04 Desember 2018

Ikon Tangan


sumber: https://goo.gl/oPq4Wz


MURID: “Guru, apa makna simbol ini?”
GURU: “Oh, itu ikon namanya.”
MURID: “Ikon? Ikan maksud guru?”
GURU: “Bukan anakku. Ikon adalah perlambang atau tanda di mana antara penanda dan yang ditandainya memiliki kemiripan, seperti “recycle bin” di komputer itu yang bergambar “tempat sampah”.

MURID: “Jadi, kalau “gambar tangan” ini apa maknanya, Guru?”

GURU: “Mmm... Nganu anakku. Hubungannya itu panjang. Jadi, begini. Tangan adalah anggota tubuh yang salah satu tugasnya adalah mencet, memutar, menarik, juga menekan. Nah, aslinya, tangan hanyalah “menjalankan tugas” karena “sumber perintah” tetap berasal dari otak yang ia pun menerjemahkan kehendak hati kita. Jadi, ikon ini adalah perintah terhadap tangan untuk mencet tombol “lampu dekat” apabila ada kendaraan lain dari lawan arah. Dan perintahnya itu berasal dari otak, karena ia yang mengerti bahwa fungsi lampu kendaraan kita itu adalah untuk menerangi jalan kita sendiri, bukan untuk menyentrong muka/wajah orang lain.”

MURID: “Kalau saya, biasanya, menyalakan ikon ini supaya jalan jadi terang, Guru!”

GURU: “Mmm, itu juga benar, sih. Artinya, jalanmu jadi terang, bahkan termasuk muka orang yang datang dari arah depan. Aslinya, kalau “ikon tangan” ini menyala biru, artinya kamu harus gerakkan tanganmu untuk mencet tombolnya supaya tidak lagi menyala. Kalau ternyata kamu tidak bereaksi sedangkan dari lawan arah ada ada orang yang kesilauan, maka itu merupakan pertanda “korsleting kabel”: kalau enggak jalur yang ke otak, ya, maka kemungkinan lainnya bahwa kamu mengemudi enggak pakai otak, cuman pakai tangan.”

MURID: “Oh, baiklah, Guru. Baru tahu ane, Guru!”

#satire
#ikon 


11 Juli 2018

Pengalaman Naik Kereta Api


Teringat pengalaman pertama naik kereta api, pada suatu malam di tahun 1986, saat saya berusia 11 tahun. Mendiang ayah mengajak saya pergi ke Jakarta. Kami berangkat dari stasiun Pasar Turi pada pukul 18.00 dengan kereta KGB. Pada karcisnya yang tebal, tertera nominal Rp 4.300. Jika tidak salah, perjalanan dari Surabaya ke Jakarta waktu itu memakan waktu lebih dari 14 jam.

Stasiun Wonosari (Bonosare) sumber: https://goo.gl/naWf3z
Kali kedua terjadi di sekitar akhir tahun 1990. Ketika itu, saya naik kereta api dari Wonosari/Bonosare (Bondowoso) ke Kalisat (Jember). Bersama Jufri, kami pergi secara rombongan. Tak lama setelah itu, saya naik kereta api lagi dari Klakah (Lumajang) ke Jombang bareng Agung dan Gunawan. Masa-masa itu sangat berkesan sehingga lekat di dalam ingatan.

Saya juga pernah mengalami hal-hal tidak menyenangkan di atas kereta api, di antaranya adalah di tahun 1999 ketika terjadi desak-desakan penumpang yang luar biasa, dari stasiun Senen (Jakarta) menuju Lempuyangan (Jogjakarta). Saya terpaksa mengalah karena harus berhadapan dengan nenek-nenek. Pernah juga saya terjatuh dari gerbong kereta api karena meloncat di saat kereta berjalan lambat untuk langsir di stasiun Panarukan, 1990, masa akhir stasiun di barat kota Situbondo itu sebelum ditutup sampai sekarang.

Seingat saya, hingga tahun 2011, layanan PT KAI masih sama saja dengan ketika masih bernama PJKA atau Perumka, masih suka molor di jam pemberangkatan maupun kedatangan, stasiun masih rawan calo, gerbong masih rawan copet. Tapi, tahun demi tahun, pelayanannya terus membaik, terutama setelah ada ‘revolusi’ di era Pak Jonan. Sekarang, ketepatan waktunya mengalahkan jadwal transportasi apa pun.

Jika ada itikad baik dan sungguh-sungguh, pembenahan yang menyeluruh, seruwet apa pun sistem transporatasi itu pasti bisa dibereskan. Demikianlah keyakinan saya jika melihat situasi yang pernah dan sedang dialami oleh PT KAI. Sekarang, pelayanannya sudah sangat bagus. Saya hanya menunggu tiga kemajuan lainnya: ruang merokok di restorasi, gerbong tingkat, dan tempat khusus untuk penyandang cacat di semua rangkaian gerbong dan kelasnya. (M. Faizi, admin)

11 April 2018

Tengka




Barangkali, ‘tengka’ dibaca téngka dalam Bahasa Madura) ini berasal dari “tingkah”, “tingkah polah”. Dalam KBBI, tingkah berarti: (1) ulah (perbuatan) yang aneh-aneh atau yang tidak sewajarnya; lagak; canda, dan; (2) perangai; kelakuan. Ketika sebuah kata telah dipinjam untuk selanjutnya dimiliki oleh bahasa tertentu, bisa jadi maknanya bergeser, bahkan menyimpang. Contohnya adalah “kalimat” dalam bahasa Arab yang berarti “kata”, tetapi bermakna “satuan bahasa yang berdiri sendiri (mandiri) dan predikatif” di dalam bahasa Indonesia (yang disebut “kalam” dalam bahasa asalnya, Bahasa Arab).

Tengka adalah aturan tidak tertulis yang beredar di dalam kehidupan masyarakat, yang mengatur pola-pola dan tata cara berhubungan serta berkomunikasi antara-sesama anggota masyarakat/lingkungan. Misalnya, jika ada tetangga yang wafat, tetangga yang sebelahnya pergi melayat; jika ada hajatan, maka tetangga sebelahnya harus ikutan membantu atau menghadiri undangannya jika diundang. Inilah yang disebut tengka di dalam tradisi orang Madura.

Ada istilah “ompangan”. Di Jawa disebut (kalau tak salah) “baleke”. Ini bagian dari tengka. Ompangan adalah mengembalikan sumbangan yang pernah disumbangkan orang lain kepada kita terutama pada saat hajatan. Ompangan, umumnya, dicatat. Ompangan memang berkesan pamrih, dan tentu saja memberatkan bagi pihak-pihak tertentu. Di sebagian tempat, tradisi seperti ini tak ada.

Saya pernah bertemu dengan seseorang yang pulang dari Jakarta. Setelah berbasa-basi, saya simpulkan kalau kepulangannya itu demi tengka. Aslinya, dia tidak ingin pulang karena baru saja pergi ke perantauan. Kata dia, sang paman hendak membajak sawah. Orangtuanya menyuruh dia pulang agar turut bergotong royong.

Secara hitung-hitungan, sebetulnya dia bisa memberi uang kepada seseorang untuk menggantikan posisinya, tugasnya, yaitu membantu si paman dalam membajak. Jelas, secara matematis, kalkulasi ekonomi, ia butuh ongkos banyak untuk pulang dari Jakarta ke Sampang, lebih-lebih dia pulang bersama istrinya, harus menutup toko kelontongnya, dan tentu saja harus kehilangan banyak waktu. Tapi, apa daya, tengka-lah yang menuntutnya harus begitu, melampai logika bisnis tadi, demi aturan aturan di dalam masyarakat yang tak tertulis itu.

Di beberapa tempat, di Madura, banyak orang yang ingin umroh—karena kemungkinan untuk berkesempatan naik haji sudah sangat tipis—namun pada akhirnya menggagalkan sendiri rencananya atas satu pertimbangan tengka ini. Apa pasal? Uang untuk umroh cukup, tapi untuk tengka-nya tidak. Ada tengka yang besar setelah umroh, antara lain; menyiapkan pesta penyambutan; menyuguhi semua tamu dengan makanan berat, memberi mereka oleh-oleh. Terkadang, biaya tengka yang dikeluarkan sehabis umroh bisa dua kali lipat lebih dari biaya umrohnya. Memang, yang demikian ini tidak berlaku di semua daerah. Tetapi, hal seperti ini benar-benar ada di dalam kehidupan masyarakat.

Kalau diamati, di balik aturan tengka itu terdapat aturan paksaan agar kita peduli terhadap sesama. Sebab, berbuat baik, kalau tidak dipaksa dan diatur secara ketat, terkadang dilampaui juga, disepelekan juga. Orang akan berpikir tentang tengka itu, wong tidak wajib (secara fikih) dan seterusnya. Makanya, adat lalu membuat aturan tidak tertulis agar masyarakat terbiasa dalam berbagi, biasa saling menolong, biasa saling membantu. Dampak terbaik dari hal ini adalah rasa guyub yang sangat tinggi, tidak individualistik seperti mudah ditemukan di masyarakat yang tidak mengenal tradisi seperti ini, di kota besar, misalnya. Dampak buruknya? Antara lain adalah seperti yang disebutkan di muka.


23 Maret 2018

Esai Sebelum Jumatan


foto karya Teguh Dewabrata
Saat Anda susah bertemu Bupati, di Jumatan itu bisa terjadi. Saat Hamdan yang bekerja shift malam sebagai satpam dan Joko yang buka lapak di pasar sepanjang siang nyaris tidak pernah bersirobok muka dalam sepekan (padahal mereka itu satu RT dan RW, lho) di momen salat jumatlah mereka punya kemungkinan bertemu. Yang kaya dan miskin dapat berdiri sejajar di saf depan. Yang jelek dan tampan juga tidak grogi berdiri bersisian, bersandingan.

Ada banyak rahasia renungan sosial dalam salat berjamaah, lebih-lebih di dalam satu-satunya salat-wajib-jamaah: salat Jumuah. Jumatan adalah ‘kopdar’ masyarakat semua lapisan. Jika selama ini orang-orang terpisah karena sekat kelas-kelas sosial, Jumatanlah yang menyatukannya. Ia meleburkan batas antarkelas.

Sebagaimana diketahui, di dalam Islam, salat berjamaah sangat dianjurkan (sunnah) untuk 5 waktu maktubah. Tapi, khusus untuk salat Jumat, statusnya dinaikkan menjadi wajib. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk antipati dan antisosial, misalnya dengan terus-menerus di dalam hotel, di gua, di bawah tempurung, selagi ada jumatan di muka bumi. Jumatan adalah pemersatu suku, ras, dan antargolongan.

Dalam kitab Usfuriyah (pada bagian cerita tambahan untuk pembahasan hadis kedelapan) disebutkan kisah tentang Maisaroh bin Khunais. Singkatnya, ia bicara dengan orang mati yang menyatakan bahwa orang di dunia itu sungguh rugi kalau tidak jumatan. Menurutnya, jumatan adalah ‘haji’ yang dapat dilakukan empat kali dalam sebulan. Terlepas bahwa yang dimaksud haji di sini adalah makna konotatif, yang dapat digarisbawahi adalah nilai jumatannya.

Jumat adalah hari istimewa dalam Islam, sebagaimana umat Nasrani punya hari Minggu dan Yahudi punya hari Sabtu. Dalam Islam, jika enam hari lainnya adalah pelayan, Jumat adalah bos-nya. Ibaratnya begitulah. Salat Jumat adalah momen krusial dalam sepekan. Contoh: di hari itu, kita disunnahkan potong kuku, potong bulu-bulu, termasuk rambut  yang nampak dan rambut tak tampak, keramas, dan banyak sunnah lainnya. Bahkan, perjalanan ke masjid pun diatur, yakni sunnah berjalan kaki, kalem, tidak grusa-grusu. Tinggalkan Ninja atau RX King Anda di rumah. Gunakan kaki untuk melangkah.

 Langkah kaki menuju masjid akan dihitung dan diganjar dengan pahala. Datang lebih pagi, begitu juga, ada bonusnya. Bonus-bonus ini pun berperingkat, dari senilai telur hingga unta, kira-kira begitulah gambaran ganjarannya. Kok bisa? Lah, manusia itu kan sukanya pamrih, suka hitung-hitungan. Makanya, mereka umumnya harus diiming-imingi poin, angka, dan kelipatan agar rajin beribadah (yang kelas sufi jelaslah sudah tidak repot mikir urusan begini). Dan puncak tabiat kita, manusia, adalah rakus dan kemaruk. Apa-apa diitung secara bisnis. Secara fitrah pun manusia akan selalu ingin mendapatkan yang lebih. Hanya orang yang dapat menahan dirilah yang dapat menjadi perkecualian, seperti dapat melepaskan sejenak obrolan bisnis saat berada di teras masjid.

Saat memasuki pintu masjid untuk salat, ada 70 malaikat melakukan cekpoin, semacam setoran sedikjari bagi pegawai, cuma yang ini tidak kita lihat secara kasat. Namun, manakala khatib sudah berdiri di atas mimbar, malaikat yang berdiri di pintu-pintu masjid itu pun melipat kertas, menyimpan catatan, sehingga kelompok yang datang terlambat sudah tidak kebagian bonus dan poin lagi.
Itulah beberapa aturan yang ditetapkan untuk diketahui dan dilaksanakan saat kita hendak pergi jumatan. Sudah? Cuman segitu? Belum, masih ada lagi.

Sehabis mengucapkan ‘salam’ setelah salat, masih ada cekpoin-cekpoin tambahan untuk menambah berat pundi-pundi amal. Sebab itulah, jangan terburu-buru mencelat usai salat meskipun ada anjuran “fantasyiru” (maksudnya “menyebar”) di dalam Surah Al-Jumuah, sebagaimana ada juga “fas ‘aw” (maksudnya “bersegera”)  di ayat sebelumnya. Yang dimaksud “menyebar” di muka bumi untuk mencari keutamaan Allah itu dilakukan setelah Jumatan lebih dulu, dan bersegera sebelum salat itu artinya meninggalkan segala tetek-bengek urusan perniagaan, jaga toko, jualan siomay, dll, sebelum khatib naik ke atas mimbar.

Konon, Nabi pernah dicuekin jamaah di suatu waktu. Padakala itu, mereka berhamburan karena ada pedagang minyak dari Syam (Damaskus) padahal Nabi sudah ada di atas mimbar. Jamaah kemurungsung, meninggalkan beliau. Di masa sekarang, gelisahnya jamaah malah ada di depan dan di belakang: berangkat jumatan sudah masuk masa injury time, pulangnya duluan, mendahului yang lain.

Kalau dipikir-pikir, seberapa lama, sih, kita akan kehilangan waktu untuk menyelesaikan zikiran demi kesempurnaan salat jamaah? Kalau nambah salat sunnah, paling-paling nambah lagi 2-3 menit. Lak sebentar, tho, jika dibandingkan dengan waktu kita yang luangkan seharian? Saya memang tidak pernah menghitung berapa menit jatah duduk setelah salat untuk menuntaskan pembacaan surah-surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas masing-masing 7 kali, serta menjawab ‘amin, amin, amin’ saat imam mengakhiri rangkaian ibadah pekan ini dengan doa. Tapi, saya yakin itu waktu yang sebentar saja jika diambil dari 24 jam waktu kita, apalagi jika ditinjau dari 7 hari dalam sepekan. Santai sajalah, toh sesudahnya kita masih punya banyak waktu untuk kerja lagi, ngantor lagi, ngopi lagi, wasap-an lagi, Facebook-an lagi.

Demikianlah rentetan kegiatan yang kita luangkan sesaat dalam sepekan untuk jumatan, untuk momen yang dianggap suci itu. Akan tetapi, namanya juga manusia, adakalanya, atau bahkan seringkali, dalam suasana seperti itu, mudah kita temukan banyak pula sampahnya. Lagi-lagi, dengan sangat amat terpaksa, hal ini harus dimaklumi karena manusia itu memang makhluk sepenuh ironi. Manusia itu ‘kan ciptaan Allah yang purna, paling sempurna, namun dia diberi unsur lupa supaya ‘manu’ itu ‘nisya’: mengandung lupa, “na-si-ya”.

Kita tahu, di sekolah, kenaikan kelas dan laporan akhir itu diberikan di akhir tahun pelajaran. Dalam hidup, hasil kerja kita di dunia diberikan di Hari Perhitungan. Nah, selama kegiatan berlangsung, kita tidak diberi tahu soal lulus atau tidak, namun jelas sudah ada indikator yang dapat kita tebak (nah, kalau tidak masuk sekolah, mau tebak-tebakan indikatornya siapa?).

Untuk mengetahui indikator-indikator salat jumat, misalnya, kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan:

Anda berangkat jalan kaki atau naik sepeda motor? Selama di jalan, Anda menggunakan hak sendiri atau menyerobot hak pengguna jalan lain? Berapa kali Anda membunyikan klakson tin-tin-tin selama perjalanan tadi yang  semua itu serupa membuang polusi suara ke sembarang telinga hanya karena ia gratisan? Apakah Anda mematikan ponsel sebelum salat karena takut mengganggu kekhusyukan; atau hanya dibikin getar-getar di saku celana atau di gulungan sarung, sehingga saat Anda sedang khusyuk-khusyukya, Anda sempat pula menebak-nebak, “nih ada wasap dari siapa, ya?”? Setelah tiba di masjid, Anda ngobrol saat khobtah Jumat atau tidak ngobrol tapi umek-umek ponsel? Setelah imam bertakbir dan membaca Al Fatihah, Anda sudah ‘amin’ duluan sebelum imam sempurna menyelesaikan bacaan Al-Fatihah?

Itu semua hanya contoh pertanyaan yang mungkin dapat kita ajukan untuk mengetahui indikatornya. Diterima atau tidak, itu bukan urusan kita.

Karena pergi jumatan itu senantiasa berurusan dengan perkara yang bersih, maka jangan pula ia dinodai oleh ketidakbecusan yang kadangkala ia terjadi dan dianggap biasa hanya karena saking banyaknya orang yang melakukannya. Misalnya, hanya karena ingin buru-buru tiba di masjid terus Anda main terobos saja rintangan di depan, merugikan banyak orang. Yang haq dan batil jangan dibikin salad karena alasan mau salat. Hanya karena ingin dapat tempat terdepan (padahal Anda berangkat dari rumah belakangan), terus main sembarang injak-injak sandal orang lain, lebih parah lagi bawa Swallow pulangnya bawa Homyped. Jumatan macam apa yang begituan?

Setiap langkah yang mengarah ke masjid akan dihitung sebagai pahala. Namun kalau Anda terpaksa naik motor karena trotoarnya sudah tidak aman sebab dihabisi oleh pedagang kaki lima, maka ini bukan urusan saya. Tanyakan sama Dishub atau bagian yang mengurus tata kota. Lantas, setelah tiba di masjid dan imamnya bikin gaduh lewat khotbah-khotbahnya? Lagi-lagi ini bukan urusan saya. Tanyakan sama takmir masjid, mengapa mereka mendata imam yang kekurangan forum sehingga di Jumatan pun mereka melampiaskan

(M. Faizi)
pernah tayang di Interidea, november 2017

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog