20 Mei 2020

Misteri Amplop Kiai



Ada seorang wartawan yang datang ke rumah kiai untuk investigasi beberapa hal yang ‘privat’. Wartawan merasa kesulitan untuk memulai wawancara karena ketika dia masuk ke ruang tamu pak kiai itu, di sana, sudah ada tamu-tamu yang lain. Makanya, si wartawan muter-muter dulu omongannya di udara supaya bisa ambil celah bagaimana cara mendaratkan wawancaranya.

Dan karena tema-tema yang lalu tidak menarik, sudah biasa, wawancara dipangkas saja, langsung ke intinya:

“Jadi, bagaimana cerita anak itu kok tiba-tiba datang ke sini sama bapaknya, Kiai?”

“Iya, saya juga heran, saat mondok dulu nakalnya beneran gawat,  secara syariah, iya, seperti tdak subuhan, bahkan sempat mabuk; secara akhlak iya, suka suit-suit sama santri putri, bahkan saat liburan dia suka nginbox saya, menentang beberapa keputusan pesantren dengan argumen ‘menurut saya’ dan ‘menurut hemat saya pribadi’, dan semacam itu. Gawat pokoknya, Mas, tapi tidak merasa gawat, santai saja bawaannya.”

“Jadi, dia dan orangtuanya tadi itu ke sini minta maaf, sekaligus pamitan, Kiai?”

“Iya.”

“Sama kiai, dimaafkan begitu?”

“Kasihan kalau tidak. Soalnya, kata orang tua, konon, biasanya dia sulit jadi bener hidupnya kalau tidak diridai oleh guru. Makanya, meskipun masih ada sisa-sisa sebel, tetap saya maafkan.”

Wartawan itu ambil nafas sejenak, minum kopinya seseruput, mau menyalakan rokok, tidak jadi, malah bertanya, “Anu, Kiai, boleh nanya agak privat?

Silakan!

“Orang tadi itu sowan pakai amplop berapa, Kiai?”

“Kenapa, Mas?”
“Kami ini kan wartawan “Majalah Kiaipedia”, sedang investigasi soal isi amplop, Pak Kiai, dan Ini nanti akan ada hubungan dengan analisa gratifikasi dan grasi, baik secara politis maupun efek ekonomis, Pak Kiai. Tapi, kalau Pak Kiai keberatan, tidak apa-apa... maaf saya agak lancang barusan.”

“Salam tempelnya 50.000”

“Hah? Lima puluh? Pak Kiai punya kalkulator?”

“Ada, Mas, buat apa?”

“Buat ngitung ini, Pak Kiai. Jadi, uang 50.000 barusan itu buat;
1.       Minta grasi atas kesalahan di pondok selama 3 tahun
2.       Minta amnesti untuk semua kesalahan cuit-cuit santri putri
3.       Minta dimaafkan karena suka nginbox-nginbox “menurut saya” sama Pak Kiai
4.       Buat bayar 2 kali sehari pipis di jeding pondok selama 3 tahun
5.       Buat ongkos diajari ngaji dan kitab selama 3 tahun
6.       Barusan, sewaktu Pak Kiai nyuguhin makan, si bapaknya kayaknya ngambil rendang daging dan anaknya telor dadar, nah, ya, buat bayar itu juga, Kiai
7.       Minta diridai dan diberkahi dengan doa
Kalkulator Kiai itu merek apa? Sungguh saya ingin punya kalkulator yang bisa menghitung pembagian seperti ini dengan tenang dan tidak eror, Pak Kiai.”

Mendadak, mata kiai tampak berkunang-kunang.  Tubuhnya sedikit bergoyang. Kiai menundukkan kepada dan menopangnya dengan telapak tangan. Ia melenguh, menarik napas panjang.

“Mas, aku pinjam ranselmu, Mas!”
“Buat apa, Pak Kiai?”
“Tolong letakkan di belakang kepalaku, aku mau pingsan nih kayaknya.”


3 komentar:

  1. banyak kisah nyata sejenis ini.

    BalasHapus
  2. betul, sangat banyak. mengapa banyak, karena yang mengikutinya hanyalah ikut-ikutan yang diikutinya, tanpa pernah mikir benar tidaknya

    BalasHapus
  3. Lerres Onggu Ka' dhintoh,...

    BalasHapus

Silakan berkomentar sesuai kegundulan