19 November 2019

Gara-Gara Nginjak Kucing

Ini kisah lama. Kejadiannya mungkin awal tahun 2000-an. Saya dapat cerita dari salah seorang tokoh yang ada di dalamnya. Hanya cerita tentang kucing liar yang kenal injak dan mengalami dislokasi tulang, sih, tidak penting-penting amat. Cuma ketimbang nganggur, boleh juga dibaca.

* * *

Saat Afifi dan Hamzah mau pulang dari kantor dan tiba di parkiran sepeda motor, mendadak terdengar jeritan seekor kucing, eyaaaww.... Afifi langsung meloncat mundur. “Ya Allah!” serunya, kontan, eh, spontan. Secara tak sengaja, salah satu kakinya menginjak kucing ketika ia melangkah mundur. Si meong tidak tidak kelihatan karena berada di belakang tumitnya.

Waduh. Gawat.
Terus gimana?
Ini kayaknya keseleo.”
Kayaknya patah itu, bukan cuman keseleo.”

Sejurus berpikir, Afifi lantas ngajak Hamzah untuk membawa kucing tersebut dokter hewan. Berangkatlah mereka ke tempat yang dimaksud.

“Kenapa?” kata pak dokter.
“Anu, Pak, kena injak.”

Dokter memeriksa. Setelah mengamat-amati, menimang-nimang, mengusap-usap, dokter bilang. “Ia dislokasi tulang. Saya tidak sanggup, harus dirujuk ke Rumah Sakit Hewan.”
“Memang ada, Pak?”
“Ada, di Sekip sana, di FKH UGM.”

Air muka kedua orang tadi sontak berubah. ‘Kok jadi berabe begini, ya?’ pikir salah seorang keduanya.  Kucing liar yang secara tak sengaja kena injak itu ternyata menyita banyak waktu mereka. Mestinya, mereka sudah sampai ke kontrakan masing-masing, tapi ini malah ribet mengurusnya.

Keduanya mengadakan diskusi dadakan, “Quo Vadis Kucing Ini”. Kucing liar yang tak bertuan tersebut telah menyulitkan mereka. Dibiarin kok rasanya berdosa karena tak tanggung jawab,
Diurus kok malah menghabiskan jatah waktu untuk leyeh-leyeh mereka berdua. Kucing tadi telah membuat mereka harus nambah shift untuk sesi tak terduga.

“Kucing ini harus operasi besar.” Pak dokter menatap wajah Afifi dan Hamzah bergantian.
“Terus, biaya opname kira-kira berapa?
“Sekitar 600-an ribu, belum termasuk biaya operasi...”
“Pak,” Afifi memotong.”Tidak ada cara yang lain, Pak? Anu, Pak. Ini sebetulnya kucing liar...” dan dia pun menjelaskan kronologi kejadiannya dari depan. “Jadi, kucing ini bukan kucing piaraan seperti kucing Angora itu.”
“Ada.”
“Apa itu?”
“Euthanasia!”

Afifi dan Hamzah saling padang. Air mukanya keruh mendadak. Keduanya OTW pingsan.

29 Juli 2019

Menjamu Tamu



 Suatu hari, saya kedatangan tamu. Dia bersama pembimbing disertasinya, seorang guru besar. Saya menemuinya di badunan. Badunan adalah sebutan untuk ruangan yang biasanya terletak di sisi kanan sebuah mushalla.

Biasanya, saya jarang menyuguhi makan untuk tamu, tidak seperti kebiasaan orang Madura yang nyaris mewajibkannya. Tamu-tamu saya itu jarang-jarang yang datang. Rata-rata, mereka datang dengan waktu yang singkat. Ada juga, sih, yang sering datang dan lama, bahkan tetap duduk meskipun tuan rumahnya (saya) tidak ada di rumah. Tapi, kali ini, saya niat menyuguhi mereka makan siang karena di samping mereka datang dari tempat yang sangat jauh (Nijmigen, Belanda), juga karena bahan-bahan yang mau dihidangkan kebetulan ada.

Begitu saya buka pintu kamar depan, tampaklah sice dan hidangan yang sudah disajikan, tapi—astaga—dalam keadaan berantakan. Saya kaget bukan alang-kepalang mengingat baru semenit yang lalu hidangan di meja itu selesai ditata.
 
Mau dipersilakan, kok, ya, hidangannya berantakan, mau disuruh duduk kembali, saya sudah terlanjur buka pintu dan hidangan sudah terlihat oleh para tamu. Terlambat! Saya persilakan saja. Masalahnya, saya tidak menemukan tanda-tanda adanya kambing hitam di situ, sejenis kucing atau ayam yang masuk ke rumah. Ternyata, ada anak saya yang paling kecil, yang usianya baru dua tahun lebih sedikit, berada tak jauh di sana, di balik pintu, memegang sendok di tangan kanannya. Oh, rupanya, semua ini merupakan ‘hasil karya’-nya

Mari, Mas, silakan, sudah begini adanya. Forgive me, Sir. Maybe an earthquake causes this, kata saya ngawur.
“Oh, ya, tidak apa-apa, jawab salah satu dari mereka.”
Pak profesor hanya tersenyum.
“Anggap saja ini seni instalasi,” kata saya berhujah, sekenanya saja.


***

Dulu, semasa ayah saya masih ada, saya pernah menjerang air daun mimba (intaran) dalam jumlah banyak sekali. Rebusan daun ini—di tempat kami—dikenal sebagai obat banyak-anti: anti nyamuk, anti-gatal-gatal, dll.  Tapi, meskipun begitu, mengkonsumsinya tidak boleh terlalu banyak karena kurang baik untuk liver.

Lalu, tanpa sengaja dan mungkin karena tertipu warnanya yang sangat mirip teh, jamu itu disuguhkan ayah saya untuk tamunya. Saya telah melakukan kesalahan: meletakkan jamu di teko teh. Kejadian ini baru saya ketahui beberapa waktu kemudian karena si tamu curhat kepada paman saya perihal kejadian ini.

***

Ada kata yang mirip dan kadang beda jauh artinya, seperti “jamu” dan “jemu” dan “menjamu”. Dalam english, ada hospital dan hospitality yang mirip (rumah sakit; keramahan). Orang kadang salah tulis hanya karena mereka mendengar, seperti kesalahan menulis “sekedar” dan bukan “sekadar”; “tolak ukur” padahal mestinya “tolok ukur”, dll. Kita memang harus cermat dalam berbagai hal.

Terkait jamu, dari sini kita tahu, bahwa “jamu” memiliki lebih satu arti, tapi masih ada keterhubungan satu sama lain. Sekurang-kurangnya, artinya ada dua: pertama, sebagai obat yang berasal dari akar dan daun-daunan; kedua, tamu atau para tamu. Menjamu berarti menerima dan menyuguhkan hidangan untuk tamu. Menjamu baru bisa memiliki dua makna sekaligus jika si tamu disuguhi cemilan dan/atau nasi sekaligus disuguhi jamu, tapi tentu saja dikasih tahu lebih dulu bahwa yang ada gelas isinya rebusan air mimba, sehingga si tamu tidak tertipu kamuflase teh, padahal berisi jamu yang rasa pahitnya bikin jemu.

#bahasa

06 Juni 2019

Rapor Kita di Bulan Puasa



Ketika Ramadan selesai, apa yang tersisa? Lupa, hari-hari kembali berjalan seperti biasanya

Saya ingat, bulan puasa tahun ini saya absen tiga kali di mihrab saat tarawih, tapi bukan berarti tidak tarawih. Saya tetap menjadi mamkum di tempat yang lain. Jadi, untuk tarawih, saya hadir setiap malam dan kabar ini mestinya menyenangkan karena berarti saya telah menyelesaikan 30 malam, tak kurang.

Rapor puasa saya juga baik, tidak batal. Saya harap, Anda juga begitu. Lalu, kita bertanya, diterima atau tidak? Ini bukan urusan kita. Tapi, tentu saja kita akan berharap—sebagaimana doa yang kita panjatkan setiap selesai shalat witir—agar laporan amal kita, kelak, bakal diterima dan—nauzubillah—bukannya dihempaskan kembali ke muka kita sebagai tanda tidak diterima.

Mengaji Alquran? Bagaimana? Kita pasti akan ngaji di bulan puasa. Lebih baik lagi jika ngajinya sampai khatam, dan lebih baik-baiknya lagi kalau sampai khatamnya hingga lebih dari satu kali. Tapi, bagi yang mampu berpuasa saja sudah berat, mengaji dan khatam di bulan puasa akan tampak sebagai kegiatan mewah, padahal kita tahu, bulan puasa adalah “Bulan Alquran”. Maka, dengan sendirinya, kita harus malu kalau tidak mengisi hari-hari puasa dengan mendarasnya. Istimewa jika kita sanggup mempelajari kandungan atau tafsirnya.

Lalu, apa kesimpulan rapor kita selama sebulan ini?

Setelah masuk Syawal, di jalanan saya kembali bertemu dengan orang yang terus-menerus menyalakan lampu jauhnya dan persis nyentrong muka orang yang datang dari lawan arahnya. Saya juga bertemu dengan orang yang  kembali mengambil hak-hak orang lain, dari level paling rendah hingga level tertinggi. Yang paling rendah bahkan dapat dilihat langsung saat habis shalat ied,  yaitu orang-orang yang nyerobot antrian salaman dengan imam. Tak lama sesudahnya, akan terdengar pula gunjingan orang tentang dia yang kemarin puasa tanpa bolong tapi santai nyogok untuk mendapatkan kesempatan yang mestinya milik orang lain. Akan ada pula cerita orang yang tanpa merasa bersalah sedikit pun dalam melalukan dosa-dosa sosial dan environmental, bahkan ini biasanya terjadi langsung di pagi pertama bulan Syawal.

Jadi, kalau ingat ini, bagaimana rapor puasamu? Hanya nilai-nilai yang bagus tapi tanpa dampak yang juga bagus untuk memperbaiki kualitas ibadah dan kualitas hidup?

04 Juni 2019

Segera Azan, Segera Berbuka


Ada dua sikap terburu-buru yang saya catat di bulan puasa ini. Yang pertama berasa langsung, yang kedua harus direnungkan lebih dulu untuk merasakan sensasi keterburu-buruannya. Mari simak satu per satu.

SEGERA BUKA

Termasuk sunnah puasa adalah segera berbuka, selain sahur dan mengakhirkan waktu sahurnya. Tapi, yang dialami oleh Nidin ini ternyata berbeda di saat untuk pertama kalinya ia berkunjung ke rumah bibinya.

Sore itu, ia haus sekali karena sahurnya kebablasan, tidak bangun dan tidak sempat makan sahur. Ia bibi sudah menyiapkan minuman pembuka, semacam es blewah, dan sudah siap di tangan kanannya. Begitu terdengar grakgrok-grakgrok dari TOA masjid dan disusul oleh lantunan "Allaaa...h", langsung saja si Nidin ini main teguk saja. Bibinya—yang ketika itu melihat—sontak membelalak, memanggil-manggil Nidin untuk melarangnya: "Diiiiiin...."

Apa daya, setengah gelas sudah tandas. Nidin menoleh dan ia sadar kalau suara di TOA bukanlah azan, melainkan si takmir membaca shalawat sebagai pengantar menjelang azan maghrib yang merupakan kebiasaan di masjid rumah si Bibi tersebut.

"Allaaah...

“....humma shaalli 'alaa Muhammad. Yaa rabbi shalli 'alaihi wa sallim..."

PERUMPAMAAN: kejadian ini ibarat main bola 45 menit x 2 dan tidak kebobolan gol sama sekali, tapi pada masa-masa injury time, ia nendang bola mau dikembalikan ke kiper, tapi si kiper lengah dan terjadilah gol bunuh diri

* * *

SEGERA AZAN

Di langgar Al-Furqan, azan maghrib khusus bulan puasa ada sedikit beda dengan hari-hari biasa. Durasi azannya singat dan tidak mendayu-dayu. Hal ini karena ada pesan dari imam agar azannya dipersingkat supaya orang yang hendak berbuka itu sama-sama dapat pahala sunnah: sunnah menjawab azan dan sunnah segera berbuka.

Di sekitar kampung itu, banyak sekali musala yang kalau bulan puasa mengumandangkan azan juga. Tapi hanya ada satu masjid yang mengumandangkan qiraah menjelang maghrib, disusul shalawat (yang biasanya dilantunkan oleh Syaikh Mahmud Khalil al Husari), lalu azan sesudah tiba waktunya.

Akan tetapi, ketika pembacaan shawalat hampir mencapai baris terakhir ("wa alaa aalika wa ashaabika ajmaiiin...." biasanya, belum pula azan, surau dan langgar di sekitar masjid jamik lain yang memang tidak ikut menjaga waktu dari awal dan hanya azan seringkali azan duluan, sering nyerobot: azan duluan. Akhirnya, azan di masjid jamik yang takmirnya memutar qiraah 30 menit sebelumnya itu akhirnya azan paling belakang... Pernah kejadian: s shalawat diputar hingga dua kali karena ternyata (mungkin) si takmir salah perhitungan untuk memantau waktu azan. Nah, kalau seperti ini kejadiannya, bisa berabe: azan duluan sebelum masuk waktu maghrib. Di hari-hari biasa mungkin mendingan karena orang tidak langsung mendirikan shalat, tapi di bulan puasa bisa berabe karena orang pasti langsung berbuka.

PERUMPAMAAN: kalau diibaratkan rasa ‘baper’, situasinya mirip orang yang menunggu waktu untuk melamar gadis ke orangtuanya, tapi begitu sampai di depan rumah, ternyata ada orang lain yang melamar dulaun dan diterima. Begitulah, saya kira orang nyerobot itu hanya ada di jalan raya, eh, azan pun ternyata ada juga.

Hargailah itu azan maghrib di bulan puasa. Dari siang ditunggu-tunggu, tapi bergitu ia datang dan berkumandang, kita cuekin begitu saja

Rapor Tarawih

Alhamdulillah, senang sekali karena tarawih (yang tidak baku adalah teraweh atau taraweh) saya di bulan Ramadan 1440 hijriyah (yang baku hijriah) ini mulus tanpa putus, tanpa bolong. Namun, berbeda dengan beberapa tahun yang lalu yang kesemua shalat dikerjakan di langgar sendiri, tahun ini ada beberapa tarawih yang dikerjakan di masjid atau musala orang. 

Di media sosial, hampir seriap ramadan, ramai dibicarakan soal tarawih cepat. Entah apa maksud media itu ngumbar berita seperti ini. Apa pentingnya pamer kecepatan jika tarawih memang bukan balapan? Saya tidak akan bicara soal tumakninah (berhentinya pergerakan anggota tubuh di saat ia mestinya berhenti, jeda, dengan durasi lama kira-kira bacaan “subhaanallaah” [atau ditulis dengan “subhānallāh”]) dan sah-tidaknya shalat. Saya hanya akan bicara data-data.

Yang jelas harus jadi pertimbangan adalah; sebelum bicara soal kualitas, kita harus lebih dulu bicara rukun dan syarat. Dan setiap kali kita bicara soal kecepatan tarawih, kita lantas terangsang untuk ikut membicarakan “rekor” serupa di tempat yang lain, yang kita alami atau yang kita sebatas dengar nguping saja. Sebentar, apa perlunya, sih? Saya menulis ini hanya untuk mereka yang keranjingan data, atau untuk mereka agar terbiasa menyajika fakta berdasarkan data-data.

Nah, berkat kerjasama yang baik antara imam dan makmum, hamdalah, telah terlaksana pencatatan rakaat taraweh berbasis. 

Tahun-tahun sebelumnya, saya sempat membukukan catatan durasi tarawih ini. Sayangnya, data tersebut tersimpan di hardisk yang sekarang sedang rusak. Maka, pada malam ke 18, shalat (yang baku salat) tarawih tercatat: diselesaikan dalam tempo 34 menit, 24 detik, 53 sekon. Untuk pengambilan sampel rata-rata diambil pada dua rakaat pertama (satu kali salam). Terbukukan durasi waktu: dari takbiratul ihram hingga menjelang rukuk = 57 detik. Total waktu untuk 1 salam (dua rakaat pertama) beres dalam hitungan waktu 2 menit, 38 detik. Adapun interval untuk nida' pada rakaat ganjil = 10 detik;
nida' + doa di rakaat genap = 33-38 detik. 

Data ini dihitung sejak 2-3 detik menjelang takbiratul ihram hingga salam terakhir shalat witir yang secara keseluruhan berjumlah 23 rakaat (12 kali salam). Seingat saya, tahun-tahun sebelumnya, durasi shalat taraweh biasanya selesai dalam waktu 40 menit atau  41 menit. Tapi, saya tidak tahu, apakah itu termasuk zikir di akhir salat atau tidak. Makanya, saya tidak dapat memastikan karena datanya tidak ada. Yang hanya dapat dikira-kira memang tidak boleh dipastikan karena khawatir akan timbul salah paham. 

Pada malam ke 22, saya melaksanakan taraweh di Al-Anwar, Gapura. Datanya adalah sebagai berikut: Total waktu untuk shalat adalah 30 menit 20 detik. Rakaat pertama 38 detik. Salam pertama 2 menit, 5 detik. Dan pada malam ke 25 Ramadan, saya ikut taraweh di Sampang. Ini agaknya yang tercepat. Meksipun hitungan waktu dari takbiratul ihram ke rukuk sama-sama memakan waktu 38 detik, tapi secara total taraweh hanya 24 menit lebih beberapa detik saja.

Makanya, berdasarkan pengalaman seperti in, saya tetap penasaranj jika masih ada yang lbih cepat darui salat yang sudah satya lamai ini.

Jadi, data-data ini sebetulnya untuk apa? Sebetulnya, ini tidak penting. Membandingkan kecepatan tarawih di satu langgar dengan langgar yang lain itu tidak ada gunanya. Ada banyak faktor yang menjadi masalah, di antaranya adalah kondisi makmum. Langgar yang semua makmumnya santri dan muda-muda akan berbeda situasinya dengan shalat di masjid yang jumlah makmumnya sangat banyak dan terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, tua dan muda, yang sakit encok dan masih perkasa. Sebab itulah, dalam sebuah hadis riwayat Abi Hurairah (Bab “Hurumaat al-Muslimin” dalam “Riyadus Shalihin”), Nabi bersabda “fal yukhaffif”: shalat diringankan, dipersingkat, sementara beliau bilang “fal yuthawwil” jika kita shalat sendirian, seperti shalat sunnah dan shalat malam.

Karena kita suka membanding-bandingkan kecepatan, akibatnya warganet keranjingan adu kecepatan, padahal shalat itu mikraj, bukan balapan. Adapun yang saya tulis di sini berujuan agar kita terbiasa mengajukan data saat bicara fakta supaya ketika yang satu bilang cepat itu kita semua jadi tahu, cepat seperti apa dan seberapa lama. 

27 Mei 2019

Jangan Berlebaran di Rumah Sakit



Lebaran adalah hari bahagia, baik bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak. Yang berpuasa gembira karena merasa  telah memenangkan perjuangan selama 30 hari melawan lapar dan dahaga, melakukan amalan, berbuat kebaikan, dslb. Terus terang, harus diakui, kegembiraan lainnya adalah karena mereka, kini, kembali bisa makan-minum  di siang hari.

Karena moyoritas warga negara di Indonesia itu muslim, maka Lebaran memberikan dampak pada banyak hal, termasuk liburan, sehingga yang tidak puasa pun 'terpapar' kebahagiannya: ikut menikmati liburan. Persoalan libur lebaran menyedot banyak uang, bikin perputaran uang yang sangat besar, bikin kemacetan dan seterusnya, itu hal lain.

Namun, ada kalanya, kita harus menjalani suratan takdir berlebaran tidak dengan keluarga. Jika kita anggap ini perjuangan dan bernilai amal, kita tentu tetap berbahagia dalam menjalaninya. Di antara mereka adalah;  petugas menara jaga yang ada di bandara, penjaga pintu perlintasan kereta api, sopir ambulans, sopir bis antar-provinsi yang sedang bertugas di tengah perjalanan, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, yang disebutkan di atas itu masih mendingan ketimbang golongan satunya lagi, yakni mereka yang harus berlebaran di rumah sakit. Setidaknya, ada tiga kemungkinan mengapa ada orang yang berlebaran di rumah sakit: Pertama, dia sakit dan harus menjalani rawat inap, kedua; tidak sakit tapi kecelakaan lalu lintas (ini yang banyak terjadi) yang mengharuskan dia terbaring di sana, dan ketiga; melahirkan (seperti harus operasi cesar). Maka, kita mesti berempati akan ketidaknyamanan tersebut di kala sehat dan sedang ada di rumah, bersama keluarga.

Jika harus berlebaran di rumah sakit karena memang waktu melahirkan atau karena sakit, kita bisa legowo dan memang sudah sepatutnya kita terima. Tapi, jika kita berlebaran di sana karena kecelakaan lalu lintas, inilah yang harus kita waspada agar lebih berhati-hati karena sejatinya kita bisa menghindarinya dengan ikhtiar. Orang desa sering bilang, menjelang hari raya itu nahas, banyak terjadi kecelakaan, baik di jalan maupun di rumah.

Percaya atau tidak, biikinlah survei sendiri. Jadi, melipatgandakan kewaspadaan adalah kewajiban. Banyak cerita yang menunjukkan bahwa semakin dekat lebaran, kecelakaan makin tinggi angkanya. Mungkin, berdasarkan "ilmu titen" dan tengara pada kejadian yang sudah-sudah inilah lantas leluhur  menyebutnya sebagai "nahas".  Sejujurnya, ia merupakan pesan perhatian, atau peringatan bagi kita untuk bertindak sangat hati-hati, terutama pada hari H-3, H-2, dan H-1 menjelang hariraya.

22 Mei 2019

Panduan Bagi Camer yang Akan Menerima Santri Sebagai Calon Menantunya



Sebelum terlanjur menerima Rori jadi suami anaknya, Pak Santoso (biasa dipanggil Pak So) berniat menguji integritas, intelektualitas, serta pengalaman si calon menantu. Berikut hasil wawancara Pak “So” kepada “Ri”. Dalam kasus ini, saya berperan sebagai tukang catat saja.

“Aku kan ndak pernah mondok, Nak. Kamu itu di pondok ngapain aja?”
“Di pondok, ya, mengaji, Bapak Mertua!”

“Hus, belum-belum sudah nyolot. Panggil aku ‘Bapak’ saja, tidak usah pakai embel-embel mertua segala.”
“Oh, maaf.”

“Cuma mengaji, kan bisa di rumah? Apa bedanya?”
“Bisa, sih, Pak, asalkan kiainya didatangkan ke rumah. Tapi, kalau di rumah, kita-kita ini tidak bisa mengabdi, tidak bisa berkhidmat untuk pondok dan kiai. Lagi pula, kalau di rumah nanti tidak bisa disebut mondok, melainkan les atau kursus, kecuali kalu kita memang tinggal di semacam Pondok Maspion Indah yang perumahan itu atau di Pondok Saung Kabayan yang jualan ayam lalapan.”

“Kalau misalnya tinggal di rumah tapi ngajinya di pondok?”
“Rumahnya di lingkungan pondok apa enggak? Jika di luar pondok, dia namanya “santri kalong”. Kalau di lingkungan pondok, namanya Gus, atau Lora, anaknya kiai, Bapak.”

“Oh, begitu, ya? Baik, lanjut. Pondok kamu itu pake tembok atau terbikin dari kayu dan berkaki kayak rumah gadang itu?”
“Pondokan saya sudah bertembok, Pak. Ada juga tersisa pondok kayunya, tapi sudah tinggal beberapa, banyak yang rusak, soalnya kadang diteteli sama santri-santri buat bahan bakar tungku saat masak-masak.”

Pak Santoso diam dulu. Entah beliau mengumpulkan bahan pertanyaan atau sekadar memberikan jeda. Setelah nyeruput teh, beliaunya kembali bertanya.

“Maaf, ya. Kok kalau santri itu identik dengan korengan, gudikan, kusut, kumal? Tapi kamu ini, mmm... lumayanlah kalau kamu ini, agak necis.”
“Oh, itu stereotip saja, Pak. Yang membikin kesan seperti itu pasti bukan santri, biasanya media atau orang yang mudah percaya film, koran, atau hasil penelitian yang surveinya hanya dilakukan beberapa hari dan ditulis dalam beberapa halaman, sementara pondoknya sudah berusia lebih satu abad. Yaelah, pasti banyaklah yang terlewat.”

“O, begitu, toh? Baik. Katanya, di pondok itu ngaji kitab, ‘gundul’ pula. Kok cari susah, sih. Sekarang kan sudah banyak kitab terjemahan. Bukankah bisa saja kita belajar sendiri di rumah?”
“Oh, itu maksudnya supaya kita belajar kepada ahlinya, kepada yang asli, bukan kepada yang kw. Kalau yang ori ada garansinya, yang kw enggak. Mudah dipahami, kan, Pak?”

“Paham, agak paham, sih. Tapi, gak apa-apa. Nanti aku bakal paham sendiri. Butuh waktu agak lama untuk mikir beginian. Okay, soal biaya, bagaimana?”
“Murah, Pak, pasti lebih murah daripada di sekolah-sekolah, apalagi kalau dibandingkan dengan biaya pendidikan dan biaya hidup di kampus. Di kampus itu, selain biaya uang gedung, konon—kata teman saya, sih—yang amat mahal itu biaya pacaran dan biaya nongkrongnya. Sementara , semua itu tidak ada.”

“Bagaimana rasionalisasi bisa murah?”
“Sebab dana ini-itunya banyak ngambil dari dompet kiai. Pengasuhnya mikir, masyarakat dan wali santrinya juga mikir untuk melangsungkan pendidikan. Kalau sekolahan kan sudah tidak perlu mikir lagi. Pikiran operasionalnya sudah dititipkan ke Kemenag dan Kemendiknas sehingga tinggal jalan saja lembaga pendidikannya. Kalau pondok, pondoknya, lho, bukan sekolahan yang ada di pondok, itu harus “mikir sambil jalan”. Tentu saja, untuk kasus pondok moderen pasti beda. Biayanya tidak murah. Saya ini bicara podok yang umum-umum, yang pada umumnya gitu. Kalau ada yang sangat mahal, itu pasti pondok perkecualian. ”

“Terus, kalau jadi kiai di situ, berapa gajinya?”
“Tidak digaji, Pak. Kiainya cari sendiri sumber penghidupannya. Adakalanya disalamtempeli oleh walisantri, tapi jarang-jarang.”

“Wah, enak bener itu. Enggak usah kerja, dikasih duit.”
“Pas dapat salam tempel tentu enak, tapi yang bangun pondok dan mengoperasikan itu emang duit dari mana jika sebagiannya bukan dari salam tempel itu? Dari sumbangan yang cuman semehek-mehek begitu kan tidak mungkin. Dan kiai kami itu juga makan, Pak, ndak terus-menerus berpuasa.  Kalau disuruh ngajar gratisan terus-terusan, emang kitabnya kayak printer yang bisa nyetak uang begitu?”

***

Percakapan ini hanya gurauan saja. Tentu saja, saya bikin wawancara imajiner seperti ini supaya ada imbangan bagi pandangan kelompok yang ada di sana. Sudah sejak lama, ada kelompok yang ingin merendahkan kaum santri dan/atau pesantren dengan berbagai caranya. Usaha untuk merendahkan ini bukan isapan jempol, lho, tapi nyata. Cirinya mereka, antara lain, adalah menganggap penghormatan santri terhadap kiai sebagai sesuatu yang berlebihan, kultus, dan itu berbahaya bagi kemurnian keyakinan, terhadap kesucian iman tepatnya. Itu kata mereka, tapi tidak kata santri, sebab santri tahu bedanya hormat bendera dan hormat kepada orang tua.

Banyak hal lucu dan aneh di pondok, layaknya mengada-ada. Yang mondoknya sebentar pasti percaya, apalagi yang lama. Yang tidak percaya pasti yang mondoknya hanya di Saung Kabayan atau di pondok prodeo.

Di antara hal unik dan nyaris tidak masuk akal itu adalah bahwa ada santrinya kiai yang terkadang bukan berwujud orang, melainkan mobil atau jin. Kalau enggak percaya, tanya saja kepada sebagian “petualang pesantren”, “santri kelana”, atau “santripedia” seperti Toni Pangcu. Saya tidak akan cerita tentang santri jin karena wilayah ini terlalu privat untuk dibaca publik. Soal memondokkan mobil, memang ada benar. Alasan si empunya—kira-kira kalau diparafrasa ulang redaksinya—adalah;  “Mobil ini dipasrahkan kepada Kiai agar diajak-ajak oleh Panjenangan ke pengajian. Sebab, saya yakin, Panjenengan akan mengajak mobil ini berkhidmah, seperti ke pengajian, ndak mungkin diajak pergi ke tempat tidak benar, seperti dibawa pergi ke tempat berlangsungnya rapat makar atau perjudian.”

Pernah kejadian, eh, sering malah (karena lebih dari lima kali), Kiai Jauhari dari Pace, Jember, bertandang (sowan) ke beberapa kiai di Madura. Beliau bawa rombongan dalam tiga mobil: mobil pertama dikendarai Kiai Jauhari sekeluarga, mobil kedua membawa rombongan, mobil ketiga berisi sebagian anggota rombongan dan oleh-oleh, seperti beras, kopi, sayur, dll. Ketika hendak pulang, seluruh penumpang mobil ketiga pindah ke mobil kedua. Terus, mobilnya? Ditinggal sebagai oleh-oleh, berikut semua barang yang ada di dalamnya. Aneh, ya? Tapi itu ada beneran.

Masih ada sekian keistimewaan yang ada di pesantren. Contoh: pengawasan di pondok itu 24 jam, baik secara fisik oleh pengurus maupun secara spiritual oleh pengasuh. Ini berbeda dengan di kelas yang diawasi dari pagi sampai siang atau sore saja, diawasi oleh guru, saptam, atau CCTV. Setelah anak pulang ke rumah, orangtuanya yang ganti ambil peran. Tapi, benarkah mereka sempat memantau anak sebenar-benar? Mampir di mana saja mereka ketika pulang? Malamnya, ke mana mereka keluyuran?

Eits, lama-lama, saya kok merasa sedang nulis endorsemen, ya? Oh, tidak. Ini tentang alasan mengapa Rori harus menjelaskan kepada calon mertuanya, Pak Santoso, ini dan itunya karena Pak So hanya tahu sedikit tentang hal ini

“Sebentar, Nak!” tiba-tiba Pak Santoso nyeletuk. “Intinya, apa yang sangat membedakan antara pesantren—taruhlah—dengan lembaga pendidikan lain?”

“Nganu, Pak, mmm... jaminan kepuasannya!”
“Wah, garasi? Eh, garansi? Ada garansinya begitukah?”
“Maksud saya,“jaminan kepuasan” itu begini: Di pondok, kalau mereka berhenti, biasanya orangtua tetap menyambungkan tali silaturahmi dengan kiai. Selebihnya, kiai terus mendoakan mereka sampai mati, si santri atau si kiai. Setahu saya, RAM dan VGA Card ada yang lifetime guaratee, tapi keburu RAM dan VGA-nya yang ‘mati’ duluan. Tapi, saya juga reaslitis, tentu saja, bolong-bolongnya juga banyak. Saya harus imbang agar tidak jurkam. Mari kita kupas.”

“Kalau terlalu serius mondok, biasanya anak jadi kurang aktif dalam pergaulan dengan sesamanya, apalagi sama lain jenis. Wong mau ketemu saja mereka enggak bisa. Pengalaman saya waktu mondok dulu, saya berpapasan dengan santri putri hanya ketika berangkat sekolah. Kebetulan, di pondok kami, di jalan menuju madrasah itu ada perlintasan, kayak rel kereta api begitu, tapi tanpa JPL dan penjaga, yang kalau kebetulan ada gerombolan putri yang lewat, gerombolan putra tahan dulu. Setelah mereka melintas, barulah gantian kami yang lewat, sembari mengendus-endus sisa Pucelle atau Cologne dan wangi pupur yang masih mengambang di udara yang terhirup dulu oleh hidung kami. Sementara teman kita di kampus, main ke kamar cewek terus masuk ke dalam dan boleh mengunci pintu? Pak kos diam saja? Dan, ngapain saja mereka di dalam? Wiridan? Main halma? Masak cuman main halma sampai tutup pintu segala?”

“Wah, seru juga, ya!” Pak So menyela paparan Ri.
“Iya, dong. Dan yang tidak menarik lainnya masih ada, yakni karena kalau pagi mereka mengantuk. Di kelas mengantuk, di mushalla mengantuk. Mengapa mengantuk? Karena malamnya begadang. Tapi, mereka begadang sesuai anjuran oleh Rhoma Irama, begadang yang ada perlunya, yakni belajar dan tahajud, bukan begadang demi menghabiskan jatah kuota yang bakal habis setelah fajar. Kalau begitu, nah, kapan waktu tidurnya jika bukan tidak di dalam kelas? Katanya begitu, sih.”

“Ri?”
“Ya, Pak!”
“Ternyata, jawabanmu itu menarik.”
“Lah, kan calon menantunya, Bapak, he, he, he....
“Husy....!!”
“Kalau tidak keren, mana berani saya ngelamar putrinya bapak.”
“Husy lagi... Heh, aku yang tidak pernah punya pengalaman mondok, jadi pengen mondok, sayang usiaku sudah tuwir”
“Tapi, omong-omong, janganlah Bapak ikut-ikutan jadi santri.”
“Loh, emang kenapa?”
“Lah, terus, kalau bapak yang jadi santri, terus sya mau melamar siapa?”


11 Mei 2019

Hal-Hal yang Hilang di Dalam Perjalanan Naik Bis



Ini cerita zaman dulu. Sebetulnya, peristiwanya tidak begitu dulu, yah, semacam beberapa tahun yang lalu saja, sebelum “share loc.” dikenal dan GPS masih menjadi kebutuhan navigasi dan tentara, beda dengan sekarang yang orang umum pun pada tahu dan punya, kayak sisir rambut.

Subang, 1/1/2013
Kalau kamu sedang duduk-duduk di tepi jalan, sedang jaga toko atau nongkrong, acapkali ada pelintas atau orang entah siapa yang mendadak berhenti, lalu mendekat. Kalau mereka naik mobil, mereka turun dari kabin. Jika naik motor, mereka akan matikan mesin, turun dari sadel, kadang setengah membungkuk juga sebelum bertanya.

“Misi... numpang tanya. Tahu sama rumahnya Mas Marco?
Mas Marco yang mana, ya?
Yang jualan meubel jati, Mas.
Oh, di situ. Sampeyan lurus saja ikuti jalan ini, nanti ada gang lebar ke kiri, masuk. Terus saja sampai ketemu perempatan, ada pohon mahoninya di kanan jalan. Sampeyan ikut ke kanan, notok sampai ketemu rumah sangat besar dan bertingkat...”
“Oh, di situ rumah Mas Marco?”
“Ndak, bukan, rumahnya sampingnya lagi, persis.”
“Ooo...iya...”

Cakap basa-basi seperti ini di kalangan, di zaman sekarang, nyaris tidak ada lagi, terutama di kalangan Gen Z, generasi yang masa pubernya dicapai bersamaan dengan masa kepresidenan Pak Joko. GPS sudah menjawab semua pertanyaan kamu. WhatApps akan ngasih tahu posisi rumah doi secara tepat. Naik-turun sadel kalau cuman buat nanya-nanya tak perlu lagi. Tapi, kan memang itu yang kita damba? Praktis dan instan.  

Subang kalau tak salah, tahun baru 2013
Meskipun tampak sepele, perubahan gaya hidup seperti ini akan turut pula mengubah sudut pandang kita terhadap kehidupan, terhadap manusianya, terhadap lingkungan. Pasalnya, orang makin jarang bertatap muka. Mereka lebih sering bicara dengan layar LCD. Kalaupun berkumpul di satu tempat, tapi urusan mereka sendiri-sendiri. Perubahan gaya ini juga berpengaruh terhadap bahasa, khususnya pepatah. Yang dulu eksis, kini harus dihapus, atau diubah: Malu bertanya, sesat di jalan. Nanya melulu, bikin malu. Ogah bertanya, pakailah GPS.



***

Apakah kita mau mengutuk teknologi? Kurang kerjaan, ah. Nyatanya,  meskipun banyak yang antiteknologi dan tetap mengutuknya, orang awam merasa lebih nyaman menjalani hidup dengannya, terutama karena adanya teknologi komunikasi dan transportasi. Namun, kalau mau jujur, yang paling dijunjung oleh generasi awal adalah keluhuran budi, dan itu wujud daripada humanisme, kemanusiaan yang beradab. Humanisme inilah yang dapat menyatukan umat manusia yang beda ras, beda agama, beda bangsa, bukan teknologi.

lokasi sama dengan foto di atas 
Di perjalanan, banyak sisi-sisi lain humanisme yang ‘mengelupas’, berubah, bahkan ada pula yang mulai pudar. Sejak dibangunnya tol berkepanjangan panjang (begitu orang menyebut Trans-Jawa) di pulau Jawa, yang dulu satu RW cuma beda tegalan, kini terpisah beneran.  Yanto di selatan dan Santi di utara, yang dulu sering intip-intipan, kini hanya dapat melihat bentangan beton memanjang. Bonusnya adalah polusi udara dan suara.

Bentangan alam yang dulu indah dengan jagung dan padi, kini raib sebagiannya, ditumbuhi rumah dan cagak besi. Di tahun 80-an, dulu, kenyataan yang terjadi sekarang ini hanya ada di dalam cerpen futuristik atau science-fiction, belum ada di atas tanah. Sekarang, adanya tanah dan hutan kecil di tengah kotalah yang futurustik. Ya, apa-apa itu, pada saatnya nanti, akan serba terbalik.

Inilah beberapa situasi dan keadaan yang hilang dari atas aspal, terutama kalau kamu naik bis.

WARUNG MAKAN TAK SEBANYAK DULU

Dari balik kaca bis, di perjalanan, kalau di Sumatra kita lihat Bukit Barisan, kalau di Jawa kita melihat barisan warung makan, utamanya jika perjalanan tersebut dilakukan di Jawa pesisir utara. Suasana warung-warung makan di ruas jalan itu sangat ramai, rapat, dan meriah. Sekarang, itu sebagiannya mulai mati, jadi gosip untuk "rikolo jaman semono". Jika kamu melintasi jalan tol, yang akan kamu hadapi adalah sawah dan gudang di kanan kiri. Warung tak ada, seperti tidak adanya kendaraan lain yang datang dari lawan arah kecuali di seberang batas pemisah. Tidak ada lagi orang ngawur yang nyentrongkan lampu jauhnya semena-mena ke arah muka.

Lihatlah sepanjang ruas Losari, Kecipir, Tengguli, Tanjung, suasana pertokoan masih lumayan hidup, tapi mulai meredup. Dulu, di situ, banyak sekali warung makan dan truk yang mangkal. Tahun lalu, atau tiga tahun yang lalu, di sana masih semarak. Saya menyaksikannya. Tapi, bulan yang lalu, yang saya lihat begitu masuk ke wilayah Cirebon, warung-warung besar sudah pada tutup. Halamannya penuh rumput. Kalau pun ada yang buka, halamannya tampak kayak orang brengosan yang tak pernah cuci muka. Rumah makan sekelas RM Aroma mungkin masih bertahan, tapi kelas menengah seperti RM Minang Asri atau warung mi atau ayam bakar, habis-lah.

Orang zaman kuno, era musik disko, kalau kita mau bepergian itu bawa nasi dengan piring dan rantang sendiri. Air minum dimasukin jeriken, sudah mirip minyak tanah aja. Jadinya, mampir ke warung makan pun memang jarang. Belakangan, orang beli nasi tinggal melipir ke warung atau bungkus pakai styrofoam. Airnya beli air kemasan. Sesudah makan, tinggal buang saja ke pinggir jalan, tempat sampah yang super-panjang-lebar. Orangnya sudah mati, sampahnya abadi.
Apakah dengan adanya fenomena tol panjang seperti sekarang, ketika warung semakin berkurang, gaya hidup orang bakal kembali ke zaman dulu lagi dalam hal makan?

GOYANG TIPIS, PREI, KRES

Jalanan kian rapat. Selah antar-kendaraan sangat padat. Kres-kresan kendaraan hanya dipisah garis marka, bukan separator atau cekungan. Karena itu, fungsi sopir kiri alias kernet sangatlah baperan, eh, berperan.

pulang dari Kudus, 13/12/2015 
Kamu pernah dengar kernet teriak begini? “Goyang tipis, masuk, kiri...”

Kalau ada aba-aba begitu, sopir akan menggeser bis agak ke kiri. Tujuannya adalah agar pandangan si kenek tidak terhalang padangan kendaraan di depan, seperti bak truk atau sesama bis. Ketika padangan si kenek sudah bebas ke depan, dia akan mengaba-aba kembali: kres atau prei.

“Kres...

Kalau “kres”, artinya gerakan menyalip harus ditunda dulu dan gas harus dikendorkan. Bis kembali ke pengaturan awal. Jika perintahnya adalah “Prei kiri!”, maka sopir akan melanjutkan gerakan, goyang kiri, yakni menyalip kendaraan di depannya dari sebelah kirinya.

Kernet-kernet bis era 90-an dipastikan juga seorang stuntaman. Ia bergelantungan di pintu lipat yang dibuka lebar-lebar pada saat bis melaju kencang. Vin Diessel atau  Schumacher pastilah merinding kalau melihat adegan seperti ini dibawa enteng, bahkan sambil rokok-an.

Sekarang, aksi heroik seperti ini sudah kurang kerjaan. Mau apa kok masih tengak-tengok kanan-kiri jika jalan sudah membentang lurus, luas, tanpa rintangan? Lagi pula, tidak ada lagi kendaraan yang ngawur dari arah depan karena separator di jalan tol itu sangat lebar, pakai beton atau pagar.

Tentu saja, kalau kamu masih ingin merasakan sensasi begituan, kamu harus pergi ke Mojokerto-Jombang, atau Nganjuk-Madiun, dan naik bis yang tidak lewat jalan tol. Atau pergilah ke trek lainnya di luar sana, seperti Banda Aceh-Medan, Palembang-Bandar Lampung, juga (“konon”, soalnya yang trek ini saya belum tahu) di Medan-Pekanbaru, atau Makassar-Toraja atau Palopo. Pekalongan-Tegal juga masih bisa, jalannya lebar dan bisa nyalip dari kiri. Tapi tentunya, kamu harus jadi penumpang meteran, yang baru saja kamu sibuk membetulkan letak pantat untuk duduk, tujuan sudah tiba, sudah sampai.

RAIBNYA ASONGAN

Yang paling menarik dari numpak bis adalah adanya fenomena “toko yang mendatangi kita”, bukan “kita yang pergi ke toko”. Itulah dia asongan. Waktu saya kecil, saya berpikir, ‘Kok bisa ada toko di dalam bis, ya? Enaknya jajan cemilan di toko yang berjalan’, begitu pikir saya. Baru setelah dewasa saya ngerti kalau ternyata penjual asongan itu gonta-ganti pemain di setiap terminal.

Keberadaan asongan memang menyenangkan bagi penumpang, tapi nyatanya juga mengancam secara keamanan. Banyak oknum copet yang menyamar. Dulu, saat bis menunggu antrian kapal di Pelabuhan Kamal, pelabuhan yang konon tersibuk ketiga di Asia Tenggara (ditandai dengan 4 dermaga aktif padahal yang wira-wiri cuma orang Madura yang jalur daratnya juga buntu sampai Kalianget) itu, asongan akan berhambur masuk ke dalam. Beberapa kali saya melihat penumpang yang kecopetan begitu asongan turun dan penumpang sudah turun ke dek kapal, sama seperti yang juga kerap terjadi di terminal-terminal.

Namun, sejak dibukanya (tol) Jembatan Suramadu tahun 2009, Pelabuhan Kamal yang mirip New York karena hidup 24 jam, langsung lemes, mati suri. Kalau sekarang, jam 9 malam saja lewat di sana, ih, rasanya seperti sedang melakoni uji nyali. Tol Suramadu mengubah suatu tempat, suatu kondisi ekonomi, suatu iklim sosial, dengan sangat cepatnya. Meskipun begitu, ada juga yang berkomentar nyelekit kayak ini: “Dulu, kita selalu dibikin sebel karena antre lama di Kamal. Feri-nya ngetem lama, enggak berangkat-berangkat. Giliran sekarang ada Suramadu, gantian si Feri yang nunggu kita. Rasain.”

Itulah beberapa perubahan besar di perjalanan. Saya yang hidup di kedua masa bisa merasakannya sekarang. Generasi anyaran hanya tahu yang versi baru. Generasi kuno hanya bisa baper kalau ingat yang dulu. Jangankan uang, pepatah pun, seperti disinggung di atas, juga banyak yang berubah, bahkan perlu dihapus. Contoh: Ada api, ada asap. Kompor elektrik tidak berasap. Pepatah tidak laku. Ada gula, ada semut. Gulanya mengandung racun, semut tidak mau. Habis manis, sepah dibuang. Sepah masih bisa diolah dan jadi duit, jadilah habis manis, sepah ditelan.

Tapi, apa-apa itu memang sudah berubah semua, kok. Makanya, kita harus melatih diri agar tidak mudah baper, seperti jagoan kita yang sudah yakin menang di Pilpres mendatang, eh, kok kaaaalah. Jangankan Pilpres yang lima tahunan, uang yang katanya alat tukar berbahan kertas atau logam—yang kita butuhkan tiap hari itu—nyatanya kerap hanya tinggal nama dan digit saja. Contoh: misal esai saya ini dimuat, paling nanti juga ditransfer, terus, belum sempat diambil, sudah saya teruskan lagi buat bayar rekening listrik.

*artikel ini sudah dikirim ke Mojok, tp enggak terbit-terbit akhirnya saya terbitkan saja sendiri 



Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog