14 Agustus 2020

Oleh-Oleh Abnormal

Siang tadi, ada Mbah Kiai Jauhari, dari Jember. Beliau diantar oleh beberapa orang santri. Saat itu, saya sedang berada di badunan, ruang tamu atau kamar samping langgar.

 “Saya mbah!” kata saya dari belakang ketika saya menjumpainya berada di depan pintu rumah, memanggil salam.

“Anu, saya bawa ini.”
“Waduh, terima kasih. Mari silakan duduk.”

“Sudah, terima kasih. Saya buru-buru.”


Saya mengeluarkan segala jurus penghormatan agar Mbah Kiai mau duduk walau sebentar, tapi beliaunya masih seperti biasa: hanya berdiri, meletakkan oleh-oleh, lalu pamit pergi. Maka, saya pun aya mengantarkan beliau hingga ke pintu pagar, lalu balik badan setelah mobilnya bergerak pergi, menjauh, ke arah timur.

Kiai Jauhari ini tergolong sepuh, baik secara nasab maupun secara usia. Saya manggil mbah kepada putranya, dan ibu saya manggil embah kepada beliau. Kakek saya manggil paman kepadanya. Dua orang pengasuh tersisa di Pondok Pesantren Annuqayah sama-sama memanggil paman kepada beliau. Sisanya memanggil embah dan juju’.

Saya tahu nama beliau sejak kecil, tapi baru sempat bersalaman dan ngobrol setelah ayah dan kakek-nenek saya sudah tiada. Pasalnya, beliau tetap melalukan kunjungan rutin ke Guluk-Guluk, termasuk ke rumah besar kami, sekurang-kurangnya setahun sekali. Sementara kami yang muda-muda ini, yang energik dan ganas kalau bicara, yang sehat-sehat selera makan dan syahwatnya, laga tandangnya hanya berkala, alias kala ada hajatan atau kala ada takziyah, bahkan mungkin ada yang tidak sama sekali.  Malu saya. 

Oya, ini yang penting. Dari dulu, oleh-oleh beliau itu unik, baik kepada kakek saya maupun kepada sepupu-sepupu kakek-nenek. Kita sebut saja “oleh-oleh abnormal”. Oleh-olehnya, yang saya tahu, ada yang  berupa tape recorder Telesonic, pernah pula berwujud amplifier lengkap dengan dua kotak speaker 10 inci-an. Makin ke sini, oleh-olehnya makin abnormal saja. Oleh-oleh mutakhirnya adalah mobil. Sudah ada sekitar entah 8 entah 9 mobil yang dibagi-bagikan kepada kami. Mobil-mobil itu umumnya digunakan untuk kendaraan operasioanal, seperti L300, Carry, Espass, dan ada juga Hijet, serta sedan, entah apa lagi, sampai lupa saya.

Bukan cuman oleh-olehnya, cara membawa oleh-olehnya pun tergolong antik. Biasanya, beliau bawa rombongan. Beliau sendiri naik sedan Holden kawak dari Pace, Jember (sekitar 370-an kilometer dari sini). Pengiringnya bawa L300 dan satu mobil yang akan ditinggal. Mobil yang akan ditinggal berisi buah tangan alias oleh oleh-oleh.  Jadi, beliau bawa sejenis sayuran, beras, kopi, dll, diletakkan di dalam mobil yang akan ditinggal bersama STNK dan BPKB-nya.

Setelah beliau pergi, saya tidak mengajukan pertanyan sejenis “mengapa beliau tidak bawa oleh-oleh abnormal untuk saya?” di dalam hati. Saya berpantang untuk itu. Soalnya, saya merasa sudah sangat sering dibawain oleh-oleh abnormal oleh kawan-kawan saya, mulai dari kamera , dempul mobil, kanopi pintu, kayu bakar, hingga “anu”. Makanya, saat Kiai Jauhari ke mari, oleh-oleh yang dibawanya adalah yang normal-normal.

Tapi, sempat juga, sih, saya mikir: Apakah beliau tidak bawa “oleh-oleh abnormal” karena saya-nya yang abnormal sehingga harus dibawain sekarung kopi agar kembali normal? Saya tidak paham, juga tidak berusaha untuk paham.  Anta afham. Allahu a’lam.

02 Agustus 2020

Siapa Mirip Siapa: Beban Kemiripan

Rummiyati dibilang mirip Syahrini saat berdandan; Savic Ali kayak Bill Gates waktu muda; Sohibuddin seperti Stephen Hawking di waktu kecil; Gus Wahid bak Jacky Chan dalam kostum lokal, dan saya (dulu, pernah dibilang, katanya, sih) bagaikan Fedi Nuril kalau tidak berpeci.

Mengapa orang memirip-miripkan yang lain? Karena nyatanya, manusia itu memang makhluk iseng yang secara naluriah mempunyai obsesi pada kesamaan, kemiripan, keserupaan, bahkan hingga pada taraf kesurupan. Sebaliknya, seniman selalu ingin lepas dari binari, ingin menjauh, ingin menemukan orisinalitas, otentisitas, keaslian, dengan berbagai caranya, mulai dari sama sekali berbeda hingga ke level terendah: tambal-sulam sedikit agar tampak beda.


Nuruddin Asyhadie menyatakan, bahwa orisinalitas, yang merupakan syarat otentisitas, hanyalah omong kosong “spesialisi diri” seniman-seniman Romantik Abad Pencerahan untuk menghapus jerat-jerat patronase dan bereksperimentasi dengan diri mereka sendiri, jenius yang karyanya mengekspresikan sensibilitas superior mereka. Gagasan pengekspresian dan pengembangan diri (bagi kita) sampai kini sungguh-sungguh tampak sebagai sesuatu yang baik, sehingga kita dapat melihat kekuatan citra ini masih tersisa.

Walhasil? Tanya saya.

Kita masih terkejut mendengar seniman-seniman pra-Romantik, seperti Michelangelo atau Rembrandt, yang secara rutin memanfaatkan murid-murid dan pembantunya untuk menyelesaikan karya mereka, atau Picasso yang menyerahkan potongan-potongan lukisannya pada berbagai murid-muridnya: “Di sini kau kasih warna merah, beri sedikit warna abu-abu, Kau juga dapat mengambar sedikit garis lengkung di bawah sini.” Kita masih merasa tertipu terhadap curahan otentik seniman jenius tersebut sebab kita sangat terikat pada gagasan romantik mengenai seniman.

Masih menurut Cak Udin, saat mengulas cerpen “Maaf, Sepertinya Saya Mengenal Anda”, kisah terakhir dalam kumpulan cerpen Donny Anggoro, donny anggoro […] dan Cerita-Cerita Lainnya (2004), malah dapat dikunya sebagai narasi Kafkan, perjuangan sebuah individu dalam melepaskan diri dari uniformitas, atau dongeng “there is nothing new under the sun,” tempat apa pun yang kita (per)buat tak pernah menjadi sesuatu yang tertutup dan berdiri sendiri, selalu tereferensi dan mereferensi pada eksterioritas, yang kemudian bersama dirinya menyusun biografinya sendiri serta biografi-biografi lainnya, baik yang telah lalu, maupun yang akan datang.

Singkat kata, begini: tak ada yang benar-benar baru di muka bumi ini. Scorpion, band rock dari Jerman, menulis lagu “cause we are live under the same sun”, tapi ini dalam rangka semangant kemanusian. Sebelumnya, Kahlil Gibran, menulis prosa lirik berjudul “Tahta asy-Syams” namun dengan semangat eksistensialisme. Dan kiranya, baik Scorpion maupun Gibran, sama-sama merujuk pada Perjanjian Lama, pada Eccleciastes, yang salah satu kutipannya berbunyi “Apa yang pernah ada, akan ada lagi; apa yang pernah dibuat, akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari”.

Akan tetapi, masalahnya bukan itu. Yang sedang kita persoalkan sekarang adalah; apakah menyerupakan dan memiripkan serta orisinalitas itu melawan naluri dan nurani kita sebagai manusia yang lahir berbeda, yang ingin menemukan jati diri, namun pada saat yang lain gemar dimirip-miripkan dengan yang lainnya, suka jika disamakan dengan sesuatu atau keadaan yang dianggap lebih baik darinya?

Dalam konsep mimesis, kita belajar meniru membuat sesuatu agar semirip mungkin dengan acuan. Dalam asosiasi, kita membandingkan dengan perangkat “seperti”. Selanjutnya, pada metafora, kita memiripkan sekaligus menolak kemiripan yang berkutat pada ketegangan (tension). Anu seperti anu; anu adalah anu (meskipun sesungguhnya anu itu bukanlah anu). Walhasil, semakin tegang penyerupaan, semakin bersyahwat keserupaannya, bahkan bisa menyebabkan kesurupan.


Akan tetapi, jika aksi ini dibawa ke luar bahasa, anggaplah kita lihat dari sudut pandang antropologi, maka pekerjaan memirip-miripkan sesuatu itu sebetulnya adalah pekerjaan iseng dan seringkali memberikan beban stigmatif, baik beban menyenangkan atau memberatkan. Misalnya, ketika saya, dulu, dimirip-miripkan dengan Fedi Nuril. Saya mungkin senang, tapi Fedi tidak, bahkan merasa terbebani oleh aksi penyerupaan semacam ini. Dalam kasus ini, tercipta spektrum superior dan inferior.

Hal ini juga sama dengan ungkapan semisal “wow, sudah kayak di Eropa saja” untuk suatu pemandangan di sebuah kota di Indonesia. Betapa membebaninya ungkapan itu jika Eropa diasumsikan mayor dan kota Indonesia, atau kita, sebagai minornya. Maka, beban cenderung bertumpu pada kita, sehingga berupaya agar terus mirip dengan Eropa. Kita menjadi inferior oleh ungkapan yang diciptakan oleh kita sendiri.

Penyerupaan fisikal atau kebendaan semacam ini memiliki implikasi  tak langsung yang bebannya diukur berdasarkan “teror psikologis” jika ia disematkan kepada orang, atau juga “stigma peyoratif” dan ‘inferioritas’ jika ia disematkan kepada produk atau budaya. Bedanya, “teror psikologis” akan membebani kedua belah pihak (yang dimiripkan dan acuan kemirpan) sedangkan pandangan stigmatif atau stereotipikal akan membebani definisi ansich atau asumsi belaka, namun bukan mustahil lambat laun akan menciptakan kerangka pandangan yang lebih banyak “merendahkan” daripada “mengunggulkan”.

Oleh karena itu, pada dasarnya, orang tidak suka dimirip-miripkan, sebagaimana mungkin Syahrini tidak suka dimirip-miripkan dengan Rummiyati, si penjual rujak asal Saronggi itu, dan bukan mustahil pula begitulah yang berlaku sebaliknya. Dimirip-miripkan itu tidak menyenangkan, kecuali untuk perkecualian saja. Apa saja yang diperkecualikan? Sekarang, giliran Anda yang mikir!