31 Mei 2010

Gairah Kejujuran

Beberapa waktu yang lalu, Pak Sulim bersama istrinya berkunjung ke rumah adik iparnya. Letak rumah si ipar ini tidak begitu jauh dari tempat tinggal Pak Sulim, tetapi bukan berarti dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Karenanya, di siang hari Rabu yang cerah itu, Pak Sulim sangat berbahagia karena bisa menaiki sepeda motornya yang baru dibelinya. Sepeda motor baru ini dibelinya dengan harga murah karena bodong-gelap alias superdurno (tidak ada STNKB dan BPKB).


Sepulang dari rumah si ipar, di suatu pertigaan, Pak Sulim kaget alang-kepalang karena tanpa diduganya, saat ia melintasi jalan itu, dari balik batang pohon asam yang besar, tiba-tiba muncul seorang petugas berseragam coklat, menghentikan perjalanannya. Pak Sulim tidak menyangka sama sekali karena ternyata petugas ini memarkir kendaraan berplat hitam-kuningnya itu di balik rerimbun pepohonan yang terhalang dari pandangan.


“Selamat siang, Pak!”

Pak Sulim gemetar. Ia tidak menjawab.

“Bisa lihat STNK-nya?” tanya si petugas, mendekat, meminta Pak Sulim mengeluarkan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor alias STNKB. Karena Pak Sulim masih ketakutan dan diam saja, istri Pak Sulimlah yang menjawab.

“Maaf, Pak. Motor kami ini baru dibeli, itupun dengan model cicilan. Kata si penjual, STNK-nya masih akan dibuatkan.”

“Mau dibuatkan?” petugas mengernyitkan kening.

Disangkanya si petugas mulai termakan permohonan ampun dan rengekannya, istri Pak Sulim justru semakin bergairah menjelaskan identitas sepeda motornya itu apa adanya.

“Ya, Pak. Soalnya, motor ini tidak ada STNK-nya..”

27 Mei 2010

Warna Hijau dalam Bahasa Madura

-->
Salah satu tekanan yang merendahkan (inferior) terhadap orang Madura adalah pernyataan bahwa Bahasa Madura tidak mengenal kosa kata yang sepadan dengan “hijau”. Dalam bahasa ini, hijau ditulis/dilafalkan “bhiru”.

Meskipun dalam Bahasa Madura ada kosa kata ejuh (ijo), namun umumnya selalu digandengkan dengan kata yang lain dan membentuk frase, misalnya “nyior eju” (kelapa [berwarna] hijau), “kacang eju” (kacang ijo), dan sebagainya. Penggunaannya pun sangat terbatas serta tidak lazim jika digunakan secara mandiri (eju).
Ada alasan diajukan: “bhiru” (dibaca tebal dengan “h”) yang dalam Bahasa Madura berarti hijau tidaklah sama dengan “biru” (dalam Bahasa Indonesia). Secara kebetulan saja pengucapannya hampir sama tetapi maknanaya berbeda. Hal ini mirip dengan pengucapan arah mata angin “daya” yang dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan “arah di antara dua mata angin”, seperti “barat daya” untuk menunjukkan “arah mata angin antara barat dan selatan”. Kosa kata “daya” ini menjadi berbeda pengertiannya saat digunakan sebagai ganti dari “daja/dhaja” yang artinya “utara” sehingga “barat daya” sering ditanggapi sebagai “arah mata angin antara barat dan utara”. Apakah tidak sebaiknya “arah mata angin antara barat dan utara” ini tetap ditulis dengan “barat daja” atau “bara’ dhaja” saja daripada “barat daya”? Entahlah, ini hanya pertanyaan pribadi yang barangkali sudah pernah didiskusikan di tempat lain, dan barangkali pula, pakar Bahasa Madura dapat menjelaskannya lebih baik.
Kembali ke masalah “bhiru”: dengan merujuk pada beberapa contoh, saya beranggapan sementara, “bhiru” dalam Bahasa Madura, baik ditulis bhiru, biru, atau bhiruh, memiliki makna ganda: hijau dan biru. Contoh “bhiru” (dengan arti hijau), antara lain, “bhiru daun” (hijau daun), “bhiru butol” (hijau seperti botol [kecap/Sprite]); “bhiru” (dengan arti biru), antara lain, “bhiru langnge’” (biru seperti warna langit), dan seterusnya.
Nah, ini contohnya. Di dalam STNKB kendaraan di bawah ini, “warna KB”-nya tertera “biru botol metalic”. Oh, ya, warna kendaraan di bawah ini hijau atau biru?

19 Mei 2010

Ikhlas yang Dongkol

“Ya, sudah, sabar. Ikhlaskan saja barang yang sudah hilang itu. Semoga kamu dapat ganti yang lebih bagus..”

 

Sering mendengar ungkapan seperti ini, meskipun mungkin beda redaksinya? Ya, ini ungkapan pelipur lara untuk mereka yang baru kehilangan ponsel atau kecopetan dompet. Doanya juga sangat bagus.

Tapi, yang aneh adalah “ikhlaskan”. Mungkinkah ikhlas akan menyusul dongkol dan kesal karena kehilangan yang tidak dikehendaki?

 

Sejatinya, ikhlas itu lahir pada saat “memberi”, bukan setelah kehilangan.

16 Mei 2010

Kacang Seribu

“Kacang, kacang, kacang; seribu, seribu, seribu..” Pedagang asongan itu mendekat.

“Kacang, kacang.. Murah, Pak. Daripada nanem sendiri, masih lama panennya. Kacang seribu..”

Pedagang itu berlalu dari sisiku.

 

14 Mei 2010

Salah Tuduh

Berhari-hari, di serambi rumahku, selalu semerbak bau tak sedap. Ya, seperti bau tahi kucing, atau mungkin tahi curut. Aku cari ke mana-mana, tidak diketemukan juga.

 

Puncaknya, tadi malam. Saat aku berada di langgar kayu, habis Maghrib, bau semerbak tak sedap itu kembali mengganggu. Ternyata, eh, ternyata. Sumber bau adalah sandalku sendiri, sandal karet 10.000-an, merek Eldo**. Selama ini, yang selalu menjadi “kambing hitam” justru “kucing”, bukan kambing.

 

Pantesan, awal-awalnya, jika aku masuk mobil, bau pindah ke dalam kabin. Kalau aku duduk di teras, yang bau pindah ke teras. Rupanya… Ya, ternyata, sumbernya adalah sandal karet bikinan manusia. Entahlah, sandal ini terbikin dari karet bekas apa.

 

 

05 Mei 2010

Rezeki Kesabaran

 

Kiai Muzanni: seorang lelaki yang wafat di usia 80 tahunan, di pangkuan kemenakannya. Melalui istrinya, dulu ia telah pernah mempunyai 12 orang anak dari satu istri saja. Dan anak-anaknya itu berguguran, satu demi satu; ada yang masih balita, tetapi ada pula yang telah perjaka dan perawan. Ujung cerita, semuanya habis sama sekali.

 

Jika itu bagian “rezeki paten” dari Tuhan, manusia tak bisa berbuat apa-apa. Saya tak habis pikir, betapa hebat rezeki kesabarannya.

.