05 Desember 2011

Waktu Indonesia bagian Lenteng


Penentuan waktu kencan atan mengikat janji di daerah saya (Sumenep, Madura) yang saya tahu bersifat fleksibel. Salah satu buktinya adalah dengan adanya penanda waktu yang tidak dijelaskan dengan angka, melainkan dengan suasana, antara lain:

“Rang-terrang tana” (waktu matahari belum terbit tetapi sudah sangat terang); “Manjing dluha” (saat matahari setinggi tombak atau sekitar 15 menit setelah terbit matahari); “Ban-aban laggu” (nah, ini yang tidak jelas, yaitu waktu antara pagi menjelang siang), sama juga dengan penanda waktu “Sar-Ashar mabha” (setelah shalat ashar tetapi sudah agak sore menjelang Maghrib).

Ada pula yang lebih tegas, yaitu penanda waktu berdasarkan waktu shalat, antara lain, bakda Maghrib, bakda Isya’, dan bakda-bakda yang lain. “Bakda” artinya “setelah”. Bakda Maghrib atrinya setelah shalat Maghrib secara sempurna. Penanda waktu seperti ini biasanya digunakan untuk acara tahlilan dan lain sebagainya. Namun, untuk acara walimah/akad nikah, masyarakat menggunakan penanda waktu angka sebagaimana lazimnya, seperti pukul 10.00 WIB, atau pukul 1 siang istiwa’, dan seterusnya.

Molor? Ya, saya sering menghadapi dan mengalami keadaan seperti ini, kecuali untuk acara walimah/akad nikah di daerah Pore dan Cangkreng sekitarnya (kecamatan Lenteng, Sumenep). Saya sangat kagum terhadap komitmen masyarakat di sana terhadap waktu karena nyaris tidak pernah molor dalam menentukan acaranya.

8 komentar:

  1. Orang Madura ternyata betul-betul menghargai waktu, sehingga begitu banyak nama di setiap dengusnya. :-D

    BalasHapus
  2. hemp...bener juga, harus lebih menghargai waktu..

    BalasHapus
  3. @Ahmad Sahidah: komentar hiburan berhadiah payung :-)

    @Obat: iya. mari menghargai...

    BalasHapus
  4. @Kuli: nanti saya kasih yang banyak untuk diresensi, ya...

    BalasHapus
  5. baik dan sehat. waktu makin gemuk sekarang

    BalasHapus

Silakan berkomentar sesuai kegundulan