11 Januari 2019

Disambangi KPK dan Dukun dan Musisi

Hari ini, Jumat, 11 Januari 2019, sangat mengesankan.  Saya bisa ha-ha-he-he bersama wan-kawan lama yang baru jumpa. Saya yakin, kedatangan tamu-tamu dan perjumpaan saya dengan mereka ini akan membawa manfaat yang besar. Sekurang-kurangnya adalah silaturrahmi (padahal ini sudah cukup menjadi alasan kehebatan manfaat perjumpaan itu).

Di antara mereka yang datang pertama adalah dokter-cum-dukun Tomy Aditama beserta rombongnya. Mereka datang tadi malam saat saya masih mengikuti diskusi buku di kota. Pak Tomy membawa bendera Pepatri, satu peguyuban yang dirancang untuk menjadi payung persatuan para dukun tulang dan otot dan sendi (kira-kira begitulah). Mereka melakukan sosialisasi kepada para pendekar “sangkal putung” yang ada di Madura, terutama di Maddis, Pamekasan. Bahwa berdasarakan peraturan pemerintah, pada tahun 2020 yang akan datang, bengkel patah tulang akan dianggap ilegal jika tidak bergabung dan berada di bawah payung hukum. Ngeri, ya! Bisa-bisa pada enggan itu anak cucu para dukun untuk menjalani profesi ayah dan moyangnya kalau begini. Mereka sedang memperjuangkan ini.

Siangnya, kami berjumpa dengan Eko Cahyono, Mas Soelthoen, Mas Sulis, Mas Ari. Mereka mendampingi Prof. Hariadi Kartodihardjo yang sedang beranjangsana ke Sumenep untuk mendiskusikan bukunya, “Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan” yang dilaksanakan tadi malam, Kamis, 10 Januari 2019, di kedai kopi Kancakona. Pak Hariadi didampingi oleh Mas Sulistiyanto (Litbang KPK/Gerakan Nasional Penyelamatan SDA), Mas Eko Cahyono, Mas Arie, dan Mas Soelthon (dari Forest Watch Indonesia).

Dari buku inilah saya baru tahu bahwa lagu “Indonesia Raya” itu punya tiga stanza (wih, telat banget, soalnya dinyanyikan satu stanza saja, sih, dari dulu). Saya menduga, judul buku tersebut terilhami oleh lagu itu. Buku yang diterbitkan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) ini bukanlah panduan menyusun lagu yang indah agar bisa ngehits, malah justru berisi kabar kedukaan yang berlapis-lapis. Buku ini merupakan kumpulan esai beliau, terutama esai yang menyangkut perampasan ruang hidup, penghancuran hutan, pencurian sumber daya alam, hilangnya biodiversity, dan tentu banyak lagi (saya yang baru membaca enam saja sudah sedih luar biasa melihat bagaimana para koruptor—dengan sangat rapi dan terencana—melakukan itu semua).  Adapun kedatangan mereka ke Guluk-Guluk (tempat saya) adalah untuk silaturahmi, tidak untuk bedah buku. Tapi, ide untuk itu telah dirancang, direncakanakan di kemudian hari.

Setelah mengantar Pak Tomy dan kawan-kawannya ke Maddis, saya pulang kembali ke rumah dan berjumpa lagi dengan rekan-rekan yang tadi. Sementara Mas Sulis dan Pak Hariadi pulang duluan. Di rumah, Eko dan kawan-kawannya berbicara dengan kami, juga dengan para santri, tentang betapa kejamnya perilaku korupsi dan bagaimana cengkeraman oligarki itu nyata adanya. Kepada para santri, saat memberi sambutan sebelum Eko bicara. Kira-kira, seperti ini ringkasannya:

“Nih, kalian akan mendengarkan betapa harta kekayaan kita itu dicuri di depan mata. Kekayaan laut yang dapat menutup APBN hanya dalam setahun; kekayaan satu tambang emas (saja) yang dapat membuat semua warga negara dapat gaji tanpa bekerja, kekayaan alam yang tak terhingga, dan semua itu dihabisi tanpa kita sadari. Kita mungkin melihat tapi tidak peduli. Apa pasalnya? Kita ini, eh, kalian itu, terlalu banyak tidur pagi!”

Santri tertawa, saya serius.

Rezeki lainnya adalah: berkat kedatangan tamu dari jauh, maka tempat saya juga dikunjungi tamu-tamu yang lain dalam waktu bersamaan, antara lain Ajimuddin (Ganding), Fathor Razi (Prenduan), Musfiq, Kak Idi, dan Agus. Oh, ya, ada Rusmansyah pula datang dari Jogja. Rusman datang untuk tampil di acara bedah buku tadi malam, membawakan lagu-lagu bertema lingkungan. Anggap saja, acara tadi malam itu adalah bedah buku sekaligus peluncuran album lagu mininya Rusmansyah Khameswara.

Pukul sepuluh malam, seusai mereka sowan ke salah satu pengasuh PP Annuqayah, Kiai Ali Fikri, mereka pun pulang. Sebelum mereka bertolak, saya ajukan satu pertanyaan, sebuah pertanyaan yang tadi siang saya ajukan pula kepada Pak Hariadi.

"Rombongan ada berapa orang, nih, Pak?"
"Lima orang."
"Terus, pulangnya nanti tetap lima orang atau malah jadi enam orang?”


Jawaban dari pertanyaan itu mestinya keheningan, tapi kami tertawa sebab kami tahu bahwa OTT itu bukan tugas mereka. Dan kami pun tahu, kedatangan mereka kemari itu untuk acara buku. Dan kami pun juga tahu, tak ada satu pun di antara kami ini yang mau turut bersamanya jika statusnya “dalam keadaan dipaksa”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar sesuai kegundulan