17 Maret 2019

Terima Kasih, Bengkel



Kita sering melupakan jasa. Ketika kita nambal ban sepeda motor/mobil, kita membayar sesuai yang diminta, dan merasa itu sudah impas. Kita tahu, begitulah harga sesuai ongkos, padahal di sana ada nilai jasa yang sebetulnya sangat besar, tak terhitung, lebih-lebih ia merupakan suatu perkara yang tidak dapat kita lakukan sendiri. Contohnya adalah nambal ban. Ini beda dengan—misalnya—mengelap kaca atau mencuci mobil. Kita minta tolong orang mencuci dan membayarnya meskipun kita sebetulnya bisa melakukannya sendiri.

Adakalanya, saya datang ke bengkel ketika mesin mobil tidak sedang rusak. Semua itu saya lakukan agar tidak datang hanya ketika punya masalah, macam orang pergi ke Pegadaian saja! Datanglah ke bengkel ketika mobil atau motor kamu tidak sedang rusak. Datanglah dalam keadaan bahagia dan sapa dia.

Saya punya beberapa cerita terkait ini. Berikut di antaranya.

Pernah  di suatu malam, saya pulang dari kediaman K. Ali Wafa. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Ketika sedang asyik-asyiknya bermanuver di atas jalan beraspal penuh kubangan dengan sepeda motor 100 cc Astrea Prima, tiba-tiba ada sesuatu yang aneh, berasa ganjil. Tapak motor tidak stabil.

Benar, ban belakang mengalami bocor halus dan sekarang sudah mulai kempes. Sisa angin di dalam ban nyaris habis. Saya tuntun sepeda motor agak jauh. Untung, di depan sana ada warung kopi yang sekaligus buka jasa tambel ban. Saya memberanikan diri menguluk salam, meskipun kurang elok rasanya karena hari sudah larut malam.

Seorang lelaki keluar. Dia sudah jelas tahu, tamu tengah malam begini tidak sedang darurat ngopi, tapi pasti darurat nambal ban.

“Saya mau ngisi angin, Pak. Ban bocor halus. Isi saja 50 bar biar meskipun bocor masih bisa tahan sampai ke rumah,” kata saya.
“Tanpa babibu, dia mengeluarkan selang kompresor dan bekerjalah dia dengan cekatan. “Sudah”
“Berapa?”
“Bawa saja, tidak perlu!”

Yang pertama terlintas di benak saya tentu saja saya senang: ban sudah isi angin dan tidak perlu membayar. Sebetulnya, andai ongkos dibayarkan mungkin hanya 2000, tapi yang paling penting bukan karena si bengkel menyedekahkan 2000 itu kepada saya, orang yang tidak ia kenal. Yang lebih di atas itu adalah karena dia telah meluangkan waktu untuk membantu orang yang sedang susah di tengah malam.

Tapi, saya juga pernah mengalami hal yang berkebalikan. Pernah suatu saat, ketika saya sedang mengemudikan  sedan Mazda tua milik kakek. Mobil mogok mendadak, persis depan sebuah bengkel. Kala itu sudah sore, tepatnya hari Kamis sore. Saya harap, saya bisa sampai di rumah sebelum maghrib. Malam jumat mestinya “munajat”, tapi ini malah “mumogok”.

“Pak, minta tolong mobil saya ini, mogok.”
Si istri yang keluar, bapak tetap di dalam. “Maaf, Pak. Kalau malam jumat kami tidak buka.”

Betapa sedih kalau ingat waktu itu, bahkan saya sampai lupa seperti apa nasib saya sesudahnya. Mau marah tapi untuk apa, mau merutuk tapi apa gunanya. Yang bisa saya renungkan adalah betapa mahalnya jasa seorang bengkel di saat seperti itu. Alangkah mulia pekerjaan mereka. Dalam kasus di atas, yang terakhir, alangkah berat menimbang makna dan pahala ketika seseorang dihadapkan pada persoalan “ibadah horisontal” (menolong sesama manusia) di hadapan urusan “ibadah vertikal” (bermunajat kepada Tuhan).

Tiba-tiba saya ingat Pak Sander, seorang tukang tambal ban (semoga tenang arwahnya di alam sana). Beliau sering dibangunkan tengah malam oleh orang yang sedang mengalami pecah ban. Beliau pun bangun dengan muka tenang, tak bersungut, apalagi sambil merengut.
“Bapak itu, sebelum menambal ban, biasanya memasakkan kopi dulu buat si tamu supaya mereka tidak bosan saat menunggu,” tutur anaknya kepada saya, suatu hari.
“Tapi, kadang balasan orang tidak sama. Beberapa kali ada orang yang pura-pura lupa tidak bawa duit dan dia tidak pernah membayarnya, bahkan hingga ayah meninggal dunia. Tapi, ayah saya biasa saja, tidak pernah mengungkit dan mempermasalahkan yang begitu itu.” Imbuhnya.

***
Begitulah manusia dan kemanusiaan. Manusia itu, ya, manusia. Akan tetapi, tidak setiap manusia punya himmah kemanusiaan yang sama. Ada yang asyik sendiri, ada yang asyik dengan Tuhannya. Ada pula yang asyik dengan tuhannya lewat munajat, tapi juga selalu asyik dengan sesama manusianya dalam membantu.

Anda jenis yang mana?

13 Maret 2019

Jurnalisme Begini


Kemarin, saya nemu postingan “Jurnalisme Begini” di Facebook. Sontak saya tertawa, ingat betapa banyak berita sejenis di dunia maya. Ternyata benar, berita seperti itu sebetulnya sudah sering saya lihat, saya temukan, tapi nyaris tidak pernah saya baca. Mungkin pernah juga baca laporan atau berita yang begitu, tentu saja kalau ada waktu yang sangat senggang dan kurang kerjaan saja.

Yang dimaksud Jurnalisme Begini adalah selalu adanya unsur kata “begini” (atau sejenisnya) di dalam setiap judulnya. Untuk apa? Entah, mungkin untuk merangsang rasa penasaran dari pembaca. Adakalanya, rasa penasaran itu diciptakan dengan cara ‘tipuan’ kecil yang lain, semisal penomoran atau pemeringkatan disusul penonjolan satu butir peringkat tertentu, seperti “Tujuah Alasan Orang Berkunjung ke Madura, Nomor 3 Bikin Tidak Percaya!”. Masa ada judul berita seperti ini? Ternyata memang ada, dan ternyata banyak pembacanya.

Berita itu dituturkan secara jelas. Berita itu dijelaskan dengan jelentreh. Judul tidak boleh mengandung kata bersayap. Bahasanya tidak boleh metaforis, kecuali dengan tanda khusus, seperti penggunaan tanda petik. Setahu saya, begitulah aturan-aturan dasarnya. Entah mengapa akhir-akhir ini kode etik sepertinya berubah.  

Latar belakang munculnya “Jurnalisme Begini” kiranya  adanya anggapan pembaca kita, pembaca sekarang, dianggap seringkali punya rasa penasaran yang tinggi (kepo) terhadap berita-berita baru yang langsung menyebar cepat seperti virus (viral). Kalau tidak penasaran, maka jurnalisme macam itulah yang akan merangsangnya dengan judul semacam itu.  Nah, agar pembaca penasaran, maka dipasanglah “begini” di judul, tapi umumnya tidak segera dijelaskan dalam paragraf-paragraf awal. 

Contoh judul:
"Prabowo Menolak Duet Dengan Nissa Sabyan. Jokowi Bilang Begini"
"Seorang Blogger Bikin Berita Jurnalisme Begini. Ini Komentar Netizen
"Jomblo Semangkin Meningkat di Tahun Politik. Begini Tanggapan Syaharini."

 ***

Sebetulnya, YouTube pun sama saja, hanya gayanya berbeda. Di YouTube, orang lebih suka gaya  “yang paling”, “yang ter” dan model “pemeringkatan”. Contoh: Sepuluh Masakan Terlezat di Dunia", padahal, ya, enggak juga, makanannya yang itu-itu juga. Harapan pemberitaan model ini adalah naiknya jumlah penonton dan pengikut (subscriber) karena ia akan berhubungan dengan iklan dan/atau monetasi.

Ada-ada saja orang cari kelakuan, eh, cari pekerjaan!