29 Juli 2019

Menjamu Tamu



 Suatu hari, saya kedatangan tamu. Dia bersama pembimbing disertasinya, seorang guru besar. Saya menemuinya di badunan. Badunan adalah sebutan untuk ruangan yang biasanya terletak di sisi kanan sebuah mushalla.

Biasanya, saya jarang menyuguhi makan untuk tamu, tidak seperti kebiasaan orang Madura yang nyaris mewajibkannya. Tamu-tamu saya itu jarang-jarang yang datang. Rata-rata, mereka datang dengan waktu yang singkat. Ada juga, sih, yang sering datang dan lama, bahkan tetap duduk meskipun tuan rumahnya (saya) tidak ada di rumah. Tapi, kali ini, saya niat menyuguhi mereka makan siang karena di samping mereka datang dari tempat yang sangat jauh (Nijmigen, Belanda), juga karena bahan-bahan yang mau dihidangkan kebetulan ada.

Begitu saya buka pintu kamar depan, tampaklah sice dan hidangan yang sudah disajikan, tapi—astaga—dalam keadaan berantakan. Saya kaget bukan alang-kepalang mengingat baru semenit yang lalu hidangan di meja itu selesai ditata.
 
Mau dipersilakan, kok, ya, hidangannya berantakan, mau disuruh duduk kembali, saya sudah terlanjur buka pintu dan hidangan sudah terlihat oleh para tamu. Terlambat! Saya persilakan saja. Masalahnya, saya tidak menemukan tanda-tanda adanya kambing hitam di situ, sejenis kucing atau ayam yang masuk ke rumah. Ternyata, ada anak saya yang paling kecil, yang usianya baru dua tahun lebih sedikit, berada tak jauh di sana, di balik pintu, memegang sendok di tangan kanannya. Oh, rupanya, semua ini merupakan ‘hasil karya’-nya

Mari, Mas, silakan, sudah begini adanya. Forgive me, Sir. Maybe an earthquake causes this, kata saya ngawur.
“Oh, ya, tidak apa-apa, jawab salah satu dari mereka.”
Pak profesor hanya tersenyum.
“Anggap saja ini seni instalasi,” kata saya berhujah, sekenanya saja.


***

Dulu, semasa ayah saya masih ada, saya pernah menjerang air daun mimba (intaran) dalam jumlah banyak sekali. Rebusan daun ini—di tempat kami—dikenal sebagai obat banyak-anti: anti nyamuk, anti-gatal-gatal, dll.  Tapi, meskipun begitu, mengkonsumsinya tidak boleh terlalu banyak karena kurang baik untuk liver.

Lalu, tanpa sengaja dan mungkin karena tertipu warnanya yang sangat mirip teh, jamu itu disuguhkan ayah saya untuk tamunya. Saya telah melakukan kesalahan: meletakkan jamu di teko teh. Kejadian ini baru saya ketahui beberapa waktu kemudian karena si tamu curhat kepada paman saya perihal kejadian ini.

***

Ada kata yang mirip dan kadang beda jauh artinya, seperti “jamu” dan “jemu” dan “menjamu”. Dalam english, ada hospital dan hospitality yang mirip (rumah sakit; keramahan). Orang kadang salah tulis hanya karena mereka mendengar, seperti kesalahan menulis “sekedar” dan bukan “sekadar”; “tolak ukur” padahal mestinya “tolok ukur”, dll. Kita memang harus cermat dalam berbagai hal.

Terkait jamu, dari sini kita tahu, bahwa “jamu” memiliki lebih satu arti, tapi masih ada keterhubungan satu sama lain. Sekurang-kurangnya, artinya ada dua: pertama, sebagai obat yang berasal dari akar dan daun-daunan; kedua, tamu atau para tamu. Menjamu berarti menerima dan menyuguhkan hidangan untuk tamu. Menjamu baru bisa memiliki dua makna sekaligus jika si tamu disuguhi cemilan dan/atau nasi sekaligus disuguhi jamu, tapi tentu saja dikasih tahu lebih dulu bahwa yang ada gelas isinya rebusan air mimba, sehingga si tamu tidak tertipu kamuflase teh, padahal berisi jamu yang rasa pahitnya bikin jemu.

#bahasa