“Demikianlah acara demi acara yang…” terdengar penata acara menyampaikan kalimat-kalimat terakhirnya demi menutup seluruh rangkaian acara. Biasanya, kalimat seperti itu disampaikannya setelah “acara penutup/doa”. Dalam pada itu, sering saya perhatikan undangan. Ada sebagian dari mereka yang beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan ruangan bahkan sebelum penata cara itu merampungkan ucapannya.
Anda pernah melihat kejadian seperti ini? Saya seringkali menyaksikan urusan remeh-temeh ini. Ketika kita mempercayakan seseorang untuk memandu, mengatur dan menyusun acara sejak dari awal, maka dengan begitu kita harus setia untuk mematuhinya. Apa yang dilakukan mereka yang saya contohkan di atas adalah tipe yang tidak sepakat untuk jenis kapatuhan ini.
Maka, apabila Anda temukan orang (undangan) yang bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan tempatnya hanya beberapa detik sebelum acara berakhir, sebelum penata acara selesai bicara, cobalah sesekali diperhatikan. Sekali-dua, mungkin ia melakukannya karena kebelet pipis, karena tergesa-gesa. Namun, jika hal seperti itu juga dia lakukan dalam kesempatan-kesempatan yang lain, berkali-kali, pasti dia adalah tipe orang yang suka bicara tetapi enggan mendengar. Insya Allah, akan banyak capek-nya kalau berurusan dengan orang seperti itu.
Apa susahnya, sih, bertahan duduk 30-60 detik saja sampai penata acara mengucapkan salam tanda acara benar-benar selesai?
14 Juni 2013
12 Juni 2013
Kabut di Atas Payudan
Hari ini, saya sekeluarga, beserta, adik perempuan dan anak-anaknya,
pergi kondangan ke daerah Nangger, tetangga desa satu kecamatan. Letaknya kira-kira
9 kilometer dari desa dusun saya. Tuan rumah bernama Hosni. Hari ini kami
memnuhi undangan walimah untuk anaknya, Khotimah.
Tanpa lebih dulu mengingat-ingat pada dampak hujan yang
turun sejak kemarin hingga hari ini, siang itu saya terkejut begitu melihat
kondisi jalan setapak menuju lokasi; becak dan licin. Anak saya sempat terjatuh dan
bajuya kotor. Ibu nyaris terseok, sangat kesulitan melangkah. Istri dan adik
perempuan saya, yang kebetulan juga membawa 2 anakya, pun mengalami hal yang
sama. Jalan itu hanyalah pematang, jalan setapak yang mengantarai petak-petak
sawah. Kalau tergelincir, dijamin kotorlah semua pakaian.
Pemandangan yang mencuri perhatian saya adalah adanya kabut
di gunung Payudan. Ini adalah pemandangan tidak biasa mengingat “gunung”
Payudan itu sebetulnya hanyalah gugusan bukit saja. Dari bawah, saya
membayangkan sedang berada di lereng Merbabu atau Dieng, atau kalau mau lebih
hiperbolis, sedang berada di kaki Himalaya . Kami
sangat senang sekali melihat penampakan kabut itu karena nyaris tak pernah kami
lihat sebelumnya, di Madura.
Desa Nangger merupakan desa yang barangkali paling subur di kecamatan
Guluk-Guluk, atau bahkan di Sumenep. Di sana ,
air sangat melimpah. Padi tumbuh di tanah yang gembur. Berbeda dengan daerah
lain di Madura yang selalu krisis air di musim kemarau panjang, desa Nangger
serta tetangga desanya, Daleman dan Tambuko, selalu berkecukupan.
Desa ini berada di kaki perbukitan Payudan, perbukitan
(masyarakat setempat menyebutnya “gunung”) tertinggi di Madura. Uniknya, siang
tadi, saya lihat kabut tebal tampak bagaikan kerudung bagi puncaknya. Hanya satu-dua
kali saya melihat ada kabut di Madura, namun tak sehebat kali ini.
Siang tadi, tuan rumah sangat berbahagia namun lantas seolah
merasa bersalah. Seperti tamu-tamu yang lain, kami datang dengan belepotan
lumpur. Kepada kepala desanya yang masih muda dan duduk bersebelahan dengan
saya, Saifur Rahman, saya berkata, “Saya senang lewat di jalan becek. Jika bukan
sekarang, tentu akan sulit saya datang menuju undangan walimah yang didahului
oleh adegan berjibaku dengan lumpur seperti sekarang ini.”
Anggaplah ini latihan off-roading…
Langganan:
Postingan (Atom)