28 April 2022

Wabah dan Egoisme Manusia

 

Wabah telah berlangsung satu tahun lebih dan kita tidak tahu kapan akan berakhir. Kita memaksa diri untuk percaya bahwa wabah pasti berakhir, atau yakin di dalam doa saja: setidaknya wabah yang mendunia ini menjadi lebih sempit persebarannya, dari pandemi ke epidemi.


Dalam pada itu, sebagian orang iseng membuat perbandingan angka kematian dan ketidakseberapaan wabah ini, misalnya membandingkannya dengan angka kecelakaan lalu lintas atau korban demam berdarah, atau perbandingan apa pun yang tidak setimbang, tidak apple to apple, cuman mirip-mirip saja (sejenis Apple-to-Huawei). Pembandingan ini—seperti pernyataan bahwa korban jatuh dan sepeda motor dan mati masih lebih banyak daripada korban covid dan mati—sebetulnya tidaklah penting bagi data petugas kesehatan, tapi ia penting bagi masyarakat umum sebagai hiburan, untuk menenangkan. Terkadang, agar tidak benar-benar menakutkan dan kita tidak ketakutan, dalam pada itu, sebagian dari kita asyik membuat perbadingan wabah yang tak kalah ganasnya, seperti black death di Eropa. Tujuannya bukan kepentingan ilmuah, tapi agar kita lebih tenang menajali hidup.


Akan tetapi, yang saya renungkan adalah pengungulan vaksin di satu sisi dan perendahan ramuan di sisi lain. Seoalah empon-empon jadi bahan ledekan dan vaksin adalah suatu yang wajib, pasti, dan berhasil, padahal kenyataan yang terjadi adalah; vaksin hanya menolak infeksi, tapi tidak benar-benar bisa memberikan jaminan keselamatan. Bukti bahwa masyarakat yang meninggal setelah vaksin juga sudah banyak, meskipun itu perkecualian karena hari demi hari, perkembangan ketahanan manusia secara umumterus kelihatan membaik, dari vaksin dua kali ke booster, begitu seterusnya. Bagaimanapun, sains harus dikelola agar jangan sampai kehabisan marwahnya karena sesuatu yang tampaknya sangat ‘kecil’ ini.


Ada baiknya kita bertanya: mengapa orang-orang sibuk merendahkan empon-empon dan semua ramuan alternatif yang dianggap ketinggalan sebagai pelindung dan pertahanan tubuh, padahal ramuan sejenis itu, termasuk teknik akupressur-nya, konon telah dikenal 8000 tahun yang lalu, dan ia dideso-desokan oleh teknologi kedokteran yang berkembang baru 50 tahun terakhir? Mengapa kita tidak bekerja sama, saling percaya, saling menghargai, melawan satu wabah dan virus sebagai musuh bersama?

.

Dasar egois! Nih, saya buatkan puisinya.


YANG MAHA-ENTAH


Dengan shalat kita mendekat

pada Yang Mahabesar

yang karena terlampau dekat

sampai-sampai tak terlihat


Lalu, kita menjauh setelah dapat

karena yang dibutuhkan

hanya puas di dalam jasad

sekadar tahu membaca abjad


Dengan ilmu dan teknologi

dibuatlah percepatan dan pemampatan

merancang dan melampaui imajinasi

yang tak terbayangkan pernah terjadi


Lalu, datanglah wabah dan jerah

sampai-sampai kita harus meringkuk

takut pada yang mahakecil dan mahaentah

ngumpet seperti curut, di pojok rumah


Hai Manu, cuma gitu aja?

Betapa recehnya!


09/04/2020 (M. Faizi)