22 Februari 2011

Tamu-Tamu Online


“Setiap tamu akan membawa kebahagiaan; kalau tidak datangnya, ya, perginya.”

Sayang saya tidak tahu, ungkapan ini berasal dari mana. Saya pernah mendengar ungkapan ini secara langsung (bukan dari buku) dari mulut seorang kawan yang ketika itu baru didatangi debt collector, dan ia tidak punya uang. Saat tukang tagih duit datang, ia sedih, dan baru senang ketika ia sudah pergi.

Bulan Pebruari ini saya kedatangan banyak tamu dari jauh, antara lain Binhad Nurrohmat, Andy Fuller dan Sarah yang datang awal bulan. Lalu, tak lama setelah itu, datang lagi Nano Darmawansyah, Heru, dan Coradion. Dua hari setelah mereka bertiga, datang lagi rombongan Ade Boim dan Bagus Wiranto dengan 6 orang yang lain. Kebanyakan dari tamu itu adalah teman online, mereka yang sebelumnya saya kenal lewat milis atau jejaring sosial/facebook. Mereka semua berasal dari Jakarta.

Hari ini saya kedatangan tamu dari Gresik, Jauhari Ahmad dan Azmil Muftaqor. Mereka berdua ini, seperti beberapa tamu yang lain, mengaku tidak membawa maksud apa-apa selain silaturrahmi. Jadinya, saya tidak merasa aneh kalau mereka, seperti halnya beberapa tamu di atas lainnya, hanya tidur-tiduran seharian di kamar dan tidak pergi ke mana-mana.

Demikianlah, saya senang dengan kedatangan mereka yang datang tanpa maksud apa-apa. Tadi malam, saya mendengar ceramah seorang muballigh, katanya, “tamu yang banyak maunya, sekali memperoleh apa yang dia maksud dari kita, akan jarang bertandang lagi, bahkan mungkin tidak akan kembali lagi.”


05 Februari 2011

Ditilang, Mengancam


Ini adalah adegan percakapan antara penumpang dan petugas. Sopir mobil carteran terlanjur pasrah dan diam karena STNK dan SIM-nya sudah berpindah ke tangan petugas.

“Kendaraan Anda kelebihan penumpang!” kata petugas dengan nada tegas.

“Beh, Pak! Kami ini mau pergi ziarah ke Syaikhona Kholil, Pak!”

“Iya. Itu urusan Anda, mau ke mana saja terserah Anda. Tapi kendaraan ini kelebihan penumpang dan tetap harus ditilang. Mari, mari kita selesaikan di pos.”

“Lha... Pak! Pak! “Orang tua itu memanggil-manggil petugas. Sementara si sopir pasrah karena membayangkan denda yang harus dibayarkan, di pos atau di pengadilan.

“Pak!!” Kali ini, lelaki itu memanggil petugas dengan nada nyaris berteriak, “Sampeyyan ini mau tilang kami? Benar? Sampeyyan ndak takut kena tola (tulah)? Kami ini mau ziarah ke pasarean Syaikkona Kholil lho. Awas, ya. Saya ndak tanggung jawab kalau terjadi apa-apa dengan Sampeyan besok.”

04 Februari 2011

Plat M


“Jangan! Jangan mutasi mobilmu ke plat M kalau memang mau digunakan perjalanan ulang-alik Madura-Jawa..”

Testimoni ini, dulu, kerap kali saya dengar di sela-sela pembicaraan antarpengemudi atau para pemilik mobil carteran. Di Madura, sebagaimana lazim diketahui di era pertengahan 80-an hingga awal 90-an, banyak sekali kendaraan MPV/station wagon (berupa Colt T 120, Hiace, L300, atau Suzuki Carry, yang digunakan mobil carteran. Umumnya, mobil-mobil ini disewa untuk kepentingan kondangan ke Jawa, ziarah, atau lainnya.

Dulu, saat semua kendaraan harus melewati penyeberangan Kamal untuk tiba di Ujung (Jawa), kendaraan-kendaran plat M, kata gosip yang berkembang di kalangan sopir, senantiasa jadi santapan empuk dalam urusan tilang. Biasanya, pelanggaran tersebut mencakup urusan tuduh-menuduh seputar “taksi gelap”, dan lain-lain. Mengapa palt M? Anehnya, ini juga kata gosip yang mereka kembangkan, kendaraan serupa akan relatif lebih aman asalkan plat nomornya non-Madura (bukan plat M), lebih-lebih plat L (Surabaya). Karena itu, banyak pemilik kendaraan yang beroperasi di lintasan ini justru memutasi nomor polisinya menjadi plat L.

Bagaiamana ketakutan ini bisa terbentuk? Saya tak mengerti, mengapa, kapan, dan bagaimana kenyataan semacam ini terjadi, berjalan, dan rasanya terus berlangsung hingga hari ini. Boleh jadi, hal ini diakibatkan oleh banyaknya kasus pelanggaran tatib di masa lalu yang telah dilakukan oleh mobil-mobil berplat M. Tapi, seberapa banyak yang melanggar? Mengapa teror itu berlangsung hingga hari ini? Dampaknya, “mereka yang berjalan di jalan yang benar” akhirnya terkena dampak perasaan inferior juga, ikut-ikutan minder. Di atas semua itu, saya juga tidak tidak tahu, berapa banyak mobil bodong yang berkeliaran di luar sana dan karena penampilannya yang keren dapat terlepas dari jerat pelanggaran tatib ini.

Apakah ini merupakan bagian dari persoalan identitas; pencitraan yang tercipta sejak era kolonial; dampak buruk dari entologi yang berkembang?

Waduh, kok jadi bertanya terus menerus sih? Eh, kok malah tambah bertanya? :-)