01 Agustus 2015

Mitos Sebagai Hukum(an)

Ini adalah kejadian tahun lalu. Entah seperti apa di tahun ini, saya tidak tahu karena saya tidak terlibat langsung dalam kemacetan pasar tumpah yang terjadi hampir setiap hari di ruas jalan Pamekasan-Sampang-Bangkalan. Akan tetapi, laporan beberapa orang dan kawan yang sedang melakukan perjalanan cenderung mengabarkan hal sama, macet luar biasa.

Saya sempat menyaksian arus balik pada hari Ahad 7 Syawal alias 3 Agustus 2014), dari arah Madura ke Surabaya, pertunjukan iring-iringan kendaraan bermotor yang sungguh dramatis. Sebab dari semua ini adalah karena hari itu adalah puncak arus balik, mungkin. Setiap kali arus lalu lintas tersendat, langsung saja dari kanan kiri ada yang nyerobot. Yang kanan melawan arah tentunya, yang di kiri lewat di bahu jalan. Mengapa ini bisa terjadi? Ada beberapa alasan: tergesa-gesa; sudah terbiasa; terinspirasi voorijder (patwal), dll.

Akan tetapi, saya masih bisa berpikir dan menduga, bahwa yang suka nyerobot dalam kasus ini bukanlah orang lokal atau warga setempat karena dalam kehidupan sehari-hari saya jarang sekali menekukan hal yang seperti ini. Mungkin kebanyakan dari mereka adalah ‘orang lokal’ yang kini telah mengalami internalisasi ‘nilai-nilai penyerobotan’ di tempat yang jauh, di perantauan, di ibu kota, misalnya. Ketika kebiasan buruk itu dipentaskan di dunia lokal yang selama ini tertib, saya yakin, sedikit-banyak, pada saat itu pula terjadi salin-nilai, sebuah perilaku buruk dalam bertata tertib yang disampaikan langsung di jalan raya, leh orang jauh kepada orang setempat. Soal seberapa besar pengaruhnya, saya tidak tahu.

Ketika aturan tertib lalin bisa disepelekan, hukum dilecehkan, fatwa agama tidak diindahkan, yang dibutuhkan untuk memperbaiki sistem ini tampaknya adalah mitos. Maksudnya, upaya memperbaiki dan menata kembali itu masih dapat dilakukan, namun bukan lagi dengan hukum dan agama, melainkan melalui mitos. Orang dulu menciptakan mitos, di antaranya, adalah untuk ‘menjaga harmonisasi’ kehidupan.

Mengapa mitos yang cenderung sulit dirasionalisasi itu terbukti masyarakat tidak melawannya. Pasalnya, di balik mitos adanya ancaman yang juga tidak masuk akal di saat orang-orang hanya bisa berpikir rasional. Contoh: “Pohon besar adalah rumah makhluk halus, jangan ditebang, kecuali akan kesurupan”. Bagi sebagian, harus ada bukti agar sebuah kepercayaan ditaati. Bagi sebagian lain tidak perlu bukti karena mereka yakin sudah terbukti namun tanpa diketahui.

Kini, mitos seperti itu telah dimatikan oleh mitos yang lainnya, mitos digital. Angka-angka dan data yang dipalsukan mampu menghapus mitos. Ancaman tak terlihat, tulah, kualat, dikalahkan oleh digit-digit ini. Bagaimana proses ini bisa terjadi? Demikinalah perkembangan wawasan dan pengetahuan manusia. Dalam setiap masa, selalu saja ada perubahan sudut pandang. Begitulah mansia berdialog dengan sesama, dengan alam, dengan Tuhan.


Lalu, mitos apa yang sebaiknya diciptakan terkait kasus ini? “Barangsiapa yang menyerobot hak orang lain, secara fisik ia memang akan segera sampai di tempat tujuan, namun keinginannya yang lain akan tertahan: yang bujang tidak cepat laku; yang miskin tidak segera kaya, yang mogok bakal tidak ditolong montir atau tidak nemu bengkel.”

2 komentar:

  1. Saya adalah sisa makhluk yang masih mengagumi mitos. :D
    Izin share postingan kali ini untuk anak muda jomblo yang maunya menang sendiri.

    BalasHapus
  2. Oh, saya baru tahu engkau begitu, Ummul

    BalasHapus

Silakan berkomentar sesuai kegundulan