Karena tangki bensin sudah diisi penuh sebelumnya, saya tenang dalam mengemudikan kendaraan Aventura tahun 1993 ini. Maklum, tidak semua stasiun SPBU di Madura itu yang buka 24 jam. Hanya ada beberapa stasiun saja yang selalu siap sedia.
Kira-kira 100 menit kemudian, mobil sudah masuk Jalan Kenjeran, Surabaya, setelah melewati Suramadu. Tiba-tiba, seorang lelaki mengenakan jaket dan membawa pentungan yang berlampu merah itu, mengendarai sepeda motor Megapro, memberikan isyarat agar saya menepikan kendaraan.
“Kenapa?” terdengar suara dari belakang.
“Polisi,” jawab saya singkat sambil mengambil dompet STNKB-SIM dan membuka pintu.
“Selamat pagi!”
“Pagi,” kata saya sambil menyodorkan STNKB-SIM.
Sambil melihat ke arah lain—sungguh pemandangan ini disaksikan oleh semua penumpang saya—bapak berjaket itu berkata,
“Bukan, yang biasa.”
Beliau ini sama sekali tidak menyentuih STNKB dan SIM saya. Dia hanya memandang saya sekilas lalu membuang muka, “Yang biasa.” Ini pengamalan pertama. Saya baru menghadapi peristiwa seperti ini untuk ertama kali, tapi saya langsung mengerti apa yang dimaksud dengan “yang biasa” itu.
Sampai kami mau masuk kota Pasuruan lalu berhenti untuk menunaikan shalat Subuh di sebuah masjid di tepi jalan, pikiran saya tetap tidak tenang. Saya masih terus membayangkan nasib uang 10 ribu yang telah saya berikan tadi. Apakah uang itu akan ia belikan rokok, mie, kopi, atau yang lain? Semoga kami dan anak cucu ksami diselamatkan oleh Allah dari uang hasil pemberian orang yang tidak ikhlas, apalagi terpaksa.