14 November 2011

Poligami dan Kejujuran


Suatu saat, saya sedang omong-omong dengan seorang sopir. Obrolan ngalor-ngidul dengannya akhirnya sampai juga pada tema yang sedang hangat dibicarakan oleh para tetangganya tetangga, tentang seorang tetangga yang baru saja menambah satu lagi istri dalam kehidupan rumah tangganya.

Lawan bicara saya yang sopir ini berkata, “Dulu, terus terang, pernah terbersit keinginan saya untuk berpoligami. Saya sowan pada seseorang yang saya tuakan untuk dimintai pendapatnya. Lalu, dia balik bertanya, ‘Apakah kamu bisa untuk selalu jujur kepada masing-masing istrimu? Kamu bisa mencari pembenaran untuk poligami itu, tetapi kamu tak mungkin dibenarkan atas sikap ketidakjujuran. Mungkinkah engkau bersikap jujur dan adil untuk semua hal dalam urusan cinta?”

Dia mendesah. Dia bilang, “Saya bisa membuat kompromi antar-istri dengan berbagai cara, tetapi tidak mampu kalau kejujuran saya harus berpoligami dengan kebohongan.”




09 November 2011

Sarmo dan Ponar


Pernahkah Anda mendengar istilah “sarmo” dan “ponar”?

Di Madura, di daerah tempat saya tinggal, ada istilah “sarmo” dan “ponar”. Dua istilah ini selalu disebut secara berdampingan. Sarmo berarti akur. Misalnya, dua mempelai itu telah sarmo. Istilah ini menandakan bahwa pada umumnya, perjodohan antarpasangan biasanya direncanakan oleh orang tua kedua pihak dan tanpa kehendak pasangan bedua. Karena itu, banyak pasangan yang tidak saling mengenal satu sama lain, seperti umumnya di kota-kota yang kenal lebih dulu (pacaran). Mereka baru berkenalan di pelaminan, tentunya setelah akad nikah.

Sementara ponar adalah jenis makanan. Ia adalah ketan berwarna kuning. Apakh filosofi warna ini? Entahlah. Yang jelas, ponar diberi warna agar ia tidak dianggap ketan biasa, atau sebagai makanan biasa. Ponar adalah makanan istimewa, makanan pertanda. Hanya saja, adanya hantaran (ter-ater) atau suguhan ponar kepada tetamu menunjukkan bahwa kedua mempelai telah sarmo alias akur alias telah tidur bersama.

Saat ini, ponar masih terus disuguhkan. Namun, keberadaan ponar mulai kehilangan pelambangan/simbolisasinya karena ia telah mulai menjauh dari pengertian asalnya. Ponar mulai tidak berdampingan lagi dengan sarmo. Ponar, ya, ponar sebagai makanan semata. Demikian pula, istilah sarmo kini sungguh jarang dibicarakan mengingat lebih banyak pasangan yang kenal lebih dulu sebelum mereka berdua beranjak ke pelaminan.