11 Februari 2020

Orientasi Kebendaan




Pernah di suatu saat ada orang yang bertanya, mengapa saya sering mendapatkan buku secara gratis meskipun saya jarang membaca buku dan jarang pula mengulasnya. Saya bilang kepadanya, "Saya tidak tahu, mungkin karena saya jarang baca buku itulah sehingga dia kasihan kepada saya, ingin saya rajin membaca dengan cara diberi buku. Tapi, kalau kamu tidak puas dengan jawaban saya, ada baiknya kamu saja yang tanya sama orang yang ngasih buku itu, mengapa dia ngasih buku ke saya dan bukan ke kamu."

Rupanya, dia benar-benar tidak puas dan kembali bertanya.
"Tapi, kayaknya kamu juga sering dapat gratisan kopi. Itu gimana caranya bisa begitu?"
"Oh, kalau yang itu, saya tahu jawabannya," balas saya. "Karena yang ngasih kopi ke saya itu sudah pada tahu bahwa kopi yang dia kasihkan akan saya minum atau saya sedekahkan, bukan difoto lalu dikopi dan jadilah buku-buku bajakan."

"Kalau kamera itu?" Kayaknya dia masih penasan, nambah pertanyaan, "Sepertinya kamu juga dapat gratisan kamera dari teman kamu!"
"Oh, kalau itu saya tukar-tukaran."
"Ditukar dengan apa?"
"Ditukar dengan doa."
"Enak banget, cuma gitu saja?"
"Enak banget kamu bilang 'enak banget'. Sebegitu murahkah doa itu menurutmu?”

ORIENTASI kebendaan kita membuat semuanya, apa pun, cenderung dibandingkan dengan uang dan benda-benda. Buku gratis, kopi gratis, kamera gratis, dan apa-apa yang kita dapatkan secara cuma-cuma itu seolah gratis tanpa melihat mengapa ia datang secara cuma-cuma kepada kita dan bukan kepada orang lain. Demikian pula sebaliknya, kadang kita lupa dan dengki, mengapa kesehatan dan kesempatan didapatkan oleh orang lain dan bukan kita. Semua ini bersumber dari orientasi kebendaan. Kita terlalu biasa menimbang apa pun dengan uang dan benda. Kita lantas lupa bahwa terima kasih dan rasa syukur adalah alat bayar yang berlaku untuk semua negara, semua bangsa, dan berlaku sepanjang masa.