18 Mei 2009

Hubungan Sandal dengan Puisi



Suatu pagi, tetangga saya, dengan membawa main keponakannya, bertandang ke rumah. Siang harinya, dia menelepon, menyampaikan berita kalau si keponakan menangis karena sandalnya ketinggalan. Dia bilang, “Nanti ashar saya ambil, ya!”


Saya jawab, “Silakan, tetapi saya tidak di rumah. Biar saya letakkan sandal itu di depan pintu dan kamu tinggal mengambilnya..”


Agar tidak tertukar, saya sandingkan sandal-si-keponakan-kawan itu bersama sandal kemaharajaan-ku karena khawatir akan tertukar lagi dengan sandal anakku.


Kesimpulan: cara singkat membuat definisi (untuk memperkenalkan sesuatu kepada orang lain) sebetulnya cukup dengan mengenali/memperkenalkan ciri-cirinya, atau sesuatu yang dekat dengannya. Dakwah, demikian atau iklan, saya kira cukuplah dengan memberi ciri, biarlah orang lain membuat pengertian sendiri berdasarkan persepsinya.Ciri-ciri mobil, misalyna, antara lain: beroda empat , berbahan bakar, berkemudi, berkabin, dll.




Namun, sandal yang sebelah kanan di atas mirip puisi. “Sandal ban” biasanya berbahan ban bekas. Dan itu, itu tu…, bukanlah sandal yang berbahan ban bekas. Ia terbikin dari ban anyar Bidgestone Turanza 16” ukuran 60 X 205 yang langsung dibeli dan dipotong-potong untuk dibuat sandal. Tujuannya: mengurangi selip di jalan rumah saya yang licin-padas menjadi satu.


Nah, mengapa kita sulit memahami puisi? Ya, karena puisi menyimpan definisi dan ciri yang tidak terduga, dan karena yang majazi cenderung dibaca dengan hakiki, yang metaforis selalu diterima secara literal; sekurang-kurangnya, seperti sandal itu.


Karena itu, yooook berhenti berburuk sangka atau shu’out dhown (gak baik bagi otak dan bisa mematikan komputer!) Siapa tahu yang ada di hadapan Anda itu puisi pada saat Anda membacanya dengan pandangan hakiki.


(nyambung gak nyambung yang penting menjadi satu, itulah Indonesia)


15 komentar:

  1. bentuk sandalnya lucu deh... kalo gitu ga bakalan tertukar donk

    BalasHapus
  2. Bhuh, ma' pas ngetter bin gideren Kaule, Ra? Ongghuwen nika... Cakang "aghelicek" sampyan...

    BalasHapus
  3. Mughe manfaat dan barokah...

    BalasHapus
  4. ...tamsil yang membukakan.
    aku suka ini...

    BalasHapus
  5. Ya dengan ini, benarlah perkataan saya dulu: sebuah brigitston (tolong merk ban ini dibaca sekali lagi dengan pelaaan pelan sekali dan renyah. ayo...)

    BalasHapus
  6. hehehhehhe, hebuat nih mas artikelnya...
    "melongo"

    BalasHapus
  7. Bhuh, ma' pas ngetter bin gideren Kaule, Ra? Ongghuwen nika... Cakang "aghelicek" sampyan.

    oiya maksudnya bro partelon apa ya mas, bahasa madura ya...aku nggak ngerti...bisa tolong di terjemahin nggak...?

    BalasHapus
  8. @ Buwel:
    Terjemah bebas dari *Bhuh, ma' pas ngetter bin gideren Kaule, Ra? Ongghuwen nika... Cakang "aghelicek" sampyan* Wah,saya kok jadi bergetar kena gelitikanmu.." Gitu mas...

    BalasHapus
  9. kalau tidak tersungging pasti tersinggung membaca "puisi_sandal"nya M. Puisi, eh M. Faizi ini.
    bukan puisi kalau tidak rancak, bukan faizi kalo tidak kocak.
    mengenalnya aku sakit perut. hehe
    harena sering ketawa sendiri. sukses.....
    ku tunggu antologi-kocaknya kak.

    BalasHapus
  10. oooh gitu yak, makasih yak mas.......
    saya setuju dengan bro partelon meski getarannya mungkin kalah...heheheheheh

    BalasHapus
  11. hiks...saya jadi ingat jaman kuliah dulu...sepanjang hampir lima tahun saya make sandal ban made in "pasar laju" sumenep (entah terbuat dari 'brigitstun' atau 'ngeselin' seharga 1500 sampe terakhir naik jadi 3000 rupiah.
    sandal itu saya pake bukan cuma di kos2an, tapi juga ke kampus (makanya, sepatu saya masih kinclong sampai saya di wis-sudahkan)

    BalasHapus
  12. SEPAKAT...Mari Pahami PUISI...seperti makan nasi....

    Hamiddin

    BalasHapus
  13. Terima kasih semua....
    puisi tetap ditulis

    BalasHapus

Silakan berkomentar sesuai kegundulan