05 Desember 2020

Tafsir Mimpi: Air

Dalam buku “Ensiklopedi Tafsir Mimpi” karya Pamanda Abdul Halim Bahwi, bermimpi tentang air itu pada umumnya bagus dengan sekian perkecualian. Jika airnya keruh atau asin, mimpi ditakbir kurang bagus. Bermimpi pegang wadah berisi air berarti dapat uang. Kalau seseorang diberi air, konon biasanya bakal dapat anugerah anak.

Saya pribadi punya pengalaman tersendiri tentang mimpi air ini. Biasanya, kalau bermimpi air, saya pasti dapat rezeki uang, tidak peduli meskipun air itu hanya saya lihat dikejauhan atau mengalir deras dan sedikit keruh seperti banjir. Semua ‘kasus’ mimpi di atas sudah saya alami dan karena itulah saya buatkan asumsi-asumsi “biasanya”. Nah, lebih-lebih jika mimpi berwudu atau air wudu, mimpi model ini lebih mendebarkan lagi karena artinya dapat duit dan banyak.

Itulah yang saya alami dalam mimpi di Senin pagi, 30 November 2020, menjelang bangun. Saya bermimpi wudu. Air dari kran saya tangkap dengan tangkup dan dibuat membasuh muka. Mimpinya tidak begitu lama, kayak spoiler, hanya lewat begitu saja. Setelah wudu, selesai sudah. Saya bangun sambil senyum-senyum.

Nah, saya penasaran, ingat sesuatu, ingat uang yang menipis, utang pondok yang menumpuk, dan belanjaan yang harus dibeli tapi tak ada uang tunai, apalagi kartu kredit. Tapi, entah mengapa saya sangat terobsesi terhadap mimpi air tersebut.

Pertama yang terjadi adalah laporan dari Cantrik Pustaka bahwa royalti buku “Merusak Bumi dari Meja Makan” melebihi jumlah utang saya yang sedianya akan saya setor untuk pembarayan buku yang saya jual, di hari itu. Dengan demikian, uang buku tersebut langsung saya amankan dan jadilah ia berpindah lokasi: dari teller bank ke dompet sendiri, jadi sangu tiban ke Surabaya dan Sidoarjo. Satu poin sudah diraih.

Kedua, sesampainya di kafe Jungkir Balik, sebelah barat stadion Delta Sidoarjo, setelah istirahat sejenak, shalat dan makan, saya ke Jalan Erlangga, ke kantor Dewan Kesenian Sidoarjo, untuk cek lokasi yang akan saya gunakan untuk pentas di hari Ahad, 6 Desember dalam rangkaian Jatim Art Forum oleh Dewan Kesenian Jawa Timur. Aman, semua urusan beres. Dan setelah kembali ke kafe, terjadi kejutan berikutnya. Saat asyik-asyiknya ngopi cantik bersama istri dan juragannya—yang secara instinktif saya tangkap (dan ternyata benar) bakal menggratiskan kopi-kopi itu—ada ninit...ninit, bunyi nada SMS di Nokia 2730. Laporan transaksi ‘ngawur’ ke rekening saya. Kenapa ngawur? Karena itu bukan honor dan tanpa ada aba-aba maupun kode sebelumnya. Saya tahu, ini kejutan keduanya. Meskipun ada wanti-wanti “tidak untuk touring” (karena saya memang berencana ke Larantuka tapi gak jadi-jadi hingga hari ini), saya bahagia karena uang tersebut langsung dapat slotnya, yaitu buat merehab atap musala dan sebagian pondok.

Pulangnya, lagi-lagi kejutan penutup terjadi: saudara saya yang ngajak dan membawa mobil tersebut sama sekali tidak mau disumbang duit buat bahan bakar, padahal secara itung-itungan, tujuan dia ke Sidoarjo dibandingkan dengan kepentingnan-kepentingan saya di beberapa tempat masih lebih banyak urusan saya. Maka, saya semakin malu kepada Sang Pemberi Rezeki karena sebelum berangkat tadi malah lupa tidak shalat duha lebih dulu.

Saya tahu, artikel ini bukan tentang percaya mimpi, tapi sekadar cerita kalau alurnya seperti ini. Saya tahu, Anda ingin dapat rezeki tak terduga, tapi hak untuk memberikan tetaplah ada pada Dia. Saya tahu, Allah bagi-bagi rezeki kepada semua makhluk dalam berbagia bentuk, karena kalau bagi-bagi proyek itu kerjaan kita, eh.

14 Agustus 2020

Oleh-Oleh Abnormal

Siang tadi, ada Mbah Kiai Jauhari, dari Jember. Beliau diantar oleh beberapa orang santri. Saat itu, saya sedang berada di badunan, ruang tamu atau kamar samping langgar.

 “Saya mbah!” kata saya dari belakang ketika saya menjumpainya berada di depan pintu rumah, memanggil salam.

“Anu, saya bawa ini.”
“Waduh, terima kasih. Mari silakan duduk.”

“Sudah, terima kasih. Saya buru-buru.”


Saya mengeluarkan segala jurus penghormatan agar Mbah Kiai mau duduk walau sebentar, tapi beliaunya masih seperti biasa: hanya berdiri, meletakkan oleh-oleh, lalu pamit pergi. Maka, saya pun aya mengantarkan beliau hingga ke pintu pagar, lalu balik badan setelah mobilnya bergerak pergi, menjauh, ke arah timur.

Kiai Jauhari ini tergolong sepuh, baik secara nasab maupun secara usia. Saya manggil mbah kepada putranya, dan ibu saya manggil embah kepada beliau. Kakek saya manggil paman kepadanya. Dua orang pengasuh tersisa di Pondok Pesantren Annuqayah sama-sama memanggil paman kepada beliau. Sisanya memanggil embah dan juju’.

Saya tahu nama beliau sejak kecil, tapi baru sempat bersalaman dan ngobrol setelah ayah dan kakek-nenek saya sudah tiada. Pasalnya, beliau tetap melalukan kunjungan rutin ke Guluk-Guluk, termasuk ke rumah besar kami, sekurang-kurangnya setahun sekali. Sementara kami yang muda-muda ini, yang energik dan ganas kalau bicara, yang sehat-sehat selera makan dan syahwatnya, laga tandangnya hanya berkala, alias kala ada hajatan atau kala ada takziyah, bahkan mungkin ada yang tidak sama sekali.  Malu saya. 

Oya, ini yang penting. Dari dulu, oleh-oleh beliau itu unik, baik kepada kakek saya maupun kepada sepupu-sepupu kakek-nenek. Kita sebut saja “oleh-oleh abnormal”. Oleh-olehnya, yang saya tahu, ada yang  berupa tape recorder Telesonic, pernah pula berwujud amplifier lengkap dengan dua kotak speaker 10 inci-an. Makin ke sini, oleh-olehnya makin abnormal saja. Oleh-oleh mutakhirnya adalah mobil. Sudah ada sekitar entah 8 entah 9 mobil yang dibagi-bagikan kepada kami. Mobil-mobil itu umumnya digunakan untuk kendaraan operasioanal, seperti L300, Carry, Espass, dan ada juga Hijet, serta sedan, entah apa lagi, sampai lupa saya.

Bukan cuman oleh-olehnya, cara membawa oleh-olehnya pun tergolong antik. Biasanya, beliau bawa rombongan. Beliau sendiri naik sedan Holden kawak dari Pace, Jember (sekitar 370-an kilometer dari sini). Pengiringnya bawa L300 dan satu mobil yang akan ditinggal. Mobil yang akan ditinggal berisi buah tangan alias oleh oleh-oleh.  Jadi, beliau bawa sejenis sayuran, beras, kopi, dll, diletakkan di dalam mobil yang akan ditinggal bersama STNK dan BPKB-nya.

Setelah beliau pergi, saya tidak mengajukan pertanyan sejenis “mengapa beliau tidak bawa oleh-oleh abnormal untuk saya?” di dalam hati. Saya berpantang untuk itu. Soalnya, saya merasa sudah sangat sering dibawain oleh-oleh abnormal oleh kawan-kawan saya, mulai dari kamera , dempul mobil, kanopi pintu, kayu bakar, hingga “anu”. Makanya, saat Kiai Jauhari ke mari, oleh-oleh yang dibawanya adalah yang normal-normal.

Tapi, sempat juga, sih, saya mikir: Apakah beliau tidak bawa “oleh-oleh abnormal” karena saya-nya yang abnormal sehingga harus dibawain sekarung kopi agar kembali normal? Saya tidak paham, juga tidak berusaha untuk paham.  Anta afham. Allahu a’lam.

02 Agustus 2020

Siapa Mirip Siapa: Beban Kemiripan

Rummiyati dibilang mirip Syahrini saat berdandan; Savic Ali kayak Bill Gates waktu muda; Sohibuddin seperti Stephen Hawking di waktu kecil; Gus Wahid bak Jacky Chan dalam kostum lokal, dan saya (dulu, pernah dibilang, katanya, sih) bagaikan Fedi Nuril kalau tidak berpeci.

Mengapa orang memirip-miripkan yang lain? Karena nyatanya, manusia itu memang makhluk iseng yang secara naluriah mempunyai obsesi pada kesamaan, kemiripan, keserupaan, bahkan hingga pada taraf kesurupan. Sebaliknya, seniman selalu ingin lepas dari binari, ingin menjauh, ingin menemukan orisinalitas, otentisitas, keaslian, dengan berbagai caranya, mulai dari sama sekali berbeda hingga ke level terendah: tambal-sulam sedikit agar tampak beda.


Nuruddin Asyhadie menyatakan, bahwa orisinalitas, yang merupakan syarat otentisitas, hanyalah omong kosong “spesialisi diri” seniman-seniman Romantik Abad Pencerahan untuk menghapus jerat-jerat patronase dan bereksperimentasi dengan diri mereka sendiri, jenius yang karyanya mengekspresikan sensibilitas superior mereka. Gagasan pengekspresian dan pengembangan diri (bagi kita) sampai kini sungguh-sungguh tampak sebagai sesuatu yang baik, sehingga kita dapat melihat kekuatan citra ini masih tersisa.

Walhasil? Tanya saya.

Kita masih terkejut mendengar seniman-seniman pra-Romantik, seperti Michelangelo atau Rembrandt, yang secara rutin memanfaatkan murid-murid dan pembantunya untuk menyelesaikan karya mereka, atau Picasso yang menyerahkan potongan-potongan lukisannya pada berbagai murid-muridnya: “Di sini kau kasih warna merah, beri sedikit warna abu-abu, Kau juga dapat mengambar sedikit garis lengkung di bawah sini.” Kita masih merasa tertipu terhadap curahan otentik seniman jenius tersebut sebab kita sangat terikat pada gagasan romantik mengenai seniman.

Masih menurut Cak Udin, saat mengulas cerpen “Maaf, Sepertinya Saya Mengenal Anda”, kisah terakhir dalam kumpulan cerpen Donny Anggoro, donny anggoro […] dan Cerita-Cerita Lainnya (2004), malah dapat dikunya sebagai narasi Kafkan, perjuangan sebuah individu dalam melepaskan diri dari uniformitas, atau dongeng “there is nothing new under the sun,” tempat apa pun yang kita (per)buat tak pernah menjadi sesuatu yang tertutup dan berdiri sendiri, selalu tereferensi dan mereferensi pada eksterioritas, yang kemudian bersama dirinya menyusun biografinya sendiri serta biografi-biografi lainnya, baik yang telah lalu, maupun yang akan datang.

Singkat kata, begini: tak ada yang benar-benar baru di muka bumi ini. Scorpion, band rock dari Jerman, menulis lagu “cause we are live under the same sun”, tapi ini dalam rangka semangant kemanusian. Sebelumnya, Kahlil Gibran, menulis prosa lirik berjudul “Tahta asy-Syams” namun dengan semangat eksistensialisme. Dan kiranya, baik Scorpion maupun Gibran, sama-sama merujuk pada Perjanjian Lama, pada Eccleciastes, yang salah satu kutipannya berbunyi “Apa yang pernah ada, akan ada lagi; apa yang pernah dibuat, akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari”.

Akan tetapi, masalahnya bukan itu. Yang sedang kita persoalkan sekarang adalah; apakah menyerupakan dan memiripkan serta orisinalitas itu melawan naluri dan nurani kita sebagai manusia yang lahir berbeda, yang ingin menemukan jati diri, namun pada saat yang lain gemar dimirip-miripkan dengan yang lainnya, suka jika disamakan dengan sesuatu atau keadaan yang dianggap lebih baik darinya?

Dalam konsep mimesis, kita belajar meniru membuat sesuatu agar semirip mungkin dengan acuan. Dalam asosiasi, kita membandingkan dengan perangkat “seperti”. Selanjutnya, pada metafora, kita memiripkan sekaligus menolak kemiripan yang berkutat pada ketegangan (tension). Anu seperti anu; anu adalah anu (meskipun sesungguhnya anu itu bukanlah anu). Walhasil, semakin tegang penyerupaan, semakin bersyahwat keserupaannya, bahkan bisa menyebabkan kesurupan.


Akan tetapi, jika aksi ini dibawa ke luar bahasa, anggaplah kita lihat dari sudut pandang antropologi, maka pekerjaan memirip-miripkan sesuatu itu sebetulnya adalah pekerjaan iseng dan seringkali memberikan beban stigmatif, baik beban menyenangkan atau memberatkan. Misalnya, ketika saya, dulu, dimirip-miripkan dengan Fedi Nuril. Saya mungkin senang, tapi Fedi tidak, bahkan merasa terbebani oleh aksi penyerupaan semacam ini. Dalam kasus ini, tercipta spektrum superior dan inferior.

Hal ini juga sama dengan ungkapan semisal “wow, sudah kayak di Eropa saja” untuk suatu pemandangan di sebuah kota di Indonesia. Betapa membebaninya ungkapan itu jika Eropa diasumsikan mayor dan kota Indonesia, atau kita, sebagai minornya. Maka, beban cenderung bertumpu pada kita, sehingga berupaya agar terus mirip dengan Eropa. Kita menjadi inferior oleh ungkapan yang diciptakan oleh kita sendiri.

Penyerupaan fisikal atau kebendaan semacam ini memiliki implikasi  tak langsung yang bebannya diukur berdasarkan “teror psikologis” jika ia disematkan kepada orang, atau juga “stigma peyoratif” dan ‘inferioritas’ jika ia disematkan kepada produk atau budaya. Bedanya, “teror psikologis” akan membebani kedua belah pihak (yang dimiripkan dan acuan kemirpan) sedangkan pandangan stigmatif atau stereotipikal akan membebani definisi ansich atau asumsi belaka, namun bukan mustahil lambat laun akan menciptakan kerangka pandangan yang lebih banyak “merendahkan” daripada “mengunggulkan”.

Oleh karena itu, pada dasarnya, orang tidak suka dimirip-miripkan, sebagaimana mungkin Syahrini tidak suka dimirip-miripkan dengan Rummiyati, si penjual rujak asal Saronggi itu, dan bukan mustahil pula begitulah yang berlaku sebaliknya. Dimirip-miripkan itu tidak menyenangkan, kecuali untuk perkecualian saja. Apa saja yang diperkecualikan? Sekarang, giliran Anda yang mikir!


29 Mei 2020

New Normal dan Hidup Siaga


instan kunyit & sirih untuk menaikkan imun
Dulu saya pernah bertanya, adakah peristiwa yang dapat menyebabkan seluruh umat manusia di muka bumi ini berubah mendadak dalam waktu cepat? Adakah peristiwa atau suatu hal yang dapat membuat manusia ini mendukung aksi agar alam ini kembali pulih, alih-alih terus melemah? Sepertinya tak ada, bahkan andaipun nyata-nyata ada contoh dan merugikan mereka, yaitu pemanasan global.

Teringat peristiwa meletusnya Gunung Tambora pada 1815 yang menandai bencana alam dan kemanusian terparah di zaman modern. Tapi, peristiwa ini tidak mendunia, ‘hanya’ sekitar Asia dan Eropa serta sebagian Australia. Letusan mahadahsyat ini menimbulkan banyak penyakit dan kelaparan karena sinar ultraviolet matahari tidak bisa menembus bumi selama hampir satu tahun. Ini juga katanya, lho, sebab saya taksir, abad itu adalah zaman generasi ke-9 atau ke-10 di atas saya.

Begitu pula dengan epidemi/pandemi yang lain, Black Death di masa lampau atau yang lebih kekinian, seperti Middle-East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Kedua yang terakhir sama-sama nyaris viral dan mendunia dan secara kebetulan memang merupakan dua jenis virus yang sama-sama menyerang alat pernafasan. Namun,  hanya Covid 19 inilah yang benar-benar telah mengubah segala-galanya: mengubah sistem belajar, mengubah sistem ekonomi, bahkan mengubah persepsi dan idealisasi. Jika sebelumnya kita bangga mencapai tempat terjauh, kini kita bangga justru ketika bisa bertahan di rumah dan tidak ke mana-mana. Betapa jungkir baliknya definisi-definisi yang telah ada sebelumnya.

Lantas, mengingat virus ini tidak jelas dan sangat simpang siur dalam menyikapinya, tidak dapat diperkirakan pula kapan berakhirnya, belum ditemukan juga vaksin dan cara membasminya, maka pada akhirnya, setelah...
menimbang dan seterusnya
mengingat dan seterusnya
memperhatikan dan seterusnya
Pemerintah menetapkan; lockdown harus dibuka; kunci pengucilan diri harus dilepas. Alasannya? Pilihan tersisa hanya dua: mati karena diserang virus ke saluran pernapasan atau mati terkurung karena kekurangan makanan. Ini belaku bagi orang, komunitas, atau pun negara.

Setelah dalam 5 bulan terakhir istilah-istilah asing bermunculan tak dapat dibendung, mulai dari istilah lama hingga istilah baru, seperti pandemi, epidemi, lockdown, physical distancing, hand sanitizer, dll. Petani dan buruh tani yang dulu jarang kenal dengan istilah-istilah itu kini juga menyelipkan kata-kata tersebut dalam obrolannya. Keren banget.

Nah, berikutnya muncul lagi istilah baru: “New Normal”. Apa pula ini? Ialah kehidupan normal, kehidupan wajar, kehidupan seperti sediakala. Akan tetapi, istilah ini pun bukan saja ada yang membantah, yang menjadikannya bahan olok-olok pun juga banyak. Adapun yang saya pahami dengan “New Normal” ini adalah menjalani kehidupan sehari-hari sebagaimana biasa, seperti keseharian kita sebelum pandemi Covid 19 ini, tapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu, seperti penggunaan masker, rajin cuci tangan (bersih-bersih), dll. Gampangnya, kehidupan yang disebut “New Normal” itu adalah kehidupan yang lebih bersih daripada kehidupan sebelumnya jorok dan cuek sama diri sendiri apalagi sama sekitar. Itulah pemahaman saya. Yang tidak saya pahami, mengapa harus “new” dan bukan “baru”; mengapa harus… ah!

Nyatanya, kalau kita amati, kehidupan wajar yang telah kita jalani sebelum ini adalah kehidupan “jar-wajar tanggung”, semacam "normal-normalan". Pandemi Covid-lah yang menyadarkan kita akan semua itu sehingga kita berusaha “kembali ke pengaturan awal” atau “kembali ke pengaturan pabrik”. Contoh: dari dulu, ada anjuran menutup mulut dan hidung kalau kita sedang bersin, tapi yang demikian itu kita temukan hanya ada 1 di antara 10.  Maka, kehidupan “New Normal” menetapkan aturan: orang flu dan batuk boleh datang ke tempat tertentu tapi harus memakai masker. Yang lebih utama adalah selalu mengenakan masker di saat adanya virus Corona (seperti sekarang) yang penularannya sangat tinggi.

Apa langkah kita? Sepertinya, kita harus kembali ke alam, kembali ke cara leluhur dalam menjalani hidup keseharian, yakni hidup siaga dengan jamu. Wow, jamu? Kok kuno?

Pada dasarnya, nenek moyang kita membuat jamu itu bukan untuk mengobati, melainkan untuk melindungi diri, bersiaga. Jadi, jika selama ini kita minum obat atau jamu herbal flu saat diserang flu itu adalah sikap umum: “melawan setelah diserang”. Adapun New Normal adalah “melindungi diri agar aman dari serangan virus flu”. Sedangkan cara orang dulu adalah minum jamu—misalnya jamu kunyit dan sirih—dan itu adalah “siaga agar tidak sampai flu”.

Jadi, filosofi minum jamu itu adalah filosofi zirah: bersiaga sebelum diserang, semacam mengenakan baju besi sebelum perang atau mengamalkan “lembu sekilan” atau pelias sebelum bertanding. Sementara kehidupan keseharian kita sejak dulu adalah baru akan mencari obat merah setelah terkena sabetan pedang. Dari sini saya curiga, jangan-jangan teori “survival of the fittest”-nya Charles Darwin yang kita tolak itu sebetulnya hanyalah sebentuk gambaran bagaimana ras manusia yang tersisa dan bertahan di muka bumi dari kepunahan itu, salah satunya, adalah karena selalu siaga fisik dengan minum jamu, beda dengan monyet.

Ini cuma jangan-jangan, lho, jangan lantas dimasukkan hati.

20 Mei 2020

Misteri Amplop Kiai



Ada seorang wartawan yang datang ke rumah kiai untuk investigasi beberapa hal yang ‘privat’. Wartawan merasa kesulitan untuk memulai wawancara karena ketika dia masuk ke ruang tamu pak kiai itu, di sana, sudah ada tamu-tamu yang lain. Makanya, si wartawan muter-muter dulu omongannya di udara supaya bisa ambil celah bagaimana cara mendaratkan wawancaranya.

Dan karena tema-tema yang lalu tidak menarik, sudah biasa, wawancara dipangkas saja, langsung ke intinya:

“Jadi, bagaimana cerita anak itu kok tiba-tiba datang ke sini sama bapaknya, Kiai?”

“Iya, saya juga heran, saat mondok dulu nakalnya beneran gawat,  secara syariah, iya, seperti tdak subuhan, bahkan sempat mabuk; secara akhlak iya, suka suit-suit sama santri putri, bahkan saat liburan dia suka nginbox saya, menentang beberapa keputusan pesantren dengan argumen ‘menurut saya’ dan ‘menurut hemat saya pribadi’, dan semacam itu. Gawat pokoknya, Mas, tapi tidak merasa gawat, santai saja bawaannya.”

“Jadi, dia dan orangtuanya tadi itu ke sini minta maaf, sekaligus pamitan, Kiai?”

“Iya.”

“Sama kiai, dimaafkan begitu?”

“Kasihan kalau tidak. Soalnya, kata orang tua, konon, biasanya dia sulit jadi bener hidupnya kalau tidak diridai oleh guru. Makanya, meskipun masih ada sisa-sisa sebel, tetap saya maafkan.”

Wartawan itu ambil nafas sejenak, minum kopinya seseruput, mau menyalakan rokok, tidak jadi, malah bertanya, “Anu, Kiai, boleh nanya agak privat?

Silakan!

“Orang tadi itu sowan pakai amplop berapa, Kiai?”

“Kenapa, Mas?”
“Kami ini kan wartawan “Majalah Kiaipedia”, sedang investigasi soal isi amplop, Pak Kiai, dan Ini nanti akan ada hubungan dengan analisa gratifikasi dan grasi, baik secara politis maupun efek ekonomis, Pak Kiai. Tapi, kalau Pak Kiai keberatan, tidak apa-apa... maaf saya agak lancang barusan.”

“Salam tempelnya 50.000”

“Hah? Lima puluh? Pak Kiai punya kalkulator?”

“Ada, Mas, buat apa?”

“Buat ngitung ini, Pak Kiai. Jadi, uang 50.000 barusan itu buat;
1.       Minta grasi atas kesalahan di pondok selama 3 tahun
2.       Minta amnesti untuk semua kesalahan cuit-cuit santri putri
3.       Minta dimaafkan karena suka nginbox-nginbox “menurut saya” sama Pak Kiai
4.       Buat bayar 2 kali sehari pipis di jeding pondok selama 3 tahun
5.       Buat ongkos diajari ngaji dan kitab selama 3 tahun
6.       Barusan, sewaktu Pak Kiai nyuguhin makan, si bapaknya kayaknya ngambil rendang daging dan anaknya telor dadar, nah, ya, buat bayar itu juga, Kiai
7.       Minta diridai dan diberkahi dengan doa
Kalkulator Kiai itu merek apa? Sungguh saya ingin punya kalkulator yang bisa menghitung pembagian seperti ini dengan tenang dan tidak eror, Pak Kiai.”

Mendadak, mata kiai tampak berkunang-kunang.  Tubuhnya sedikit bergoyang. Kiai menundukkan kepada dan menopangnya dengan telapak tangan. Ia melenguh, menarik napas panjang.

“Mas, aku pinjam ranselmu, Mas!”
“Buat apa, Pak Kiai?”
“Tolong letakkan di belakang kepalaku, aku mau pingsan nih kayaknya.”


11 Maret 2020

Rangkuman Kisah Asmara Keluarga dalam Tiga Percakapan


Saya bikin tiga ringkasan percapakan ini. Ketiganya menggambarkan fase hubungan suami-istri. Semoga termasuk ke dalam golongan percakapan yang lucu. Amin.  

BARU KENAL, GOMBAL

“Dik, jika engkau Shinta, akulah Sri Rama.”
“Tapi, kan ada Rahwana, Mas? Kalau aku diculik, ntar gimana?”
“Lah, adegan itu ‘kan ada di buku jilid II? Ya, gak usah dibacalah!”

SETELAH MENIKAH, CEMBURU

“Kang, mengapa kamu keramas?”
“Kok jadi masalah, sih, Jeng? Bukannya kalau mandi justru wangi?”
“Soalnya, Akang mandi basah itu ‘kan hanya kalau junub, padahal aku lagi datang bulan!”

SUDAH LAMA, LUPA

“Mas, dulu kamu bilang, kita bagai Rama dan Shinta, tapi kini, beras habis pun kamu tak peduli!”
“Lah, kamu emang tidak baca jilid II-nya, Dik? Saat Kerajaan Wideha mengalami paceklik?”

***

Asmara dalam pernikahan itu fluktuatif, bukan cuman nilai tukar rupiah dan bursa efek yang begitu-begitu. Pernikahan sendiri tidak pernah berada dalam status selalu aman, pasti akan ada masa kritisnya.
Maka, cerita dalam keluarga itupun tidak pernah datar. Jika ingin cerita yang lempeng dan lurus, protagonis menang terus, antagonis kalah melulu (atau kalau perlu ditiadakan), maka bikinlah roman atau novel sendiri, baca sendiri, sebab kalau dijual, kisah yang seperti itu harus masuk waktu agak malam lebih dulu yang mau laku, itupun jika diobral dan diecer oleh pedagang asongan profesional.  



11 Februari 2020

Orientasi Kebendaan




Pernah di suatu saat ada orang yang bertanya, mengapa saya sering mendapatkan buku secara gratis meskipun saya jarang membaca buku dan jarang pula mengulasnya. Saya bilang kepadanya, "Saya tidak tahu, mungkin karena saya jarang baca buku itulah sehingga dia kasihan kepada saya, ingin saya rajin membaca dengan cara diberi buku. Tapi, kalau kamu tidak puas dengan jawaban saya, ada baiknya kamu saja yang tanya sama orang yang ngasih buku itu, mengapa dia ngasih buku ke saya dan bukan ke kamu."

Rupanya, dia benar-benar tidak puas dan kembali bertanya.
"Tapi, kayaknya kamu juga sering dapat gratisan kopi. Itu gimana caranya bisa begitu?"
"Oh, kalau yang itu, saya tahu jawabannya," balas saya. "Karena yang ngasih kopi ke saya itu sudah pada tahu bahwa kopi yang dia kasihkan akan saya minum atau saya sedekahkan, bukan difoto lalu dikopi dan jadilah buku-buku bajakan."

"Kalau kamera itu?" Kayaknya dia masih penasan, nambah pertanyaan, "Sepertinya kamu juga dapat gratisan kamera dari teman kamu!"
"Oh, kalau itu saya tukar-tukaran."
"Ditukar dengan apa?"
"Ditukar dengan doa."
"Enak banget, cuma gitu saja?"
"Enak banget kamu bilang 'enak banget'. Sebegitu murahkah doa itu menurutmu?”

ORIENTASI kebendaan kita membuat semuanya, apa pun, cenderung dibandingkan dengan uang dan benda-benda. Buku gratis, kopi gratis, kamera gratis, dan apa-apa yang kita dapatkan secara cuma-cuma itu seolah gratis tanpa melihat mengapa ia datang secara cuma-cuma kepada kita dan bukan kepada orang lain. Demikian pula sebaliknya, kadang kita lupa dan dengki, mengapa kesehatan dan kesempatan didapatkan oleh orang lain dan bukan kita. Semua ini bersumber dari orientasi kebendaan. Kita terlalu biasa menimbang apa pun dengan uang dan benda. Kita lantas lupa bahwa terima kasih dan rasa syukur adalah alat bayar yang berlaku untuk semua negara, semua bangsa, dan berlaku sepanjang masa.

08 Januari 2020

Pulau Terluar



Pulau terdepan (dulu, dan kadang disebut juga pulau terluar) di Kabupaten Sumenep adalah Pulau Sakala. Pulau ini berjarak 271 km ke Kalianget, pelabuhan ujung timur pulau Madura sisi selatan. Jarak ini saya peroleh dengan cara mengukurnya menggunakan penggaris distance measure milik Wikimapia; tanpa mengikuti peta pelayaran; main tarik-tarik saja).  Secara garis bujur, Pulau Sakala (masuk kecamatan Sapeken) sejajar dengan Desa Kayangan, di Lombok Utara. Pulau Sakala merupakan batas timur zona Waktu Indonesia bagian Barat (adapun ujung baratnya adalah Pulau Rondo, pulau terluar Indonesia, sonoan dikit dari Pulau Weh, Sabang, Banda Aceh).

Adapun Pulau Karamaian, yang secara administratif berada di gugusan pulau Masalembu, berjarak 268 km (mestinya diukur mil, sila cari sendiri di Wikimapia) atau kurang (kalau mengikuti jaluar pelayaran kayaknya 265 km). Pengukuran ini juga saya lakukan dengan cara yang sama dengan yang di atas. Pulau Karamaian hanya berjarak kurang dari 100 km ke Tanjung Selatan,  kecamatan Banjarmasin Bar, kota Banjarmasin, ujung selatan Pulau Kalimantan. Tapi, kalau penduduk sana mau ngurus akta kelahiran ke Disdukcapil, ya, tetap harus berlayar ke kota Sumenep, bukan ke Banjarmasin. Cuman, bukan itu yang saya bayangkan, melainkan bagaimana nasib penduduk situ yang harus menempuh jalur laut ke kota, dengan kapal yang tidak setiap hari ada.

Tapi, semua itu belum seberapa jika dibandingkan dengan penduduk kota Rapa Nui alias Pulau Paskah di Chili. Orang pulau ini, kalau misalnya diare dan harus opname di rumah sakit tercanggih seantero negerinya yang ada di Santiago de Chile, ya, harus naik perahu sejauh 3750 km, setara dengan jarak darat dari Luk-Guluk (rumah saya) ke Ibioh, di Sabang sana, itupun jika perahunya berjalan lurus, beda lagi kalau diombang-ambingkan ombak dan gelombang pasang, bisa jadi 3999 kilometer jaraknya.  Zaman sekarang mungkin sudah ada pesawat terbang.

 
Lalu, mengapa Pulau Natura diperebutkan? Berdasarkan gambaran di atas ini, kiranya alasannya bukanlah karena "jarak terdekat dengan", tapi "kepentingan terdekat dengan". Jadi, urusan "memiliki" itu tidak berhubungan dengan jarak, melainkan dengan "kepentingan". Buktinya adalah adanya hubungan jarak jauh alias LDR.





04 Januari 2020

Beratnya Jadi Imam Jumat

Dua orang berbaju putih duduk di kanan-kiri mimbar. Begitu bilal selesai azan, keduanya bangkit dari duduk, saling bersitatap. Keduanya mulai ragu, giliran dia yang jadi imam ataukah bukan? Keduanya sama-sama berdiri, tapi mereka lalu ragu kembali, apakah hari ini Jumat Pon atau Legi. Keduanya sama-sama melangkah satu kali, mendekati mimbar.

Apa yang terjadi? Bayangkan saja sendiri!

***
Seorang imam Jumat yang baru diangkat pertama kali telah menyelesaikan shalat. Hadirin sudah bubar. Dia melihat amplop putih kecil di balik sajadah. Ia mengambilnya dan memasukkan ke kantong baju. Ia keluar menuju kamar kecil untuk pipis, tentu sembari mengobati rasa penasaran, ingin tahu berapa isi amplonya. “Wuih, seket ewu, Rek!” katanya.
Begitu ia kembali, orang-orang yang masih tetap di masjid menatapnya seraya tersenyum. Rupanya, bunyi cucuran dan kecipak air, serta suara dia barusan, terdengar di seluruh ruangan karena sang imam lupa melepas mikrofon nirkabel-nya yang masih aktif ketika tadi hendak keluar.
***
Seorang imam mendadak lupa saat membaca surah setelah Al-Fatihah. Rakaat pertama sudah aman. Al-A'la dibaca dengan khidmat. Pada ayat keduabelas entah ketigabelas Surah Ghasyiyah, surah yang dibaca pada rakaat kedua, mendadak ia lupa. Ia mencoba mengulang dari ayat kesepuluh, tetap lupa. Jamaah sudah mengingatkan, tapi ia benar-benar lupa. Tiba-tiba terlintas di dalam pikiraannya kejadian tadi pagi: saat mau menyalakan mobil tapi dinamo starternya enggak nyantol-nyantol juga, enggak ngangkat karena strum akinya lemah. Wah, celaka, pengalaman aki lemah kok terbawa-bawa ke dalam shalat, payah!
Akhirnya, sang imam membaca lagi dari depan, tapi ganti Surah Al-Kausar.
***
INI BUKAN PENGALAMAN SAYA. Saya sampaikan supaya ndak ada yang berkomentar “jangan-jangan ini pengalaman pribadi”.

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) IAA (1) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) MC (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) penata acara (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog