30 November 2012

Seragam Bapak-Ibu

Baju “seragam bapak-ibu”, baju yang dibuat dari kain dan atau motif sama dan diguakan oleh seorang pasangan suami-istri, termasuk jenis yang tidak saya suka. Dari dulu saya tidak pernah membayangkan akan memiliki jenis pakaian seperti ini. Namun, sejak tahun 2006, ketika saya memperoleh hadiah dua potong kain yang tampaknya memang dirancang model seperti itu, maka saya pun membautnya untuk pertama kali.

Belakangan, saya memiliki pakaian sejenis tidak hanya satu. Ada beberapa motif yang sama dan akhirnya menjadi bagian dari penghuni lemari pakaian kami. Terus terang, saya masih tetap tidak suka menggunakan pakaian model semacam ini dengan alasan seperti mengesakan simbol harmonis yang dipaksakan. Mungkin, dugaan saya terlalu berlebihan. Akan tetapi, saya tidak menyalahkan model “seragam bapak-ibu” ini. Karena itu saya tidak bikin kampanye agar orang lain tidak mengenakannya juga. Saya hanya kurang suka tanpa alasan yang dibuat-buat, dan itu bergantung kepada selera saya pribadi.

Suatu hari, tepatnya tanggal 2 Maret 2012, saya pergi ke sebuah pesta pernikahan teman di Tulungagung. Karena ingin simpel, saya hanya membawa sebuah tas selempang kecil, berisi 1 sarung dan 1 baju ganti. Saya berangkat dengan perkiraan waktu yang pas. Berangkat tengah malam dari rumah, kira-kira pukul 10 lewat sedikit saya sudah tiba di Tulungagung. Acara akan dilangsungkan bakda Jumat.

Menjelang shalat Jumat, saya numpang mandi di rumah tuan rumah. Begitu hendak akan mengenakan baju ganti itu, ternyata saya salah bawa pakaian. Yang saya bawa dalam tas selempang itu ternyata pakaiain istri saya yang motif dan bentuknya nyaris sama. Kala itu pula, sontak bertambahlah rasa enggan saya untuk memiliki “seragam bapak-ibu” seperti ini. Apa boleh buat, akhirnya saya tetap memakai baju yang telah saya pakai 12 jam yang lalu dan sudah menempuh perjalanan 300-an kilometer. 

23 November 2012

Iman dan Tanda Tangan


“Tanda tangan dua kali lagi, Pak, di sini dan di sini!”
Petugas bank itu menunjuk bagian yang mestinya saya tanda tangani. Saya pun lalu melakukan perintahnya. Setelah selesai, petugas melihat tanda tangan tersebut dengan cermat. Dahinya berkerut. Alisnya bertaut.

Dia menatap saya sambil berkata, “Kok tanda tangan Bapak beda satu sama lain?”
Saya tersenyum dan menjawab enteng, “Iman seseorang saja berubah-ubah, Mas, apa lagi cuma tanda tangan.”

Petugas itu tersenyum. Mungkin karena sudah terbiasa nasabah dengan berbagai gaya dan watak, dia tenang saja menjawab.
“Ya, tidak bisa begitu, Pak. Kalau urusan tanda tangan di bank, harus sama, Pak! Mari, Bapak tanda tangan sekali lagi.”

* * *

Saya ingat akan perkataan itu, perkataan yang sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Saya masih ingat hingga sekarang. Apa pasal? Saya merasa bersalah karena telah sembarangan berkata-kata. Dalam istilah anak muda di Madura, itu yang diebut “kormeddal”, yakni “asbun” atau asal bunyi. Ya, memang benar apa yang saya katakan, tapi tentu tidak tepat diucapkan di hadapan petugas bank itu, pada waktu itu.

Benar dalam ucapan belum tentu tepat saat disampaikan. Waktu dan situasi tetap harus menjadi bagian yang harus dipertimbangkan. Saya rasakan sekarang. Terlalu percaya diri, bagi orang lain, terkadang sungguh menyebalkan.