21 September 2013

Puisi Jiplakan dan Detektif Dadakan

Suatu hari, saya ketibaan dua orang tamu. Satunya membawa segepok karya. Dia bilang, dia harap agar saya bisa membacanya dan memberikan tanggapan, sejenis endorsemen. Saya bilang kepada satu dari dua orang itu agar meminta komentar kepada guru bahasa atau tokoh sanggarnya saja. “Itu lebih baik karena merekalah yang membimbing kamu,” saya bilang begitu. Entah alasan apa, dia ingin agar saya juga menulis komentar untuk puisi yang akan segera diterbitkannya ini.

“Ya, Sampeyan pulang dulu. Kapan dibutuhkan?” Saya biasa menanyakan hal seperti ini untuk menguji tingkat kepentingan. Biasanya, orang-orang dan bahkan kita pun akan menjawab “secepat mungkin”, atau “lebih cepat lebih baik”, dan sejenisnya. Nah, untuk hal seperti ini, saya sudah menyiapkan jawaban berdasarkan pengalaman yang saya alami. “Ya, kalau bisa besok atau lusa,” katanya. “Hah, besok atau lusa?” Mata saya membelalak. “Begini, saya pernah minta kata pengantar pada seseorang dan hampir satu tahun lamanya, lho, buat menunggu. Itupun yang saya dapatkan ‘hanya’ komentar pendek. Masa kamu kamu minta saya membaca secepat itu?”

Wajahnya tiba-tiba sedih. Saya segera menghiburnya. “Rabu depan kamu kembali!”

Selama rentang waktu kira-kira 5 hari, saya menyempatkan diri untuk membaca karyanya itu. Alangkah kaget, astaga, saya jumpai beberapa frase dan kalimat yang sungguh-sungguh saya kenali, yaitu puisi saya sendiri. Dia mengubah beberapa bagian pada puisi untuk menghilangkan jejak puisi saya di dalam puisinya. Tapi, namanya juga karya saya sendiri, tentu saya tetap kenal bagian-bagian yang diubah itu karena perubahannya pun tidak banyak. Sayang sekali, dia ini kurang kreatif. Dia hanya melakukan penggantian di level kata (diksi) dan sejenisnya.

Dari pembacaan itu, saya berkesimpulan bahwa orang ini punya niat tidak baik, yaitu menjiplak. Ah, jangan-kangan itu kebetulan. Ah, masa kebetulan? Satu-dua sih iya, tapi kalau sampai sebegitu banyaknya, jelas ini pemalsuan namanya. Saya lantas menaruh curiga, dia tidak hanya kulakan puisi dari karya saya, melainkan juga dari karya-karya orang lain. Hanya saja saya yang tidak mampu mengenalinya.

Adalah suatu hal yang aneh karena orang itu datang kepada saya, kepada orang yang puisi-puisinya justru ditirunya. Mungkin, dia tidak tahu dan tidak pernah kenal dengan wajah saya; mungkin pula ia mendapatkan puisi saya tersebut dari lembaran-lembaran yang ditulis ulang dan telah dihilangkan nama pengarangnya (saya) untuk kepentingan tertentu; atau juga dia menemukan puisi itu dan tahu itu karya saya tapi tidak tahu siapa saya serta tidak pernah saling-bertemu sebelumnya. Apes benar dia.

Rabu yang ditentukan, dia datang. Setelah berbasa-basi dan saya suguhkan kopi, saya bilang kalau saya keberatan untuk memberikan endorsemen untuknya. Dia diam, tidak ada tanggapan. Mulailah saya mencari tahu dengan cara bertanya pada masalah tingkat paling rendah, yakni seputar kosa kata. Saya menyebut suatu kata, hanya sebagai contoh, seperti ini, misalnya:

“Dari mana kamu dapat kata Wayanjana?” Saya tanyakan ini karena kosa kata dimaksud—sebagai contoh—ada di dalam puisi saya yang ditirunya itu.
“Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia,” jawabnya.
“Ah, kata itu tidak ada dalam KBBI, lho, ya. Jangan ngarang!” Dia diam, saya bertanya lagi,
“Kamu tahu, apa itu Wayanjana?” Dia menggeleng tanda tak tahu. “Loh, tadi kami bilang kata itu kamu ambil dari kamus besar, sekarang kamu bilang nggak tahu. Baiklah, kamu sudah jujur dengan bilang nggak tahu. Tapi, kenapa kamu menulis sesuatu yang kamu nggak tahu?”

Dia diam begitu lama. Akhirnya, saya minta temannya itu untuk membacakan karya saya. Sementara dia sendiri membacakan karyanya, secara bersamaan. Akhirnya, dia tahu kalau kedua puisi itu relatif sama, bahkan dalam jumlah bait dan barisnya.

“Penyair dan seniman itu harus jujur. Berhentilah melakukan penjiplakan.” Dia pun pamit pulang. Dia tersenyum meskipun terasa hambar. Tapi, tak apalah asalkan dia menyadari kekeliruannya. Dan setelah mereka berdua menghilang dari pandangan, saya berdoa. “Semoga penyair itu segera mendapatkan hidayah dan tidak suka menipu lagi.”

9 komentar:

  1. wkkkkk wkkkkkkkkkkkkk
    pengalaman yang langka. Seorang Copaster harus bernasib sial karena harus ketemu sama penulis aslinya.

    Entah membatin apakah sang Copaster setelah sadar orang itu adalah pemilik karya. Mestine, dia langsung nyemplung bak mandi Gus!

    BalasHapus
  2. @Tamam: semoga Sampeyan ndak dikena orang seperti yang saya ceritakan ini, sangat menguras energi, lho

    BalasHapus
  3. aduh... kasian ya, tamunya. gimana pas ya, kalo baca tulisan ini? hik. turut berduka deh.

    BalasHapus
  4. @Zyadah: kok kasihan sama dia? Kasihan sama saya dong. Haha...

    Saya bicara baik-baik, kok. Dan dia berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Artinya, dia telah sadar kalau ia telah melakukan tindakan salah. Dia pulang dalam keadaan lapang dada. Saya kira begitu.

    Justru, saya harap dia membaca tulisan ini.

    BalasHapus
  5. yaa, kasian dua-duanya. hihi. kasian sampean yang KAMALengan (eh, ya?) dan kasian dia yang saonggunah malu...

    BalasHapus
  6. yaa, kasian dua-duanya. hihi. kasian sampean yang KAMALengan (eh, ya?) dan kasian dia yang saonggunah malu...

    BalasHapus
  7. Zyadah: itu sudah saya selamatkan dari belantara kritik yang tajam dan kejam. coba bayangkan andai orang seperti dia tidak dibimbing dan merajalela dan ketahuan setelah kelak menjadi tua? kasih sekali tentu, semakin kasihan bahkan

    BalasHapus
  8. semoga "dia" segera menyadari dan tobat dari kekeliruannya.
    abdina sering menemukan hal saka'dinto, utamanya ketika ada lomba KTI, banyak yang copy paste dari internet, dengan pengantar, analisis yang sangat luar biasa. tapi sayang, bukan milik sendiri.

    BalasHapus
  9. @Arits: ya, semoga begitu, karena menjiplak itu benar-benar pekerjaan yang mematikan banyak hal; mematikan orang dan mematikan diri sendiri

    @Yozidah: terima kasih atas kunjungan

    BalasHapus

Silakan berkomentar sesuai kegundulan