019LcuDNCnTc2G/s2048/422664126_762536915724501_1347558886662213335_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="2048" data-original-width="1638" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7KI2Vvdjulr4qcF1EelN7vZIeLciuJypz4NJCwcM9KQMDqVTnWiDv3EACB98BfrFFk-wTHdew4fV0Lb6Bi0tZrzRNH4GtEif4Ku5c7L6Sf9iDfGUPo-jziEaB_kDrpsPwhVnAimCjyVb5wRwj5R8J2nGMbYXTdBkWMVkY4uP1BwWeWK019LcuDNCnTc2G/w160-h200/422664126_762536915724501_1347558886662213335_n.jpg" width="160" /></a><br /><br />Mari dibayangkan! Seorang sarjana S1 harus menempuh masa studi antara 3-4 tahun. Sekarang, renungkan, bagaimana mungkin seseorang akan menempuh jalinan seumur hidup dengan pasangan yang tidak pernah tinggal bersama sebelumnya, dari keluarga yang berbeda pula, dari latar yang juga berbeda, dan dengan sekian banyak perbedaan yang lain yang melatarbelakanginya, mampu lulus dengan baik jika tanpa persiapan sama sekali? Kiranya, ini saja sudah cukup menjadi alasan bahwa sekolah pranikah itu perlu diselenggarakan oleh lembaga-lembaga umum dan pondok pesantren entah seperti apa pun bentuknya.<br /><br />Dengan menyelenggarakan kegiatan seperti ini, sebetulnya kita melakukan ikhtiar untuk menyelamatkan satu institusi keluarga dari perbuatan yang meskipun halal namun paling tidak disukai oleh Allah swt.<br /><br /><br /></p><br />M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-85950228036747620732024-01-27T08:53:00.003+07:002024-01-27T08:53:44.474+07:00StopWatch untuk Narasumber Hadirin berdatangan, tapi satu per satu, sehingga gelaran tikar di atas tanah itu tidak segera penuh. Tim hadrah Banjari masih menabuh dan membaca kasidah tanpa jeda, keras sekali. Suasana Maulid Nabi tampak meriah sekali. <br /><br />Sementara itu, pembicara di acara maulid malam ini sudah datang sejak tadi, sudah duduk di terop yang berbeda dengan khalayak umum. Tatapannya menjurus ke arah panggung, sesekali ke jam tangannya. Tuan rumah tidak kelihatan, mungkin sangat sibuk. Dengan memberikan isyarat telunjuk tangan kanan yang mengacung ke tengah-tengah telapak tangan kirinya, ia memanggil seseorang yang kebetulan melintas lalu berbisik singkat. Dan hanya dua menit setelah itu, acara dimulai. Penata acara memulai prakata dengan basa-basi ala kadarnya, dipersingkat, dan membaca senarai acara yang tak biasa: Pembukaan lalu ceramah agama. <br /><br />Wajah dai kelihatan tenang sekarang. Ia berbisik kepada teman duduknya. “Habis ini, saya ada janjian dengan warga desa Balik Bukit, tapi acara di sini tidak segera dimulai. Saya khawatir terlambat, padahal tempo hari sudah ada perjanjian kalau pelaksanaan acaranya adalah maghrib awal.” <br /><br />Wajahnya berubah datar sekarang. Kerut ketegangan tidak tergurat seperti tadi, seperti beberapa menit yang lalu karena sekarang acara sudah dimulai. <br /><br />Setelah pembukaan lalu diteruskan dengan acara ceramah agama itu adalah keganjilan. Biasanya, setelah pembukaan, masih ada qiraah atau sambutan, atau shalawat, atau apalah namanya. Ceramah agama di acara kedua pasti merupakan langkah ‘penyelamatan’.<br /><br />Akan tetapi, ternyata…<br />Pembukaan acara sangat lama pakai sekali: lama sekali. Al-Fatihah dibaca berulang-ulang, seolah-olah acara Maulid Nabi itu adalah acara Haul Akbar yang membacakan tahlil untuk banyak arwah yang harus disebutkan satu per satu. Saya catat durasinya, pembacaan Al-Fatihah pada sesi pertama itu hampir memakan waktu 10 menit, kalau pun kurang hanyalah sedikit. <br /><br />Penceramah kembali gelisah. Setiap kali hadirin membaca Al-Fatihah bersama-sama, ia kelihatan lega, tapi tidak lama, karena dari atas panggung, terdengar kembali “Al-Fatihah yang selanjutnya, kita khususkan untuk…” dan seterusnya, dan seterusnya, begitu terus hingga tak terhitung berapa kalinya, berapa menitnya. <br /><br />Begitu rangkaian acara pertama selesai, kini, giliran penceramah yang naik panggung. Dan harus diakui, ia tampak profesional. Ia membuka ceramahnya seperti biasa: memuji Allah, lalu Rasulullah, dan memulai ceramah dengan mendendangkan shalawat Nabi selama 6 menit, lalu ia menyampaikan materi dengan sangat cepat hanya dalam waktu 7 menit. Beliau minta maaf dan bilang harus pindah tempat karena mestinya ia bisa naik panggung sepantasnya lama bicara andaikan tidak molor acaranya…<br /><br />Begitulah ceritanya… tentang pentingnya memahami kondisi, baik itu bagi penata acara, tuan rumah, dan masing-masing pengisi acara. Di masa yang akan datang, agaknya, penyelenggara acara harus menyiapkan stopwatch untuk mengatur durasi acara supaya semua elemen pengisi acara bisa sadar waktu secara presisi, tidak berdasarkan perkiraan sesuka hati. <br /><br /><br />M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-19473989190044142282023-12-27T13:23:00.007+07:002024-01-27T08:10:58.885+07:00Obu' Salengka', Perjodohan, dan Bromhidrosis Aksilaris <br />Secara harfiah, <i>obu’</i> bermakna rambut dan <i>salengka’</i> adalah menyintas atau menyeberang namun bukan di jalannya. Obu’ salengka’ dipahami sebagai rambut yang tumbuh mengganggu. Alih-alih memperelok penampilan, ia justru menyimpan gangguan. <br /><br />Di Madura, hal ini dikenal meskipun tidak populer (karena tidak semua orang percaya). Seseorang yang miliki <i>obu’ salengka’</i> diperkirakan akan kesulitan menemukan jodoh, berbeda dengan “obu’ sangkal” yang biasanya ‘masih’ bisa membuat orang yang bersangkutan untuk menjalin ikatan pertunangan, tapi gagal untuk lanjut ke pernikahan. Kedua jenis obu’ ini, pada prinsipnya, sama-sama masalah. <br /><br />Untuk mengatasinya, biasanya, yang bersangkutan dibawa ke orang pintar, atau dia yang tahu dan mengerti di manakah helai-helai obu’ salengka’ dan obu’ sangkal itu tumbuh, di ‘garis lintang’ dan ‘garis bujur’ kepalanya sebelah mana ia berada. Setelah obu’ atau rambut itu dibuang, yang bersangkutan diberi doa agar dimunajatkan dengan harapan gampang mendapatkan jodoh. Dan sebelum pulang, si tukang cabut ini berpesan; “Saya hanya membantu, keputusan terakhir tetap di tangan Allah swt”. Langkah ini adalah antisipasi supaya yang bersangkutan tidak percaya padanya tapi melupakan Allah sebagai Penguasa Segalanya.<br /><br />Soal rambut ini, saya belum mampu merasionalisasinya. Kasus ini masih terlalu gelap. Kasusnya mirip-mirip dengan <i>bromhidrosis aksilaris </i>yang diproduksi oleh kelenjar pada ketiak secara berlebihan sehingga memproduksi keringat berlebihan dan bau badan pun akan menyengat, menyerang hidung ‘tetangga’ sekitar. Dokter spesialis kulit dan kelamin dapat melakukan tindakan bedah mininal untuk mengatasinya demi bau badan dan bau ketiak yang luar daripada biasa ini, yang membahayakan teman duduk “yang bersangkutan”. Tapi, apakah ini tidak tergolong tahlukah (melukai/menyakiti tubuh) yang dilarang oleh Islam sebagaimana tato? <br /><br />Dua hal di atas, bagi saya, adalah dua masalah kecil yang kasusnya bisa menjadi besar dalam perspektif hukum dan keyakinan. Bisa jadi, ada yang menyebut tindakan orang pintar (seperti mencabut rambut salengka’) itu syirik karena percaya pada kerja supranatural seorang duku, sementara jika dokter yang melakukan hal serupa dengan bedah minimal maka hukumnya berubah hukum medis, dan tentu saja tidak masalah, padahal dasarnya sama, yaitu berdasakarkan basic pengetahuan: antara supranatulis dan saintis. <br /><br />Terlepas dari itu semua, saya bertanya: apakah di daerah Anda ada hal seperti ini? Ataukah Anda termasuk golongan “yang bersangkutan” itu?<br /><br /><br />M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-6420921749323051452023-08-22T20:01:00.013+07:002023-08-22T20:52:44.911+07:00Guru Terbaik Adalah Pengalaman (?)
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
Kalau anjuran agar belajar kepada orang yang alim (berilmu) ada
referensinya, tapi kalau “belajarlah kepada pengalaman karena
pengalaman adalah guru yang terbaik” yang ngajarin itu siapa, kok
sampe dibuatkan poster dan ditempel di dinding-dinding sekolah?</p>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><img alt="Teacher's day, Experience is the best teacher typography T-shirt print Free vector" class="ez-resource-show__preview__image" data-action="click->resource-show-preview-zoom#trackZoomIn" data-controller="image-zoom resource-show-preview-zoom" data-resource-show-preview-target="previewImage" data-zoom-src="https://static.vecteezy.com/system/resources/previews/003/557/523/large_2x/teacher-s-day-experience-is-the-best-teacher-typography-t-shirt-print-free-free-vector.jpg" draggable="false" height="320" src="https://static.vecteezy.com/system/resources/previews/003/557/523/non_2x/teacher-s-day-experience-is-the-best-teacher-typography-t-shirt-print-free-free-vector.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" title="Teacher's day, Experience is the best teacher typography T-shirt print Free vector" width="320" /></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /></td></tr></tbody></table><p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Seorang pakar
‘safety driving’ (keselamatan berkendara) tidak diberi tempat
untuk bicara hanya karena dia tidak pengalaman kecelakaan. Seorang
ahli fikih nikah tidak diberi tempat untuk bicara pernikahan hanya
karena dia belum menikah. Jadi, kalian itu mau percaya kalau
kecelakaan lalu lintas dan perceraian itu sama-sama menyakitkan dari
orang yang sudah berpengalaman tabrakan dan berpengalaman bercerai?
Ini hanya gambaran yang kurang pas, tapi kira-kira begitulah kurang
lebih contohnya.
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Semestinya, kita
mendapatkan ilmu (atau belajar kepada seorang guru) itu berdasarkan
priotitas berikut:
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Level 1 : kepada
orang yang berilmu, syukur-syukur juga berpengalaman</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Level 2 : kepada
orang yang berilmu (pakar), meskipun tanpa pengalaman</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Level 3 : belajar
kepada orang berpengalaman</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Di dalam Islam, kita
belajar hanya kepada pakar. Prioritas—menurut Taklimul Mutaallim—belajar adalah
kepada yang paling alim, lalu kepada yang paling wara’, lalu kepada
yang paling sepuh (senior). Saat kita akan ngaji soal fikih
pernikahan, kita bisa mulai dari level kitab dasar (semacam Nihayatus
Zain), lalu ke kitab yang lebih komplit, dan baru akhirnya ke level
“Majmu' Syarhil Muhadzzab”-nya Imam Nawawi yang pembahasan soal
fikih nikahnya sampai-sampai menghabiskan dua jilid (dari 24 jilid
kitab fikihnya).</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Sekarang, kita tahu,
bahwa Imam Nawawi itu jomblo. Tapi, karena beliau pakar di bidang
fikih, maka wajar dan pantas dan bahkan seharusnya kita belajar dan
istifadah (mengambil manfaat) darinya. Makanya, jika ada
statemen-statemen populer itu coba pikir lagi, benarkah ia begitu,
sebagaimana “experience is the best teacher” atau “mens sana in
corpore sano” (akal yang sehat ada di tubuh yang sehat), yo,
padahal koruptor-koruptor itu tidak berakal sehat tapi tubuhnya pada
sehat. Kok bisa? Karena statemen itu sendiri sudah dikorupsi, dari
larik pertama puisi Juvenal (penyair Romawi) yang seutuhnya berbunyi
“orandum es ut sit, mens sana in corpore sano” (berdoalah agar
kamu punya akal yang sehat di tubuh yang sehat) ke “mens sana in
corpore sano” saja. <br />
<br />
Gawat ini orang-orang!
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<style type="text/css">p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 115%; background: transparent }</style><p><style type="text/css">p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 115%; background: transparent }</style></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-90381480953901213382023-08-20T07:02:00.002+07:002023-08-20T07:02:28.839+07:00Rokok Durno dan Suara Durno <br /><p></p><p>Durno artinya lancung. Konon, asal mula kata durno adalah akronim “ondur setan, dhateng dhano” (setan minggat, datang Dano). Dano itu, ya, sejenis setan. Frasa tersebut kira-kira mirip dengan “lepas dari mulut harimau, jatuh ke mulut buaya”. Di Madura, jika ada sebutan “sepeda durno”, maka yang dimaksudkan adalah sepeda motor dengan STNK, tanpa BPKB, atau malah tanpa dua-duanya (biasanya sepeda motor sitaan). Adapun istilah rokok durno mengacu pada rokok tanpa cukai. <br /><br />Saat ini, rokok durno sangat marak diproduksi. Mereknya macam-macam, bahkan menggunakan nama mobil segala. Ada Granmax, ada Ferrari, dan sebentar lagi mungkin bakal ada yang merek Boeing. Akan tetapi, jika di dunia bisnis global merek itu dipertaruhkan, di sini, masyarakat nyaris tidak peduli, bahkan sebagian mereka menggunakan istilah sendiri, seperti “720” (harga 7 ribu, isi 20 batang), “612” (harga 6 ribu, isi 12 batang), dlsb.<br /><br />Memproduksi rokok durno bakal membuat orang kaya raya mendadak. Buktinya untuk ini tidak perlu dijabarkan, terlalu banyak buktinya. Pokoknya banyak, ya, begitu saja, deh, pokoknya. Tapi, rokok durno ini meresahkan negara dan pamilik modal. Bagaimana tidak, cukai hasil tembakau (CHT) yang menurut Bu Sri Mulyani nyaris tembus 200 triliun (Rp200.000.000.000.000,00) per tahun itu, gara-gara rokok non-cukai ini, bakal mengubah digit di baris depannya. Pendapatan negera dari duit cukai rokok yang dalam setahun dapat membangun (kira-kira) 40 Jembatan Suramadu itu jelas-jelas akan terganggu.</p><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRUnFKwJp670WU8rfEgzKUSRSct3xzfxDZGGtB9HvOXwuFQCgt94y5gSaRkeDsUhtPX0p5EsgrGzsPsBPuS1AhJotpTX5j9bBasOQa9gJBEymMZQJOi0HJ9sz_G3THUICal3jPUDd2UHtgWUIkKoFKtUr_73cHB2157BnVjIUXFpnoQITMAxYywTkFXfeY/s1280/367754527_314640367760855_7090872261936423596_n.jpg" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="226" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRUnFKwJp670WU8rfEgzKUSRSct3xzfxDZGGtB9HvOXwuFQCgt94y5gSaRkeDsUhtPX0p5EsgrGzsPsBPuS1AhJotpTX5j9bBasOQa9gJBEymMZQJOi0HJ9sz_G3THUICal3jPUDd2UHtgWUIkKoFKtUr_73cHB2157BnVjIUXFpnoQITMAxYywTkFXfeY/w400-h226/367754527_314640367760855_7090872261936423596_n.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">contoh beberapa rokok durno (foto pinjam punya orang)<br /></td></tr></tbody></table><p><br />Di lain ladang, para petani malah senang karena tembakau mereka dipastikan akan terserap semua dan harganya pun bakal naik, beda dengan masa-masa sebelum ini yang sering tidak nutut untuk menutup biaya produksi taninya. Mereka senang karena jika selama puluhan tahun harga tembakau berada dalam situasi absurd, sekarang relatif nyata, jelas, bahkan nyaris pasti. Namun, di ladang yang lain lagi, kepastian harga itu berada di antara ketidakpastian persembunyian para pelaku ini dalam permainan petak umpat pita cukai.<br /><br />Ada yang lucu di antara ketegangan ini. Saking lakunya rokok-rokok palsu alias durno ini di pasaran, malah ada orang lain yang menirunya, membuat rokok durno versi durnonya, didurnoin lagi oleh sesama pesaing durno-nya: palsu yang dipalsukan lagi. Si pembuat “durno asli” tidak berani melaporkan munculnya “durno palsu” ini ke pihak berwenang karena mereka sama-sama durno dalam level yang berbeda.<br /><br />Bagaimana hukum rokok durno? Sah akad jual belinya, haram memperdagangkan karena melanggar terhadap aturan pemerintah. Keputusan hasil bahsul masail baru-baru ini. Keputusan tetaplah keputusan meskipun banyak orang yang tidak peduli. Yang pasti, tidak elok dan tidak boleh mengolok-olok hasil bahsul masail karena keputusan itu dihasilkan dari musyawarah pengambil keputusan yang kompetensi di bidang fikihnya dianggap mumpuni. Kalau tidak setuju, ya, harus ada bantahan dan argumentasi, bukan berdasarkan suka dan tidak suka. <br /><br />Di ladang yang lain lagi lubuknya, seseorang bertanya: <br /><br />“Memperdagangkan rokok durno dilarang karena melanggar aturan pemerintah, ya, itu saya ngerti. Lalu, apakah selama ini pemerintah, sepanjang beberapa tahun terakhir, telah menjalankan tugasnya sesuai aturan, terutama terkait tata kelola tani dan khususnya tembakau? Apakah mereka membela kami, petani, dan bukannya membela pemilik modal?” <br /><br />Saya tidak bisa menjawabnya karena saya tidak tahu. Pengetahuan saya cetek, tidak sampai ke situ. Saya hanya bilang begini: <br /><br />“Yang saya tahu, duit negara dari hasil cukai tembakau itu swangat banyak, tapi rakyat seakan-akan (seakan-akan, lho) berjalan sendiri dan mengurus tani (tembakau)nya semau-maunya sendiri. Terus, kebijakan pemerintah itu bergantung orang-orang di parlemennya; orang-orang di parlemen bergantung kepada para pemilihnya; dan para pemilih itu, kamu di antaranya, (banyak yang) bergantung kepada uang suara yang diperolehnya. Jika satu suaramu dibeli dengan harga Rp750.000, maka setiap hari, selama 5 tahun, suara pemilih, ya, kayak kamu itu, dibanderol Rp410, setara dengan harga sebatang rokok durno.”<br /><br /><br /></p><p></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-20356892369434989392023-07-21T06:53:00.002+07:002023-07-21T06:53:33.678+07:00Mengukur Level Keimanan di Jalan Raya <p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRPeGQjH6cx223H9Z2Jjra7xI8xeSdekv1qW9JkVJCYUtHFbT03bl5GCzTb0SOb2dn9F9y51-w9TtACr-cJMwvXKoqo5f_2YWttUVKFLotUk4qxbUiASi5ho92o4ljM6ZaQBuHUunG79A-t6-xHbb64XvIXuYKRCRBfGUIi4KYkCHAQMe4xc-0qoh65_Bp/s1600/338475233_1861037084270966_3336433876401099403_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1103" data-original-width="1600" height="221" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRPeGQjH6cx223H9Z2Jjra7xI8xeSdekv1qW9JkVJCYUtHFbT03bl5GCzTb0SOb2dn9F9y51-w9TtACr-cJMwvXKoqo5f_2YWttUVKFLotUk4qxbUiASi5ho92o4ljM6ZaQBuHUunG79A-t6-xHbb64XvIXuYKRCRBfGUIi4KYkCHAQMe4xc-0qoh65_Bp/s320/338475233_1861037084270966_3336433876401099403_n.jpg" width="320" /></a></div><p></p><p>Kalau ada yang bilang kayak ini; "Tidak ada satu pun yang saya takuti di dunia ini kecuali Allah!", justru perlu dipertanyakan keimanannya. Kecuali yang mengucapkannya selevel Syd. Ali bin Abi Thalib atau sedikit level di bawahnya, baru saya percaya. Soalnya, yang berani ngomong seperti itu, dalam bayangan saya, haruslah jenis orang yang tidak mengeluh ketika asam lambungnya naik, bertani sendiri demi kehalalalan makanannya (atau menyelidiki sumber makanan yang akan masuk ke perutnya secara rinci, memastikan tidak adanya kesyubhatan, baik materi maupun caranya), serta sama bersyukurnya saat bangkrut maupun jaya.</p><p><br /></p><p>Sudahlah, jangan banyak gaya! Level kalian ini belumlah di level "mari perbanyak amal soleh". Level kalian baru sampai di "kurang-kurangilah berbuat maksiat”! Naik level keimanan itu berat sekali. Kata Imam Al-Haddad, manisnya iman itu baru bisa dicerap jika kita merasakan nikmatnya menjalankan perintah sama dengan ketika si pendosa melakukan kemaksiatan, seperti shalat itu harus terasa nikmat sebagaimana laki-laki beristri menyelingkuhi istri kawannya.</p><p><br /></p><p>Tugas kita saat ini barulah di level meingat-ingat pelajaran hadis, dulu, di bangku madarasah, yang menjelaskan bahwa cabang iman yang tertinggi adalah pernyataan syahadat dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari tengah/di jalan. Jadi, sebaliknya, indikator ketidak-berimanan yang paling tinggi adalah "tidak (ber)syahadat" dan indikator ketidak-berimanan yang paling rendah adalah...</p><p>Mari, kita mikir sejenak untuk mengisi kalimat rumpang di atas ini sebagai jawabannya...</p><div><br /></div>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-3451786705866555572023-05-10T14:36:00.001+07:002023-05-10T14:57:14.084+07:00Harapan Baru Tertib Lalu Lintas dari Kampus <p><br />Sebentar lagi, kampus-kampus akan kebanjiran mahasiswa baru. Mereka akan membawa kebiasaan-kebiasaan baru dari rumahnya ke tempat yang baru itu. Kebanyakan tujuannya adalah di kota (besar). Termasuk kebiasan baru itu adalah dalam hal berlalu lintas yang notabene cenderung beralih: dari kesemrawutan ke kesemrawutan akut berikutnya.</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiva4DVuSYHPx1XtsNTtPYnOfhFScpCznt9IY4x-vv4k1KbbC1pHxxEHWYh3nTrmzTb-Q7g6woAOKAiObAfHewS-9SltiX2KD9SeeP8MXHeHCaMAaMflyXGKRPrfF_E4FCaUaKbn9bWoUBdjuBCanaNJ77ERrxhhhOzHDNQUgjkyxMwjTMLAFFz4nauMw/s1734/294361923_10228630607371685_1700082824352614359_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="977" data-original-width="1734" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiva4DVuSYHPx1XtsNTtPYnOfhFScpCznt9IY4x-vv4k1KbbC1pHxxEHWYh3nTrmzTb-Q7g6woAOKAiObAfHewS-9SltiX2KD9SeeP8MXHeHCaMAaMflyXGKRPrfF_E4FCaUaKbn9bWoUBdjuBCanaNJ77ERrxhhhOzHDNQUgjkyxMwjTMLAFFz4nauMw/s320/294361923_10228630607371685_1700082824352614359_n.jpg" width="320" /></a></div><p>Bagaimana menertibakan lalu lintas di jalan raya? Memikirkan ini, duh, ruwetnya minta ampun. Angka-angka kecelakaan lalu lintas sangatlah menakutkan. Dalam sebuah data, konon, di tahun 2020 saja, terdata ada 100.028 kecelakaan dengan rincian 23.529 tewas dan di tahun 2021 ada sejumlah 103.645 laka sedangkan yang tewas mencapai 25.266 jiwa. Angka ini di luar kondisi sangat parah, seperti gegar otak atau patah tulang serta kerugian material lain. Saya curiga, data ini pun bahkan sudah ‘ditekan’. Angka sejatinya pasti lebih banyak daripada itu. </p><p>Kini, saatnya, kampus dan sekolah harus ikut andil menyelamatkan jiwa dan raga manusia. Tidak bisa tidak, kondisi ini tidak dapat dibiarkan lebih buruk lagi. Atas dasar itulah saya aktif ikut berkampanye tertib berlalu lintas sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu (beberapa kali di antaranya dengan salah satu anggota Polres Pamekasan dan Sumenep, antara lain beberapa kali dengan Bapak Sri Sugiarto sejak beliau di Dikyasalantas hingga sekarang menjabat sebagai Kapolsek Palengaan [2023]). </p><p>Dan kini, saya berupaya untuk merambah kampus (setelah sebelumnya hanya berkutat di lingkungan sekolah dan komunitas terbatas lainnya). Maka, pada pada Sabtu, 16 Juli 2022 lalu, saat Dr. Husnan A. Nafi’ dikukuhkan sebagai rektor IST (Institut Sains & Teknologi) Annuqayah, terbit harapan saat ketika beliau menyambut baik gagasan untuk menyelenggarakan “Orientasi Akhlak dan Fikih Jalan Raya” sebagai sesi khusus dalam rangkaian acara orientasi pendidikan kampus (ORDIK) 2022. </p><p>Praktiknya, acaranya pun dilakukan terpisah dengan INSTIKA (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah). Sesi ini menandainya sebagai kegiatan tahunan, mengikuti jejak SMK Annuqayah yang sudah terlanjur keren, menyelenggarakannya secara annual. Tahun ini, 2023, berarti merupakan tahun kedua.</p><p>Di lingkungan pondok atau komunitas agama, kita harus melihat tertib lalu lintas ini dari sudut pandang yang lain, bukan sekadar dari perspektif hukum positif/legal formal, tapi bisa dari tinjauan tasawuf dan/atau dapat pula mengadopsi kaidah-kaidah ushul fikih untuk dicocokkannya. Terkait ini, saya sudah mencoba dan melakukannya. Sebagian saya tulis dalam artikel atau juga buku.</p><p>Latar belakangnya adalah kesadaran—yang datang terlambat—bahwa tertib dan/atau memudahkan orang lain melintas di jalan adalah bagian penting dari akhlak, bahkan bagian dari cabang iman. Kita tahu—atau Anda belum tahu?—bahwa ‘pembunuh’ terbesar di negeri ini bukanlah demam berdarah atau covid, tapi kecelakaan lalu lintas yang di antara penyebabnya hanyalah urusan sepele, seperti menganggap lampu sein sebagai lampu disko. Belum lagi kejadian-kejadian ‘kecil’ yang sedikit demi sedikit mampu menipiskan kepekaan manusia pada nilai-nilai luhur kemanusiaan, yang membuat mereka akan kelihatan seperti laptop baru tapi belum dipasangi sistem operasi: canggih tapi kosong, itu juga sangat buwanyak. Data-data saya tentang hal itu sudah ditulis dalam kumpulan esai “Celoteh Jalanan” (2017) dan langkah-langkah pencegahannya disisipkan di dalam buku yang lain, buku fikih perjalanan yang berjudul “Safari” (2021). </p><p>Sesi khusus dalam ORDIK ini diharapkan dapat memberikan dampak, utamanya, pengurangan/pengendalian kecelakaan lalu lintas serta menumbuhkan kepekaan sosial di jalan raya (untuk tahap selanjutnya). Meskipun sebetulnya akan lebih baik andaikan target yang disasar orientasi semacam ini adalah siswa SLTA (SMA atau MA), tapi kali ini difokuskan pada tingkatan mahasiswa karena mereka yang disebut “agen perubahan sosial” itu, yang saking berubahnya terkadang sampai anti-sosial. Sekurang-kurangnya, sesi ini diharapkan dapat menerbitkan “kesadaran baru” yang dapat digetuktularkan kepada orang/mahasiswa yang lain.</p><p>Dalam pada itu, saya melakukan praktik langsung di aula kampus, yaitu dengan meletakkan miniatur jalan raya (berbentuk papan) lengkap dengan beberapa mobil Hot Wheels. Lalu, panitia mengarahkan webcam USB pada miniatur tersebut sehingga proyeksi yang saya jelaskan dapat dipancarkan melalu proyektor besar dan bisa terlihat oleh ratusan mahasiswa. Dengan cara seperti itu, penjelasan seputar tertib dan akhlak di jalan raya langsung dipahami oleh mahasiswa, tidak sekadar berdasarkan teori, tapi langsung berwujud "praktik tanpa harus praktium".</p><p>Demikianlah, setiap melihat kesemrawutan manusia dalam berlalu lintas di jalan raya, terbit rasa pesimis: generasi kita ini adalah generasi yang beruntung secara fasilitas teknologi tapi buntung dalam hal kepekaan sosial. Akan tetapi, ketika ada gairah dalam merespon ide seperti ini, harapan baik muncul kembali. Setidaknya, terbersit harapan bahwa kita masih mau merawat kesadaran karena kesadaran itu, sesungguhnya, adalah kehendak untuk berpikir atas setiap tindakan, terutama hal-hal yang prinsip dan mendasar. </p><p>Sesi ORDIK 2023 yang akan datang harus sudah mampu membuat mahasiswa mengerti bahwa mengemudi atau berjoget pun bisa dilakukan oleh si momo. Maka supaya si homo yang berpikir berbeda dengan si momo yang ngandalkan instink, si homo harus sadar dan tahu, bahwa belok mendadak tanpa lihat spion itu biasanya perilaku sapi, bukan sapiens.</p><div><br /></div>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-20527426741711190692022-05-01T23:40:00.003+07:002022-05-02T23:23:35.186+07:00'Tragedi' Baju Imam Shalat Id <p>
</p><p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"></p><p> </p><p>Empat atau lima tahun yang lalu, saya diminta untuk mengimami shalat id. Entah itu untuk yang pertama kali atau yang kedua kalinya, saya tidak ingat. Yang jelas, yang terus melekat, momen itu begitu kuat membekas. Apa pasal? Karena ‘kasus’ pakaian yang saya kenakan di saat membaca khotbah, saat ngimami, saat naik ke mimbar. Apakah saya menggunakan pakaian yang keliru?<br /><br />Oh, tidak. Jadi, begini ceritanya. Sebagaimana kita tahu, pada hari raya, orang-orang biasanya mengenakan baju baru (padahal yang dianjurkan itu bukanlah baju baru, melainkan memakai pakaian yang paling bagus yang kita miliki—yang notabene biasanya yang paling baru). Tapi, apa lacur, kenyataan di masyarakat, lebaran itu identik dengan membeli baju baru untuk mendapatkan pakaian baru. Hanya sedikit dari mereka—mungkin hanya golongan tua-tua—yang tidak membeli baju baru dan hanya mengenakan pakaian yang dianggap paling pas, paling cocok, paling pantas, meskipun tidak baru.<br /><br />Lalu, siapakah yang mengubah statemen “mengenakan/memakai pakaian yang paling bagus yang kita miliki” ke “mengenakan/memakai pakaian yang baru”? Yeah, Anda pasti tahulah, siapa yang mengubahnya, atau paling tidak, siapa yang melanggengkan anggapan seperti itu. Pakaian adalah simbol, dan seperti itulah simbol bekerja atau dibuat tetap bekerja sesuai kehendak kekuatan yang membuatnya bekerja. Pada akhirnya, ia akan berdampak pada keuntungan-keuntungan material bagi pihak-pihak tertentu di saat yang lain (merasa) terpuaskan oleh keuntungan-keuntungan spiritual.<br /><br />Oh, ya, hampir lupa. Lanjut…<br /><br />Waktu itu, saya tidak memakai baju baru. Saya hanya mengenakan baju putih—baju yang dianggap paling pantas buat naik mimbar. Tapi, ternyata, saya tidak sadar kalau saya melakukan ‘kekeliruan’ kecuali setelah turun dari mihrab dan setelah saya melihat hasil foto. Keganjilannya adalah; kaos dalam saya kelihatan, entah karena bahan kain baju yang terlalu tipis atau karena aura kaosnya yang terlalu kuat.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></p><p></p><p></p><p></p><p></p><p></p><p></p><p></p><p></p><p></p><p></p><p></p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHGGHxjruhUwcJUStwWvDDL8SBNEEOfyGqdkzkf5t-uChioQEtcLX5n7G4ZUDxarbIdDT9JPkG8eLAT1HpLdB1am2rWiNHLGNLBqFuFrN1OaYbM0TAuksENOytS9ttHjuAdGPCOgQLVMN1iaH5xBNOJXSXuk-FmpOKHbbvJisStCmxCoxchRbufqcc5w/s1821/35270253_10216512304261681_5467136056593743872_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1821" data-original-width="1821" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHGGHxjruhUwcJUStwWvDDL8SBNEEOfyGqdkzkf5t-uChioQEtcLX5n7G4ZUDxarbIdDT9JPkG8eLAT1HpLdB1am2rWiNHLGNLBqFuFrN1OaYbM0TAuksENOytS9ttHjuAdGPCOgQLVMN1iaH5xBNOJXSXuk-FmpOKHbbvJisStCmxCoxchRbufqcc5w/s320/35270253_10216512304261681_5467136056593743872_n.jpg" width="320" /></a><br /><br /><br /></p><p></p><p><style type="text/css">p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; color: #00000a; line-height: 120%; text-align: left; orphans: 2; widows: 2 }p.western { font-family: "Liberation Serif", serif; font-size: 12pt; so-language: en-US }p.cjk { font-family: "DejaVu Sans"; font-size: 12pt; so-language: zh-CN }p.ctl { font-family: "FreeSans"; font-size: 12pt; so-language: hi-IN }</style></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com14tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-74683839338267653432022-04-28T14:49:00.000+07:002022-04-28T14:55:22.919+07:00Wabah dan Egoisme Manusia <p>
</p><p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Wabah
telah berlangsung satu tahun lebih dan kita tidak tahu kapan akan
berakhir. Kita memaksa diri untuk percaya bahwa wabah pasti berakhir,
atau yakin di dalam doa saja: setidaknya wabah yang mendunia ini
menjadi lebih sempit persebarannya, dari pandemi ke epidemi.
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Dalam
pada itu, sebagian orang iseng membuat perbandingan angka kematian
dan ketidakseberapaan wabah ini, misalnya membandingkannya dengan
angka kecelakaan lalu lintas atau korban demam berdarah, atau
perbandingan apa pun yang tidak setimbang, tidak apple to apple,
cuman mirip-mirip saja (sejenis Apple-to-Huawei). Pembandingan
ini—seperti pernyataan bahwa korban jatuh dan sepeda motor dan mati
masih lebih banyak daripada korban covid dan mati—sebetulnya
tidaklah penting bagi data petugas kesehatan, tapi ia penting bagi
masyarakat umum sebagai hiburan, untuk menenangkan. Terkadang, agar
tidak benar-benar menakutkan dan kita tidak ketakutan, dalam pada
itu, sebagian dari kita asyik membuat perbadingan wabah yang tak
kalah ganasnya, seperti <i>black death</i> di Eropa. Tujuannya bukan
kepentingan ilmuah, tapi agar kita lebih tenang menajali hidup.</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Akan
tetapi, yang saya renungkan adalah pengungulan vaksin di satu sisi
dan perendahan ramuan di sisi lain. Seoalah empon-empon jadi bahan
ledekan dan vaksin adalah suatu yang wajib, pasti, dan berhasil,
padahal kenyataan yang terjadi adalah; vaksin hanya menolak infeksi,
tapi tidak benar-benar bisa memberikan jaminan keselamatan. Bukti
bahwa masyarakat yang meninggal setelah vaksin juga sudah banyak,
meskipun itu perkecualian karena hari demi hari, perkembangan
ketahanan manusia secara umumterus kelihatan membaik, dari vaksin dua
kali ke booster, begitu seterusnya. Bagaimanapun, sains harus
dikelola agar jangan sampai kehabisan marwahnya karena sesuatu yang
tampaknya sangat ‘kecil’ ini.
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Ada
baiknya kita bertanya: mengapa orang-orang sibuk merendahkan
empon-empon dan semua ramuan alternatif yang dianggap ketinggalan
sebagai pelindung dan pertahanan tubuh, padahal ramuan sejenis itu,
termasuk teknik akupressur-nya, konon telah dikenal 8000 tahun yang
lalu, dan ia dideso-desokan oleh teknologi kedokteran yang berkembang
baru 50 tahun terakhir? Mengapa kita tidak bekerja sama, saling
percaya, saling menghargai, melawan satu wabah dan virus sebagai
musuh bersama?</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">.
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Dasar
egois! Nih, saya buatkan puisinya.
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
<b>YANG
MAHA-ENTAH</b></p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Dengan
shalat kita mendekat</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">pada
Yang Mahabesar</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">yang
karena terlampau dekat</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">sampai-sampai
tak terlihat</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Lalu,
kita menjauh setelah dapat</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">karena
yang dibutuhkan</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">hanya
puas di dalam jasad</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">sekadar
tahu membaca abjad</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Dengan
ilmu dan teknologi</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">dibuatlah
percepatan dan pemampatan</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">merancang
dan melampaui imajinasi</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">yang
tak terbayangkan pernah terjadi</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Lalu,
datanglah wabah dan jerah</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">sampai-sampai
kita harus meringkuk</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">takut
pada yang mahakecil dan mahaentah</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">ngumpet
seperti curut, di pojok rumah</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Hai
Manu, cuma gitu aja?</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Betapa
recehnya!</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">09/04/2020
(M. Faizi)</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p><style type="text/css">p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; color: #00000a; line-height: 120%; text-align: left; orphans: 2; widows: 2 }p.western { font-family: "Liberation Serif", serif; font-size: 12pt; so-language: en-US }p.cjk { font-family: "DejaVu Sans"; font-size: 12pt; so-language: zh-CN }p.ctl { font-family: "FreeSans"; font-size: 12pt; so-language: hi-IN }</style></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-1647658965679082382022-01-11T00:21:00.006+07:002022-01-11T08:14:37.411+07:00Rumah Tangga Rusak Karena 'Orang Lain'<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgueV_2zl0PoA_hNHmlILFByF376fiy0C07tzYQ03VyCy6fNwZj_1rzZFO0AHaeubhpUNf5MJO2clq1a3NuVH9ZKgMMx5j24ihzrRAE67kgBMCfcnxp-beTpDWojYdtzYKJOBS_F4wqs8nFMjJCUtwH92cxLDeXA5cn5-30DpXx46PF-a6l9HJN9Q8Adw=s700" style="clear: left; display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; padding: 1em 0px; text-align: center;"><img alt="" border="0" data-original-height="505" data-original-width="700" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgueV_2zl0PoA_hNHmlILFByF376fiy0C07tzYQ03VyCy6fNwZj_1rzZFO0AHaeubhpUNf5MJO2clq1a3NuVH9ZKgMMx5j24ihzrRAE67kgBMCfcnxp-beTpDWojYdtzYKJOBS_F4wqs8nFMjJCUtwH92cxLDeXA5cn5-30DpXx46PF-a6l9HJN9Q8Adw=s320" width="320" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">sumber: harianmerapi<br /></td></tr></tbody></table><p>Runtuhnya rumah tangga itu bermula ketika ada orang lain yang ikut campur urusan urusan dapur (urusan rumah tangga sepasang suami-istri). Kesimpulan ini didapat dari perbincangan saya dengan Jufri Halim, teman kelas di ibtidaiyah dulu yang sekarang menjadi dosen di UIN Syarif, beberapa waktu yang lalu. Pembicaraan tersebut berlanjut tadi siang dengan Nihwan di warung pentolnya Izzy. Akhirnya, obrolan pun bermuara pada gagasan untuk memberikan konseling kepada pasangan-pasangan sekitar yang siap-siap menikah dan/atau sedang berstatus menikah. </p><p>Menurut Jufri, dari sekian banyak pasangan yang dia datangi untuk konseling, karena hal itu termasuk program kampus, kasus perceraian terbanyak adalah dipicu oleh buntunya komunikasi antarpasangan karena kehadiran (ikut campur) orang lain. Contohnya seperti seseorang yang curhat bukan kepada pasangannya dan itulah yang disebut dengan curhat kepada orang lain. Sebab itu, ketika ada kasus dan salah satu keduanya mendatangkan lawyer, hampir pasti pernikahan sudah tidak dapat diselamatkan lagi. </p><p>Memang ada beberapa kasus—disebut ‘beberapa’ karena tidak banyak, artinya secara prosentase hanya berada di angka (mungkin) tidak sampai puluhan—yang disebabkan oleh faktor ekonomi, tapi itu pun tidak prinsip. Ada juga yang disebabkan oleh faktor lainnya (seperti kasus mandul atau impotensi, dll), dan ini lebih kecil lagi. </p><p>Dengan begitu, sebelum melibatkan dan kalau terpaksa harus melibatkan pihak luar, semua permasalahan harus selesai di dalam rumah. Tapi, jika terpaksa dan tidak dapat dibendung, Islam memberikan solusi <i>syiqaq</i> (perselisihan) ini dengan adanya perantara. Di masyarakat (Madura) biasanya menunjuk kiai (atau tokoh adat di tempat yang lain) untuk menjadi hakam (juru damai) yang dapat adil dan tidak berpihak kepada salah satu keduanya. Yang umum adalah pendamai (hakam), satu dari keluarga suami, yang lain dari keluarga istri. Sementara wali berperan memberi pembebanan kepada masing-masing keduanya, atau keluarga, dan rekan-rekannya. Kiranya, tindakan ini adalah langkah yang bijak, <br /><br />Jadi, siapakah “orang lain” itu? </p><p></p><p>Orang lain adalah siapa pun selain pasangan. Orangtua dan mertua adalah orang lain, tetangga apalagi, media sosial pun juga. Pokoknya, selain suami yang curhat kepada istri atau sebaliknya maka itu disebut curhat kepada orang lain. Maka, curhat kepada orang lain dengan tanpa lebih dulu menyelesaikan persoalan rumah tangga secara tertutup adalah awal mula terbukanya orang lain masuk ke dalam kehidupan sebuah pasangan. Dan yang paling jahat di antara “orang lain” tersebut adalah orang yang melakukan takhbib: yaitu mereka yang sengaja menggoda-goda salah satu pasangan yang sudah sah, baik godaan secara langsung atau godaan pembuka yang membuat peluang untuk godaan selanjutnya. Saking jahatnya dosa takhbib ini sampai-sampai Rasul menyatakan bahwa orang yang melalukan takhbib bukanlah termasuk golongannya. Ia adalah dosa besar. </p><p>Hati-hati bertetangga dan bermedia sosial, ya, kawan!
</p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-71367674556464129202021-12-01T07:04:00.008+07:002021-12-01T07:10:54.665+07:00Mas Usul Nabrak Mbak Qoidah, Blega pun Macet <p> <br /></p><p><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-rYQErDwgLoY/Yaa8qDdbOMI/AAAAAAAANhY/qk-rRr3UAYwLIL3sQKUwgAyASln2uaG_QCLcBGAsYHQ/s640/1636872291.png" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="400" data-original-width="640" height="243" src="https://1.bp.blogspot.com/-rYQErDwgLoY/Yaa8qDdbOMI/AAAAAAAANhY/qk-rRr3UAYwLIL3sQKUwgAyASln2uaG_QCLcBGAsYHQ/w389-h243/1636872291.png" width="389" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">sumber foto: suarasurabaya.net<br /></td></tr></tbody></table>Blega—bukan Balige, bukan pula Belgia—merupakan nama kecamatan di Kabupaten Bangkalan. Tapi, ketika “Blega” disandingkan dengan kata “kemacetan”, maka yang dimaksud adalah “Pasar Blega dan area di sekitarnya”. Ya, sudah sejak lama, nama ini terkesan identik dengan benang kusut arus lalu lintas yang bahkan hingga presidennya gonta-ganti beberapa kali belum juga beres diuraikan. Ada dua permasalahan kemacetan di sana. Pertama, banjir di musim tengkujuh (hujan deras); kedua, macet di kala hari pasaran (Jumat & Senin), dan; ketiga, macet panjang di kala ada perbaikan jalan. <br /><br /><br />Beberapa hari yang lalu, saya berjibaku dengan kemacetan hebat di sana (hal yang sama terjadi pada 2017 lalu, selama puluhan hari). Penyebab yang diberitakan adalah adanya pengecoran jalan (padahal yang dicor hanya 350-an meter saja panjangnya). Rasanya tidak masuk akal jika pengecoran jalan sependek itu dapat menimbulkan kemacetan hingga 3-4 jam di saat gawat dan antrian mobil mencapai 4,4 kilometer (yang saya lihat dan saya hitung jaraknya) dari arah Sampang menuju Bangkalan.<br /><br />Bisa jadi, akan lebih panjang lagi antrian dari arah Surabaya ke arah Sampang; dari barat ke timur. Antrian dan ketersendatan arus lalu lintas, antara dari arah barat ke timur (dari arah Bangkalan ke Sampang) dengan yang dari arah timur ke barat (dari arah Sampang ke Bangkalan), tidaklah sama. Pasalnya, bahu jalan di sisi barat pasar lebih lebar sehingga banyak orang yang berani menyerobot antrian dengan risiko menyisi atau menepi tapi tetap ‘aman’. Kala itu—atau mungkin memang sering—terjadi penumpukan kendaraan hingga tiga lapis (tiga lajur) dalam satu jalur hingga mendekati ujung antrian. Akibatnya, saat kendaraan-kendaraan tersebut hendak masuk kembali ke jalurnya, terjadi ‘gridlock’ (macet total) pada ‘bottle-neck’ alias leher botol (tiga lajur jadi satu lajur) di dekat pasar Blega. Hal ini berdampak pula pada ketersendatan arus lalu lintas dari lawan arah karena jalan yang semula lebar (sehingga memungkinkan mulai berakselerasi) menjadi sesak mendadak karena kendaraan yang datang dari arah berlawanan mengambil hak ruas jalan mereka.<br /><br />*** <br /><br />Semua paragraf di atas hanyalah contoh, penting tapi tidak begitu penting. Intinya, apa yang terjadi di Blega itu boleh jadi tampak wajar-wajar saja atau dibuat seoalah-olah wajar karena kejadian semacam ini memang sering pula terjadi di berbagai tempat. Mengapa orang berpikir seperti itu? Karena begitu banyaknya contoh kemacetan dan penyerobotannya hingga seolah-olah itu hal yang biasa, dimaklumilah!<br /><br />Sebetulnya, kemacetan lalu lintas akan mudah terurai apabila para pengguna jalan (semuanya, harus semuanya) bisa taat untuk tertib. Kalaupun kemacetan tetap terjadi, dampaknya tidak akan separah dan tidak semenyengsengsengsarakan seperti yang sudah-sudah. Kasus seperti di Blega ini pasti terjadi juga di tempat lain, di Indonesia, tapi, saya kira, akan jarang atau bahkan tidak akan pernah dijumpai di—sebut saja misalnya—Jerman yang penduduknya sangat terbit, apalagi di Jepang, yang pengguna jalan rayanya lebih dari sekadar tertib, melainkan tertibnya-tertib.<br /><br />Konon, orang Jerman bahkan punya slogan “Orang Jerman tidak butuh pada lampu pengatur lalu lintas!”. Meskipun statemen ini seolah tampak berlebihan, tapi secara harfiah sepertinya memang begitu (saya pernah tinggal selama 9 hari di Berlin dan tidak melihat satu kali kemacetan pun, padahal setiap hari saya berjalan kaki di pedestrian, di sisi jalan raya, dan selama itu pula saya hanya mendengar 4 kali suara klakson). Cara mereka mengapresiasi ambulans dan pemadam kebakaran sangat elegan. Sementara etiket jalan raya pada orang Jepang dapat kita lihat pada—di antaranya—cara mereka memarkir kendaraan: sangat, sangat, dan saaangat tertibnya. <br /><br />Mengapa kedisiplinan semacam ini dapat mereka pegang sementara kita tidak? Apakah mereka taat kepada agama atau pada supremasi hukum legal formal? Saya kira, kedisiplinan adalah watak. Ia dibentuk melalui proses yang panjang, tidak serta-merta jadi. Lalu, bagaimana cara membentuknya? Etiket tercipta oleh budaya, khazanah turun-temurun, juga oleh kekuatan hukum: ditegakkan tanpa pandang bulu, tidak tebang-pilih, tidak tajam ke atas tapi tumpul ke bawah, tidak mudah naik-turun seperti celana kolor. Jika hukum bekerja sesuai jalurnya, maka aturan akan dipegang teguh. Lama-lama, ia akan membentuk watak masyarakatnya, lalu, lambat-laun, akan membentuk budaya dan karakter suatu masyarakat atau bahkan bangsa. <br /><br />Akan tetapi, di atas persoalan itu semua, untuk menunjang terealisasinya niat baik seperti itu dibutuhkan peran penegak hukum yang berkomitmen dan jujur, yang tegas. Aparat harus mengayomi, tidak menakut-nakuti (seperti ‘musim’ vaksin dua bulan yang lalu: nama baik aparat yang berangsur pulih, eh, malah dirusak kembali oleh perilaku arogansi sebagian oknum di saat melaksanakan tugas pencegatan/penyekatan yang memperlakukan masyarakat takut karena mereka diposisikan bagaikan si tertuduh yang penuh soda, eh, dosa). Faktor lainnya, secara rasio, jumlah petugas/aparat penegak hukum harus seimbang dengan jumlah penduduknya (sayangnya, di Indonesia, rasionya tidak rasional). <br /><br />Eits, sebentar! Omongan kita sudah sampai ke Berlin dan Tokyo, mari kita kembali ke Blega... Yang dibahas di atas adalah perihal penegakan hukum dan penegak hukumnya, aparat dan petugasnya. Sekarang, kita lihat profil masyarakatnya. Blega itu Madura, pulau yang masyarakatnya terkenal agamis, sangat bergairah dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, sangat bagus dalam membangun masjid, memiliki banyak sifat ‘sangat-sangat’ dalam urusan agama dan beragama. Pertanyaannya, mengapa mereka yang agamis itu kok semrawut dan ngawur ketika berada di jalan raya?<br /><br />Boleh kita berkelit, bahwa yang melintas di Blega tidak semuanya orang Madura. Tapi, lewat hitung-hitungan kasar saja, dipastikan warga Madura yang melintas di sana lebih dari angka 75 % dari total pengguna jalannya. Lihat saja plat nomor kendaraan yang lewat. Belum lagi kenyataan bahwa banyak mobil plat L dan B tapi isinya orang Madura, dan suaangat sedikit yang plat M tapi orangnya non-Madura. <br /><br /><br />Berdasarkan pantauan netizen (setidaknya pada awal-awal pengecoran dan ketika saya melintas [entah kalau sekarang]), penyebab terbesar macet total di sana—selain faktor yang disebut di atas—adalah adanya “penyerobotan yang terkordinasi”. Uraian teknisnya adalah; banyak kendaraan yang datang dari arah Bangkalan, yang berada di ekor antrian, memperoleh akses jalan pintas (lewat jalan tikus yang terletak di selatan pasar) dan mereka bisa menembus ke pertigaan di timur pasar yang notabene berada tidak jauh dari pusat kemacetan. Biang masalahnya adalah; aksi ini berbayar: para “penerobos” berubah status menjadi “penyerobot” karena membayar. Mereka itu mendapatkan kesempatan untuk lebih dulu masuk ke akses jalan raya dengan bantuan “pengatur lalu lintas bayangan”. Para petugas bayangan ini menyetop laju kendaraan yang lewat di jalan raya dan sudah rela antri berjam-jam lamanya, dan mengutamakan yang lewat jalur tikus.<br /><br />Sekarang, kita berpikir, apakah yang salah? Adakah yang salah? Mengapa masyarakat hanya taat kepada urusan ibadah mahdoh dan tidak peduli pada etiket di luar mushalla? Apakah karena mereka tidak tahu, bahwa menjungjung tinggi nilai-nilai akhlak itu tak pandang tempat sehingga harus juga berlaku sama meskipun ada di jalan raya? Saya kira, mereka bukannya tidak tahu, tapi karena tidak-mau-tahu. <br /><br />Ketika dulu, di madrasah, dibacakan kaidah yang berbunyi<br /><br /> “لايجوز لأحد ان يتصرّف في ملك غيره بلا إذنه”<br /><br />maka contoh yang paling sering diajukan adalah larangan mencuri. Contoh tersebut memang tepat mengingat pemahaman atas teksnya adalah; “seseorang tidak diperbolehkan untuk menggunakan sesuatu yang bukan miliknya (atau bukan haknya) tanpa seizin dari si pemilik otoritas (atau orang yang berhak)”. Sayangnya, karena kita terkadang terlalu tekstual, “larangan menggunakan sesuatu yang notabene masih milik orang lain” cenderung hanya dipahami sebagai larangan menggunakan (apalagi mengambil selamanya) milik orang lain, tapi tidak pernah diapresiasi ke ranah yang lebih luas, misalnya “larangan mengambil hak dan kesempatan milik orang lain”. Dan pada kasus kemacetan di Blega inilah ia menemukan wujudnya.<br /><br />Mengambil hak antrian di jalan raya (menyerobot) merupakan salah satu contoh nyata dari kaidah di atas dalam hidup sehari-hari. Yang begini-beginilah, yang justru sangat akrab dengan kehidupan kita, malah dilupakan, bahkan sering tampak permisif, dianggap bukan tindak kesalahan. Kalau kita bahas lebih lanjut, bertolak dari kaidah di atas, kasus kemacetan Blega ini bisa ditinjau dari segi penggunaan dan pengambilan hak (milik) orang lain oleh orang lainnya. <br /><br />Pengguna jalan raya memiliki hak dan kewajiban untuk berjalan di sisi kiri. Mereka diberikan izin untuk berpindah ke lajur kanan apabila; pertama, hendak mendahului; kedua, terdapat rintangan di lajur kiri yang dapat membahayakan jika diterabas. Syarat tambahannya adalah; pada saat hendak menyalip, dipastikan tidak ada kendaraan lain dari lawan arah. Apabila jelas-jelas ada kendaraan dari lawan arah yang sedang melaju kencang dan jaraknya telah dekat, tapi ternyata masih tetap menyalip, maka tindakan tersebut juga dianggap sebagai suatu pelanggaran (sesuai kaidah di atas). <br /><br />Sekarang, anggap saja mengambil lajur kanan untuk menyalip itu sebagai tindakan darurat karena tidak mungkin menyalip tanpa melakukan tindakan tersebut. <br />Dalilnya; الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة (Kebutuhan [hajat] terkadang menempati posisi darurat). Akan tetapi, selesai menyalip, si pengendara tadi harus kembali ke lajurnya. Alasannya; ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها (Sesuatu yang diperbolehkan karena kedaruratan harus disesuaikan dengan kadar kedaruratannya). <br /><br />Dengan demikian, pengguna jalan yang haknya ada pada lajur kiri dapat disebut mengambil hak orang lain ketika dia berjalan di posisi kanan tapi dalam kondisi tidak menyalip, seperti menyerobot antrian, bahkan dapat dicatat sebagai tindak perampasan hak sebanyak dua kali dalam sekali tindakan: pertama; hak orang dari lawan arah (dari depan); kedua, hak orang lain yang searah untuk mendapatkan giliran tempat di dalam antrian. Walhasil, kalau tetap nyerobot, dia akan tabrakan dengan kaidah التصرف في ملك احد بلا اذنه فهو باطل (menggunakan hak milik orang lain [apalagi mengambil] tanpa seizinnya adalah batal demi hukum alias tidak sah.<br /><br />Untunglah, sekarang, kabarnya Blega tidak (begitu) macet lagi. Tapi, pengecoran lanjutan dan pelebaran jembatan sepertinya sedang menunggu giliran untuk kemacetan selanjutnya. Mari kita songsong bersama. Tapi, sebentar, mengapa pada paragraf pertama kok disebut 2 persoalan tapi uraiannya ada 3? Itu memang disengaja untuk mengetahui, apakah Anda membaca artikel ini sampai tuntas atau cuman dibaca judulnya saja. Membuat kesimpulan dari sebuah tulisan padahal yang dibaca hanya sebagian kecil, atau bahkan hanya judulnya saja, juga merupakan penyerobotan, lho, yakni penyerobotan pemahaman.<br /><br /></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-19076755520729127092021-10-21T14:13:00.002+07:002021-10-21T14:14:09.746+07:00Cara Vaksinasi yang Menyebalkan <p> teks belum tersedia, sedang dirapikan </p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-57518888221593140992021-06-14T06:36:00.007+07:002021-06-14T08:16:22.011+07:00Empat Tahun Data Hilang di Rumah, Ditemukan di TREKNOL <p>
</p><p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Tiga kali ini saya
kehilangan data-data penting, juga banyak. Sepintas, kedengarannya
saya sangat ceroboh. Mengapa sampai tiga kali? Biasanya, orang cukup
kehilangan satu kali saja, kan, untuk membuatnya sadar agar tidak
melakukan kesalahan yang sama? Tapi, kejadian yang ini berbeda. Simak
saja. </p><p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"> </p>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-O4xch4mdLYU/YMaWPHardnI/AAAAAAAANZo/rc7Xqm6AJGYbQAlM8wn-ZmEZLPAJjNWSACLcBGAsYHQ/s800/22308645_10214317737718889_8743527206806823607_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="600" height="320" src="https://1.bp.blogspot.com/-O4xch4mdLYU/YMaWPHardnI/AAAAAAAANZo/rc7Xqm6AJGYbQAlM8wn-ZmEZLPAJjNWSACLcBGAsYHQ/s320/22308645_10214317737718889_8743527206806823607_n.jpg" /></a></div>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Data hilang yang
pertama adalah tahun 1998 ketika komputer saudara saya digondol
maling, padahal di situlah data-data saya disimpan karena saya tidak
punya komputer sendiri. Sebagian data penting yang biasanya saya
cetak (print) akhirnya diketik ulang lalu disimpan di komputer
sendiri pada saat sudah punya sendiri, kira-kira tiga tahun
sesudahnya. Masih untung saya suka nge-print artikel atau makalah
yang saya tulis.
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Kejadian kedua
kalinya terjadi pada 2001, saat giliran komputer sayalah yang
digondol oleh si maling, di kos-kosan, saat saya tinggal pulang.
Maka, hilanglah semua data saya dan hanya sebagian kecil saja yang
terselamatkan, yaitu data-data yang tersimpan dalam dua atau tiga
keping disket yang masing-masing berkapasitas 1,4 MB (satu lampu mp3
saja tidak muat). Maka, pada kali kedua itu, hidup saya berasa
bangkrut sekali.
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Waktu berjalan
normal kembali dan saya kembali bisa melupakan potongan-potongan
kisah mengharukan dalam perjalanan hidup itu setelah beberapa bulan
kemudian, tidak lama memang. Namun, acapkali ingatan itu datang dan
saya berharap ia kembali secara tiba-tiba, misalnya membayangkan
kejadian di dalam film terjadi di depan mata: seperti ada seorang
ninja naik motor RX, melintas di depan saya yang sedang berjalan
tertunduk, lalu melemparkan sebuah kantong, dan ternyata isinya
adalah hardisk saya yang dicurinya. Misalnya, lho, imajinasi
mengkhayalkannya begitu. Tapi, ternyata itu hanya murni khayalan, tak
pernah terjadi. Data yang hilang tak pernah kembali.</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Beli CPU <i>refurbished</i>
IBM Intellistation di Hi-Tech Surabaya Mall, di tahun 2005 dengan
spesifikasi IP 450 Mhz (Rp790.000), dengan hardisk yang kalau tidak
salah ingat 40 GB, saya mempertahankannya hingga 2013. dengan CPU ini
saya menulis dan daring, sejak era telkomnet @ instan hingga Speedy
di bulan September 2008 (saya tidak pakai laptop). Baru pada tahun
2014 (kalau tak salah), saya membeli penyimpanan data ekternal (HDD
ekternal) dengan kapasitas 500 Gb dan mulai memindah data-data di
hardisk komputer ke situ, selang beberapa waktu dengan perubahan CPU
ke IP 4 (2,4 Ghz).</p><p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"> </p>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-x4_1S0KllCg/YMahNykk_5I/AAAAAAAANZ4/ntMLh3DxnjExvJmz4Ihk1qUICONXMddowCLcBGAsYHQ/s534/Screenshot_2021-06-14_06-38-49.png" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="534" data-original-width="503" height="400" src="https://1.bp.blogspot.com/-x4_1S0KllCg/YMahNykk_5I/AAAAAAAANZ4/ntMLh3DxnjExvJmz4Ihk1qUICONXMddowCLcBGAsYHQ/w376-h400/Screenshot_2021-06-14_06-38-49.png" width="376" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">curhat di Facebook, 4 tahun yang lalu<br /></td></tr></tbody></table><br /><p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Akan tetapi, seperti
biasa, karena terlena dengan rutinitas yang sepertinya aman-aman
saja, akhirnya pencadangan data-data dilakukan tidak secara disiplin
lagi, hanya sesekali saja, sesempatnya. Hingga akhirnya, pada
pertengahan tahun 2017, hardisk saya mati total. Lenyap sudah
semuanya. Yang tersisa adalah berkas-berkas lama yang sempat disimpan
di hardisk ekternal, namun data terbaru, terutama data teks dan
dokumen yang justru sangat diperlukan, hilang tak tersisa.
</p><p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Hardisk Samsung
dengan kapasitas 160 Gb itu saya bawa ke sana kemari, cari tukang
perbaiki, dan mereka takluk karena yang rusak ternyata bukan
cakramnya, melainkan sejenis <i>ic</i> yang bisa menyalakan dan
membaca hardisk. Kata mereka, saya harus cari donor hardisk sejenis,
yang tipenya sama dan persis.
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Pada tahun 2019,
hardisk tersebut sampai juga di <a href="https://treknol.wordpress.com/">Treknol</a>, salah satu penyedia jasa
penyelamatan data di Jogjakarta. Nama ini saya tahu dari teman, Aang
namanya (sebelum ke Treknol, data saya juga sempat singgah di salah
satu tukang servis, juga di Jogja). Namun, ternyata, mereka juga
tidak mampu mengartasi masalah ini. Akhirnya, hardisk saya tarik
lagi. Gak apa-apa, kata saya. Dan entah kenapa, tiba-tiba, hardisk
donor saya temukan justru di dekat rumah, di Manding, Sumenep, dari
saudara Fauzan, pada tahun 2021 ini. Saya bahagia. Saya kirim hardisk
tersebut ke Jogja.</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
Singkat
cerita, pada tanggal 3 Juni 2021, proses penyelamatan data berhasil,
donor yang saya kirim tidak berfungsi maksimal. Kata Pak Zaenul, si
mbahurekso, ia gunakan hardisk milik sendiri, hardisk yang sebelumnya
beliau gunakan tapi tak bisa. Saya tidak paham prosesnya secara
rinci, tapi seperti inilah curhat beliau di akunnya (saya tidak kenal
beliau dan tidak berteman pula di <a href="https://www.facebook.com/treknol">Facebook</a>). </p><p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"> </p>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-t7OPDaNqOrM/YMaVhJNjxUI/AAAAAAAANZg/qsEiHepHV_4oslZ4KJzXOryVD2c2jt38ACLcBGAsYHQ/s615/TREKNOL.png" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="615" data-original-width="562" height="320" src="https://1.bp.blogspot.com/-t7OPDaNqOrM/YMaVhJNjxUI/AAAAAAAANZg/qsEiHepHV_4oslZ4KJzXOryVD2c2jt38ACLcBGAsYHQ/s320/TREKNOL.png" /></a></div><p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Sungguh, rasanya
campur aduk. Di saat saya sedang mengalami kesedihan lain, pada saat
bersamaan saya diberi kebahagian yang lain. Rasanya saya ingin
jingkrak-jingkrak begitu saya lihat satu per satu hasil recovery atau
penyelamatan data tersebut lengkap 100%. Saya baca esai dan artikel
yang pernah saya tulis dan masih saya simpan dalam bentuk RTF, juga
foto-foto lawas berdatum 2004 bahkan ada atau lebih lama lagi.
<br />
<br />
Terima kasih untuk semua orang yang sempat direpotkan
oleh saya, khususnya seputar hardisk ini ini. Tentu saja, terima
kasih yang pertama tentu untuk Pak Zaenul, si empunya Treknol (klik
<a href="https://goo.gl/maps/g2Pq6dUxFcuzpAGx5">Alamat Treknol</a> untuk tahu lokasinya).
</p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"></p><ul style="text-align: left;"><li>5741 file document (772 MB)</li><li>Tiga partisi, total 90 GB </li></ul>
<p></p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br /></p>
<p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br /></p>
<p><style type="text/css">p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 120%; }a:link { }</style></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-63286744980247941192021-03-20T01:38:00.001+07:002021-03-20T01:38:15.577+07:00Pengumuman-Pengumuman di Masjid <p> </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-wIPw_n3UkYE/YFTuNYz9iWI/AAAAAAAANV0/OgoEjHBzmE8b8sIycuFnebxV1SdE_a8ywCLcBGAsYHQ/s1024/DSCF4565.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" src="https://1.bp.blogspot.com/-wIPw_n3UkYE/YFTuNYz9iWI/AAAAAAAANV0/OgoEjHBzmE8b8sIycuFnebxV1SdE_a8ywCLcBGAsYHQ/s320/DSCF4565.JPG" width="320" /></a></div><p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Saat mau melakukan shalat ta’khir magrib-isya di masjid Baiturrahman,
Dumajah, saya bersirobok dengan papan pengumuman yang, dipasang di sana-sini.
‘Oh, ada banyak sekali peraturan di masjid ini rupanya,’ kata saya dalam hati. Petaraturan-peraturan
tersebut ditempel di kamar mandi, toilet,<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>dan areal parkir. </span><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Peraturan-peraturan
sejenis sudah Anda lihat di masjid yang lain, bukan? Misalnya, anjuran “jagalah
kebersihan masjid kita bersama” dan “sandal harap dilepas” itu standar sekali,
biasa saja, sebagaimana anjuran “Hati hati dengan barang bawaannya” (yang
sebetulnya bisa dibetulkan redaksinya menjadi hati-hati [terhadap] barang
bawaan Anda). <o:p></o:p></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-_HvgazLveZg/YFTt6oTv-uI/AAAAAAAANVs/jl-JHkqRh6IagpCDxB211h5sWubujIQywCLcBGAsYHQ/s1024/DSCF4566.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" src="https://1.bp.blogspot.com/-_HvgazLveZg/YFTt6oTv-uI/AAAAAAAANVs/jl-JHkqRh6IagpCDxB211h5sWubujIQywCLcBGAsYHQ/s320/DSCF4566.JPG" width="320" /></a></div><p></p>
<p class="MsoNormal">Namanya saja
iseng, maka saya amati satu per satu. Ternyata, peraturan-peraturan tersebut
berisi larangan dan anjuran yang sifatnya keseharian, yang kalau saja kita
pikir lebih jauh, sebetulnya kita tak perlu lah sampai diatur sebegitu
jelimetnya macam begitu sehingga peraturan seperti itu ditempel di tempat umum.</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><br /></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Masalahnya,
publik alias masyarawakat awam, eh, umum itu memang tidak suka berpikir
panjang. Sukanya tindak cepat, pikir belakangan; ikuti yang sesuai keenakan,
dampak urus belakangan.</span><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Berikut beberapa
pengumuman (larangan/anjuran) yang saya amati dan saya komentari:</p><p class="MsoNormal"><br /></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Jangan membuang
popok/pampers sembarangan”</span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Lha, iya jelang,
Dos. Masa kita mau buang popok sembarangan. Tidak dibuang sembarangan pun,
kalau si popok dekat sama hidung kita, baunya tidak sedap. Bayangkan jika
lokasi pembuangan popok secara sembarangan itu berlokasi di dekat masjid, di
dalam toilet atau bahkan dekat tempat ambil wudu pula, kan cilaka. Alangkah
betapanya tindakan seperti itu, dan betapa-alangkah-betapanya jika di dalam
popok tersebut masih pula ada ee’-nya. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><br /></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Buanglah sampah
pada tempatnya”<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Ini anjuran dan
pengumuman paling top se-Indonesia, dipasang di mana-mana. Teks seperti ini
lazim kita lihat. Namun, andai saja kita sedikit berpikir, kita bisa bikin
lebih baik, misalnya dengan mengganti redaksi menjadi “Jangan mudah bikin sampah!”.
Coba pikir, sampah yang dibuang ke tempat sampah tetaplah menjadi sampah, cuman
tidak kelihatan dari depan mata dan tidak berceceran, kan? Itu saja
keunggulannya. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Setelah pakek
air, harap ditutup kembali”<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Ini juga,
termasuk pengumuman yang tidak masuk akal bagi orang-orang di luar sana. Bukan
karena redaksi bahasanya yang rancu (tanpa menyebut kata ‘kran’), melainkan karena
menunjukkan ada orang yang suka membuka kran dan tidak peduli untuk menutupnya.
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Memang benarkah ada orang yang tidak
peduli pada kran air yang terbuka sementara jeding sudah penuh dan meluap? Ada,
dong, pastinya ada. Orang ‘genre’ seperti ini bernama genre absurd. Yang lebih
tidak masuk akal daripada dia adalah dia yang ketika buka kran dan tak ada air,
kran dibiarkan tetap terbuka (padahal semula tertutup, dia saja yang membuka).
Ketika dia pergi, air dinyalakan oleh takmir, dan meluaplah jeding. Dia tidak
tahu. Takmir tidak tahu. </span><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Dilarang mencuci
mobil/ganti ban di area masjid tanpa terkecuali”.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Saya kira,
pengumuman ini termasuk yang paling ganas, <i>savage,</i> yang mungkin dibuat
dengan begitu emosional oleh si takmir masjid. Bagaimana mungkin ada tamu
masjid yang dengan begitu <i>santuy</i>-nya memperlakukan halaman masjid ibarat
bengkel vulkanisir dan/atau tempat cuci salju? <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Tidur di ruang
ganti”<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Yang ini bukan
pengumuman, tapi kejadian. Memang, tidak ada plakat atau panjelasan apa pun bahwa
area khusus di bagian selatan masjid tersebut adalah tempat kaum hawa ganti
baju atau mengenakan mukena atau rukuh. Akan tetapi, adanya perlengkapan alat salat
wanita, adanya tabir pemisah, sudah cukup jadi penanda bahwa petak itu bukanlah
tempat untuk tidur, lebih-lebih bagi cowok. Kalau area itu ditempati orang
tiduran, laki-laki pula, terus ibu-ibu dan mbak-mbak mau ganti baju dan pakai
mukenanya di mana? Di toilet?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Dengan demikian, kesimpulannya,
hal-hal yang sangat receh dan sederhana seperti ini sebetulnya tidak perlu
dijadikan pengumuman, sebab kita mestinya harus tahu dan harus tahu diri
bagaimana kita mesti bersikap di tempat umum. Lalu, mengapa bang takmir masjid
sampai-sampai harus bikin pengumuman sebanyak itu? Dugaan saya karena dari
saking banyaknya orang yang tidak peduli dan dengan asyiknya melakukan tindakan
semena-mena.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Walhasil, kita
itu sudah cukup banyak lah punya pakar dan intelektual, ahli, dosen-dosen,
pemikir-pemikir, kiai-kiai, dan dai-dai, namun masih sangat kekurangan terhadap
stok remaja dan papa-papa muda yang tidak malas berpikir.<o:p></o:p></span></p><br /><p></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-82413134360600964552021-03-18T00:14:00.005+07:002021-03-18T00:28:28.962+07:00Salah Jalan <p><br /></p><p class="MsoNormal"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-l48UPT5HKcE/YFI4kZ5z1AI/AAAAAAAANVg/AMoYIh0y3MAyg6S44N9VmmIyRmIybgJPgCLcBGAsYHQ/s1393/Pasar%2BAtom.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="887" data-original-width="1393" src="https://1.bp.blogspot.com/-l48UPT5HKcE/YFI4kZ5z1AI/AAAAAAAANVg/AMoYIh0y3MAyg6S44N9VmmIyRmIybgJPgCLcBGAsYHQ/s320/Pasar%2BAtom.png" width="320" /></a></div><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Hujan deras
mengguyur kota Surabaya. Hari itu, Sabtu, 13 Maret 2021, saya melintasi Jalan
Kenjeran, lurus ke Kapasan. Aspal, di beberapa tempat, bahkan nyaris tidak
kelihatan, tertutup oleh genangan air. <br />
<br />
Begitu putar balik di Jalan Gombong, saya lalu ambil sisi kiri, menyisi, untuk
selanjutnya masuk ke Jalan Waspada, tapi celakanya saya malah yang kurang waspada.
Akibat jarak pandang yang sangat buruk karena hujan, saya terjerumus ke pintu
masuk Pasar Atom. <br />
<br />
Setalah putar-putar di areal parkirnya, tibalah saya di pintu keluar.<o:p></o:p></span><p></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><br />
“Berapa?”<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“10.000,” kata
petugas.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Tapi saya tidak parkir,
lho, Bu, cuman tersesat, salah jalan.”<br />
“Iya, 10.000!” Entah mendengar alibi saya karena guyuran hujan atau karena
memang mestinya begitu, saya tidak tahu, tapi begitulah jawaban beliau, sang
ibu petugas pintu parkir.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span>Kaca depan
mengabut. Dalam hati ada kalut. Kata orang, ini kadang disebut gabut. </p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-56323851000860184232021-02-11T06:05:00.005+07:002021-02-11T06:06:19.093+07:00Kormeddal: Makna Asal dan Kiasannya<p> </p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-zxSE0sTSFWc/YCRmqeNe8SI/AAAAAAAANUA/YKa9OJH_j006aKLHOqglYGti27wQ86sJQCLcBGAsYHQ/s206/kormeddal.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="206" data-original-width="206" src="https://1.bp.blogspot.com/-zxSE0sTSFWc/YCRmqeNe8SI/AAAAAAAANUA/YKa9OJH_j006aKLHOqglYGti27wQ86sJQCLcBGAsYHQ/s0/kormeddal.jpg" /></a></div><br />Kami sedang duduk bertiga di sebuah kobhung (sebutan untuk tempat berkaki seperti surau, atau tempat tamu, atau tempat rehat). Seterusnya, kami bicara ngalor-ngidul. Obrolan rakyat biasa seperti ini jelas lebih banyak O.O.T (out of topic)-nya ketimbang tematiknya sebab kami ini orang biasa semua, bukan para anggota dewan yang sedang rapat paripurna. <p></p><p><br /></p><p>Singkat cerita, karena sebetulnya saya duduk di situ dalam posisi sedang 'menunggu', maka ketika datang seorang lagi, obrolan tetap nyambung meskipun semakin O.O.T. Yang datang terakhir ini bahkan tidak begitu saya kenal, cuman lupa-lupa ingat saja. </p><p><br /></p><p>Pada sesi akhir obrolan, saya bercerita tentang jamu. Sebabnya karena ada di antara kawan dalam lingkaran pertemanan kami yang sakit. Kami membanding-bandingkan soal jamu dan obat kimia. Tentu saja saya tidak memperparah penyimpangan obrolan dengan, misalnya, membahas soal obat tradisional terstandardisasi seperti yang diteliti dan dibahas oleh Mas Nanang Suryadi, contoh hal sejenis "bungkus jamu isinya bahan kimia", atau hal-hal seperti "dari biji kopi pilihan yang dibungkus sasetan padahal isinya cuman kulit kopi saja yang berperisa dan difermentasi". Kita ngobrol yang receh-receh saja. </p><p><br /></p><p>“Saya ada cerita. Ini soal jamu temulawak dan sirih dalam hubungannya untuk memperkuat imun dan ketahanan tubuh,” kata saya memulai cerita. “Jadi, kira-kira 4 atau 5 bulan yang lalu, saya sempat flu dan kehilangan indra rasa, hilang indra penciuman pula. Saya mengurung diri. Saya mencurigai itu gejala Covid. Makanya, saya...”</p><p><br /></p><p>“Ah, Covid itu bohong, akal-akalan saja...” celetuk orang yang datang terakhir sambil tertawa dan lanjut berkata. Terus, bagaimana?”</p><p><br /></p><p>“Gak jadi, ah!” balas saya.</p><p><br /></p><p>***</p><p><br /></p><p>Itulah yang saya maksud dengan “kormeddal” yang dalam Bahasa Indonesia kira-kira bermakna “asal mengayuh” atau “waton mancal” dalam Bahasa Jawa. Arti asal kata tersebut begitu, tapi sering digunakan secara metaforis oleh orang untuk menunjuk pada “omongan yang muncul tanpa dipikir, baik soal salah atau benarnya, atau soal tepat atau tidaknya, atau soal kontekstual dan tidaknya.</p><p><br /></p><p>Belakangan, perilaku seperti ini sering kita temukan di media sosial, misalnya orang yang bukan teman kita tapi nyeletuk dan berkomentar out of topic atau nyepam atau ngisruh di postingan kita karena dibuka untuk publik. Harusnya dia risih karena tidak kenal, bukan? Juga tidak tahu siapa-temannya-siapa, tidak paham identitasnya, dst. Lha, dia ini dengan entengnya ngomong kormeddal. Tapi, yang saya ceritakan itu di media sosial, dan yang saya alami adalah di lingkungan sosial, di depan hidung.</p><p><br /></p><p>Lalu, ada orang bernama Ragil Cahya Maulana bikin logo Kormeddal seperti ini (dia sudah bilang ke saya sebelum ini): “kormeddal”, tapi dalam huruf pegon. Nah, Ragil ini menggunakan kata—yang sebetulnya frasa jika ditulis terpisah menjadi: “kor + meddal” kembali ke khittah-nya, berarti “yang penting (bisa) mengayuh, sebab nama itu adalah nama bengkel sepedanya, di Jalan Diponegoro, kota Sumenep.</p><p><br /></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-13759108328133508122021-01-14T14:50:00.002+07:002021-01-14T14:50:20.576+07:00Pengakuan Atas Pengakuan Palsu <p> Saya mau bikin pengakuan atas pengakuan palsu saya, bahwa saya, dulu, pernah membohongi calon istri saya terkait identitas diri ini. Sebetulnya—dan ini bukan ngeles, serius—skenario ini bersifat spontan dan idenya bukandari saya, melainkan dari (mendiang) mertua saya. Saya maunya jujur, tapi ternyata jadi bubur. </p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-AQNe0IHplgo/X__zHKII2LI/AAAAAAAANSg/41denwtP9d0CsFG4y6JsSzCc2aDejJVQQCLcBGAsYHQ/s1280/Sidogiri%2B1.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="218" src="https://1.bp.blogspot.com/-AQNe0IHplgo/X__zHKII2LI/AAAAAAAANSg/41denwtP9d0CsFG4y6JsSzCc2aDejJVQQCLcBGAsYHQ/w388-h218/Sidogiri%2B1.jpg" width="388" /></a></div>Calon istri saya itu, dulu, mondok di pondok yang tidak ada sekolah formalnya. Kata orang Madura, dia itu santri salaf (tapi bukan Salafi; lembaga salaf artinya lembaga pendidikan yang menggunakan metode salafiyah). Dalam bayangan mertua saya (yakni ayahnya), tentu saja si calon istri tadi akan mendambakan suami yang <i>chemistry</i>-nya sama, nyambung, sekurang-kurangnya dari pondok pesantren yang metode pendidikannya mirip, serupa dengan pondoknya. Nah, karena si calon ini dari Sidogiri, pondok pesantren kesohor yang sangat terkenal dan alumninya rata-rata dikenal bermutu di bidangnya, terbayanglah si dia bakal langsung jatuh hati kepada saya. <p></p><p>Saat dia datang dan duduk di ruang sebelah, bapak mertua (dulu masih calon) memperkenalkan saya kepadanya, “Jadi, dia ini guru tugas dari Sidogiri, mau ditempatkan di pondokmu. Nah, dia mau tanya-tanya materi kitab apa saja yang ada di pondokmu,” kata beliau. Sebetulnya, saya tidak sreg dengan skenario spontan ini karena kalau dipikir, ya, tidak logis juga. <i>Masa'</i> guru tugas masih nanya-nanya mau ngajar apa, mestinya kan sudah direncanakan sejak jauh hari sebelumnya, ndak perlu nanya-nanya, apalagi ke santrinya, bukan ke pengurus pondok. Ada-ada saja. </p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-y66PSXZXNJ0/X__zIlCIcYI/AAAAAAAANSk/jAbPpyVB16MGmb6GjpedkZNyhz9Q4jpEwCLcBGAsYHQ/s1024/Sidogiri%2B2.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="683" data-original-width="1024" src="https://1.bp.blogspot.com/-y66PSXZXNJ0/X__zIlCIcYI/AAAAAAAANSk/jAbPpyVB16MGmb6GjpedkZNyhz9Q4jpEwCLcBGAsYHQ/s320/Sidogiri%2B2.jpg" width="320" /></a></div>Si calon tunangan tidak menjawab (Menurut pengakuannya beberapa tahun setelah kami menikah, waktu itu dia sebel sekali sama gaya saya. Katanya, dia sudah mencium gelagat si “guru tugas palsu” ini kalau sebetulnya adalah seorang lelaki yang ingin meminangnya, bukan guru tugas beneran). Saya menganggapnya tanda malu, padahal dia emoh, katanya. Cuman, pada akhirnya dia harus meleleh karena wasiat sang ibunda agar dia berserah kepada saya, calon tunangan dan (insya Allah) calon suaminya. “Terimalah calon yang melamarmu,” begitu kata istri saya saat menirukan pesan ibunya. <p></p><p>Kini, dia telah menjadi sitri saya. Dan karena saya sadar kalau saya pernah bersalah kepadanya dengan mengaku santri Sidogiri, saya minta maaf kepadanya atas pengakuan palsu itu. Tentu saja dia sudah tahu sejak dulu. Tapi, bagaimana cara saya minta maaf kepada Sidogiri? </p><p>Eh, kok kebetulan atau bagaimana, saya diundang BPP PP Sidogiri untuk suatu acara. Nah, dalam pada itu, saya sampaikan perasaan berasalah ini, semacam curhat tapi entah untuk siapa. Saat itu, Badan Pers Pesantren (BPP) Sidogiri menyelenggarakan Orientasi Insan Pers dengan mengundang saya sebagai narasumbernya. Kegiatan bahkan terlaksana hingga dua kali, pada <a href="https://www.facebook.com/Sidogiri/posts/1124936374302116">15 Pebruari 2017</a> dan berulang lagi pada <a href="https://sidogiri.net/2020/02/orientasi-insan-pers-bpp-datangkan-sastrawan-nasional-dari-madura/">12 Pebruari 2020</a>. </p><p>Begitulah ceritanya. <br />Apakah saya dimaafkan? <br />Masa gitu saja tidak dimaafkan! He, he, he.</p><p>M. Faizi</p><p><br /></p><p><br /></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-23400452792478106332020-12-05T23:44:00.008+07:002020-12-05T23:44:54.235+07:00Tafsir Mimpi: Air <p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-V-Obr0o5Umw/X8u4qhO7iBI/AAAAAAAANQE/x-eboL31pU4_0d8J_yhBPgJwWmoJ40_ZACLcBGAsYHQ/s1024/DSCF4102.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1024" data-original-width="768" height="320" src="https://1.bp.blogspot.com/-V-Obr0o5Umw/X8u4qhO7iBI/AAAAAAAANQE/x-eboL31pU4_0d8J_yhBPgJwWmoJ40_ZACLcBGAsYHQ/s320/DSCF4102.JPG" /></a></div></div></div><p></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">D</span>alam buku
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Ensiklopedi Tafsir Mimpi” karya
Pamanda Abdul Halim Bahwi, </span>bermimpi tentang air itu pada <span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">umumnya </span>bagus<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"> dengan sekian perkecualian. J</span>ika airnya
keruh atau asin, mimpi ditakbir kurang bagus. <span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Bermimpi pegang w</span>adah berisi air <span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">berarti </span>dapat uang<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">. Kalau
seseorang </span>diberi air<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">, konon
biasanya bakal dapat anugerah </span>anak<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN">Saya pribadi
punya</span><span lang="IN"> </span>pengalaman <span lang="IN">tersendiri </span>tentang <span lang="IN">mimpi </span>air<span lang="IN"> ini</span>. Biasanya, kalau bermimpi air,
<span lang="IN">saya </span>pasti dapat rezeki<span lang="IN"> uang</span>, <span lang="IN">tidak peduli </span>meskipun air itu hanya saya
lihat <span lang="IN">dikejauhan </span>atau
mengalir deras <span lang="IN">dan sedikit keruh </span>seperti
banjir.<span lang="IN"> Semua ‘kasus’ mimpi di atas
sudah saya alami dan karena itulah saya buatkan asumsi-asumsi “biasanya”. Nah,
l</span>ebih-lebih jika mimpi <span lang="IN">ber</span>wudu<span lang="IN"> atau air wudu, mimpi model ini lebih mendebarkan
lagi karena artinya dapat duit dan banyak.</span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN">Itulah yang saya
alami dalam mimpi di </span>Senin pagi, <span lang="IN">30 November 2020, menjelang bangun. S</span>aya bermimpi wudu.<span lang="IN"> Air dari
kran saya tangkap dengan tangkup dan dibuat membasuh muka. Mimpinya tidak
begitu lama, kayak <i>spoiler</i>, hanya lewat begitu saja. Setelah wudu,
selesai sudah. Saya bangun sambil senyum-senyum.</span></p>
<p class="MsoNormal">Nah, saya penasaran, ingat sesuatu, ingat uang yang menipis,
utang pondok yang menumpuk, dan belanjaan yang harus dibeli tapi tak ada uang <span lang="IN">tunai, apalagi kartu kredit. Tapi, entah
mengapa saya sangat terobsesi terhadap mimpi air tersebut.</span></p>
<p class="MsoNormal">Pertama yang
terjadi adalah laporan dari Cantrik Pustaka bahwa royalti buku “Merusak Bumi
dari Meja Makan” melebihi jumlah utang saya yang sedianya akan saya setor untuk
pembarayan buku yang saya jual, di hari itu. Dengan demikian, uang buku
tersebut langsung saya amankan dan jadilah ia berpindah lokasi: dari <i>teller</i>
bank ke dompet sendiri, jadi sangu tiban ke Surabaya dan Sidoarjo. Satu poin
sudah diraih.</p>
<p class="MsoNormal">Kedua, sesampainya
di kafe Jungkir Balik, sebelah barat stadion Delta Sidoarjo, setelah istirahat
sejenak, shalat dan makan, saya ke Jalan Erlangga, ke kantor Dewan Kesenian
Sidoarjo, untuk cek lokasi yang akan saya gunakan untuk pentas di hari Ahad, 6
Desember dalam rangkaian Jatim Art Forum oleh Dewan Kesenian Jawa Timur. Aman,
semua urusan beres. Dan setelah kembali ke kafe, terjadi kejutan berikutnya.
Saat asyik-asyiknya ngopi cantik bersama istri dan juragannya—yang secara
instinktif saya tangkap (dan ternyata benar) bakal menggratiskan kopi-kopi itu—ada
ninit...ninit, bunyi nada SMS di Nokia 2730. Laporan transaksi ‘ngawur’ ke
rekening saya. Kenapa ngawur? Karena itu bukan honor dan tanpa ada aba-aba maupun
kode sebelumnya. Saya tahu, ini kejutan keduanya. Meskipun ada wanti-wanti “tidak
untuk touring” (karena saya memang berencana ke Larantuka tapi gak jadi-jadi
hingga hari ini), saya bahagia karena uang tersebut langsung dapat slotnya,
yaitu buat merehab atap musala dan sebagian pondok.</p>
<p class="MsoNormal">Pulangnya,
lagi-lagi kejutan penutup terjadi: saudara saya yang ngajak dan membawa mobil tersebut
sama sekali tidak mau disumbang duit buat bahan bakar, padahal secara
itung-itungan, tujuan dia ke Sidoarjo dibandingkan dengan kepentingnan-kepentingan
saya di beberapa tempat masih lebih banyak urusan saya. Maka, saya semakin malu
kepada Sang Pemberi Rezeki karena sebelum berangkat tadi malah lupa tidak
shalat duha lebih dulu.</p>
<p class="MsoNormal">Saya tahu,
artikel ini bukan tentang percaya mimpi, tapi sekadar cerita kalau alurnya
seperti ini. Saya tahu, Anda ingin dapat rezeki tak terduga, tapi hak untuk
memberikan tetaplah ada pada Dia. Saya tahu, Allah bagi-bagi rezeki kepada
semua makhluk dalam berbagia bentuk, karena kalau bagi-bagi proyek itu kerjaan
kita, eh.</p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-77271897716562176312020-08-14T23:37:00.003+07:002020-08-14T23:38:02.664+07:00Oleh-Oleh Abnormal <p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-xMK3a4lU_8g/Xza6ND-NcQI/AAAAAAAANIE/KhSkS930dNYvlbCVP2cX_rexlS630VJtgCLcBGAsYHQ/s2048/IMG_20200814_230223.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" height="184" src="https://1.bp.blogspot.com/-xMK3a4lU_8g/Xza6ND-NcQI/AAAAAAAANIE/KhSkS930dNYvlbCVP2cX_rexlS630VJtgCLcBGAsYHQ/w328-h184/IMG_20200814_230223.jpg" width="328" /></a></div>Siang tadi, ada
Mbah Kiai Jauhari, dari Jember. Beliau diantar oleh beberapa orang santri. Saat
itu, saya sedang berada di badunan, ruang tamu atau kamar samping langgar.<p></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p> </o:p></span>“Saya mbah!” kata
saya dari belakang ketika saya menjumpainya berada di depan pintu rumah,
memanggil salam.</p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Anu, saya bawa
ini.”<br />
“Waduh, terima kasih. Mari silakan duduk.”<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Sudah, terima
kasih. Saya buru-buru.”<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><br />
Saya mengeluarkan segala jurus penghormatan agar Mbah Kiai mau duduk walau
sebentar, tapi beliaunya masih seperti biasa: hanya berdiri, meletakkan
oleh-oleh, lalu pamit pergi. Maka, saya pun aya mengantarkan beliau hingga ke pintu
pagar, lalu balik badan setelah mobilnya bergerak pergi, menjauh, ke arah
timur. <br />
<br />
Kiai Jauhari ini tergolong sepuh, baik secara nasab maupun secara usia. Saya
manggil mbah kepada putranya, dan ibu saya manggil embah kepada beliau. Kakek
saya manggil paman kepadanya. Dua orang pengasuh tersisa di Pondok Pesantren Annuqayah
sama-sama memanggil paman kepada beliau. Sisanya memanggil embah dan juju’. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal">Saya tahu nama beliau
sejak kecil, tapi baru sempat bersalaman dan ngobrol setelah ayah dan
kakek-nenek saya sudah tiada. Pasalnya, beliau tetap melalukan kunjungan rutin
ke Guluk-Guluk, termasuk ke rumah besar kami, sekurang-kurangnya setahun sekali.
Sementara kami yang muda-muda ini, yang energik dan ganas kalau bicara, yang sehat-sehat
selera makan dan syahwatnya, laga tandangnya hanya berkala, alias kala ada
hajatan atau kala ada takziyah, bahkan mungkin ada yang tidak sama sekali. Malu saya. </p><p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Oya, ini yang penting. Dari dulu, oleh-oleh beliau itu unik, baik kepada kakek
saya maupun kepada sepupu-sepupu kakek-nenek. Kita sebut saja “oleh-oleh abnormal”.
Oleh-olehnya, yang saya tahu, ada yang <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>berupa
tape recorder Telesonic, pernah pula berwujud amplifier lengkap dengan dua
kotak speaker 10 inci-an. Makin ke sini, oleh-olehnya makin abnormal saja. Oleh-oleh
mutakhirnya adalah mobil. Sudah ada sekitar entah 8 entah 9 mobil yang
dibagi-bagikan kepada kami. Mobil-mobil itu umumnya digunakan untuk kendaraan operasioanal,
seperti L300, Carry, Espass, dan ada juga Hijet, serta sedan, entah apa lagi,
sampai lupa saya. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal">Bukan cuman
oleh-olehnya, cara membawa oleh-olehnya pun tergolong antik. Biasanya, beliau
bawa rombongan. Beliau sendiri naik sedan Holden kawak dari Pace, Jember
(sekitar 370-an kilometer dari sini). Pengiringnya bawa L300 dan satu mobil
yang akan ditinggal. Mobil yang akan ditinggal berisi buah tangan alias oleh oleh-oleh.
Jadi, beliau bawa sejenis sayuran,
beras, kopi, dll, diletakkan di dalam mobil yang akan ditinggal bersama STNK dan
BPKB-nya.</p>
<p class="MsoNormal">Setelah beliau
pergi, saya tidak mengajukan pertanyan sejenis “mengapa beliau tidak bawa oleh-oleh
abnormal untuk saya?” di dalam hati. Saya berpantang untuk itu. Soalnya, saya
merasa sudah sangat sering dibawain oleh-oleh abnormal oleh kawan-kawan saya, mulai
dari kamera , dempul mobil, kanopi pintu, kayu bakar, hingga “anu”. Makanya, saat
Kiai Jauhari ke mari, oleh-oleh yang dibawanya adalah yang normal-normal.</p>
<p class="MsoNormal">Tapi, sempat
juga, sih, saya mikir: Apakah beliau tidak bawa “oleh-oleh abnormal” karena
saya-nya yang abnormal sehingga harus dibawain sekarung kopi agar kembali normal?
Saya tidak paham, juga tidak berusaha untuk paham. <i>Anta afham. Allahu a’lam.</i></p>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-46477394705756342142020-08-02T15:54:00.001+07:002020-08-02T15:55:09.179+07:00Siapa Mirip Siapa: Beban KemiripanRummiyati dibilang mirip Syahrini saat berdandan; Savic Ali kayak Bill Gates waktu muda; Sohibuddin seperti Stephen Hawking di waktu kecil; Gus Wahid bak Jacky Chan dalam kostum lokal, dan saya (dulu, pernah dibilang, katanya, sih) bagaikan Fedi Nuril kalau tidak berpeci.<br />
<br />
Mengapa orang memirip-miripkan yang lain? Karena nyatanya, manusia itu memang makhluk iseng yang secara naluriah mempunyai obsesi pada kesamaan, kemiripan, keserupaan, bahkan hingga pada taraf kesurupan. Sebaliknya, seniman selalu ingin lepas dari binari, ingin menjauh, ingin menemukan orisinalitas, otentisitas, keaslian, dengan berbagai caranya, mulai dari sama sekali berbeda hingga ke level terendah: tambal-sulam sedikit agar tampak beda.<br />
<br />
<br />
Nuruddin Asyhadie menyatakan, bahwa orisinalitas, yang merupakan syarat otentisitas, hanyalah omong kosong “spesialisi diri” seniman-seniman Romantik Abad Pencerahan untuk menghapus jerat-jerat patronase dan bereksperimentasi dengan diri mereka sendiri, jenius yang karyanya mengekspresikan sensibilitas superior mereka. Gagasan pengekspresian dan pengembangan diri (bagi kita) sampai kini sungguh-sungguh tampak sebagai sesuatu yang baik, sehingga kita dapat melihat kekuatan citra ini masih tersisa. <br />
<br />
Walhasil? Tanya saya.<br />
<br />
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-tiFIggGDFos/XyZ-WjXbWxI/AAAAAAAANHE/E77S7-e6SQgYQ267d17x943tmWImWi6BQCPcBGAYYCw/s1600/Syahrini%2BKW.jpeg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="346" data-original-width="700" height="158" src="https://1.bp.blogspot.com/-tiFIggGDFos/XyZ-WjXbWxI/AAAAAAAANHE/E77S7-e6SQgYQ267d17x943tmWImWi6BQCPcBGAYYCw/s320/Syahrini%2BKW.jpeg" width="320" /></a>Kita masih terkejut mendengar seniman-seniman pra-Romantik, seperti Michelangelo atau Rembrandt, yang secara rutin memanfaatkan murid-murid dan pembantunya untuk menyelesaikan karya mereka, atau Picasso yang menyerahkan potongan-potongan lukisannya pada berbagai murid-muridnya: “Di sini kau kasih warna merah, beri sedikit warna abu-abu, Kau juga dapat mengambar sedikit garis lengkung di bawah sini.” Kita masih merasa tertipu terhadap curahan otentik seniman jenius tersebut sebab kita sangat terikat pada gagasan romantik mengenai seniman. <br />
<br />
Masih menurut Cak Udin, saat mengulas cerpen “Maaf, Sepertinya Saya Mengenal Anda”, kisah terakhir dalam kumpulan cerpen Donny Anggoro, donny anggoro […] dan Cerita-Cerita Lainnya (2004), malah dapat dikunya sebagai narasi Kafkan, perjuangan sebuah individu dalam melepaskan diri dari uniformitas, atau dongeng “there is nothing new under the sun,” tempat apa pun yang kita (per)buat tak pernah menjadi sesuatu yang tertutup dan berdiri sendiri, selalu tereferensi dan mereferensi pada eksterioritas, yang kemudian bersama dirinya menyusun biografinya sendiri serta biografi-biografi lainnya, baik yang telah lalu, maupun yang akan datang. <br />
<br />
Singkat kata, begini: tak ada yang benar-benar baru di muka bumi ini. Scorpion, band rock dari Jerman, menulis lagu “cause we are live under the same sun”, tapi ini dalam rangka semangant kemanusian. Sebelumnya, Kahlil Gibran, menulis prosa lirik berjudul “Tahta asy-Syams” namun dengan semangat eksistensialisme. Dan kiranya, baik Scorpion maupun Gibran, sama-sama merujuk pada Perjanjian Lama, pada Eccleciastes, yang salah satu kutipannya berbunyi “Apa yang pernah ada, akan ada lagi; apa yang pernah dibuat, akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari”.<br />
<br />
Akan tetapi, masalahnya bukan itu. Yang sedang kita persoalkan sekarang adalah; apakah menyerupakan dan memiripkan serta orisinalitas itu melawan naluri dan nurani kita sebagai manusia yang lahir berbeda, yang ingin menemukan jati diri, namun pada saat yang lain gemar dimirip-miripkan dengan yang lainnya, suka jika disamakan dengan sesuatu atau keadaan yang dianggap lebih baik darinya? <br />
<br />
Dalam konsep mimesis, kita belajar meniru membuat sesuatu agar semirip mungkin dengan acuan. Dalam asosiasi, kita membandingkan dengan perangkat “seperti”. Selanjutnya, pada metafora, kita memiripkan sekaligus menolak kemiripan yang berkutat pada ketegangan (tension). Anu seperti anu; anu adalah anu (meskipun sesungguhnya anu itu bukanlah anu). Walhasil, semakin tegang penyerupaan, semakin bersyahwat keserupaannya, bahkan bisa menyebabkan kesurupan. <br />
<br />
<br />
Akan tetapi, jika aksi ini dibawa ke luar bahasa, anggaplah kita lihat dari sudut pandang antropologi, maka pekerjaan memirip-miripkan sesuatu itu sebetulnya adalah pekerjaan iseng dan seringkali memberikan beban stigmatif, baik beban menyenangkan atau memberatkan. Misalnya, ketika saya, dulu, dimirip-miripkan dengan Fedi Nuril. Saya mungkin senang, tapi Fedi tidak, bahkan merasa terbebani oleh aksi penyerupaan semacam ini. Dalam kasus ini, tercipta spektrum superior dan inferior. <br />
<br />
Hal ini juga sama dengan ungkapan semisal “wow, sudah kayak di Eropa saja” untuk suatu pemandangan di sebuah kota di Indonesia. Betapa membebaninya ungkapan itu jika Eropa diasumsikan mayor dan kota Indonesia, atau kita, sebagai minornya. Maka, beban cenderung bertumpu pada kita, sehingga berupaya agar terus mirip dengan Eropa. Kita menjadi inferior oleh ungkapan yang diciptakan oleh kita sendiri. <br />
<br />
Penyerupaan fisikal atau kebendaan semacam ini memiliki implikasi tak langsung yang bebannya diukur berdasarkan “teror psikologis” jika ia disematkan kepada orang, atau juga “stigma peyoratif” dan ‘inferioritas’ jika ia disematkan kepada produk atau budaya. Bedanya, “teror psikologis” akan membebani kedua belah pihak (yang dimiripkan dan acuan kemirpan) sedangkan pandangan stigmatif atau stereotipikal akan membebani definisi ansich atau asumsi belaka, namun bukan mustahil lambat laun akan menciptakan kerangka pandangan yang lebih banyak “merendahkan” daripada “mengunggulkan”.<br />
<br />
Oleh karena itu, pada dasarnya, orang tidak suka dimirip-miripkan, sebagaimana mungkin Syahrini tidak suka dimirip-miripkan dengan Rummiyati, si penjual rujak asal Saronggi itu, dan bukan mustahil pula begitulah yang berlaku sebaliknya. Dimirip-miripkan itu tidak menyenangkan, kecuali untuk perkecualian saja. Apa saja yang diperkecualikan? Sekarang, giliran Anda yang mikir!<br />
<br />
<br />M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-33903698333641821762020-05-29T02:21:00.002+07:002020-05-29T07:46:50.959+07:00New Normal dan Hidup Siaga <br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-qCoYTJ55x2c/XtAO5uVorTI/AAAAAAAAM-I/DvShlbJt748eG04BJAU2RwYY24Fz_l7DQCLcBGAsYHQ/s1600/DSCF3300.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://1.bp.blogspot.com/-qCoYTJ55x2c/XtAO5uVorTI/AAAAAAAAM-I/DvShlbJt748eG04BJAU2RwYY24Fz_l7DQCLcBGAsYHQ/s320/DSCF3300.JPG" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">instan kunyit & sirih untuk menaikkan imun</td></tr>
</tbody></table>
Dulu saya pernah bertanya, adakah peristiwa yang dapat menyebabkan seluruh umat manusia di muka bumi ini berubah mendadak dalam waktu cepat? Adakah peristiwa atau suatu hal yang dapat membuat manusia ini mendukung aksi agar alam ini kembali pulih, alih-alih terus melemah? Sepertinya tak ada, bahkan andaipun nyata-nyata ada contoh dan merugikan mereka, yaitu pemanasan global.<br />
<br />
Teringat peristiwa meletusnya Gunung Tambora pada 1815 yang menandai bencana alam dan kemanusian terparah di zaman modern. Tapi, peristiwa ini tidak mendunia, ‘hanya’ sekitar Asia dan Eropa serta sebagian Australia. Letusan mahadahsyat ini menimbulkan banyak penyakit dan kelaparan karena sinar ultraviolet matahari tidak bisa menembus bumi selama hampir satu tahun. Ini juga katanya, lho, sebab saya taksir, abad itu adalah zaman generasi ke-9 atau ke-10 di atas saya. <br />
<br />
Begitu pula dengan epidemi/pandemi yang lain, Black Death di masa lampau atau yang lebih kekinian, seperti Middle-East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Kedua yang terakhir sama-sama nyaris viral dan mendunia dan secara kebetulan memang merupakan dua jenis virus yang sama-sama menyerang alat pernafasan. Namun, hanya Covid 19 inilah yang benar-benar telah mengubah segala-galanya: mengubah sistem belajar, mengubah sistem ekonomi, bahkan mengubah persepsi dan idealisasi. Jika sebelumnya kita bangga mencapai tempat terjauh, kini kita bangga justru ketika bisa bertahan di rumah dan tidak ke mana-mana. Betapa jungkir baliknya definisi-definisi yang telah ada sebelumnya.<br />
<br />
Lantas, mengingat virus ini tidak jelas dan sangat simpang siur dalam menyikapinya, tidak dapat diperkirakan pula kapan berakhirnya, belum ditemukan juga vaksin dan cara membasminya, maka pada akhirnya, setelah...<br />
menimbang dan seterusnya<br />
mengingat dan seterusnya<br />
memperhatikan dan seterusnya<br />
Pemerintah menetapkan; <i>lockdown</i> harus dibuka; kunci pengucilan diri harus dilepas. Alasannya? Pilihan tersisa hanya dua: mati karena diserang virus ke saluran pernapasan atau mati terkurung karena kekurangan makanan. Ini belaku bagi orang, komunitas, atau pun negara.<br />
<br />
Setelah dalam 5 bulan terakhir istilah-istilah asing bermunculan tak dapat dibendung, mulai dari istilah lama hingga istilah baru, seperti pandemi, epidemi, lockdown, physical distancing, hand sanitizer, dll. Petani dan buruh tani yang dulu jarang kenal dengan istilah-istilah itu kini juga menyelipkan kata-kata tersebut dalam obrolannya. Keren banget.<br />
<br />
Nah, berikutnya muncul lagi istilah baru: “New Normal”. Apa pula ini? Ialah kehidupan normal, kehidupan wajar, kehidupan seperti sediakala. Akan tetapi, istilah ini pun bukan saja ada yang membantah, yang menjadikannya bahan olok-olok pun juga banyak. Adapun yang saya pahami dengan “New Normal” ini adalah menjalani kehidupan sehari-hari sebagaimana biasa, seperti keseharian kita sebelum pandemi Covid 19 ini, tapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu, seperti penggunaan masker, rajin cuci tangan (bersih-bersih), dll. Gampangnya, kehidupan yang disebut “New Normal” itu adalah kehidupan yang lebih bersih daripada kehidupan sebelumnya jorok dan cuek sama diri sendiri apalagi sama sekitar. Itulah pemahaman saya. Yang tidak saya pahami, mengapa harus “new” dan bukan “baru”; mengapa harus… ah!<br />
<br />
Nyatanya, kalau kita amati, kehidupan wajar yang telah kita jalani sebelum ini adalah kehidupan “jar-wajar tanggung”, semacam "normal-normalan". Pandemi Covid-lah yang menyadarkan kita akan semua itu sehingga kita berusaha “kembali ke pengaturan awal” atau “kembali ke pengaturan pabrik”. Contoh: dari dulu, ada anjuran menutup mulut dan hidung kalau kita sedang bersin, tapi yang demikian itu kita temukan hanya ada 1 di antara 10. Maka, kehidupan “New Normal” menetapkan aturan: orang flu dan batuk boleh datang ke tempat tertentu tapi harus memakai masker. Yang lebih utama adalah selalu mengenakan masker di saat adanya virus Corona (seperti sekarang) yang penularannya sangat tinggi.<br />
<br />
Apa langkah kita? Sepertinya, kita harus kembali ke alam, kembali ke cara leluhur dalam menjalani hidup keseharian, yakni hidup siaga dengan jamu. Wow, jamu? Kok kuno? <br />
<br />
Pada dasarnya, nenek moyang kita membuat jamu itu bukan untuk mengobati, melainkan untuk melindungi diri, bersiaga. Jadi, jika selama ini kita minum obat atau jamu herbal flu saat diserang flu itu adalah sikap umum: “melawan setelah diserang”. Adapun New Normal adalah “melindungi diri agar aman dari serangan virus flu”. Sedangkan cara orang dulu adalah minum jamu—misalnya jamu kunyit dan sirih—dan itu adalah “siaga agar tidak sampai flu”. <br />
<br />
Jadi, filosofi minum jamu itu adalah filosofi zirah: bersiaga sebelum diserang, semacam mengenakan baju besi sebelum perang atau mengamalkan “lembu sekilan” atau pelias sebelum bertanding. Sementara kehidupan keseharian kita sejak dulu adalah baru akan mencari obat merah setelah terkena sabetan pedang. Dari sini saya curiga, jangan-jangan teori “survival of the fittest”-nya Charles Darwin yang kita tolak itu sebetulnya hanyalah sebentuk gambaran bagaimana ras manusia yang tersisa dan bertahan di muka bumi dari kepunahan itu, salah satunya, adalah karena selalu siaga fisik dengan minum jamu, beda dengan monyet.<br />
<br />
Ini cuma jangan-jangan, lho, jangan lantas dimasukkan hati.M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-37835716795901586622020-05-20T13:39:00.001+07:002020-05-20T13:39:42.636+07:00Misteri Amplop Kiai <br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Ada seorang
wartawan yang datang ke rumah kiai untuk investigasi beberapa hal yang ‘privat’.
Wartawan merasa kesulitan untuk memulai wawancara karena ketika dia masuk ke ruang
tamu pak kiai itu, di sana, sudah ada tamu-tamu yang lain. Makanya, si wartawan
muter-muter dulu omongannya di udara supaya bisa ambil celah bagaimana cara
mendaratkan wawancaranya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Dan karena
tema-tema yang lalu tidak menarik, sudah biasa, wawancara dipangkas saja,
langsung ke intinya:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Jadi, bagaimana
cerita anak itu kok tiba-tiba datang ke sini sama bapaknya, Kiai?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Iya, saya juga
heran, saat mondok dulu nakalnya beneran gawat, <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>secara syariah, iya, seperti tdak subuhan,
bahkan sempat mabuk; secara akhlak iya, suka suit-suit sama santri putri,
bahkan saat liburan dia suka nginbox saya, menentang beberapa keputusan pesantren
dengan argumen ‘menurut saya’ dan ‘menurut hemat saya pribadi’, dan semacam
itu. Gawat pokoknya, Mas, tapi tidak merasa gawat, santai saja bawaannya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Jadi, dia dan
orangtuanya tadi itu ke sini minta maaf, sekaligus pamitan, Kiai?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Iya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Sama kiai,
dimaafkan begitu?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Kasihan kalau
tidak. Soalnya, kata orang tua, konon, biasanya dia sulit jadi bener hidupnya kalau
tidak diridai oleh guru. Makanya, meskipun masih ada sisa-sisa sebel, tetap
saya maafkan.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Wartawan itu
ambil nafas sejenak, minum kopinya seseruput, mau menyalakan rokok, tidak jadi,
malah bertanya, “Anu, Kiai, boleh nanya agak privat?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Silakan!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Orang tadi itu
sowan pakai amplop berapa, Kiai?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Kenapa, Mas?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Kami ini kan
wartawan “Majalah Kiaipedia”, sedang investigasi soal isi amplop, Pak Kiai, dan
Ini nanti akan ada hubungan dengan analisa gratifikasi dan grasi, baik secara
politis maupun efek ekonomis, Pak Kiai. Tapi, kalau Pak Kiai keberatan, tidak
apa-apa... maaf saya agak lancang barusan.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Salam tempelnya
50.000”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Hah? Lima puluh?
Pak Kiai punya kalkulator?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Ada, Mas, buat
apa?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Buat ngitung
ini, Pak Kiai. Jadi, uang 50.000 barusan itu buat;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span dir="LTR"></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Minta grasi atas kesalahan di pondok selama 3
tahun<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span dir="LTR"></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Minta amnesti untuk semua kesalahan cuit-cuit santri
putri<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">3.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span dir="LTR"></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Minta dimaafkan karena suka nginbox-nginbox “menurut
saya” sama Pak Kiai <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">4.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span dir="LTR"></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Buat bayar 2 kali sehari pipis di jeding pondok
selama 3 tahun<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">5.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span dir="LTR"></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Buat ongkos diajari ngaji dan kitab selama 3 tahun<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">6.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span dir="LTR"></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Barusan, sewaktu Pak Kiai nyuguhin makan, si
bapaknya kayaknya ngambil rendang daging dan anaknya telor dadar, nah, ya, buat
bayar itu juga, Kiai<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">7.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span dir="LTR"></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Minta diridai dan diberkahi dengan doa<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Kalkulator Kiai
itu merek apa? Sungguh saya ingin punya kalkulator yang bisa menghitung pembagian
seperti ini dengan tenang dan tidak eror, Pak Kiai.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Mendadak, mata
kiai tampak berkunang-kunang. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Tubuhnya
sedikit bergoyang. Kiai menundukkan kepada dan menopangnya dengan telapak
tangan. Ia melenguh, menarik napas panjang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Mas, aku pinjam
ranselmu, Mas!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Buat apa, Pak
Kiai?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Tolong letakkan
di belakang kepalaku, aku mau pingsan nih kayaknya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<br />M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-79764423299106135512020-03-11T01:01:00.001+07:002020-05-25T02:19:43.013+07:00Rangkuman Kisah Asmara Keluarga dalam Tiga Percakapan<br />
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"><o:p>Saya bikin tiga ringkasan percapakan ini. Ketiganya menggambarkan fase hubungan suami-istri. Semoga termasuk ke dalam golongan percakapan yang lucu. Amin. </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">BARU KENAL, GOMBAL<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Dik, jika engkau
Shinta, akulah Sri Rama.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Tapi, kan ada
Rahwana, Mas? Kalau aku diculik, ntar gimana?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Lah, adegan itu ‘kan
ada di buku jilid II? Ya, gak usah dibacalah!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">SETELAH MENIKAH,
CEMBURU<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Kang, mengapa
kamu keramas?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Kok jadi
masalah, sih, Jeng? Bukannya kalau mandi justru wangi?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Soalnya, Akang
mandi basah itu ‘kan hanya kalau junub, padahal aku lagi datang bulan!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">SUDAH LAMA, LUPA<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Mas, dulu kamu
bilang, kita bagai Rama dan Shinta, tapi kini, beras habis pun kamu tak peduli!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Lah, kamu emang
tidak baca jilid II-nya, Dik? Saat Kerajaan Wideha mengalami paceklik?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Asmara dalam
pernikahan itu fluktuatif, bukan cuman nilai tukar rupiah dan bursa efek yang
begitu-begitu. Pernikahan sendiri tidak pernah berada dalam status selalu aman,
pasti akan ada masa kritisnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Maka, cerita dalam
keluarga itupun tidak pernah datar. Jika ingin cerita yang lempeng dan lurus,
protagonis menang terus, antagonis kalah melulu (atau kalau perlu ditiadakan), maka
bikinlah roman atau novel sendiri, baca sendiri, sebab kalau dijual, kisah yang
seperti itu harus masuk waktu agak malam lebih dulu yang mau laku, itupun jika
diobral dan diecer oleh pedagang asongan profesional. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<br />M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7369179656391313715.post-19523042545366109132020-02-11T06:07:00.001+07:002020-02-11T06:07:40.692+07:00Orientasi Kebendaan
<br />
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br />
</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br />
</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
Pernah di suatu saat
ada orang yang bertanya, mengapa saya sering mendapatkan buku secara
gratis meskipun saya jarang membaca buku dan jarang pula mengulasnya.
Saya bilang kepadanya, "Saya tidak tahu, mungkin karena saya
jarang baca buku itulah sehingga dia kasihan kepada saya, ingin saya
rajin membaca dengan cara diberi buku. Tapi, kalau kamu tidak puas
dengan jawaban saya, ada baiknya kamu saja yang tanya sama orang yang
ngasih buku itu, mengapa dia ngasih buku ke saya dan bukan ke kamu."</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br />
</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
Rupanya, dia
benar-benar tidak puas dan kembali bertanya.
</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
"Tapi, kayaknya
kamu juga sering dapat gratisan kopi. Itu gimana caranya bisa
begitu?"</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
"Oh, kalau yang
itu, saya tahu jawabannya," balas saya. "Karena yang ngasih
kopi ke saya itu sudah pada tahu bahwa kopi yang dia kasihkan akan
saya minum atau saya sedekahkan, bukan difoto lalu dikopi dan jadilah
buku-buku bajakan."</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br />
</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
"Kalau kamera
itu?" Kayaknya dia masih penasan, nambah pertanyaan, "Sepertinya
kamu juga dapat gratisan kamera dari teman kamu!"</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
"Oh, kalau itu
saya tukar-tukaran."</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
"Ditukar dengan
apa?"</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
"Ditukar dengan
doa."</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
"Enak banget,
cuma gitu saja?"</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
"Enak banget
kamu bilang 'enak banget'. Sebegitu murahkah doa itu menurutmu?”</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br />
</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
ORIENTASI kebendaan
kita membuat semuanya, apa pun, cenderung dibandingkan dengan uang
dan benda-benda. Buku gratis, kopi gratis, kamera gratis, dan apa-apa
yang kita dapatkan secara cuma-cuma itu seolah gratis tanpa melihat
mengapa ia datang secara cuma-cuma kepada kita dan bukan kepada orang
lain. Demikian pula sebaliknya, kadang kita lupa dan dengki, mengapa
kesehatan dan kesempatan didapatkan oleh orang lain dan bukan kita.
Semua ini bersumber dari orientasi kebendaan. Kita terlalu biasa
menimbang apa pun dengan uang dan benda. Kita lantas lupa bahwa
terima kasih dan rasa syukur adalah alat bayar yang berlaku untuk
semua negara, semua bangsa, dan berlaku sepanjang masa.</div>
<div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<br />
</div>
<style type="text/css">p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 120%; }</style>M. Faizihttp://www.blogger.com/profile/04164259858931820201noreply@blogger.com2