Pernah di suatu saat
ada orang yang bertanya, mengapa saya sering mendapatkan buku secara
gratis meskipun saya jarang membaca buku dan jarang pula mengulasnya.
Saya bilang kepadanya, "Saya tidak tahu, mungkin karena saya
jarang baca buku itulah sehingga dia kasihan kepada saya, ingin saya
rajin membaca dengan cara diberi buku. Tapi, kalau kamu tidak puas
dengan jawaban saya, ada baiknya kamu saja yang tanya sama orang yang
ngasih buku itu, mengapa dia ngasih buku ke saya dan bukan ke kamu."
Rupanya, dia
benar-benar tidak puas dan kembali bertanya.
"Tapi, kayaknya
kamu juga sering dapat gratisan kopi. Itu gimana caranya bisa
begitu?"
"Oh, kalau yang
itu, saya tahu jawabannya," balas saya. "Karena yang ngasih
kopi ke saya itu sudah pada tahu bahwa kopi yang dia kasihkan akan
saya minum atau saya sedekahkan, bukan difoto lalu dikopi dan jadilah
buku-buku bajakan."
"Kalau kamera
itu?" Kayaknya dia masih penasan, nambah pertanyaan, "Sepertinya
kamu juga dapat gratisan kamera dari teman kamu!"
"Oh, kalau itu
saya tukar-tukaran."
"Ditukar dengan
apa?"
"Ditukar dengan
doa."
"Enak banget,
cuma gitu saja?"
"Enak banget
kamu bilang 'enak banget'. Sebegitu murahkah doa itu menurutmu?”
ORIENTASI kebendaan
kita membuat semuanya, apa pun, cenderung dibandingkan dengan uang
dan benda-benda. Buku gratis, kopi gratis, kamera gratis, dan apa-apa
yang kita dapatkan secara cuma-cuma itu seolah gratis tanpa melihat
mengapa ia datang secara cuma-cuma kepada kita dan bukan kepada orang
lain. Demikian pula sebaliknya, kadang kita lupa dan dengki, mengapa
kesehatan dan kesempatan didapatkan oleh orang lain dan bukan kita.
Semua ini bersumber dari orientasi kebendaan. Kita terlalu biasa
menimbang apa pun dengan uang dan benda. Kita lantas lupa bahwa
terima kasih dan rasa syukur adalah alat bayar yang berlaku untuk
semua negara, semua bangsa, dan berlaku sepanjang masa.