29 September 2016

Membayangkan Masa Depan

Tidak pernah terbayangkan, Nokia yang salah satu produknya dipakai oleh lebih dari 200 juta orang itu harus tutup toko. BlackBerry juga begitu. Masa berjayanya tidaklah lama. Sekarang, apa-apa itu senantiasa berasosiasi dengan Android, apa-apa itu Google. Di antara mereka ada satu nama: Samsung. ‘Cuil’, mesin pencari yang bersesumbar dapat melakukan pencarian beberapa kali lipat lebih banyak daripada Google, belum sempat terkenal saja malah sudah bangkrut.

Hampir semua orang, dulu, jika disebut mengenal internet maka ia bakal juga mengenal Yahoo! Email memakai Yahoo! Mesin mencari juga memakai Yahoo! Berdiskusi juga memakai Yahoo! (Yahoogroups). Di antara selempitannya ada Altavista, tapi nyaris tidak tampak secara nyata. Kini, Yahoo! Messengger sudah tidak dipakai; Mailing-list sudah mulai ditinggalkan. Facebook menggantikan banyak fasilitas yang dimilikinya. Hampir setiap orang punya akun di Facebook meskipun ada di antara mereka yang bahkan tidak tahu fungsi email kecuali digunakan buat ‘log-in’. Pernah terbayangkah suatu masa di mana ngomong Facebook itu bakal sangat ketinggalan? Pasti, masa itu akan datang, tidak lama lagi.  Hukum alamnya begitu. Semakin ke sini, dunia semakin cepat berputar dan apa-apa semakin cepat berubah.

Saya masih ingat, dan juga menikmati, betapa kode pos itu sangat membantu tukang pos dalam mengantar surat. Hanya dengan mengenal angka pertama dari lima angkanya, tukang pos langsung paham sialamat itu ada di provinsi apa. Dengan mengenal dua digit terakhirnya, ia langsung mengenal sialamat berada di kecamatan apa. Akan tetapi, kini, alamat surat pun mulai ditinggalkan kecuali hanya untuk mengirim dokumen dan barang yang bersifat fisik. Begitu pula, pertanyaan semacam “Mas, numpang tanya, rumahnya Pak Anu itu di sebelah mana, ya?” atau pertanyaan seperti “Anda tahu alamat ini?” akan digunakan mungkin hanya sebagai modus sebab semua orang sudah pegang GPS dan tahu kordinat masing-masing. Kode pos akan ketinggalan.

Teknologi memudahkan manusia, bukan justru meribetkannya. Saking memudahkannya, kita terkadang berada di pada kondisi yang merasakan keribetan sebagai bagian dari kemudahan. Sibuk sekali kita ngurus teknologi ini hingga persinggungan dan persentuhan yang manusiawi menjadi tidak berharga lagi. Buktinya, orang panggil salam, ketika dia sudah ada di depan rumah orang yang akan dikunjungi, malah menggunakan SMS: “Ass. Saya ada d depan”. Dan naifnya, karena sibuk, dari dalam, tuan rumah tidak keluar. Yang muncul malah SMS balasan. “Wss. Letakkan dpn pintu. Mkch”. Mereka dekat tapi tidak bertemu, atau mereka bertemu tapi tidak merasa dekat.

Sampai saat ini, saya masih belum membayangkan betapa bakal akan semakin sibuk manusia-manusia itu. Pada suatu saat, barangkali orang tidak perlu meluangkan waktu 10-15 menit untuk makan karena akan ada kapsul pengganti nutrisi dan suplemen yang fungsinya sama dengan nasi. Telan beberapa butir, minum air, langsung berangkat kerja karena sarapan sudah dilaksanakan hanya dalam beberapa detik saja.

Di saat saya sibuk bertanya seperti itu, pada suatu ujian bikin SIM di kota kabupaten, seorang teman duduk yang usianya setara dengan saya (ketika itu tahun 2014; usia kisaran 39 tahun), bertanya begini:
“Mas, ini mau diisi apa?”
“Mana?” Saya melongok, “Ooo… kolom itu diisi kode pos!”
Jeda sejenak.
“Kode pos itu apa?”

4 komentar:

  1. Teman duduk yang bertanya kode pos itu apa, kemungkinan memang g pernah bersinggungan dengan surat menyurat atau minimal isi formulir, kecuali psda saat bikin sim tadi. Bisa jadi doi adalah supir antar kota dalam provinsi :)

    BalasHapus
  2. Nitip komentar, sebagai bentuk terimakadih telah menyajika esai ini

    BalasHapus
  3. Ringan membayangkannya, berat kandungan pesannya.

    BalasHapus
  4. @Subaidi: begitulah, ragam dan rupa orang di antara ragam dan rupa peradaban

    @Muktir Rahman: sudah dianggap hadir, jadi tidak ada akumulasi kartu

    @Sofyan Hadi: begitulah potret kita di masa kini dan masa yang akan datang

    BalasHapus

Silakan berkomentar sesuai kegundulan