22 Agustus 2023

Guru Terbaik Adalah Pengalaman (?)

Kalau anjuran agar belajar kepada orang yang alim (berilmu) ada referensinya, tapi kalau “belajarlah kepada pengalaman karena pengalaman adalah guru yang terbaik” yang ngajarin itu siapa, kok sampe dibuatkan poster dan ditempel di dinding-dinding sekolah?

Teacher's day, Experience is the best teacher  typography T-shirt print Free vector

Seorang pakar ‘safety driving’ (keselamatan berkendara) tidak diberi tempat untuk bicara hanya karena dia tidak pengalaman kecelakaan. Seorang ahli fikih nikah tidak diberi tempat untuk bicara pernikahan hanya karena dia belum menikah. Jadi, kalian itu mau percaya kalau kecelakaan lalu lintas dan perceraian itu sama-sama menyakitkan dari orang yang sudah berpengalaman tabrakan dan berpengalaman bercerai? Ini hanya gambaran yang kurang pas, tapi kira-kira begitulah kurang lebih contohnya.


Semestinya, kita mendapatkan ilmu (atau belajar kepada seorang guru) itu berdasarkan priotitas berikut:


Level 1 : kepada orang yang berilmu, syukur-syukur juga berpengalaman

Level 2 : kepada orang yang berilmu (pakar), meskipun tanpa pengalaman

Level 3 : belajar kepada orang berpengalaman


Di dalam Islam, kita belajar hanya kepada pakar. Prioritas—menurut Taklimul Mutaallim—belajar adalah kepada yang paling alim, lalu kepada yang paling wara’, lalu kepada yang paling sepuh (senior). Saat kita akan ngaji soal fikih pernikahan, kita bisa mulai dari level kitab dasar (semacam Nihayatus Zain), lalu ke kitab yang lebih komplit, dan baru akhirnya ke level “Majmu' Syarhil Muhadzzab”-nya Imam Nawawi yang pembahasan soal fikih nikahnya sampai-sampai menghabiskan dua jilid (dari 24 jilid kitab fikihnya).

Sekarang, kita tahu, bahwa Imam Nawawi itu jomblo. Tapi, karena beliau pakar di bidang fikih, maka wajar dan pantas dan bahkan seharusnya kita belajar dan istifadah (mengambil manfaat) darinya. Makanya, jika ada statemen-statemen populer itu coba pikir lagi, benarkah ia begitu, sebagaimana “experience is the best teacher” atau “mens sana in corpore sano” (akal yang sehat ada di tubuh yang sehat), yo, padahal koruptor-koruptor itu tidak berakal sehat tapi tubuhnya pada sehat. Kok bisa? Karena statemen itu sendiri sudah dikorupsi, dari larik pertama puisi Juvenal (penyair Romawi) yang seutuhnya berbunyi “orandum es ut sit, mens sana in corpore sano” (berdoalah agar kamu punya akal yang sehat di tubuh yang sehat) ke “mens sana in corpore sano” saja.

Gawat ini orang-orang!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar sesuai kegundulan