Saya pernah membesuk seorang pasien di rumah sakit. Ia masuk Jumat sore dan baru dikunjungi dokter di hari senin siangnya. Saya membayangkan, ngapain saja dia selama kurang lebih 70 jam di sana? Saat itulah benar terasa: betapa menunggu itu benar-benar membosankan.
Orang sakit sungguh tidak menginginkan apa pun selain kesembuhan. Orang sakit tidak suka buah naga dan klengkeng atau roti. Kalau kamu bawa itu sebagai buah tangan saat menjenguk, yang memakannya pastilah si penjaga, bukan si pasien. Tapi, si penjaga juga tidak nikmat-nikmat amat saat menyantapnya karena ia pun punya cita-cita yang sama: membawa pulang pasien dari rumah sakit karena hal itu jauh lebih nikmat daripada makan buah dan ngemil penganan apa pun.
Rumah sakit begitu senyap. Ini mungkin peran kerja psikologis meskipun sebetulnya rumah sakit tidaklah senyap. Lihatlah, orang-orang berseliweran. Muka mereka tampak serius, tegang. Jalannya bergegas, mengurus diri sendiri. Itulah satu hal yang membuat rumah sakit tetap ‘menakutkan’ meskipun di pintu masuknya kita disambut dengan koridor penuh bunga dan taman yang indah. Lobi UGD yang berpendingan dan bersofa tebal tetaplah tidak bisa membuat kita betah demi hanya duduk-duduk santai di sana.
Pengalaman di Rumah Sakit
Saya pernah menjaga pasien di Rumkital/RSAL pada tahun 2005 dan di RS Dharmo di tahun berikutnya (kedua rumah sakit ini terletak di Surabaya). Yang heroik dari penjagaan ini adalah karena ia berlangsung pada saat hariraya. Pengalaman lainnya: saya pun pernah menginap satu malam di rumah sakit, sebagai pasien. Saya menjalani operasi ‘bisul’ di lengan kanan. Kata dokter bedah yang bernama Husnul Ghoib, bisul itu bukan sembarang bisul, melainkan “benjolan masa lalu”. Istilah kerennya adalah—jika saya tak salah dengar—“traumatic kist” (keluarga besar ‘kista’ mungkin) atau mungkin yang disebut dengan kista-tulang-traumatik.
Balik lagi ke omongan semula…
Masuk rumah sakit, intinya, sangatlah bikin galau, lebih-lebih jika hari masuk pasien adalah hari Jumat. Jika “masuk Jumat sore, pulang Senin siang” itu disebut “liburan dan nginap di hotel”, maka kalau Anda di rumah sakit, definisinya agak beda sedikit: “masuk Jumat sore, dikunjungi dokter Senin siang”. Demikianlah pandangan saya berdasarkan hasil curhatan orang-orang yang pernah saya besuk. Saya sendiri tidak pernah mengalaminya sendiri, dan memang tak ingin. Mereka selalu bilang, mereka hanya bertemu dengan perawat dan dokter jaga. Entahlah kalau di rumah sakit besar.
Mestinya, aktivitas di rumah sakit itu harus sama: buka terus selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun, tidak ada acara libur-liburan sebab sakit datang tak kenal waktu. Saya berharap, ada gubernur (apalagi presiden) yang bikin peraturan: “Tidak ada libur(an) di rumah sakit. Kalau mau libur(an) pergilah ke pantai atau ke gunung.” Soal bagaimana mengatur jadwal dan teknis lainnya, ya, jangan bebani saya untuk memikirnya. Biar yang ahli saja yang melakukan dan memetakan persoalan lanjutan karena mereka akan dibayar untuk itu.
Pada suatu saat, saya pernah masuk (maksudnya melintasi saja, bukan tinggal) rumah sakit Mount Elizabeth. Rekan saya bercerita begini.
“Ada kawanku yang nginap di sini selama 40 hari."
“Ada kawanku yang nginap di sini selama 40 hari."
“Wah, habis berapa, Bang?”
“Kayaknya sekitar 4M.”
“Sekarang?”
“Dia meninggal di hari ke 41.”
"Oh, kasihan."
Kami terus melangkah dan keluar, menuju Orchard. Sembari berjalan santai, kawan saya ini ngomong, “Ada, lho, pejabat Indonesia yang kalau cek darah saja dia pergi ke sini. Aku pernah memergokinya, kok.”
Si kawan menyebutkan satu nama. Ah, ruapanya nama itu, nama kesohor seorang koruptor. Dugaan saya, mengapa si koruptor itu cek darah di sini? Mungkin karena dia tidak perlu pulang hari Senin andai saja dia masuk hari Jumat. Menghabiskan uang dengan cara kelayapan ke Pulau Sentosa dan mal-mal Singapura tentu lebih menyenangkan daripada menghabiskan dolar hanya untuk berbaring menunggu dokter demi tensi dan cek darahnya. Begitu mungkin pikirnya.
Bang Muk, si kawan saya itu, bicara lagi. Hanya saja, kali ini, kata-katanya tertelan deru mesin kendaraan sehingga saya tidak dapat menyimaknya, tapi saya masih dapat menangkap maksudnya, tentu saja dengan perkiraan saja: "bis malam saja jalan terus setiap hari, meskipun sopirnya kadang berbeda-beda, gantian. Masa aktivitas rumah sakit kalah sama bis antarkota?"
Bang Muk, si kawan saya itu, bicara lagi. Hanya saja, kali ini, kata-katanya tertelan deru mesin kendaraan sehingga saya tidak dapat menyimaknya, tapi saya masih dapat menangkap maksudnya, tentu saja dengan perkiraan saja: "bis malam saja jalan terus setiap hari, meskipun sopirnya kadang berbeda-beda, gantian. Masa aktivitas rumah sakit kalah sama bis antarkota?"