30 April 2015

Pelajaran Bahasa Kiasan: "Makan"

Di hari-hari tertentu, pelajaran pertama di madrasah ibtidaiyah kami adalah mandi. Berhitung atau membaca berlangsung setelah itu. Ini mungkin disebabkan  oleh karena Pak Mahmudi melihat banyak siswa yang masuk kelas dalam keadaan berkeringat dan kecut. Penyebabnya, mereka bermain lebih dulu atau karena berjalan kaki amat jauh dari rumah mereka sehingga muka dan punggungnya basah oleh peluh.

Pak Mahmudi merupakan seorang guru di madrasah kami, masyhur karena banyak “makan garam” dalam hal mengajar. Sebab ketelatenan dan kesabarannya, beliau ditugaskan untuk menghadapi anak-anak kecil seperti kami yang biasanya sulit sekali diatur. Dalam upacara mandi pagi, Pak Mahmudi menggiring kami ke sumber dengan sebilah tongkat. Tidak dipukulkan, sih, hanya untuk pengendalian saja, semacam ‘remote control’-lah. Ya, di Sumber Daleman itu kami semua “mandi kerbau”, tanpa sabun dan tanpa tuala.

Kami adalah murid di kelas 2 madrasah ibtidaiyah. Entah mengapa di hari itu tak ada jadwal mandi ke Sumber Daleman. Kakak sepupu dua kali (dupopo) saya, mengajukan usul.
“Mari pulang saja ke rumah Embah. Saya lihat tadi Embah goreng otak dan hati. Kita makan, yuk!”
“Kapan, Kak?”
“Sekarang!”
“Beh, ini Pak Mahmudi masih menulis di papan tulis, bagaimana mungkin kita pergi dari dalam kelas?”
“Empeyan buka pintu, saya yang akan bawa sandal, terus kita lari…”

Saat Pak Mahmudi masih menulis di papan tulis dengan kapur, kakak saya berbisik, “Ayo, satu, dua, tigaaa…!!!”
Kami pun berhambur ke luar ruangan. Saya buka pintu dengan sigap, kakak ambil sandal, kami lari tunggang-langgang.

DI RUMAH MBAH MU’ADZAH

“Beh, ma’ ta’ asakolah, Cong?” (Kok nggak sekolah, Cung?)
“Libur, Mba.” (Libur, Mbah)
“Mun libur, arapa ma’ tager ngangsor?” (Kalau libur, kenapa kok sampe ngos-ngosan?)

Kami berdua kehilangan gaya, sama sekali tak menyangka ulah kami akan diketahui. Beruntung, kakak saya segera improvisasi untuk mengalihkan interogasi.
“Mba, ngakana angguy juko’ ateh…” (Mbah, [kami] mau makan pakai hati)

Di rumah Mbah, pagi itu, kami berdua “makan besar”. Kami senang sekali karena jarang-jaranglah kami makan dengan menu seperti ini. Di sana, di dalam kelas, Pak Mahmudi mungkin sedang “makan bawang”, sedih dan kesal melihat kelakuan dua muridnya yang baru saja “makan hati”.

* * *
Kami minta maaf, Pak. Kalau saja kelakukan anak dan murid kami ada yang mirip atau bahkan lebih dari itu di saat ini atau di masa yang akan datang, kami sadar itu merupakan ongkos bolos yang harus kami bayar. Jika tidak ada, maka itu semoga menjadi pertanda belas kasih-Nya bagi kami dan juga bagi Bapak yang telah membuat Bapak berhati mulia: memafkan kami bahkan sebelum kami melakukannya.