Bohong, dalam banyak kitab hadits dan akhlak, termasuk kebiasaan buruk yang sangat serius. Salah satu buktinya adalah karena bab bohong, juga atau pelit, selalu disebut pada bagian-bagian awal kitab. Bahkan, ia tergolong penyakit yang sulit disembuhkan.
Saat itu tahun 1993. Saya ingat pernah bohong seperti ini:
Saya naik bis dari Prenduan menuju Surabaya. Lalu, bis AKAS yang saya naiki itu singgah di Terminal Pamekasan untuk ambil penumpang. Sesampainya di sana, naiklah beberapa orang. Satu di antaranya duduk sebangku dengan saya. Dan seperti lazimnya penumpang Madura, dia ini mudah akrab, tanya ini tanya itu segala.
Ketika itu saya lagi malas bicara. Makanya, saya kurang suka jika diurus ‘dari danmau ke mana’-nya. Karena desa saya merupakan desa yang terkenal di daerah saya, yaitu Guluk-Guluk, saya lantas berbohong kalau saya berasal dari desa itu. Dugaan saya, jika saya bilang “dari Guluk-Guluk” kepadanya, teman duduk ini pasti makin gencar nanya ini-itunya.
“Sampeyan mau ke mana?”
“Surabaya.”
“Tadi naik dari mana?”
“Prenduan.”
“Aslinya dari mana?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini lazim terjadi di angkutan umum di Madura. Jadi, jangan kaget kalau Anda ditanya teman duduk yang belum kenal sama sekali dengan cecaran pertanyaan mirip pertanyaan KPK ini. Dia bahkan mirip hansip atau petugas pemeriksa yang mengorek informasi terdakwa. Maka, saya pun berbohong untuk menghindari interogasi lebih lanjut.
“Dari Bata’al...” jawab saya, berbohong.
Dengan menjawab begitu, saya berharap dia tidak tahu banyak tentang desa tetangga ini sehingga tidak mengajak saya bicara ini-itu lagi. Saya males, saya ingin tidur. Tapi, ia malah bertanya lagi; sebuah pertanyaan yang membuat saya tak bisa menyembunyikan kebohongan.
“Oya! siapa, ya, kepala desa Bata'al sekarang, ya?”
Saya tidak bisa menjawab karena memang tidak tahu. Saya pun tampak bodoh: mengaku warga desa Bata’al adalah bohong kalau bahkan kepada nama kepala desanya saja saya tidak tahu. Saya sungguh malu.
* * *
Itulah pengalaman berbohong saya yang membuat saya kapok. Nah, saat ini, sungguh banyak kita temukan orang berbohong untuk hal kecil yang seolah-olah itu tidak dianggap kesalahan. Padahal, berbohong itu tak pandang level, tidak ada takaran prosentasenya. Ia seperti nilai halal dan haram: tidak ada 100% halal dan tidak bisa pula hanya 90% halal, atau sebaliknya. Ia kaku, hitam-putih: bohong atau jujur; halal atau haram.
Saat ini, kebiasaan berbohong, dalam segala jenisnya, sudah merasuk ke dalam ranah kehidupan kita semua. Bukan saja pada ranah korupsi dana jutaan rupiah, tapi juga dalam hal yang sangat sepele. Coba kita perhatikan jawaban di telepon: “Ini sudah di jalan” untuk pertanyaan yang mendesak “sudah berangkat belum? Kok nggak muncul-muncul, sih?” padahal sejatinya dia belum berangkat. Banyak ‘kan kebohongan sejenis itu dan seolah-olah itu dianggap biasa? Semoga kita segera sadar bahwa orang bohong yang ‘selamat’ itu bukan karena ia bisa menghindari dari kebohongan, melainkan hanya karena belangnya belum terkuakkan. Itu saja.
03 Oktober 2013
Langganan:
Postingan (Atom)