29 Mei 2020

New Normal dan Hidup Siaga


instan kunyit & sirih untuk menaikkan imun
Dulu saya pernah bertanya, adakah peristiwa yang dapat menyebabkan seluruh umat manusia di muka bumi ini berubah mendadak dalam waktu cepat? Adakah peristiwa atau suatu hal yang dapat membuat manusia ini mendukung aksi agar alam ini kembali pulih, alih-alih terus melemah? Sepertinya tak ada, bahkan andaipun nyata-nyata ada contoh dan merugikan mereka, yaitu pemanasan global.

Teringat peristiwa meletusnya Gunung Tambora pada 1815 yang menandai bencana alam dan kemanusian terparah di zaman modern. Tapi, peristiwa ini tidak mendunia, ‘hanya’ sekitar Asia dan Eropa serta sebagian Australia. Letusan mahadahsyat ini menimbulkan banyak penyakit dan kelaparan karena sinar ultraviolet matahari tidak bisa menembus bumi selama hampir satu tahun. Ini juga katanya, lho, sebab saya taksir, abad itu adalah zaman generasi ke-9 atau ke-10 di atas saya.

Begitu pula dengan epidemi/pandemi yang lain, Black Death di masa lampau atau yang lebih kekinian, seperti Middle-East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Kedua yang terakhir sama-sama nyaris viral dan mendunia dan secara kebetulan memang merupakan dua jenis virus yang sama-sama menyerang alat pernafasan. Namun,  hanya Covid 19 inilah yang benar-benar telah mengubah segala-galanya: mengubah sistem belajar, mengubah sistem ekonomi, bahkan mengubah persepsi dan idealisasi. Jika sebelumnya kita bangga mencapai tempat terjauh, kini kita bangga justru ketika bisa bertahan di rumah dan tidak ke mana-mana. Betapa jungkir baliknya definisi-definisi yang telah ada sebelumnya.

Lantas, mengingat virus ini tidak jelas dan sangat simpang siur dalam menyikapinya, tidak dapat diperkirakan pula kapan berakhirnya, belum ditemukan juga vaksin dan cara membasminya, maka pada akhirnya, setelah...
menimbang dan seterusnya
mengingat dan seterusnya
memperhatikan dan seterusnya
Pemerintah menetapkan; lockdown harus dibuka; kunci pengucilan diri harus dilepas. Alasannya? Pilihan tersisa hanya dua: mati karena diserang virus ke saluran pernapasan atau mati terkurung karena kekurangan makanan. Ini belaku bagi orang, komunitas, atau pun negara.

Setelah dalam 5 bulan terakhir istilah-istilah asing bermunculan tak dapat dibendung, mulai dari istilah lama hingga istilah baru, seperti pandemi, epidemi, lockdown, physical distancing, hand sanitizer, dll. Petani dan buruh tani yang dulu jarang kenal dengan istilah-istilah itu kini juga menyelipkan kata-kata tersebut dalam obrolannya. Keren banget.

Nah, berikutnya muncul lagi istilah baru: “New Normal”. Apa pula ini? Ialah kehidupan normal, kehidupan wajar, kehidupan seperti sediakala. Akan tetapi, istilah ini pun bukan saja ada yang membantah, yang menjadikannya bahan olok-olok pun juga banyak. Adapun yang saya pahami dengan “New Normal” ini adalah menjalani kehidupan sehari-hari sebagaimana biasa, seperti keseharian kita sebelum pandemi Covid 19 ini, tapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu, seperti penggunaan masker, rajin cuci tangan (bersih-bersih), dll. Gampangnya, kehidupan yang disebut “New Normal” itu adalah kehidupan yang lebih bersih daripada kehidupan sebelumnya jorok dan cuek sama diri sendiri apalagi sama sekitar. Itulah pemahaman saya. Yang tidak saya pahami, mengapa harus “new” dan bukan “baru”; mengapa harus… ah!

Nyatanya, kalau kita amati, kehidupan wajar yang telah kita jalani sebelum ini adalah kehidupan “jar-wajar tanggung”, semacam "normal-normalan". Pandemi Covid-lah yang menyadarkan kita akan semua itu sehingga kita berusaha “kembali ke pengaturan awal” atau “kembali ke pengaturan pabrik”. Contoh: dari dulu, ada anjuran menutup mulut dan hidung kalau kita sedang bersin, tapi yang demikian itu kita temukan hanya ada 1 di antara 10.  Maka, kehidupan “New Normal” menetapkan aturan: orang flu dan batuk boleh datang ke tempat tertentu tapi harus memakai masker. Yang lebih utama adalah selalu mengenakan masker di saat adanya virus Corona (seperti sekarang) yang penularannya sangat tinggi.

Apa langkah kita? Sepertinya, kita harus kembali ke alam, kembali ke cara leluhur dalam menjalani hidup keseharian, yakni hidup siaga dengan jamu. Wow, jamu? Kok kuno?

Pada dasarnya, nenek moyang kita membuat jamu itu bukan untuk mengobati, melainkan untuk melindungi diri, bersiaga. Jadi, jika selama ini kita minum obat atau jamu herbal flu saat diserang flu itu adalah sikap umum: “melawan setelah diserang”. Adapun New Normal adalah “melindungi diri agar aman dari serangan virus flu”. Sedangkan cara orang dulu adalah minum jamu—misalnya jamu kunyit dan sirih—dan itu adalah “siaga agar tidak sampai flu”.

Jadi, filosofi minum jamu itu adalah filosofi zirah: bersiaga sebelum diserang, semacam mengenakan baju besi sebelum perang atau mengamalkan “lembu sekilan” atau pelias sebelum bertanding. Sementara kehidupan keseharian kita sejak dulu adalah baru akan mencari obat merah setelah terkena sabetan pedang. Dari sini saya curiga, jangan-jangan teori “survival of the fittest”-nya Charles Darwin yang kita tolak itu sebetulnya hanyalah sebentuk gambaran bagaimana ras manusia yang tersisa dan bertahan di muka bumi dari kepunahan itu, salah satunya, adalah karena selalu siaga fisik dengan minum jamu, beda dengan monyet.

Ini cuma jangan-jangan, lho, jangan lantas dimasukkan hati.

20 Mei 2020

Misteri Amplop Kiai



Ada seorang wartawan yang datang ke rumah kiai untuk investigasi beberapa hal yang ‘privat’. Wartawan merasa kesulitan untuk memulai wawancara karena ketika dia masuk ke ruang tamu pak kiai itu, di sana, sudah ada tamu-tamu yang lain. Makanya, si wartawan muter-muter dulu omongannya di udara supaya bisa ambil celah bagaimana cara mendaratkan wawancaranya.

Dan karena tema-tema yang lalu tidak menarik, sudah biasa, wawancara dipangkas saja, langsung ke intinya:

“Jadi, bagaimana cerita anak itu kok tiba-tiba datang ke sini sama bapaknya, Kiai?”

“Iya, saya juga heran, saat mondok dulu nakalnya beneran gawat,  secara syariah, iya, seperti tdak subuhan, bahkan sempat mabuk; secara akhlak iya, suka suit-suit sama santri putri, bahkan saat liburan dia suka nginbox saya, menentang beberapa keputusan pesantren dengan argumen ‘menurut saya’ dan ‘menurut hemat saya pribadi’, dan semacam itu. Gawat pokoknya, Mas, tapi tidak merasa gawat, santai saja bawaannya.”

“Jadi, dia dan orangtuanya tadi itu ke sini minta maaf, sekaligus pamitan, Kiai?”

“Iya.”

“Sama kiai, dimaafkan begitu?”

“Kasihan kalau tidak. Soalnya, kata orang tua, konon, biasanya dia sulit jadi bener hidupnya kalau tidak diridai oleh guru. Makanya, meskipun masih ada sisa-sisa sebel, tetap saya maafkan.”

Wartawan itu ambil nafas sejenak, minum kopinya seseruput, mau menyalakan rokok, tidak jadi, malah bertanya, “Anu, Kiai, boleh nanya agak privat?

Silakan!

“Orang tadi itu sowan pakai amplop berapa, Kiai?”

“Kenapa, Mas?”
“Kami ini kan wartawan “Majalah Kiaipedia”, sedang investigasi soal isi amplop, Pak Kiai, dan Ini nanti akan ada hubungan dengan analisa gratifikasi dan grasi, baik secara politis maupun efek ekonomis, Pak Kiai. Tapi, kalau Pak Kiai keberatan, tidak apa-apa... maaf saya agak lancang barusan.”

“Salam tempelnya 50.000”

“Hah? Lima puluh? Pak Kiai punya kalkulator?”

“Ada, Mas, buat apa?”

“Buat ngitung ini, Pak Kiai. Jadi, uang 50.000 barusan itu buat;
1.       Minta grasi atas kesalahan di pondok selama 3 tahun
2.       Minta amnesti untuk semua kesalahan cuit-cuit santri putri
3.       Minta dimaafkan karena suka nginbox-nginbox “menurut saya” sama Pak Kiai
4.       Buat bayar 2 kali sehari pipis di jeding pondok selama 3 tahun
5.       Buat ongkos diajari ngaji dan kitab selama 3 tahun
6.       Barusan, sewaktu Pak Kiai nyuguhin makan, si bapaknya kayaknya ngambil rendang daging dan anaknya telor dadar, nah, ya, buat bayar itu juga, Kiai
7.       Minta diridai dan diberkahi dengan doa
Kalkulator Kiai itu merek apa? Sungguh saya ingin punya kalkulator yang bisa menghitung pembagian seperti ini dengan tenang dan tidak eror, Pak Kiai.”

Mendadak, mata kiai tampak berkunang-kunang.  Tubuhnya sedikit bergoyang. Kiai menundukkan kepada dan menopangnya dengan telapak tangan. Ia melenguh, menarik napas panjang.

“Mas, aku pinjam ranselmu, Mas!”
“Buat apa, Pak Kiai?”
“Tolong letakkan di belakang kepalaku, aku mau pingsan nih kayaknya.”